PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS GAYA BELAJAR
SISWA (VISUAL) UNTUK MEREMEDIASI MISKONSEPSI PADA MATERI REAKSI
REDOKS
THE DEVELOPMENT OF THEACHING MATERIAL’S BASED ON STUDENT
LEARNING STYLES (VISUAL) TO REMEDIATE REDOX REACTION CONCEPT’S
MISCONCEPTION
Ratih Yuniastri dan Yuni Sri Rahayu
Program Studi Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Jl. Ketintang Surabaya (60231)
Email :[email protected]
Abstrak.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kelayakan perangkat pembelajaran
berbasis gaya belajar siswa (visual), yang diejawantahkan dalam LKS yang dapat meremediasi
miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks. Perangkat pembelajaran terdiri atas silabus, RPP, LKS
dan three-tier diagnostic test. Responden penelitian adalah siswa kelas X MIA 8, X MIA 7, dan X MIA 6
SMA Negeri 1 Sumenep yang memiliki gaya belajar visual. Peneliti telah mengikuti prosedur sesuai
pedoman sistematis dalam pengembangan perangkat pembelajaran, pengujian, dan evaluasi agar
menghasilkan perangkat pembelajaran yang telah tervalidasi. Data yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif dan inferensial, yaitu uji Kruskall-Wallis untuk melihat kesamaan persepsi pengamat terhadap
keterlaksanaan pembelajaran remediasi dan uji Wilcoxon untuk melihat pengaruh pembelajaran
remediasi terhadap pergeseran miskonsepsi. Hasil penelitian: (1) perangkat pembelajaran yang telah
dikembangkan layak digunakan dalam pembelajaran di kelas, (2) keterlaksanaan perangkat
pembelajaran di ketiga kelas mendapat penilaian sangat baik dan (3) perangkat pembelajaran yang
dikembangkan berhasil meningkatkan pemahaman konsep siswa dan penggeseran miskonsepsi siswa
menjadi tahu konsep di ketiga kelas yang diujikan.
Kata kunci: gaya belajar, perangkat pembelajaran, miskonsepsi, konsep reaksi redoks.
Abstract. This study aimed to describe the feasibility of teaching material’s based on student learning
styles(visual), that manifested into student’s worksheet which remediate student’s misconception in redox
reaction concept’s. The teaching materials consist of syllabus, lesson plan, student’s worksheet, and
three-tier diagnostic test. Research object are students from X MIA 8, X MIA 7, and X MIA 6 of SMAN 1
Sumenep with visual learning styles. Reseacher follows procedure sistematically when developed the
teaching material, test, and evaluation in order to produce qualified teaching material. Data was
analysed by descriptive and inferential technique. Inferential technique consist of Kruskall-Wallis test to
examine observer’s perception toward implementation of remediation learning similarity and Wilcoxon
Signed test to examine remediation learning influence toward student’s misconception shift. The result
were: (1) the teaching material was compatible for learning in class, (2) the implementation of teaching
material have a good judgement in three different classes and (3) teaching material is successfully
developed, it successfully increased student’s understanding and their misconception shift to be knew
concept in the three classes.
PENDAHULUAN
Suyono dkk. (2013) telah menerapkan
berbagai strategi pembelajaran yang berbasis
inkuiri untuk prevensi miskonsepsi dan model
pembelajaran yang berbasis conceptual change
untuk meremediasi miskonsepsi pada materi
kimia. Fakta empiris dari penelitian tersebut,
diperoleh bahwa di akhir program terjadi
pengurangan jumlah siswa yang mengalami
miskonsepsi. Fakta lain yang terungkap melalui
penelitian itu adalah masih terdapat
konsep-konsep kimia yang dipahami secara miskonsep-konsepsi
oleh siswa, artinya terdapat sejumlah siswa yang
masih mengemban miskonsepsi. Hal yang sama
juga dilaporkan oleh Subagyo (2014) dan
Mualifah (2013) bahwa penerapan pembelajaran
prevensi
dan
pembelajaran
remediasi
miskonsepsi yang telah dilakukan ternyata masih
menyisakan 8% dan 3% siswa miskonsepsi.
Hastuti dalam penelitiannya juga menjelaskan
bahwa pembelajaran prevensi dan pembelajaran
remediasi pada konsep reaksi redoks masih
menyisakan 3% siswa miskonsepsi. Osterlund
and
Ekborg
(2009)
menjelaskan
dalam
penelitiannya bahwa siswa mengalami kesulitan
dalam memahami konsep-konsep dalam reaksi
redoks
sehingga
menyebabkan
terjadinya
miskonsepsi.
Idealnya,
penerapan
model
pembelajaran
prevensi
dan
remediasi
miskonsepsi tidak lagi menyisakan siswa yang
miskonsepsi. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat
kesenjangan
antara
hasil
yang
diharapkan dengan fakta yang diperoleh,
sehingga memerlukan kajian lebih lanjut.
