• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS IMPLEMENTASI WHISTLEBLOWING SYSTEM STUDI KASUS PADA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS IMPLEMENTASI WHISTLEBLOWING SYSTEM STUDI KASUS PADA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS IMPLEMENTASI WHISTLEBLOWING SYSTEM

STUDI KASUS PADA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

Febriyandi Doloksaribu Bambang Pamungkas Akuntansi Universitas Indonesia

doloksaribuandi@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan praktik whistleblowing system yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Whistleblowing System merupakan salah satu alat deteksi yang dapat mengungkap tindakan kecurangan di Badan Pemeriksa Keuangan. Penelitian ini berfokus pada 8 aspek utama, yaitu perlindungan kepada whistle blower, regulasi terkait pengaduan pelanggaran, sistem pelaporan dan mekanisme tindak lanjut laporan pelanggaran, penyusunan ketentuan whistleblowing, reward, sikap organisasi, ketersediaan akses pelaporan ekstemal, serta karakteristik whistleblower. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa secara garis besar Whistleblowing System yang telah ditetapkan BPK hampir memenuhi semua aspek utama namun pelaksanaannya masih belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Kata Kunci : Pelaporan pelanggaran; Deteksi fraud; Whistleblowing System

Analysis of Whistleblowing System Implementation Case Study On Audit Board of The Republic of Indonesia

Abstract

This study aims to analyze the implementation of whistleblowing system which operated by the Audit Board of The Republic of Indonesia. Whistleblowing system is one of fraud detection tools in Audit Board of The Republic of Indonesia. Focus of this study are whistle blower's protection law, fraud regulation, the mechanism of fraud reporting system, whistleblowing requirement, reward, organization's support, access of external fraud reporting, and whistle blower characteristics. This study finds that roughly Whistleblowing System that has been set by the Institution almost meet all major aspects but its implementation is still not fully in accordance with the conditions set.

(2)

PENDAHULUAN

Dalam pelaksanaan good governance suatu entitas baik entitas publik maupun swasta, transparansi merupakan salah satu faktor penting untuk mendorong pimpinan atau pengelola atau pegawai suatu organisasi dalam memberikan kontribusi yang bermanfaat dan bernilai tambah (added value) baik bagi organisasi maupun pemangku kepentingan. Terdapat berbagai metode atau cara dalam implementasi transparansi untuk mendukung efektivitas pelaksanaan good governance, salah satu metode dimaksud adalah Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP) atau whistleblowing system (WBS). Di Indonesia, whistleblowing system merupakan sistem pelaporan pelanggaran yang masih tergolong baru diterapkan. Dalam rangka mendorong terciptanya GCG dan memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas pelaksanaan Corporate Governance di Indonesia, maka Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menerbitkan suatu pedoman yang diberi judul “Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP) atau Whistleblowing System (WBS)” pada tahun 2008.

Sejalan dengan hal tersebut, saat ini sudah ada beberapa Lembaga ataupun Instansi pemerintahan yang menerapkan whistleblowing system. Salah satu lembaga yang menerapkan whistleblowing system ini adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .

Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelolakeuangan negara. BPK harus menjunjung tinggi integritas, independensi dan profesionalisme. Untuk mewujudkan tiga nilai dasar tersebut, BPK harus melakukan pengawasan secara optimal kepada seluruh elemen yang terdapat dalam struktur organisasi BPK, karena sangat rawan akan terjadinya praktek-praktek korupsi terutama suap. Sebagai upaya meningkatkan pengendalian internal di BPK terutama unsur pengawasan. Pelaksana pengawasan BPK dalam hal ini Inspektorat Utama mulai menerapkan whistleblowing system.

(3)

Berkaitan dengan hal ini, maka penulis ingin mengetahui bagaimana penerapan whistleblowing system yang ada di BPK RI dan bagaimana peran whistleblowing system dalam membantu peningkatan pengendalian internal di BPK RI. Selain itu penulis juga ingin mengetahui peran whistleblowing system di BPK RI dalam pelaksanaan asas-asas good public governance yaitu transparansi dan akuntabilitas.

