• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sekarang adalah belanja online. Berdasarkan UCLA Center for Communication

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sekarang adalah belanja online. Berdasarkan UCLA Center for Communication"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Belanja adalah aktivitas yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Salah satu alternatif belanja yang sudah mengikuti gaya hidup sekarang adalah belanja online. Berdasarkan UCLA Center for Communication Policy, pembelian secara online (online shopping) sudah menjadi aktivitas yang populer hingga saat ini (dalam Tarigan, 2012). Lebih dari 85% pengguna internet melakukan pembelian secara online dimana hampir sebagian besarnya melakukan pembelian paling sedikit satu kali dalam sebulan dan sejak tahun 2006 hingga 2008 jumlah pengguna internet yang melakukan online shopping (belanja online) meningkat 40% dalam waktu 2 tahun berturut-turut (Mitchell, 2008). Belanja online kini memang telah menjadi pilihan sebagian besar konsumen, terutama bagi mereka yang sibuk dan tidak sempat pergi ke toko konvensional. Konsumen tidak perlu lagi keluar rumah untuk berbelanja di swalayan, supermarket, plaza, butik ataupun pasar, cukup dengan duduk di depan komputer atau sekarang bisa melalui ponsel, proses pembelian dapat dilakukan dengan mudah dan cepat (Ollie, 2008). Saat ini, berbagai website toko online sangat mudah ditemukan baik di jejaringan facebook, twitter atau website toko onlinenya sendiri. Online shopping juga dianggap sebagai solusi perubahan gaya hidup berbelanja masyarakat (Inilah.com, 2012). Ada beberapa alasan mengapa belanja online kini menjadi suatu trend di kalangan masyarakat antara lain kemudahan dalam mencari barang, pembelian yang tidak dibatasi ruang dimana dapat dilakukan baik dalam satu

(2)

negara maupun antar negara (Kotler dalam Hanif, 2011), produk yang ditawarkan sangat beragam, transaksi cepat (Rajamma, Paswan & Ganesh, 2007) dan pengambilan keputusan pun tidak serumit belanja offline (Li & Zhang, 2002). Sumardi (2009) juga mengatakan bahwa konsumen biasanya akan lebih mudah dipengaruhi ketika mendapatkan rekomendasi dari orang lain yang sudah merasakan pembelian produk daripada hanya mendengar promosi formal dari penjual.

Konsumen yang telah memutuskan untuk membeli, kemudian akan memiliki sejumlah pemikiran-pemikiran dalam diri konsumen. Aspek positif dari tidak membeli dan aspek negatif karena telah memutuskan untuk membeli akan membentuk suatu pola pikir yang menjadikan konsumen harus berpikir kembali terhadap keputusan membelinya (Kassarjian & Cohen, 1965). Ketika hasil keputusan membeli menghasilkan aspek positif maka konsumen tidak perlu memikirkan perasaan tidak puas yang akan muncul dan sebaliknya ketika konsumen merasa pembelian yang dilakukan tidak sesuai maka akan muncul perasaan tidak nyaman yang bergelut dalam diri konsumen. Perasaan tidak nyaman inilah yang disebut dengan disonansi (dissonance). Disonansi diartikan sebagai keadaan psikologis yang tidak nyaman akibat suatu kondisi yang secara tidak langsung memotivasi diri untuk mengurangi disonansi itu (Hasan & Nasreen, (2012). Situasinya adalah respon terhadap keputusan pembelian. Hal ini dapat ditemukan dalam komunikasi interpersonal dengan responden W, seorang remaja putri yang berprofesi sebagai dancer di kota Medan berikut ini:

“… saya suka belanja online, sering beli baju sih.. tapi sering kecewa juga.. ukuran, bahan, sama warna nya beda banget sama yang difoto….

(3)

pengirimannya juga telat banget, apa lagi pas pula barangnya mau saya pakai jadinya ya gimana gitu.. “

(Komunikasi Personal, 5 Oktober 2012) Disonansi juga ditemukan pada responden C, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi USU, yang diungkapkan dalam kutipan wawancara berikut ini:

“…ya barangnya datang kan pasti dibuka buat dites. karena dah nunggu lama, ekspetansi pun tinggi. Rupanya pas begitu dibuka ada yang gak sesuai sama harapan. Rasanya pertama pasti kecewa dulu. Baru saya tes, gak cocok, kecewanya nambah….terus saya ingat2 balik lagi kenapa bisa mesan itu dan kenapa koq sampe bisa ya barangnya gak sama.