Kesenjangan
terjadi
dimungkinkan
karena implementasi model pembelajaran yang
digunakan untuk meremediasi siswa belum
memperhatikan karakteristik siswa. Suparno
(2005) menjelaskan bahwa faktor penyebab
miskonsepsi dapat bersumber dari guru, buku
(bahan
ajar),
metode/model/strategi
pembelajaran, dan faktor internal siswa. Faktor
penyebab miskonsepsi yang bersumber pada
faktor internal siswa di antaranya gaya belajar
(Aryungga, 2014; Abosalem, 2013; Sen &
Yilmaz, 2012), model mental yang dimiliki
siswa (Bao & Redish, 2011; Verawahyuni,
2015), dan tingkat konflik kognitif siswa saat
dilakukan conceptual change (Kang et al., 2004;
Lee et al., 2003). Perbaikan miskonsepsi
nampaknya harus memperhatikan karakteristik
individual, salah satunya adalah gaya belajar
siswa (Aryungga, 2014; Abosalem, 2013; Sen &
Yilmaz, 2012). Kajian dalam penelitian ini
dibatasi pada gaya belajar siswa.
Learning style (gaya belajar) adalah cara
khas seseorang dalam learning dan studying
(Woolfolk, 2009). Menurut Sen dan Yilmaz
(2012), pengungkapan gaya belajar siswa
menjadi hal penting untuk diperhatikan, baik
dalam hal penyebab terjadinya miskonsepsi dan
penyembuhan miskonsepsi itu sendiri. Felder
(1993) mengemukakan bahwa siswa yang
memiliki gaya belajar sesuai dengan gaya
pengajaran cenderung menyimpan informasi
lebih lama, menerapkannya secara lebih efektif,
dan memiliki sikap yang lebih positif terhadap
subjek
daripada
siswa
yang
mengalami
ketidaksesuaian gaya belajar dengan gaya
pengajar. Felder (1993) membagi gaya belajar
ke dalam 4 dimensi, yaitu dimensi persepsi
(sensing-intuitive), dimensi input(visual-verbal),
dimensi
pemrosesan(active-reflective),
dan
dimensi pemahaman(sequential-global).
Hasil
penelitian
Aryungga
(2014)
menunjukkan bahwa dimensi input gaya belajar
siswa memiliki hubungan yang signifikan
terhadap resistensi miskonsepsi siswa pada
konsep kimia. Fakta empiris dari penelitian
tersebut diperoleh bahwa siswa yang mengalami
miskonsepsi sekitar 59% memiliki gaya belajar
visual-verbal seimbang pada dimensi input. Hal
ini
menuntut
guru
untuk
memberikan
pemahaman kepada siswa dalam bentuk
tampilan
visual
disertai
bacaan
ataupun
penjelasan verbal pada materi yang diajarkan.
Pengetahuan atas karakteristik yang
khas dari gaya belajar ini dapat dimanfaatkan
untuk
mempertimbangkan remediasi
yang
dirancang secara khusus. Lembar Kegiatan
Siswa (LKS)merupakan salah satu alat yang
dapat
digunakan
untuk
meremediasi
miskonsepsi (Chong et al., 2013). Hal ini
dikarenakan dalam LKS terdapat sejumlah
aktivitas
siswa
yang
akan
membantu
pemahaman konsep siswa, seperti memuat
berbagai
tingkatan
ilmu
dalam
kimia
(makroskopik, submikroskopik, dan simbolik),
pembelajaran
penemuan
yang
dilengkapi
kegiatan praktikum, dan penggunaan ICT.
Aktivitas tersebut memungkinkan terjadinya
conceptual change dalam rangka memperbaiki
pemahaman konsep siswa.
Aryungga (2014) dalam penelitiannya
menyarankan
pembuatan
perangkat
pembelajaran yang memuat fakta-fakta serta
konsep-konsep abstrak yang dikemas dalam
bentuk tampilan visual, disertai kegiatan
praktikum dan disajikan secara runut selama
proses
pembelajaran
dapat
membantu
pemahaman
konsep
siswa
secara
benar.
Berdasarkan saran tersebut, peneliti bermaksud
mengembangkan
perangkat
pembelajaran
berbasis gaya belajar visual. Strategi yang
digunakan adalah conceptual change sesuai
yang disarankan Taslidere (2013); Muammer
(2008) dan gaya belajar ini diejawantahkan
dalam sebuah Lembar Kegiatan Siswa (LKS).
Strategi conceptual change dapat digunakan
untuk mengubah konsepsi siswa menjadi konsep
yang benar dengan melakukan asimilasi dan
akomodasi informasi baru ke dalam kerangka
konsep yang dimiliki siswa (Ibrahim, 2012).
Perangkat pembelajaran yang dikembangkan
berdasarkan gaya belajar ini, yang di dalamnya
memuat berbagai aktivitas siswa, diharapkan
dapat melatih kemampuan representasi kimia
siswa sehingga dapat menunjang pembelajaran
dan
dapat
digunakan
untuk
remediasi
miskonsepsi.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini dapat digolongkan
dalam penelitian pengembangan, karena dalam
penelitian
ini
dikembangkan
perangkat
pembelajaran berbasis gaya belajar siswa yang
diejawantahkan di dalam LKS, yang selanjutnya
akan digunakan untuk meremediasi miskonsepsi
dan
datanya
dianalisis
secara
deskriptif
kuantitatif. LKS yang dikembangkan berbasis
gaya belajar (dimensi input) digunakan untuk
mendukung
pembelajaran
remediasi
menggunakan strategi conceptual change. LKS
ini adalah salah satu bagian dari totalitas
perangkat
pembelajaran
KD
menganalisis
perkembangan konsep reaksi oksidasi-reduksi
serta menentukan bilangan oksidasi atom dalam
molekul atau ion di kelas X semester genap.
Desain penelitian ini menggunakan rancangan
One group Pretest-Posttest Design. Sasaran
penelitian ini adalah siswa kelas X MIA 8
dengan replikasi tindakan diberlakukan terhadap
siswa di kelas X MIA 7 dan X MIA 6.