Ruang lingkup penelitian ini adalah pada Intansi Badan Pemeriksa Keuangan dengan batasan penelitian pada penerapan whistleblowing system di BPK sejak Januari tahun 2013 sampai dengan Agustus 2014.

Tinjauan Pustaka

Good public governance

Good public governance (GPG) merupakan sistem atau aturan perilaku terkait dengan pengelolaan kewenangan oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung-jawab dan akuntabel. Pemerintah, sama halnya dengan swasta harus selalu melakukan perbaikan agar mendapatkan kepercayaan publik. Dengan good public governance diharapkan instansi pemerintah dapat bekerja lebih baik sebagai wujud nyata pelaksanaan fungsinya sebagai palayan publik. Good public governance juga diharapkan dapat mendorong terciptanya situasi yang kondusif bagi berkembangnya berbagai sistem di negara seperti ekonomi, politik, hukum dan lainnya. Karena perannya yang sangat penting, maka good public governance perlu mendapatkan perhatian.

Ada heberapa karakteristik yang melekat dalam praktek Good public governance (Daniri, 2008), sebagai berikut:

1. Praktek good public governance harus memberi ruang kepada pihak diluar penyelenggara negara untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara mereka.

2. Dalam praktek good public governance terkandung nilai-nilai yang membuat penyelenggara negara, pelaku usaha maupun masyakarat pada umumnya dapat lebihefektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

(4)

bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena praktek penyelenggaraan negara dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, budaya hukurn, dan akuntabilitas publik.

Manfaat Good public governance

Penerapan good public governance sangat diyakini memberikan kontribusi yang strategis dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan iklim bisnis yang sehat,

meningkatkan kemampuan daya saing, serta sangat efektif menghindari

penyimpangan-penyimpangan dan sebagai upaya pencegahan terhadap korupsi dan suap. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006) menyatakan good public governance harus dilaksanakan dalam rangka:

1. Mendorong efektivitas penyelenggaraan negara yang didasarkan pada asas demokrasi, transparansi, akuntabilitas, budaya hukum serta kewajaran dan kesetaraan.

2. Mendorong terlaksananya fungsi legislatif dan pengawasan, eksekutif, yudikatif dan lembaga-lembaga non struktural sesuai dengan tugas dan wewenangnya dengan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

3. Mendorong penyelenggara negara untuk meningkatkan kompetensi dan integritas yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya.

4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggungjawab untuk memajukan dan mengutamakan kesejahteraan rakyat dengan mempertimbangkan hak asasi dan kewajiban warga negara.

5. Meningkatkan daya saing yang sehat dan tinggi bagi Indonesia baik secara regional maupun internasional, dengan cara menciptakan pasar bagi Indonesia yang inovatif dan efisien.

Asas-Asas Good public governance

KNKG (2006) menyebutkan bahwa setiap lembaga negara harus memastikan bahwa asas good public governance diterapkan dalam setiap aspek pelaksanaan fungsinya. Asas good public governance adalah demokrasi; transparansi; akuntabilitas; budaya hukum; Kewajaran dan Kesetaraan

(5)

Good Governance dan Whistleblowing System

Hazlina (2009) menyampaikan bahwa governance merupakan fase yang cukup fleksibel, hampir semua literatur memiliki sudut pandang yang berbeda dalam pengertian governance. Whistleblowing dapat dipergunakan sebagai jalan untuk memelihara dan meningkatkan integritas dengan mengucapkan yang sesungguhnya benar dan tidak benar. Sehingga sangat penting untuk memberikan definisi yang jelas terhadap whistleblowing sebagai komponen dari kebijakan organisasi yang membentuk good governance.

Private Sector Organization of Zamaica (PSOJ, 2005) menyatakan bahwa whistleblowing relevan dan memiliki peran penting dalam good governance. Disadari bahwa pihak pertama yang akan menyadari adanya pelanggaran adalah karyawan, bukan pimpinan atau direktur. Whistleblowing dapat berupa kewajiban ataupun kesukarelaan yang didasari oleh prinsip kesadaran bahwa mereka adalah pihak yang dirugikan, sehingga perlu untuk melakukan pengaduan.