….saya minta penjelasan dari penjual, liat penjelasan dia bisa diterima gak, biasanya saya antar kembali barangnya minta refund. Atau kalo mau beli sama dia lagi jadi lebih hati-hati lo, tanya ini itu sebelum beli..”

(Komunikasi Personal, 29 Oktober 2012) Kondisi inilah yang memungkinkan timbulnya ketakutan pada konsumen (Sharma & Ramesh, 2007). Berbagai respon yang mungkin muncul pada konsumen selain takut juga seperti kecewa, sedih, tidak nyaman, marah, dan bahkan merasa cemas. Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) menyebut kecemasan atas pembelian sebagai state anxiety atau kecemasan yang bersifat sementara. Biasanya konsumen berusaha untuk mengurangi tingkat disonansinya dengan melakukan segala cara yang dapat mereduksi tingkat disonansinya. Konsumen akan memberikan sejumlah informasi yang menguatkan pembeliannya, menghindari hal-hal yang bertentangan dengan keputusan mereka atau bahkan mengembalikan produk tersebut kepada penjualnya. Konsumen yang merasa tidak puas juga cenderung berbagi kisah-kasih seputar pengalaman pembelian mereka kepada teman ataupun keluarga untuk mengurangi disonansi (Lamb, Hair, McDaniel, Boshoff, & Terblanche, 2004). Seperti yang dipaparkan

(4)

oleh responden M, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi USU mengenai bentuk dissonance yang dialaminya:

“…bener-bener ngerasa nyesel, terus share ke teman-teman buat cari penghiburan sih biar nyesel dan sedihnya gak terasa banget.. terus yakinin diri sendiri buat apa beli sama olshop itu lagi, buat uang rugi aja.. terus barangnya saya masukin plastik, simpan dilemari dan gak keluarin lagi biar gak ingatin lagi..”

(Komunikasi Personal, 13 Oktober 2012) Kepuasan menjadi hal yang tidak terlepas dari dissonance. Ketika tingkat kepuasannya rendah maka kemungkinan dissonance akan lebih terjadi dan sebaliknya ketika tingkat kepuasan tinggi maka dissonance pun akan jarang terjadi (Sweeney, Hausknecht, & Soutar, 2000). Namun kadang kala tingkat dissonance itu berbeda tiap orangnya. Berbagai faktor bisa menjadi landasan atas suatu keputusan untuk membeli seperti keterlibatan individu sendiri, produk, situasi atau bahkan komunikasi interpersonalnya. Seperti halnya yang disampaikan oleh responden C, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi USU mengenai dirinya sendiri terhadap keputusan membeli:

“…Saya bukan tipe orang yang berlarut-larut dalam kekecewaan.. Saya beli barang cuma kalau saya suka saja, saya gak peduli tu udah gak ngetrend atau gak bagus di mata orang lain.. Kalau saya suka saya beli, kalau saya gak suka maupun kata orang lain cantik saya juga gak mau beli..

Saya lebih banyak beli aksesoris dan kosmetik kalau secara online.. (Komunikasi Personal, 29 Oktober 2012) Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa individu sendiri sangat berperan penting dalam membuat keputusan membeli. Teori Reasoned Action yang dicetuskan oleh Fishbein dan Ajzen tahun 1980 menyatakan bahwa pada dasarnya perilaku seseorang sangat tergantung pada

(5)

intensi atau minatnya dimana intensi berperilaku sangat tergantung pada sikap dan norma subjektif (Jogiyanto, 2007). Jika dilihat dari pernyataan responden maka perilaku yang muncul atas pembelian kembali didasari pada keyakinan sikap responden sendiri dalam membuat keputusan pembelian.

Disonansi kognitif yang muncul setelah terjadinya pembelian tersebut dinamakan Post purchase Dissonance. Pada post purchase dissonance, konsumen memiliki perasaan yang tidak aman dan tidak nyaman, perasaan yang cenderung mengarah pada perubahan sikap agar sesuai dengan perilaku mereka (Schiffman & Kanuk, 2007). Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kepuasan akan mempengaruhi dissonance, maka ketika konsumen yang puas terhadap hasil pembeliannya mereka cenderung akan kembali melakukan pembelian dan merekomendasikannya kepada rekannya dan sebaliknya konsumen yang tidak puas terhadap hasil pembeliannya mereka cenderung akan berhenti membeli, mengembalikan ataupun melakukan suatu tindakan (Strydom, Cant & Jooste, 2000). Hal ini dapat ditemukan pada wawancara dengan responden C, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi mengenai post purchase dissonance yang dialaminya:

“…pas barang yang datang sama foto beda jauhhh, perkiraan ukuran, warna, bahan dan kualitas meleset semua. Baru2 ini aja terjadi pun. Saya beli sampel bb cream. Karena mau tes 1 produk, sampelnya saya beli 5 ml punya, sampelnya kan ada tipe yang Jar , jadi saya kira yang ini pake Jar juga karena 5 ml. Taunya benar2 datang pake Jar, tapi Jar isi ulang dimana penjualnya tuang bb cream itu ke Jar. Bukan Jar mereknya sendiri, tah higienis tah gak …..“

(Komunikasi Personal, 29 Oktober 2012) Kepuasan merupakan kondisi emosional, reaksi setelah pembelian yang berupa ekpresi marah, tidak puas, jengkel, perasaan netral, gembira maupun

(6)

senang (Lovelock & Wright, 2007). Hasil dari proses kepuasan terhadap keputusan pembelian akan mengarahkan pada konsumen untuk membeli kembali (repurchase) atau bahkan menjadi loyal (Singh, 2008).

Proses pembelian konsumen tersebut bisa disebut dengan pembelian percobaan dimana tahap ini merupakan tahap evaluasi produk dan jika percobaan ini kembali memuaskan maka konsumen akan cenderung berkeinginan untuk membeli ulang (Schiffman & Kanuk, 2007). Repurchase intention merupakan suatu keputusan konsumen untuk melakukan pembelian kembali atas produk atau jasa tertentu dengan mempertimbangkan kemungkinan hasil yang akan terjadi dan dipengaruhi oleh tingkat kesukaan terhadap produk tersebut (Hellier, Geursen, Carr & Rickard, 2003). Menurut Schiffman & Kanuk (2007), pembelian ulang biasanya menunjukkan bahwa konsumen akan bersedia membeli lagi dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan responden M mengenai perilaku membeli ulang (repurchase):

“ ada 1 olshop yang masih saya ikuti karena kemarin setelah kecewa, teman beli dari olshop itu juga, ternyata bajunya bagus jadi kalau ada baju yang saya suka mungkin saya mau beli lagi..”

(Komunikasi Personal, 13 Oktober 2012) Seperti halnya dengan yang dipaparkan oleh Doods, Monroe & Grewal (dalam Akir & Othman, 2010) dimana jika konsumen tertarik terhadap suatu produk dan ingin memilikinya maka biasanya mereka akan berusaha untuk membelinya baik itu adanya rekomendasi teman atau tidak maka akan mempengaruhi terjadinya proses pembelian lagi. Konsumen akan mengalami kondisi ragu untuk membeli kembali, namun ketika ada suatu kondisi yang tertentu ataupun adanya kebutuhan yang harus dipenuhi maka konsumen akan

(7)

melakukan usaha ataupun cara bagaimana kondisi tersebut bisa terselesaikan. Terjadinya pembelian ulang (repurchase) setelah post purchase dissonance juga terbentuk dari adanya tiga kondisi dissonance yaitu (1) usaha konsumen dalam melakukan pembelian, (2) tanggung jawab terhadap pembelian dan (3) komitmen keputusan yang membentuk suatu perilaku (Festinger 1958). Pengulangan perilaku post purchase biasanya akan terjadi lagi ketika komitmen terbatas pada masa lalu dan konsumen tidak merasa terpaksa untuk melakukan pembelian lagi di masa depan. Seperti halnya yang disampaikan oleh responden W, seorang remaja putri yang berprofesi sebagai dancer di kota Medan mengenai pernyataannya melakukan repurchase setelah mengalami post purchase dissonance:

“… dah lama juga gak beli online sejak itu, tapi sekarang mulai tertarik lagi.. tapi kecewa lagi….. Beli lagi sih tapi sama olshop yang beda, gak berani lagi beli sama olshop itu lagi…”

(Komunikasi Personal, 5 Oktober 2012) Pernyataan responden di atas menunjukkan adanya kecenderungan responden untuk tetap melakukan pembelian kembali namun dilakukan pada toko online yang berbeda yang disebabkan oleh disonansi yang telah dirasakan sebelumnya. Ada juga pernyataan yang disampaikan oleh responden C, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi mengenai repurchase yang dilakukannya:

“Saya pernah kecewa sama olshop ini… Sampai sekarang saya masih belanja sama olshop itu pun karena saya tahu kualitasnya itu bagus...”

(Komunikasi Personal, 29 Oktober 2012) Hasil wawancara dengan responden C diatas menunjukkan bahwa responden merasa kecewa setelah pembelian namun ada kecenderungan

(8)

responden terhadap aspek trust yang tinggi pada online shop tersebut terlihat dari bagaimana responden yakin terhadap kualitas barang yang dijual toko tersebut.

Post purchase dissonance biasanya terjadi ketika konsumen merasakan kondisi yang tidak nyaman terhadap hasil dari proses pembelian. Terlebih pembelian yang dilakukan secara online. Online shoppers di Indonesia termasuk jumlah yang besar di dunia dan merupakan calon-calon konsumen yang mungkin menjadi salah satu yang mengalami dissonance. Kondisi seperti inilah yang ingin dilihat oleh peneliti mengenai post purchase dissonance yang diarahkan pada adanya perilaku repurchase pada produk yang dijual secara online di dunia maya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin melihat bagaimana dinamika repurchase dapat terjadi pada konsumen online setelah mengalami post purchase dissonance, yang artinya konsumen yang telah mengalami ketidakpuasan, perasaan tidak nyaman, kecewa melakukan pembelian kembali (repurchase) pada online shop yang sama atau online shop yang berbeda dengan produk yang sama. Pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk menggali dinamika repurchase pada konsumen online (online shoppers) yang telah mengalami post purchase dissonance adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi seorang konsumen melakukan repurchase walaupun telah mengalami post purchase dissonance.

2. Bagaimana kondisi psikologis atau karakter pribadi seorang konsumen yang mengalami postpurchase dissonance dan kemudian melakukan repurchase.

(9)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana perilaku repurchase dapat terjadi pada seorang konsumen yang telah mengalami post purchase dissonance.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat menjadi masukan bagi bidang ilmu Psikologi khususnya Psikologi Industri dan Organisasi dan ilmu Perilaku Konsumen. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan akan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian pada bidang Perilaku Konsumen sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian selanjutnya.

Manfaat praktis pada penelitian ini adalah diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada para konsumen terutama konsumen online bahwa perilaku repurchase juga dapat terjadi sekalipun telah mengalami dissonance. Penelitian ini juga dapat menjadi pemicu munculnya penelitian-penelitian yang lebih mendalam mengenai fenomena repurchase yang malah terjadi pada konsumen yang telah mengalami post purchase dissonance sehingga wawasan dan perkembangan teori mengenai Post Purchase Dissonance dapat lebih luas.

E. Sistematika Penulisan

(10)

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang fenomena post purchase yang mengarah pada repurchase, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini berisi penjelasan mengenai tinjauan teoritis. Penelitian ini menggunakan teori online shopping, post purchase dissonance, faktor-faktor post purchase dissonance, teori repurchase, faktor-faktor repurchase serta dinamika repurchase pada online shoppers yang telah mengalami post purchase dissonance dan diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi penjelasan mengenai alasan menggunakan metode penelitian kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan data, alat pengumpulan data, prosedur penelitian dan analisis data.

BAB IV : ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini berisi pendeskripsian data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan dan diskusi.

(11)

Kesimpulan dan Saran berisi penjelasan singkat mengenai kesimpulan dari penelitian, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini dan penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah membantu dalam memberikan keputusan dari data yang diperoleh dari si pasien, yang kemudian akan diagregasikan untuk mendapatkan

Kata dasar dari karyawan adalah karya yang berarti kerja, sehingga pengertian karyawan adalah orang yang berkerja pada sebuah organisasi atau perusahaan, dimana

Saat ini pendataan mahasiswa yang akan melaksanakan PKL pada STMIK Mataram menggunakan microsoft excel, sehingga masih terdapat beberapa kekurangan mulai dari

Dari hasil sintesis didapatkan senyawa N-(2-nitrobenzil)-1,10- fenantrolinium klorida yang berupa padatan amorf berwarna dengan rerata rendemen yang optimal sebesar 37%+5%,

Kajian Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang : Studi Kasus Di Laut Arafura Provinsi Arafura.. [tesis] Sekolah Pascasarjana Institut

• Dalam hal Anda menarik seluruh dana pada Nilai Akun yang ada dalam Polis, maka Anda dianggap melakukan penebusan Polis dan Penanggung akan membayarkan Nilai Tebus yang ada

Fraud yang dilakukan oleh eksekutif Phar Mor dilakukan dengan membuat 2 laporan ganda, yaitu laporan inventory dan laporan keuangan bulanan yang masing-masing

Investor asing sangat berpengaruh dalam investasi saham yang ada di Indonesia, karena dengan adanya banyak modal masuk maka akan memperkuat modal untuk perusahaan