Teknik
pengumpulan
data
yang
dilakukan, antara lain: (1) tes, yaitu tes gaya
belajar yang dikembangkan berdasar Felder
(1993) dan tes pemahaman konsep berupa
three-tier diagnostic test yang diadopsi dari Arslan et
al. (2012) dengan kriteria sesuai pada Tabel 1;
(2) non tes, yaitu validasi, observasi dan
dokumentasi.
Teknik analisisdata yang digunakan
adalah analisis deskriptif kuantitatif-kualitatif
dan teknik inferensial dengan menggunakan
Kruskal-Wallis
Test
untuk
keterlaksanaan
pembelajaran, Wilcoxon’s Signed Rank Test
untuk pola pergeseran miskonsepsi.
Tabel 1 Kriteria Pengelompokan Konsepsi Siswa Berdasarkan Three-tierDiagnostic Test
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dibahas meliputi
kelayakan
perangkat
pembelajaran
dan
instrumen tes, profil konsepsi siswa sebelum
pembelajaran
remediasi,
keterlaksanaan
pembelajaran, pemehaman konsep siswa dan
pergeseran miskonsepsi siswa.
A. Kelayakan Perangkat Pembelajaran dan
Instrumen Tes
Konstruksi
perangkat
pembelajaran
dimulai dengan pemilihan KD. Penentuan KD,
kemudian diterjemahkan ke dalam perilaku
operasional dalam bentuk perumusan indikator.
Seperti diketahui perangkat pembelajaran yang
dikembangkan dimaksudkan untuk mendukung
pelaksanaan
pembelajaran
remediasi
miskonsepsi. Remediasi miskonsepsi siswa
didasarkan kepada langkah-langkah conceptual
change, yang juga memberikan perhatian kepada
gaya belajar siswa (dalam penelitian ini dibatasi
pada gaya belajar visual). Silabus dan RPP yang
dikembangkan mengikuti pentahapan strategi
conceptual change. LKS dikembangkan berbasis
pada gaya belajar siswa, yaitu LKS visual..
Lembar penilaian yang dikembangkan adalah tes
pemahaman
konsep
redoks.
Butir
tes
pemahaman konsep ditulis berdasar hasil
analisis konsep yang meliputi elemen-elemen
nama konsep, definisi konsep, ciri-ciri dan
contoh noncontoh konsep. Setiap perangkat
telah ditelaah oleh dua dosen pembimbing dan
divalidasi oleh empat orang expert dari bidang
pembelajaran
kimia.
Validasi
perangkat
pembelajaran untuk remediasi miskonsepsi
meliputi validasi silabus, RPP, dan LKS.
Hasil penilaian silabus oleh expert untuk
setiap aspek yang menggambarkan validitas
konstruk memperoleh skor antara 87,50%
sampai 100%. Skor ini menurut Riduwan (2007)
berkategori sangat layak, artinya silabus telah
memenuhi validitas konstruk dan memiliki
relevansi terhadap variabel yang ingin diukur.
Silabus
yang
telah
dikembangkan
dapat
digunakan sebagai acuan penyusunan rencana
pembelajaran (RPP), karena dalam silabus telah
memuat rencana pembelajaran jangka panjang
pada suatu kelompok mata pelajaran tertentu,
seperti yang telah dijelaskan Suyono (2015).
Berdasar uraian tersebut, peneliti berketetapan
bahwa: (1) penilaian sangat layak adalah
kategori penilaian yang dapat digunakan untuk
memutuskan silabus telah memenuhi syarat
validitas
konstruk,
(2)
silabus
yang
dikembangkan telah memenuhi batas-batas
kelayakan untuk digunakan dalam pembelajaran
remediasi di kelas.
Pengembangan RPP telah disesuaikan
dengan Kurikulum 2013 dan Permendikbud
Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum
bagian
Pedoman
Umum
Pembelajaran (Lampiran IV). Upaya remediasi
miskonsepsi sesuai yang disarankan Danielson
(2013) bahwa guru hendaknya melakukan suatu
kegiatan penyadaran terhadap miskonsepsi yang
mungkin dialami siswa, maka pembelajaran
remediasi dilakukan menggunakan strategi
conceptual change. Ibrahim (2012); Suyono
(2014); Muammer (2008) menyatakan bahwa
strategi conceptual change dapat digunakan
untuk meremediasi miskonsepsi yang terjadi
pada siswa. Siswa diharapkan mengubah
konsepsinya tentang suatu konsep dengan
melakukan
restrukturisasi
dan
asimilasi
informasi baru ke dalam kerangka konsep yang
telah dimiliki melalui strategi ini. Hasil validasi
RPP oleh expert untuk setiap aspek yang
menggambarkan validitas konstruk memperoleh
skor antara 81,25% sampai 100% dengan
kategori sangat layak, artinya RPP telah
memenuhi validitas konstruk dan memiliki
relevansi terhadap variabel yang hendak diukur
(Riduwan, 2007). RPP yang telah dikembangkan
dapat dipergunakan sebagai panduan pengajaran
oleh guru, karena telah menggambarkan
deskripsi
terperinci
langkah-langkah
pembelajaran yang disusun oleh guru bagi suatu
pembelajaran tunggal seperti yang dijelaskan
oleh Suyono (2015). Berdasar uraian tersebut,
peneliti berketetapan bahwa: (1) penilaian sangat
layak merupakan kategori penilaian yang
digunakan untuk memutuskan RPP telah
memenuhi syarat validitas konstruk, (2) RPP
telah memenuhi batas-batas kelayakan untuk
digunakan dalampembelajaran remedial di kelas.