Whistleblowing System

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Whistleblowing System sangat terkait erat dengan good governance. Whistleblowing System merupakan salah satu implementasi dari seluruh asas good public governance khususnya asas transparansi dan akuntabilitas. Bappenas (2007) bahkan mempertegas bahwa salah satu indikator Good public governance yaitu daya tanggap atau responsiveness dapat diwujudkan dengan adanya Whistleblowing System .

Whistleblowing System yang Ideal

Eaton and Akers (2007) menjelaskan mengapa whistleblowing System perlu untuk diterapkan. Berdasarkan riset yang dilakukan tahun 2006 di Amerika Serikat, lebih dari 600 miliar USD kerugian terjadi karena fraud, sehingga hal ini tidak bisa terus dibiarkan, harus dibentuk suatu sistem yang dapat meminimalkan terjadinya fraud, salah satunya dengan whistleblowing. PSOJ (2005) menegaskan bahwa budaya dan hukum merupakan hal yang penting dalam berjalannya whistleblowing System. Jika kedua hal tersebut dalam kondisi yang baik, maka akan lebih mudah untuk individu meningkatkan kepedulian terhadap tindak pidana korupsi dan tindakan ilegal.

(6)

Whistleblowing System di Indonesia

Dasar Hukum Whistleblowing System di Indonesia

Tiga peraturan tentang Whistleblowing System secara parsial terdapat antara lain pada UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme; UU No. 15 Tahun 2002 Jo. UU No. 25 Tahun 2005 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU No. 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption.

Dalam hal pelapor memandang membutuhkan perlindungan, maka pelapor dapat meminta bantuan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 Undang-Undang Nornor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PPATK, 2009).

Dasar Hukum Whistleblowing System di Sektor Pemerintah

Dalam penerapan whistleblowing system di sektor pemerintah di Indonesia terdapat beberapa hukum yang terkait, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif dan berfokus pada penerapan whistleblowing system di BPK RI. Metode pengungkapan data yang akan dilakukan yaitu:

(7)

Studi Literatur

Studi literatur yaitu pengumpulan bahan dan data dengan menggunakan literatur, buku, peraturan, pedoman dan sumber lain yang berhubungan dengan whistleblowing system, pengendalian internal serta good public governance. Pengumpulan bahan dan data dilakukan dengan membaca, mencatat, mengumpulkan serta menganalisa sumber bacaan.

Studi Lapangan

Penulis melakukan mengumpulkan data dengan melakukan observasi lapangan melalui wawancara serta metode lainnya. Wawancara akan dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perumusan dan pelaksanaan whistleblowing system di BPK RI yaitu: Bapak Sandi Indra Prasetya, SH., LLM. (kapala Sub Bidang III.B.2 pada Inspektorat Utama) selaku anggota tim perumus Keputusan Sekretaris Jenderal BPK RI No.507/K/X-XIII.2/12/2011 dan Ibu Selvia Vivi Devianti, S.E., M.Sc., Ak., MCP. (Kepala Bidang II.B pada Inspektorat Utama) salah satu petugas yang menangani laporan pengaduan.

Hasil dan Pembahasan

Whistleblowing System di BPK

Whistleblowing System di BPK mulai diberlakukan pada tahun 2012, yang diatur dalam Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 507/K/X-XIII.2/11/2011 tentang Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing ) di Lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan. adapun hal-hal yang berkaitan dengan penanganan pengaduan yang tertuang dalam Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 507/K/X-XIII.2/11/2011 mencakup teknis melaporkan pelanggaran; jenis pelanggaran; sarana pengaduan; penanganan pengaduan; hak-hak pelapor; penghentian pemeriksaan/pemeriksaan pendahuluan; dan konsekuensi tidak melaporkan. BPK merupakan salah satu instansi yang paling cepat mengimplementasikan Whistleblowing System di Indonesia setelah Kementerian Keuangan. Pegawai diberi kesempatan untuk melaporkan pelanggaran yang diketahuinya melalui saluran yang telah disediakan. Bahkan menyampaikan pengaduan atas terjadinya pelanggaran yang diketahuinya merupakan kewajiban. Pengaduan tersebut dapat disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk kemudian dikelola oleh Inspektorat Utama.