LKS untuk meremediasi miskonsepsi
siswa, dikembangkan berdasar pada kebutuhan
gaya belajar visual. Penilaian hasilvalidasioleh
expert yang menggambarkan validitas konstruk
LKSmendapatkriteriasangatlayak,
artinya
memiliki relevansi terhadap variabel yang
hendak diukur.Hal ini menandakan LKS yang
telah dikembangkandapat digunakan sebagai
petunjuk dalam menyelesaikan tugas-tugas yang
disajikan guru, karena telah memuat serangkaian
kegiatan mendasar yang harus dilakukan oleh
siswa
untuk
memaksimalkan
pemahaman
konsep dalam upaya remediasi konsep yang
masih dipahami secara miskonsepsi oleh siswa.
Kegiatan
dalam
LKS
juga
memberikesempatankepadasiswauntukberlatihm
engungkapkan pemahaman siswa yang masih
salah,membuktikankebenarankonsepdenganmela
kukaneksperimen/pengamatan,
danmembenarkan konsep yang salah sesuai
proses asimilasi dan akomodasi yang dialami
siswa. Kegiatan dalam LKS melibatkan siswa
secara aktif dalam pembelajaran seperti yang
telah disarankan Danielson (2013). Hal ini
sejalan dengan yang diungkapkan Chong et al.
(2013). Berdasar uraian tersebut, peneliti
berketetapan bahwa: (1) penilaian sangat layak
yang
dieroleh
dapat
digunakan
untuk
memutuskan LKS telah memenuhi syarat
validitas konstruk, (2) LKS yang dikembangkan
telah memenuhi batas-batas kelayakan untuk
digunakan dalam pembelajaran remedial di
kelas.
Validitas isi perangkat pembelajaran
ditetapkan berdasar hasil penilaian expert atas
ada atau tidak adanya isi atau konsep salah
dalam
kalimat
penyusun
perangkat
pembelajaran. Hasil validasi menunjukkan
bahwa tidak ditemukannya catatan tertulis oleh
validator yang mengarah pada simpulan adanya
konsep-konsep yang salah dan ketidaklugasan
kalimat yang digunakan, baik dalam silabus,
RPP maupun LKS. Terdapat catatan validator
mengenai kalimat yang digunakan dalam LKS
dan perbaikan-perbaikan atas kelugasan kalimat
yang digunakan telah dilakukan sesuai saran
validator. Bahasa atau kalimat yang digunakan
dalam LKS telah disesuaikan dengan tingkat
perkembangan siswa dan mudah dipahami,
sesuai yang disarankan oleh Danielson (2013).
Berdasar uraian tersebut, peneliti berketetapan
bahwa: (1) perangkat pembelajaran remediasi
yang terdiri atas silabus, RPP dan LKS yang
dikembangkan peneliti telah memenuhi syarat
validitas isi, (2) uraian kegiatan pembelajaran
dalam
perangkat
pembelajaran
tidak
mengandung banyak kesalahan baik isi maupun
konsep, (3) tanggung jawab peneliti untuk selalu
melakukan
perbaikan
atas
kesalahan
penggunaan
kalimat
dalam
perangkat
pembelajaran telah peneliti perbaiki mengikuti
masukan validator dan arahan dari pembimbing.
Uraian mengenai validasi perangkat
pembelajaran di atas menunjukkan bahwa
perangkat pembelajaran yang dikembangkan
telah memenuhi validitas teoritis dan layak
digunakan dalam pembelajaran untuk mereduksi
miskonsepsi di kelas.
Pengembangan
perangkat
penelitian
selanjutnya adalah tes pemahaman konsep.
Penyusunan indikator soal tes pemahaman
konsep didasarkan pada analisis konsep yang
dibuat peneliti sesuai yang disarankan Frayer
(1969). Tes ini dikembangkan menggunakan
three-tier diagnostic test (Pesman dan Eryilmaz,
2010 & Dindar dan Geban, 2011). Tes ini
ditujukan untuk mengidentifikasi miskonsepsi
siswa pada materi reaksi redoks. Validasi tes
meliputi validasi oleh expert judgementmeliputi
validasi konstruksi, validasi isi dan kelugasan
kalimat yang digunakandan validasi empiris.
Hasil validitas konstruk setiap item soal
memperoleh skor 90% sampai 95% dengan
kategori valid (Arikunto, 1998). Hal ini
menandakan butir-butir soal tes pemahaman
konsep telah memenuhi validitas konstruk,
artinya instrumen yang dikembangkan dapat
digunakan untuk mengukur miskonsepsi siswa
berdasar indikator konsep yang hendak diukur,
dalam hal ini menyangkut nama konsep, definisi
konsep, ciri-ciri konsep, contoh dan non contoh
terkait reaksi redoks. Berdasar uraian tersebut,
peneliti berketetapan bahwa: (1) penilaian valid
adalah
kategori
yang
digunakan
untuk
memutuskan instrumen telah memenuhi syarat
validitas konstruk, (2) instrumen tes telah
memenuhi batas-batas kelayakan untuk dapat
digunakan
dalam
mengukur
kedalaman
pemahaman konsep siswa.