(8)

Sejak diterapkan pada tahun 2012, berdasarkan wawancara dengan Sandi Indra Prasetya dan Selvia Vivi Devianti diketahui beberapa kendala memang terjadi, tetapi kendala yang terjadi bukan dalam skala yang besar dan sampai mengganggu pelaksanaan whistleblowing system . Kendala yang terjadi masih terus diupayakan untuk dapat dikendalikan dan tidak berdambak buruk pada whistleblowing system. Kendala yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis kendala sebagai berikut:

Kendala Teknis dalam Pelaksanaan

Dalam penanganan pengaduan kendala teknis yang dihadapi adalah petugas/investigator mengalami kesulitan dalam proses penelusuran pengaduan untuk meminta informasi tambahan bila diperlukan maupun melakukan konfirmasi atas pengaduan yang disampaikan karena ketidakjelasan identitas pelapor.

Kurangnya Pemahaman atas Whistleblowing System

Kegiatan sosialisasi Whistleblowing System BPK yang masih dirasakan belum optimal dikarenakan jumlah pegawai BPK yang sangat banyak. Hal ini telah dicoba diatasi dengan mewajibkan peserta yang mengikuti kegiatan diseminasi langsung yang diselenggarakan oleh Inspektorat Utama untuk melakukan diseminasi kepada pegawai lainnya di satuan kerjanya masing-masing tetapi ternyata hal ini tidak berjalan dengan baik sesuai yang direncanakan. Masih banyak pegawai yang tidak memahami esensi dari whistleblowing system dan berpikiran negatif. Sepertinya pegawai masih menganggap bahwa sistem ini adalah politik adu domba antar pegawai yang dibuat oleh pimpinan, kemudian menimbulkan rasa curiga antar pegawai dan sebagainya.

Budaya Permisif

Budaya tidak mau mencampuri urusan orang lain, diam saja, tidak peduli, membiarkan orang lain melanggar, yang penting bukan saya, serta sungkan merupakan budaya yang lumrah, tidak hanya di BPK tetapi merupakan budaya kebanyakan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi kendala dalam pelaksanaan whistleblowing system karena orang yang melihat adanya pelanggaran akan sungkan, tidak mau mencampuri urusan orang lain atau tidak berani melaporkan pelanggaran tersebut. Padahal dengan diam berarti pihak tersebut secara tidak langsung mendukung terjadinya pelanggaran karena tidak berjalannya fungsi saling mengingatkan dan mengawasi. Tetapi memang seperti inilah karakter masyarakat Indonesia

(9)

pada khususnya dan Asia pada umumnya. Budaya tidak terbuka, sopan santun dan sebagainya.

Whistleblowing System di BPK dan Partisipasi Pegawai BPK

Persepsi pegawai terhadap Whistleblowing System sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini menjadi penting karena sebenarnya, selain pihak yang terlibat langsung dalam pelanggaran, pegawai BPK adalah pihak yang seharusnya memiliki informasi lebih banyak terkait dengan pelanggaran yang dilakukan rekan kerjanya karena mereka selalu berada di lingkungan kerjanya. Tetapi berdasarkan basil wawancara dengan salah satu pihak yang menangani pengaduan Ibu Selvia Vivi Devianti, beliau mengatakan bahwa resistensi dari pegawai belum bisa diketahui karena memang belum ada survey tersendri mengenai pemahaman pegawai BPK terhadap whistleblowing system. BPK juga belum pernah melakukan jajak pendapat menegnai apa feedback dari mereka terkait whistleblowing system yang ada di BPK. Namun Ibu Vivi menambahkan bahwa pegawai di BPK sendiri tidak terlepas dari sifat masyarakat Indonesia pada umumnya yang enggan untuk melaporkan pelanggaran.

Pengaruh Budaya dan Hukum terhadap Whistleblowing System BPK

Di Indonesia, sistem hukum menjadi masalah yang sangat penting. Karena saat ini penegakan hukum masih dirasa belum optimal. Di Indonesia para koruptor dapat keluar masuk penjara dengan mudahnya padahal masih dalam masa penahanan. Sehingga tidak ada efek jera yang mereka rasakan dan tidak ada rasa khawatir akan tertangkap. Misalnya saja seperti kasus Gayus Tambunan yang sempat diberitakan melihat acara pertandingan Tenis di Bali padahal seharusnya dia berada di dalam penjara. Sistem hukum seperti inilah yang seharusnya dibenahi.

Selain itu, budaya pegawai BPK juga diakui oleh Ibu Selvia Vivi Devianti sebagai salah satu hambatan dalam pelaksanaan whistleblowing system di BPK. Budaya pegawai BPK ini pada dasarnya mencerminkan budaya masyarakat Indonesia sebagai bangsa Asia yang permisif, seperti budaya "diam", "tidak peduli", “biarkan saja orang lain melanggar, yang penting bukan saya". Hal ini yang seharusnya diubah menjadi budaya korektif. Tetapi karena budaya adalah hal yang sangat melekat pada diri seseorang, tidak mudah untuk merubah hal tersebut.

(10)

Diperlukan upaya ekstra untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya budaya korektif. Dan hal ini yang masih harus terus dilakukan oleh BPK.

Analisis Peran Whistleblowing System dalam Mendukung Sistem Pengendalian Internal BPK Melalui whistleblowing system, seorang whistleblower dapat melaporkan dugaan pelanggaran atau tindak pidana Inspektorat Utama. Begitu mendapat laporan dari seorang whistleblower, Inspektorat Utama bertanggungjawab untuk memastikan apakah dugaan pelanggaran yang dilaporkan benar terjadi atau tidak. Untuk itu, Inspektorat Utama membentuk tim investigasi atau melakukan investigasi. Tim investigasi melakukan investigasi secara adil, termasuk terhadap orang yang dilaporkan. Hasil investigasi kemudian dilaporkan kepada Sekretaris Jenderal sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian untuk mengambil keputusan atau kebijakan terkait dugaan pelanggaran atau tindak pidana yang terjadi. Dari mekanisme pelaporan tersebut dapat dilihat bahwa whistleblowing system sangat mendukung sistem pengendalian internal di BPK.

Pengaruh Whistleblowing System terhadap Efektifitas Sistem Pengendalian Internal BPK memang masih belum dapat diketahui secara pasti. Hal ini dikarenakan tidak adanya data statistik mengenai pelaporan pelanggaran yang masuk selain itu juga memang belum pernah dilakukan evaluasi terhadap kebijakan whistleblowing system tersebut. Selain itu juga tidak diketahui apakah sebenarnya pegawai sudah mengetahui dan memahami whistleblowing system yang diterapkan di BPK.

Whsitleblowing System sebagai Implementasi GPG

Badan Pemeriksa Keuangan telah melakukan langkah-langkah nyata dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good public governance) dengan menerapkan asas-asas good public goevernance. Salah satu langkah lainnya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan kegiatan dan kebijakan untuk membangun sistem kepatuhan internal yang baik, yaitu dengan mengembangkan Whistleblowing System BPK melalui penerbitan keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 507/K/X-XIII.2/11/2011 bada tanggal 8 Desember 2011 tentang penanganan pelaporan pelanggaran (whistleblowing) di lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan.

(11)

Bidang Inspektorat III pada Inspektorat Jenderal BPK yang merupakan salah satu perumus keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 507/K/X-XIII.2/11/2011, disampaikan bahwa good public governance ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan Stakeholder seperti DPR, DPRD, Pihak Auditee, dan masyarakat pada umumnya. Dengan menerapkan asas-asas good public governance ini, BPK diharapkan dapat secara optimal menjalankan tugasnya dalam menilai penggelolaan keuangan negara dengan profesional dan independen.

Para pimpinan di BPK juga telah berkomitmen untuk menyatukan langkah dalam melaksanakan program reformasi BPK dalam rangka melaksanakan tugas memeriksa pengelolaan keuangan negara yang secara nyata telah diwujdkan dengan penandatanganan pakta integritas dan kontrak kinerja yang secara rinci memuat target dan capaian kinerjanya.