Menurut keempat validator, instrumen
tes pemahaman konsep yang dikembangkan
telah memenuhi validitas isi karena tidak
ditemukan catatan validator yang mengarah pada
simpulan adanya kesalahan konsep. Artinya,
butir-butir soal dalam tes telah mampu mewakili
secara keseluruhan dan proporsional perilaku
sampel yang dikenai tes (Matondang, 2009).
Menurut validator, kalimat yang digunakan
dalam tes pemahaman konsep sederhana, lugas,
tidak berbelit-belit. Berdasar uraian tersebut,
peneliti berketetapan bahwa instrumen tes
pemahaman konsep telah memenuhi persyaratan
validitas isi dan persyaratan dari segi kelugasan
kalimat dan tata tulis.
Hasil prauji coba tes menggunakan
korelasi biserial product moment (r) dapat
dilaporkan 20 soal tes pemahaman konsep
dinyatakan valid, dengan nilai korelasi (r)
masing-masing butir soal >nilai kritis korelasi
biserial (r
tabel). Koefisien korelasi yang tinggi
antara skor butir soal dengan skor total
mencerminkan tingginya konsistensi antara hasil
ukur keseluruhan tes dengan hasil ukur butir tes
atau butir tes tersebut konvergen dengan
butir-butir lain dalam mengukur suatu konsep atau
konstruk yang hendak diukur (Matondang,
2009). Reliabilitas soal tes pemahaman konsep
dihitung
menggunakan
alpha
cronbach
menggunakan
program
SPSS.
Hasil
uji
reliabilitas diperoleh nilai alpha cronbach >
0,902. Artinya soal tes pemahaman konsep dapat
dikatakan reliabel. Instrumen yang baik menurut
Arikunto (2002) adalah instrumen yang telah
memenuhi syarat validitas dan reliabilitas.
Berdasar uraian di atas, peneliti berketetapan
bahwa: (1) instrumen tes pemahaman konsep
telah memenuhi validitas teoritis, (2) instrumen
tes juga telah memenuhi syarat validitas empiris
dan reliabilitas, (3) butir-butir soal yang
membangun tes pemahaman konsep dapat
digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa.
Tes pemahaman konsep yang telah tervalidasi
selanjutnya digunakan di kelas, yaitu pada siswa
responden. Pelaksanaan tes pemahaman konsep
dilakukan di luar jam pelajaran.
B. Profil Konsepsi Siswa Sebelum
Pembelajaran Remediasi
Berdasarkan
hasil
tes
pemahaman
konsep, semua siswa-siswa gaya belajar visual
yang berasal dari ketiga kelas (X MIA 8, X MIA
7 dan X MIA 6) mengalami miskonsepsi yang
menyebar pada sebagian butir soal yang
diujikan.
Kondisi
ini
sebenarnya
masih
merupakan gambaran yang wajar, walaupun
siswa telah mengikuti pembelajaran konsep
reaksi redoks menggunakan model inkuiri
terbimbing. Suparno (2012) menyatakan siswa
memiliki kecepatan yang berbeda-beda dalam
mengkonstruksi pengetahuannya. Tabor (dalam
Horton, 2004) juga menyatakan bahwa ada
sebagian siswa
yang tidak
membongkar
prakonsepsinya,
melainkan
memilih
menambahkan pemikiran baru, sehingga pada
akhirnya mengakibatkan kebingungan dan
pemahaman yang buruk. Tuntutan proses
pembelajaran student centered yang saat ini
sedang digalakkan (dalam hal ini pembelajaran
inkuiri)
menghendaki
siswa
aktif
dalam
mengkonstruksi
pengetahuannya
tersebut,
khususnya dalam ranah kognitif (Suparno,
1997).
X MIA 8 X MIA 7 X MIA 6
Gambar 1 Diagram Batang Konsepsi Kelompok Siswa Gaya Belajar Visual Sebelum Pembelajaran Remediasi pada Setiap Konsep.
Keterangan:
MK1 MK2 MK3 TK TTK
Perbedaan kecepatan dan keaktifan
siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya
menyebabkan siswa memiliki TK, TTK, MK1,
MK2, dan MK3 yang menyebar pada seluruh
konsep, walaupun jumlah siswa TK telah
mendominasi. Data yang menunjukkan dominasi
siswa
TK
memberikan
simpulan
bahwa
pembelajaran model inkuiri terbimbing berhasil
meningkatkan pemahaman konsep siswa pada
konsep reaksi redoks yang ditujukan untuk
mencegah
terjadinya
miskonsepsi
siswa.
Kenyataan
ini
didukung
oleh
penelitian
Barthlow (2011) yang melaporkan bahwa
pembelajaran
dengan
model
inkuiri
termbimbing berhasil mengurangi jumlah siswa
dengan alternatif konsepsi sebesar 14,8% lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
pembelajaran
konvensional.
Profil konsepsi siswa memberikan hasil
bahwa keberhasilan pemahaman konsep reaksi
redoks siswa
gaya belajar visual
telah
memahami konsep reaksi redoks mencapai 65%
di kelas X MIA 8, 67% di X MIA 7, dan 56% di
X MIA 6. Kenyataan ini dapat dijelaskan karena
siswa telah dilibatkan dalam suatu pembelajaran
inkuiri terbimbing, yang merupakan salah satu
pembelajaran student centered. Siswa dilibatkan
secara aktif dan dituntut untuk menggali
informasi untuk memahami suatu konsep
melalui fenomena yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari yang sesuai dengan konsep yang
dipelajari, sehingga fenomena tersebut dapat
dijelaskan secara konseptual. Selama proses ini
siswa mengaitkan pengetahuan sebelumnya ke
dalam materi yang sedang dipelajari dan
mengkonstruksi
pengetahuannya
sendiri.
Persentase beban TK siswa yang melebihi
persentase beban
MK dan
TTK siswa
disebabkan
karena
siswa
telah
berhasil
mengkonstruksi
pengetahuannya
sendiri,
khususnya pengetahuan fisis dan
logiko-matematisnya. Pengetahuan ini dibentuk dengan
mengaitkan
pengetahuan
sebelumnya
(pengetahuan prasyarat) dengan konsep reaksi
redoks yang telah dipelajarinya, dengan kata lain
siswa berhasil melaksanakan proses asimilasi
dalam skema pengetahuannya (Suparno, 2001).
Ditemukannya siswa dengan beban TTK
dikarenakan konstruksi pengetahuan yang belum
tercapai atau dapat pula disebabkan kurangnya
waktu pada saat pengkonstruksian pengetahuan
tersebut. Reaksi redoks bukan hanya melibatkan
pengetahuan
fisis
saja,
melainkan
juga
pengetahuan matematis-logis. Pengetahuan ini
dibentuk dari perbuatan berpikir siswa terhadap
objek tersebut, dalam hal ini mengenai reaksi
redoks
(Piaget
dalam
Suparno,
1997).
Pengetahuan ini dibentuk secara perlahan-lahan
dalam pengetahuan siswa.
C. Keterlaksanaan Pembelajaran Remediasi
Guru
mengumumkan
hasil
tes
pemahaman konsep yang telah dikerjakan siswa
sebelumnya dan memberi penjelasan bahwa
pemahaman siswa tentang konsep-konsep reaksi
redoks masih ada yang dipahami secara
miskonsepsi. Artinya pemahaman yang dimiliki
siswa tidak sesuai dengan pemahaman yang
telah disepakati oleh para ilmuwan, sehingga
perlu diadakan pembelajaran remediasi.
Langkah pertama, guru membagikan
LKS remediasi pada siswa dan mengajak siswa
0 10 20 30 40 50 60 70 A B C D 0 10 20 30 40 50 60 70 80 A B C D 0 10 20 30 40 50 60 A B C D
untuk mengungkapkan konsep-konsep apa yang
masih
dipahami
secara
miskonsepsi.
Pelaksanaan tahap pertama ini menemui
kendala, yaitu siswa bingung bagaimana harus
menuliskan
pernyataan yang
mengandung
miskonsepsi tersebut ke dalam LKS. Guru
membahas dan mengevaluasi konsepsi yang
dimiliki siswa, meminta siswa dengan konsep
yang berbeda mengungkapkan alasannya dan
saling mengevaluasi ide-ide yang diungkapkan
oleh masing-masing siswa. Guru memberi
bimbingan kepada siswa sehingga siswa dapat
menuliskan pernyataannya sendiri. Pengamat
memberikan nilai baik untuk tahap ini di ketiga
kelas. Pada tahap kedua, yaitu penciptaan
kondisi konflik yang merupakan fase pokok
pembelajaran
conceptual
change,
guru
menyajikan sebuah video tentang reaksi redoks
dan meminta siswa untuk mengamati video
tersebut. Penyajian video didasarkan pada
pendapat Felder (1993); Paivio (dalam McEwan
dan Reynolds, 2007) bahwa siswa dengan gaya
belajar visual lebih suka memproses dan
menyimpan informasi dalam bentuk tampilan
atau gambar. Materi reaksi redoks merupakan
materi yang bersifat abstrak dan berada pada
tingkat
submikroskopik,
sehingga
video
mengenai reaksi redoks digunakan sebagai
model untuk membantu siswa visual untuk
memvisualisasikan materi tersebut (Shehu,
2015). Terbukti adanya penanyangan video
materi redoks ini menyita perhatian siswa
dengan gaya belajar visual. Adanya perhatian
siswa menandakan adanya minat siswa dalam
pembelajaran (Suyono, 2015). Guru meminta
siswa untuk menuliskan hal apa saja yang
mereka dapatkan selama mengamati video
tersebut dan meminta salah satu perwakilan dari
siswa untuk menuliskan di papan tulis tentang
apa yang diperolehnya tersebut. Siswa terlihat
antusias berebut untuk menuliskan hasilnya di
papan
tulis.
Hal
ini
dilakukan
sebagai
penguatan, karena tampilan video dirasa masih
belum cukup. Hal-hal yang dituliskan siswa di
papan tulis telah sesuai dengan yang diharapkan
guru. Siswa dapat memahami konsep dasar
dalam menentukan reaksi kimia yang termasuk
reaksi
redoks.
Guru
juga
memberikan
penguatan-penguatan
terhadap
hasil
yang
mereka peroleh dari penayangan video tadi.
Setelah dirasa cukup, guru mengajak siswa
mencermati pernyataan yang terdapat dalam
LKS. Siswa mengalami konflik dalam dirinya,
terbukti
ekspresi
siswa
yang
terlihat
kebingungan dan terdengar suara diskusi sesama
teman. Kondisi ini merupakan kondisi yang
diharapkan oleh guru. Adanya konflik dalam diri
siswa dibutuhkan sehingga memungkinkan
terjadinya asimilasi dan akomodasi dalam
rangka restrukturisasi pemahaman
mereka
tentang konsep reaksi redoks (Suparno, 1997).
Kondisi konflik ini dimanfaatkan guru
untuk mengorganisasikan siswa ke dalam
kegiatan
praktikum.
Siswa
diajak
mengkonfirmasi pengetahuan yang dimiliki
terhadap konsep-konsep yang benar melalui
kegiatan praktikum yang dilakukan. Berdasarkan
saran dalam penelitian Aryungga (2014) dan
Suyono (2014) bahwa kegiatan praktikum
sebaiknya tetap diadakan, selain merupakan
salah
satu
cara
membuat
pembelajaran
bermakna,
juga
dapat
mengakomodasi
kebutuhan siswa dengan gaya belajar visual.
Guru membimbing siswa mengulas kembali
konsep-konsep
yang
penting
dan
benar
mengenai
materi
redoks
setelah
siswa
menemukan konsep melalui kegiatan praktikum.
Tahap ketiga ini mendapat skor dengan sangat
baik di ketiga kelas.
Guru menjelaskan konsep-konsep yang
benar tentang konsep reaksi redoks dan memberi
waktu kepada siswa untuk memikirkan kembali
konsep tersebut sebagai perubahan konseptual
terhadap miskonsepsi yang dialami siswa
sehingga konsep yang baru (benar) dapat
tertanam dengan kuat. Guru meminta siswa
untuk menuliskan konsep yang baru ke dalam
LKS. Tahap ini memperoleh skor dengan
kriteria sangat baik di ketiga kelas. Selanjutnya
pemantapan
pemahaman
siswa
dilakukan
melalui kegiatan Chem-Quiz dan Chem-Task.
Guru mengecek pemahaman siswa melalui
sebuah permainan dan memberikan aplikasi soal
yang berbeda, serta memberikan penguatan
terhadap jawaban siswa. Tahap ini mendapat
skor dengan penilaian baik di ketiga kelas.
Antusiasme guru dalam kegiatan
belajar-mengajar mendapatkan kualifikasi sangat baik
pula, sebab siswa tetap bersemangat sampai
akhir pembelajaran. Simpulan yang diperoleh
dari
keterlaksanaan
pembelajaran
strategi
conceptual change menggunakan LKS gaya
belajar visual adalah semua sintaks telah
terlaksana dengan kualifikasi sangat baik di
ketiga kelas dan diprediksikan siswa-siswa pada
gaya belajar ini mampu mengubah konsepsinya
dari miskonsepsi menjadi tahu konsep.
Tabel 2 Hasil Kruskal-Wallis Test terhadap Penilaian Pembelajaran Remediasi pada Siswa-siswa dengan Gaya Belajar Visual yang berasal dari Kelas X MIA 8, X MIA 7, dan X MIA 6
X MIA 8 X MIA 7 X MIA 6
p-value 0.182 diterima 0.342 diterima 0.085 diterima
Ketiga pengamat dalam pembelajaran
remedial ini, mempunyai pandangan yang sama
terhadap keterlaksanan sintaks dalam strategi
conceptual change sebagaimana hasil
Kruskal-Wallis Test. Berdasarkan hasil tersebut, maka
kualitas pembelajaran remedial dapat mengacu
pada skor-skor yang telah diberikan ketiga
pengamat atas keterlaksanaan pembelajaran
remedial pada siswa-siswa gaya belajar visual di
ketiga kelas. Uraian di atas menunjukkan bahwa
fase-fase dalam pembelajaran srategi conceptual
change
menggunakan
LKS
visual
telah
terlaksana dengan penilaian sangat baik di ketiga
kelas. Berdasar hasil ini, maka diprediksikan
siswa-siswa
gaya
belajarvisualmampu
mengubah
konsepsinya
dari
miskonsepsi
menjadi tahu konsep.
D. Pemahaman Konsep Siswa
Terjadi peningkatan yang tajam terhadap
perubahan konsepsi siswa TK pada siswa-siswa
gaya belajar visual yang berasal dari kelas X
MIA 8, X MIA 7, dan X MIA 6. Konsep A dan
B di ketiga kelas pada gaya belajar visual telah
terbebas dari miskonsepsi. Masih ditemukan
beberapa siswa yang mengalami miskonsepsi
diketiga kelas pada siswa gaya belajar visual
pada beberapa konsep yang merepresentasikan
konsep reaksi redoks, baik MK1, MK2, maupun
MK3. Persentase MK2 merupakan persentase
tertinggi pada konsep Cdiketiga kelas, disusul
persentase MK3 pada konsep D.
X MIA 8 X MIA 7 X MIA 6
Gambar 2 Diagram Batang Konsepsi Siswa-Siswa Gaya Belajar Visual Sesudah Pembelajaran Remediasi pada Setiap Konsep.
Keterangan:
MK1 MK2 MK3 TK TTK
Persentase terbesar pada konsepsi siswa
setelah pembelajaran remedial adalah TK di
ketiga kelas. Capaian persentase siswa TK
mencapai 96% di ketiga kelas. Keberhasilan
siswa ini menandakan bahwa siswa gaya belajar
visual telah mampu mengubah miskonsepsinya
menjadi tahu konsep di ketiga kelas. Artinya
siswa telah berhasil melakukan restrukturisasi
konsep melalui proses asimilasi dan akomodasi
dari informasi yang didapat dan menyimpannya
dalam memori jangka panjang, walaupun masih
menyisakan 4% siswa MK (belum TK penuh).
Keberhasilan strategi conceptual change dalam
meremediasi miskonsepsi siswa tidak terlepas
dari fase-fasenya yang telah diorganisasikan
dengan baik, yang didukung oleh penilaian
keterlaksanaan pembelajaran dengan kategori
sangat baik. Secara keseluruhan fase-fase yang
0 20 40 60 80 100 A B C D 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 A B C D 0 20 40 60 80 100 A B C D
terdapat dalam strategi conceptual change
menggunakan
LKS
visual
telah
mampu
mengembangkan dan mengubah skema siswa
melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Menurut Suparno (1997) hasil dari kedua proses
ini akan membuat siswa secara terus-menerus
membentuk pengetahuan setiap kali mengubah
atau mengembangkan skema yang dimilikinya,
sehingga siswa dapat mencapai mekanisme
ekuilibrasi. Rangkaian kegiatan dalam LKS
visual yang dilengkapi informasi visual telah
mampu memfasilitasi siswa ini dalam proses
pengubahan konsepsinya dari miskonsepsi
menjadi tahu konsep. Informasi visual yang
disajikan mengaktifkan sistem visual dalam
struktur kognitif siswa yang menjadi ciri khas
gaya belajar ini dalam mengasimilasi dan
mengakomodasi informasi baru terhadap skema
yang telah dimilikinya (McEwan & Reynolds,
2007).
Gambar 3 Diagram Batang Jumlah SiswaVisual yang Masih Memiliki Beban MK,
(A) Sebelum Pembelajaran Remediasi dan (B) Setelah Pembelajaran Remediasi
Sebanyak 24 siswa gaya belajar visual
yang berasal dari ketiga kelas masih memiliki
beban miskonsepsi. Miskonsepsi terjadi pada
konsep C dan D, yaitu konsep reaksi redoks dan
bilangan oksidasi.
E. Pergeseran Miskonsepsi Siswa
Secara individual seluruh siswa pada siswa
gaya belajar visual yang berasal dari ketiga kelas
X MIA, yaitu X MIA 8, X MIA 7 dan X MIA 6
telah mengalami pergeseran miskonsepsi baik
MK1, MK2, maupun MK3 menuju ke arah TK.
Tidak terdapat seorangpun yang bergeser
konsepsinya dari TK menuju miskonsepsi,
melainkan
siswa
yang
tetap
pada
miskonsepsinya atau bergeser pada jenis
miskonsepsi lainnya. Contohnya terdapat satu
kasus pergeseran MK1 menuju MK2, tiga kasus
yang tetap pada MK2, dan dua kasus tetap pada
MK3.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4 Diagram Pastel Pergeseran Miskonsepsi Siswa Gaya Belajar Visual(a) Bermula dari MK1; (b) Bermula dari MK2; (c) Bermula dari MK3.
Secara umum persentase MK1 yang
mengalami pergeseran menuju TK mencapai
97%,
persentase
MK2
yang
mengalami
pergeseran menuju TK mencapai 94%, dan
persentase MK3 yang mengalami pergeseran
menuju TK mencapai 90%. Berdasarkan uraian
tersebut,
pergeseran
MK1
menuju
TK
merupakan capaian penurunan miskonsepsi yang
paling besar, disusul dengan pergeseran MK2
menuju TK. Pergeseran MK3 menuju TK
merupakan capaian penurunan miskonsepsi yang
paling sedikit. MK1 mempunyai derajad retensi
yang paling kecil dibandingkan dengan MK2
dan MK3. Pernyataan ini sesuai dengan
pendapat Arslan et al. (2013) dan Kaltakcy et al.
(2006)
yang
menyatakan
MK3
adalah
0 2 4 6 8 10 12 14 A B A B A B
X MIA 8 X MIA 7 X MIA 6
97%
2% 1%
Pergeseran Miskonsepsi Bermula dari MK1 Siswa Gaya
Belajar Visual MK1-TK MK1-TTK MK1-MK1 MK1-MK2 MK1-MK3 94% 1% 5% Pergeseran Miskonsepsi Bermula dari MK2 Siswa Gaya
Belajar Visual MK2-TK MK2-TTK MK2-MK1 MK2-MK2 MK2-MK3 90% 0% 5% 2% 3%
Pergeseran Miskonsepsi Bermula dari MK3 Siswa Gaya Belajar Visual
MK3-TK MK3-TTK MK3-MK1 MK3-MK2 MK3-MK3
miskonsepsi yang paling kuat. Berdasarkan
uraian pergeseran miskonsepsi tersebut, maka
pada penelitian ini urutan resistensi miskonsepsi
dari derajad terkecil pada siswa gaya belajar
visual adalah MK2, disusul MK1, kemudian
MK3. Kecenderungan pola pergeseran ini perlu
dibuktikan pada penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui secara pasti pola pergeserannya.
Berdasarkan
hasil
analisis
deskriptif
kuantitatif, pergeseran miskonsepsi siswa gaya
belajar visual, maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran
remediasi
menggunakan
conceptual change dengan LKS gaya belajar
berhasil meremediasi miskonsepsi siswa dengan
persentase yang cukup tinggi mencapai 97%.
Keberhasilan pembelajaran remediasi ini juga
didukung
dengan
analisis
inferensial
menggunakan Wilcoxon’s Signed Rank Test.
Tabel 4 Hasil Wilcoxon’s Signed Rank Test pada Pergeseran Beban Miskonsepsi SiswaVisualMK1 MK2 MK3 Nilai Kritik p-value = 0,000 p-value = 0,000 p-value = 0,000 = 0,05