Whistleblowing System di BPK dan Penyelenggaraan Good public governance

Whistleblowing system sangat terkait erat dengan good governance. Hubungan antara Whistleblowing system dan karakteristik yang harus melekat pada penyelenggaraan good public governance yang diasampaikan Daniri (2008) dapat dilihat sebagai berikut:

1. Praktek good public governance harus memberi ruang kepada pihak diluar penyelenggara negara untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara mereka. Hal ini sebenarnya tidak diatur dalam whistleblowing system. Ketentuan dalam Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 507/K/X-XIII.2/11/2011 hanya mengatur internal BPK saja, sedangkan bagian masyarakat luar yang ingin melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai BPK, maka dapat melalui Biro Humas BPK RI.

2. Dalam praktek good public governance terkandung nilai-nilai yang membuat penyelenggara negara, pelaku usaha maupun masyakarat pada umumnya dapat lebih efektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Apabila Whistleblowing System di BPK berjalan dengan baik, serta kerja sama dari berbagai pihak untuk mewujudkannya terlaksana secara optimal, maka pada akhirnya akan membuat kinerja dan efektivitas BPK meningkat, karena tidak ada lagi pelanggaran baik dalam kode etik maupun pelanggaran seperti tindak pidana korupsi. Hal inilah yang diharapkan dari penerapan whistleblowing system, yaitu dapat mencegah dan mengurangi pelanggaran yang terjadi sehingga akhirnya dapat mengantarkan BPK pada suatu kondisi dimana

(12)

pegawai BPK tidak perlu lagi melaporkan suatu pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai BPK karena memang tidak ada lagi pelanggaran yang dapat dilaporkan karena budaya BPK telah menjadi budaya transparan dan malu melakukan pelanggaran yang akhirnya tentu saja berimbas pada kinerja BPK.

3. Praktek good public governance adalah praktek penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu praktek penyelenggaraan negara dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, budaya hukum, dan akuntabilitas publik. BPK melalui whistleblowing system yang diterapkannya, telah menunjukkan keseriusan dan komitmen BPK dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Dengan meningkatnya standar dan perbaikan kontrol untuk efektifitas dan kemajuan organisasi BPK, maka peran penting dari whistleblowing system menjadi semakin jelas dalam menunjang pelaksanaan good public governance di BPK. Dengan adanya saluran untuk pegawai menyampaikan laporan mereka maka dapat diketahui bahwa komitmen BPK dalam menjunjung tinggi nilai-nilai dasar BPK sangat kuat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Whistleblowing system yang telah ditetapkan BPK, hampir memenuhi semua unsur dalam pedoman dan literature. Whistleblowing System yang dijelaskan oleh Teen (2005), KNKG (2008) dan LPSK (2011). Unsur-unsur tersebut terpenuhi dalam segi regulasi melalui Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 507/K/X-XIII.2/11/2011. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa hal yang belum sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 507/K/X-XIII.2/11 yaitu Satgas dan Helpdesk. Dalam pelaksanaannya, BPK masih belum memiliki Standard Operating Procedure (SOP) mengenai tata cara penanganan pengaduan. Kegiatan penanganan pengaduan yang dilakukan masih berdasarkan kegiatan pemeriksaan yang biasa dilaksanakan oleh Inspektorat Utama. Seluruh tahapan dalam proses whistleblowing mulai dari pelaporan sampai pemeriksaan investigasi dilakukan oleh Inspektorat Utama.

(13)

2. Whistleblowing system yang diterapkan BPK sangat mendukung sistem pengendalian internal di BPK. Dari 5 komponen pengendalian internal COSO framework, whistleblowing system BPK merupakan pendukung komponen dari COSO framework yaitu lingkungan pengendalian, penilaian resiko, aktifitas pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan. Namun belum dapat diketahui seberapa jauh pengaruh whistleblowing system terhadap efektifitas sistem pengendalian internal BPK. Evaluasi pengaruh whistleblowing system terhadap efektifitas sistem pengendalian internal belum dapat dilakukan karena BPK juga belum pernah melakukan suatu pengukuran terhadap tingkat keberhasilan pengaruh whistleblowing system di BPK.

3. Whistleblowing system yang diterapkan BPK merupakan salah satu pendukung terwujudnya good public governance di BPK. Secara langsung, whistleblowing system mendukung terwujudnya salah satu asas Good public governance yang dijelaskan oleh Bappenas (2007) yaitu asas akuntabilitas. whistleblowing system membantu Inspektorat Utama mengawasi kegiaan yang dilakukan di BPK agar sesuai dengan standar dan aturan yang telah ditetapkan.

Saran

1. Menyempurnakan tata cara pelaksanaan penanganan pengaduan dan mengatur lebih detail mengenai tata cara pemberian perlindungan terhadap pelapor dan pemberian penghargaan.

2. Segera membentuk unsur-unsur yang ditetapkan dalam KeputusanSekretaris Jenderal Nomor 507/K/X-XIII.2/11/2011 yakni unsur Satgas dan helpdesk karena hal ini merupakan mandat dari Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 507/K/X-XIII.2/11/2011 untuk mengurangi gangguan terhadap profesionalitas dan independensi.

3. Melakukan sosialisasi massive terkait kebijakan Whistleblowing System tidak hanya bagi pegawai tetapi juga bagi masyarakat atau entitas terperiksa.

4. Melakukan pemisahan fungsi perlindungan pelapor dan investigasi dalam Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 507/K/X-XIII.2/11/2011.

5. Melakukan koordinasi dengan instansi lainnya sehingga diharapkan kerjasama ini akan mampu memberikan nilai tambah dan perbaikan whistleblowing system di BPK.

(14)

Daftar Referensi

Eaton- Tim V. & Akers, Michael D. (2002). Whistleblowing and Good Governance: Policies for Universities, Government Entities and Nonprofit Organization. The CPA Journal; Jun 2007; 77, 6; ProQuest pg. 66

Hazlina. (2009). Whistleblowing And Corporate Governance: Accidental Allies Or Lifetime Partners?. International Conference on Corporate Law (ICCL) 2009 1st 3rd June 2009, Surabaya, Indonesia: 2-10

Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). Pedoman Umum Good Corporate Governance. KNKG

Komite Nasional Kebijakan Governance. (2009). Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP) Whistleblowing System. Pedoman Umum Good Public Governance. KNKG. Peraturan BPK No.2 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan (mencabut

ketentuan peraturan no.2 tahun 2007)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik. (2007). Indikator Good Public Governance-Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik. Bappenas: 1-29

Teen, Mak Yuan. (2005). Whistleblowing: Recent Developments And Implementation Issues. International Financial Corporation World Bank Grou: 3-17

The Corporate Governance Committee of The Private Sector Organisation of Jamaica. (2005). Corporate Governance and Whistleblowing. PSOJ

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

www.bpk.go.id www.sisdm.bpk.go.id www.siska.bpk.go.id

Referensi

Dokumen terkait

Kuadran IV adalah bank syariah yang memiliki tingkat efisiensi tinggi dan memiliki tingkat produktivitas yang baik, sehingga bank yang masuk ke kuadran ini

Yogyakarta untuk periode yang berakhir tanggal 31 Desember 2020 mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan,

Capaian kinerja ini merupakan hasil dari kerja keras dan komitmen seluruh aparat Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan serta pihak terkait lainnya dalam rangka

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa kinerja BPD dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan Di Desa saat ini

Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi serta tugas studi di Program Studi Akuntansi

batu kecil minimum 0,5 m, sedangkan antara batu besar kurang lebih 1,0 m. Jarak antar batu kecil minimum 0,5 m, sedangkan antara batu besar kurang lebih 1 m.. Kelas 6: batuan

Pemohon mengajukan permohonan perpanjangan KITAP ke-2 tanggal 26 Februari 2004 sehingga overstay selama 2 tahun 3 bulan atau lebih dari 60 hari. Atas keterlambatan

06 PMP ini dimaksudkan untuk digunakan sebagai panduan oleh BPK dan pelaksananya dalam mengelola (manage) pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang