• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS GAYA BELAJAR SISWA (VISUAL) UNTUK MEREMEDIASI MISKONSEPSI PADA MATERI REAKSI REDOKS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS GAYA BELAJAR SISWA (VISUAL) UNTUK MEREMEDIASI MISKONSEPSI PADA MATERI REAKSI REDOKS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS GAYA BELAJAR

SISWA (VISUAL) UNTUK MEREMEDIASI MISKONSEPSI PADA MATERI REAKSI

REDOKS

THE DEVELOPMENT OF THEACHING MATERIAL’S BASED ON STUDENT

LEARNING STYLES (VISUAL) TO REMEDIATE REDOX REACTION CONCEPT’S

MISCONCEPTION

Ratih Yuniastri dan Yuni Sri Rahayu

Program Studi Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Jl. Ketintang Surabaya (60231)

Email :[email protected]

Abstrak.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kelayakan perangkat pembelajaran

berbasis gaya belajar siswa (visual), yang diejawantahkan dalam LKS yang dapat meremediasi

miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks. Perangkat pembelajaran terdiri atas silabus, RPP, LKS

dan three-tier diagnostic test. Responden penelitian adalah siswa kelas X MIA 8, X MIA 7, dan X MIA 6

SMA Negeri 1 Sumenep yang memiliki gaya belajar visual. Peneliti telah mengikuti prosedur sesuai

pedoman sistematis dalam pengembangan perangkat pembelajaran, pengujian, dan evaluasi agar

menghasilkan perangkat pembelajaran yang telah tervalidasi. Data yang diperoleh dianalisis secara

deskriptif dan inferensial, yaitu uji Kruskall-Wallis untuk melihat kesamaan persepsi pengamat terhadap

keterlaksanaan pembelajaran remediasi dan uji Wilcoxon untuk melihat pengaruh pembelajaran

remediasi terhadap pergeseran miskonsepsi. Hasil penelitian: (1) perangkat pembelajaran yang telah

dikembangkan layak digunakan dalam pembelajaran di kelas, (2) keterlaksanaan perangkat

pembelajaran di ketiga kelas mendapat penilaian sangat baik dan (3) perangkat pembelajaran yang

dikembangkan berhasil meningkatkan pemahaman konsep siswa dan penggeseran miskonsepsi siswa

menjadi tahu konsep di ketiga kelas yang diujikan.

Kata kunci: gaya belajar, perangkat pembelajaran, miskonsepsi, konsep reaksi redoks.

Abstract. This study aimed to describe the feasibility of teaching material’s based on student learning

styles(visual), that manifested into student’s worksheet which remediate student’s misconception in redox

reaction concept’s. The teaching materials consist of syllabus, lesson plan, student’s worksheet, and

three-tier diagnostic test. Research object are students from X MIA 8, X MIA 7, and X MIA 6 of SMAN 1

Sumenep with visual learning styles. Reseacher follows procedure sistematically when developed the

teaching material, test, and evaluation in order to produce qualified teaching material. Data was

analysed by descriptive and inferential technique. Inferential technique consist of Kruskall-Wallis test to

examine observer’s perception toward implementation of remediation learning similarity and Wilcoxon

Signed test to examine remediation learning influence toward student’s misconception shift. The result

were: (1) the teaching material was compatible for learning in class, (2) the implementation of teaching

material have a good judgement in three different classes and (3) teaching material is successfully

developed, it successfully increased student’s understanding and their misconception shift to be knew

concept in the three classes.

(2)

PENDAHULUAN

Suyono dkk. (2013) telah menerapkan

berbagai strategi pembelajaran yang berbasis

inkuiri untuk prevensi miskonsepsi dan model

pembelajaran yang berbasis conceptual change

untuk meremediasi miskonsepsi pada materi

kimia. Fakta empiris dari penelitian tersebut,

diperoleh bahwa di akhir program terjadi

pengurangan jumlah siswa yang mengalami

miskonsepsi. Fakta lain yang terungkap melalui

penelitian itu adalah masih terdapat

konsep-konsep kimia yang dipahami secara miskonsep-konsepsi

oleh siswa, artinya terdapat sejumlah siswa yang

masih mengemban miskonsepsi. Hal yang sama

juga dilaporkan oleh Subagyo (2014) dan

Mualifah (2013) bahwa penerapan pembelajaran

prevensi

dan

pembelajaran

remediasi

miskonsepsi yang telah dilakukan ternyata masih

menyisakan 8% dan 3% siswa miskonsepsi.

Hastuti dalam penelitiannya juga menjelaskan

bahwa pembelajaran prevensi dan pembelajaran

remediasi pada konsep reaksi redoks masih

menyisakan 3% siswa miskonsepsi. Osterlund

and

Ekborg

(2009)

menjelaskan

dalam

penelitiannya bahwa siswa mengalami kesulitan

dalam memahami konsep-konsep dalam reaksi

redoks

sehingga

menyebabkan

terjadinya

miskonsepsi.

Idealnya,

penerapan

model

pembelajaran

prevensi

dan

remediasi

miskonsepsi tidak lagi menyisakan siswa yang

miskonsepsi. Hal ini menunjukkan bahwa

terdapat

kesenjangan

antara

hasil

yang

diharapkan dengan fakta yang diperoleh,

sehingga memerlukan kajian lebih lanjut.

Kesenjangan

terjadi

dimungkinkan

karena implementasi model pembelajaran yang

digunakan untuk meremediasi siswa belum

memperhatikan karakteristik siswa. Suparno

(2005) menjelaskan bahwa faktor penyebab

miskonsepsi dapat bersumber dari guru, buku

(bahan

ajar),

metode/model/strategi

pembelajaran, dan faktor internal siswa. Faktor

penyebab miskonsepsi yang bersumber pada

faktor internal siswa di antaranya gaya belajar

(Aryungga, 2014; Abosalem, 2013; Sen &

Yilmaz, 2012), model mental yang dimiliki

siswa (Bao & Redish, 2011; Verawahyuni,

2015), dan tingkat konflik kognitif siswa saat

dilakukan conceptual change (Kang et al., 2004;

Lee et al., 2003). Perbaikan miskonsepsi

nampaknya harus memperhatikan karakteristik

individual, salah satunya adalah gaya belajar

siswa (Aryungga, 2014; Abosalem, 2013; Sen &

Yilmaz, 2012). Kajian dalam penelitian ini

dibatasi pada gaya belajar siswa.

Learning style (gaya belajar) adalah cara

khas seseorang dalam learning dan studying

(Woolfolk, 2009). Menurut Sen dan Yilmaz

(2012), pengungkapan gaya belajar siswa

menjadi hal penting untuk diperhatikan, baik

dalam hal penyebab terjadinya miskonsepsi dan

penyembuhan miskonsepsi itu sendiri. Felder

(1993) mengemukakan bahwa siswa yang

memiliki gaya belajar sesuai dengan gaya

pengajaran cenderung menyimpan informasi

lebih lama, menerapkannya secara lebih efektif,

dan memiliki sikap yang lebih positif terhadap

subjek

daripada

siswa

yang

mengalami

ketidaksesuaian gaya belajar dengan gaya

pengajar. Felder (1993) membagi gaya belajar

ke dalam 4 dimensi, yaitu dimensi persepsi

(sensing-intuitive), dimensi input(visual-verbal),

dimensi

pemrosesan(active-reflective),

dan

dimensi pemahaman(sequential-global).

Hasil

penelitian

Aryungga

(2014)

menunjukkan bahwa dimensi input gaya belajar

siswa memiliki hubungan yang signifikan

terhadap resistensi miskonsepsi siswa pada

konsep kimia. Fakta empiris dari penelitian

tersebut diperoleh bahwa siswa yang mengalami

miskonsepsi sekitar 59% memiliki gaya belajar

visual-verbal seimbang pada dimensi input. Hal

ini

menuntut

guru

untuk

memberikan

pemahaman kepada siswa dalam bentuk

tampilan

visual

disertai

bacaan

ataupun

penjelasan verbal pada materi yang diajarkan.

Pengetahuan atas karakteristik yang

khas dari gaya belajar ini dapat dimanfaatkan

(3)

untuk

mempertimbangkan remediasi

yang

dirancang secara khusus. Lembar Kegiatan

Siswa (LKS)merupakan salah satu alat yang

dapat

digunakan

untuk

meremediasi

miskonsepsi (Chong et al., 2013). Hal ini

dikarenakan dalam LKS terdapat sejumlah

aktivitas

siswa

yang

akan

membantu

pemahaman konsep siswa, seperti memuat

berbagai

tingkatan

ilmu

dalam

kimia

(makroskopik, submikroskopik, dan simbolik),

pembelajaran

penemuan

yang

dilengkapi

kegiatan praktikum, dan penggunaan ICT.

Aktivitas tersebut memungkinkan terjadinya

conceptual change dalam rangka memperbaiki

pemahaman konsep siswa.

Aryungga (2014) dalam penelitiannya

menyarankan

pembuatan

perangkat

pembelajaran yang memuat fakta-fakta serta

konsep-konsep abstrak yang dikemas dalam

bentuk tampilan visual, disertai kegiatan

praktikum dan disajikan secara runut selama

proses

pembelajaran

dapat

membantu

pemahaman

konsep

siswa

secara

benar.

Berdasarkan saran tersebut, peneliti bermaksud

mengembangkan

perangkat

pembelajaran

berbasis gaya belajar visual. Strategi yang

digunakan adalah conceptual change sesuai

yang disarankan Taslidere (2013); Muammer

(2008) dan gaya belajar ini diejawantahkan

dalam sebuah Lembar Kegiatan Siswa (LKS).

Strategi conceptual change dapat digunakan

untuk mengubah konsepsi siswa menjadi konsep

yang benar dengan melakukan asimilasi dan

akomodasi informasi baru ke dalam kerangka

konsep yang dimiliki siswa (Ibrahim, 2012).

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan

berdasarkan gaya belajar ini, yang di dalamnya

memuat berbagai aktivitas siswa, diharapkan

dapat melatih kemampuan representasi kimia

siswa sehingga dapat menunjang pembelajaran

dan

dapat

digunakan

untuk

remediasi

miskonsepsi.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini dapat digolongkan

dalam penelitian pengembangan, karena dalam

penelitian

ini

dikembangkan

perangkat

pembelajaran berbasis gaya belajar siswa yang

diejawantahkan di dalam LKS, yang selanjutnya

akan digunakan untuk meremediasi miskonsepsi

dan

datanya

dianalisis

secara

deskriptif

kuantitatif. LKS yang dikembangkan berbasis

gaya belajar (dimensi input) digunakan untuk

mendukung

pembelajaran

remediasi

menggunakan strategi conceptual change. LKS

ini adalah salah satu bagian dari totalitas

perangkat

pembelajaran

KD

menganalisis

perkembangan konsep reaksi oksidasi-reduksi

serta menentukan bilangan oksidasi atom dalam

molekul atau ion di kelas X semester genap.

Desain penelitian ini menggunakan rancangan

One group Pretest-Posttest Design. Sasaran

penelitian ini adalah siswa kelas X MIA 8

dengan replikasi tindakan diberlakukan terhadap

siswa di kelas X MIA 7 dan X MIA 6.

Teknik

pengumpulan

data

yang

dilakukan, antara lain: (1) tes, yaitu tes gaya

belajar yang dikembangkan berdasar Felder

(1993) dan tes pemahaman konsep berupa

three-tier diagnostic test yang diadopsi dari Arslan et

al. (2012) dengan kriteria sesuai pada Tabel 1;

(2) non tes, yaitu validasi, observasi dan

dokumentasi.

Teknik analisisdata yang digunakan

adalah analisis deskriptif kuantitatif-kualitatif

dan teknik inferensial dengan menggunakan

Kruskal-Wallis

Test

untuk

keterlaksanaan

pembelajaran, Wilcoxon’s Signed Rank Test

untuk pola pergeseran miskonsepsi.

Tabel 1 Kriteria Pengelompokan Konsepsi Siswa Berdasarkan Three-tierDiagnostic Test

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dibahas meliputi

kelayakan

perangkat

pembelajaran

dan

instrumen tes, profil konsepsi siswa sebelum

pembelajaran

remediasi,

keterlaksanaan

pembelajaran, pemehaman konsep siswa dan

pergeseran miskonsepsi siswa.

A. Kelayakan Perangkat Pembelajaran dan

Instrumen Tes

Konstruksi

perangkat

pembelajaran

dimulai dengan pemilihan KD. Penentuan KD,

kemudian diterjemahkan ke dalam perilaku

operasional dalam bentuk perumusan indikator.

Seperti diketahui perangkat pembelajaran yang

dikembangkan dimaksudkan untuk mendukung

pelaksanaan

pembelajaran

remediasi

miskonsepsi. Remediasi miskonsepsi siswa

didasarkan kepada langkah-langkah conceptual

change, yang juga memberikan perhatian kepada

gaya belajar siswa (dalam penelitian ini dibatasi

pada gaya belajar visual). Silabus dan RPP yang

dikembangkan mengikuti pentahapan strategi

conceptual change. LKS dikembangkan berbasis

pada gaya belajar siswa, yaitu LKS visual..

Lembar penilaian yang dikembangkan adalah tes

pemahaman

konsep

redoks.

Butir

tes

pemahaman konsep ditulis berdasar hasil

analisis konsep yang meliputi elemen-elemen

nama konsep, definisi konsep, ciri-ciri dan

contoh noncontoh konsep. Setiap perangkat

telah ditelaah oleh dua dosen pembimbing dan

divalidasi oleh empat orang expert dari bidang

pembelajaran

kimia.

Validasi

perangkat

pembelajaran untuk remediasi miskonsepsi

meliputi validasi silabus, RPP, dan LKS.

Hasil penilaian silabus oleh expert untuk

setiap aspek yang menggambarkan validitas

konstruk memperoleh skor antara 87,50%

sampai 100%. Skor ini menurut Riduwan (2007)

berkategori sangat layak, artinya silabus telah

memenuhi validitas konstruk dan memiliki

relevansi terhadap variabel yang ingin diukur.

Silabus

yang

telah

dikembangkan

dapat

digunakan sebagai acuan penyusunan rencana

pembelajaran (RPP), karena dalam silabus telah

memuat rencana pembelajaran jangka panjang

pada suatu kelompok mata pelajaran tertentu,

seperti yang telah dijelaskan Suyono (2015).

Berdasar uraian tersebut, peneliti berketetapan

bahwa: (1) penilaian sangat layak adalah

kategori penilaian yang dapat digunakan untuk

memutuskan silabus telah memenuhi syarat

validitas

konstruk,

(2)

silabus

yang

dikembangkan telah memenuhi batas-batas

kelayakan untuk digunakan dalam pembelajaran

remediasi di kelas.

Pengembangan RPP telah disesuaikan

dengan Kurikulum 2013 dan Permendikbud

Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi

Kurikulum

bagian

Pedoman

Umum

Pembelajaran (Lampiran IV). Upaya remediasi

miskonsepsi sesuai yang disarankan Danielson

(2013) bahwa guru hendaknya melakukan suatu

kegiatan penyadaran terhadap miskonsepsi yang

mungkin dialami siswa, maka pembelajaran

remediasi dilakukan menggunakan strategi

conceptual change. Ibrahim (2012); Suyono

(2014); Muammer (2008) menyatakan bahwa

strategi conceptual change dapat digunakan

untuk meremediasi miskonsepsi yang terjadi

pada siswa. Siswa diharapkan mengubah

konsepsinya tentang suatu konsep dengan

melakukan

restrukturisasi

dan

asimilasi

informasi baru ke dalam kerangka konsep yang

telah dimiliki melalui strategi ini. Hasil validasi

RPP oleh expert untuk setiap aspek yang

menggambarkan validitas konstruk memperoleh

skor antara 81,25% sampai 100% dengan

kategori sangat layak, artinya RPP telah

memenuhi validitas konstruk dan memiliki

relevansi terhadap variabel yang hendak diukur

(Riduwan, 2007). RPP yang telah dikembangkan

dapat dipergunakan sebagai panduan pengajaran

oleh guru, karena telah menggambarkan

deskripsi

terperinci

langkah-langkah

pembelajaran yang disusun oleh guru bagi suatu

pembelajaran tunggal seperti yang dijelaskan

oleh Suyono (2015). Berdasar uraian tersebut,

(5)

peneliti berketetapan bahwa: (1) penilaian sangat

layak merupakan kategori penilaian yang

digunakan untuk memutuskan RPP telah

memenuhi syarat validitas konstruk, (2) RPP

telah memenuhi batas-batas kelayakan untuk

digunakan dalampembelajaran remedial di kelas.

LKS untuk meremediasi miskonsepsi

siswa, dikembangkan berdasar pada kebutuhan

gaya belajar visual. Penilaian hasilvalidasioleh

expert yang menggambarkan validitas konstruk

LKSmendapatkriteriasangatlayak,

artinya

memiliki relevansi terhadap variabel yang

hendak diukur.Hal ini menandakan LKS yang

telah dikembangkandapat digunakan sebagai

petunjuk dalam menyelesaikan tugas-tugas yang

disajikan guru, karena telah memuat serangkaian

kegiatan mendasar yang harus dilakukan oleh

siswa

untuk

memaksimalkan

pemahaman

konsep dalam upaya remediasi konsep yang

masih dipahami secara miskonsepsi oleh siswa.

Kegiatan

dalam

LKS

juga

memberikesempatankepadasiswauntukberlatihm

engungkapkan pemahaman siswa yang masih

salah,membuktikankebenarankonsepdenganmela

kukaneksperimen/pengamatan,

danmembenarkan konsep yang salah sesuai

proses asimilasi dan akomodasi yang dialami

siswa. Kegiatan dalam LKS melibatkan siswa

secara aktif dalam pembelajaran seperti yang

telah disarankan Danielson (2013). Hal ini

sejalan dengan yang diungkapkan Chong et al.

(2013). Berdasar uraian tersebut, peneliti

berketetapan bahwa: (1) penilaian sangat layak

yang

dieroleh

dapat

digunakan

untuk

memutuskan LKS telah memenuhi syarat

validitas konstruk, (2) LKS yang dikembangkan

telah memenuhi batas-batas kelayakan untuk

digunakan dalam pembelajaran remedial di

kelas.

Validitas isi perangkat pembelajaran

ditetapkan berdasar hasil penilaian expert atas

ada atau tidak adanya isi atau konsep salah

dalam

kalimat

penyusun

perangkat

pembelajaran. Hasil validasi menunjukkan

bahwa tidak ditemukannya catatan tertulis oleh

validator yang mengarah pada simpulan adanya

konsep-konsep yang salah dan ketidaklugasan

kalimat yang digunakan, baik dalam silabus,

RPP maupun LKS. Terdapat catatan validator

mengenai kalimat yang digunakan dalam LKS

dan perbaikan-perbaikan atas kelugasan kalimat

yang digunakan telah dilakukan sesuai saran

validator. Bahasa atau kalimat yang digunakan

dalam LKS telah disesuaikan dengan tingkat

perkembangan siswa dan mudah dipahami,

sesuai yang disarankan oleh Danielson (2013).

Berdasar uraian tersebut, peneliti berketetapan

bahwa: (1) perangkat pembelajaran remediasi

yang terdiri atas silabus, RPP dan LKS yang

dikembangkan peneliti telah memenuhi syarat

validitas isi, (2) uraian kegiatan pembelajaran

dalam

perangkat

pembelajaran

tidak

mengandung banyak kesalahan baik isi maupun

konsep, (3) tanggung jawab peneliti untuk selalu

melakukan

perbaikan

atas

kesalahan

penggunaan

kalimat

dalam

perangkat

pembelajaran telah peneliti perbaiki mengikuti

masukan validator dan arahan dari pembimbing.

Uraian mengenai validasi perangkat

pembelajaran di atas menunjukkan bahwa

perangkat pembelajaran yang dikembangkan

telah memenuhi validitas teoritis dan layak

digunakan dalam pembelajaran untuk mereduksi

miskonsepsi di kelas.

Pengembangan

perangkat

penelitian

selanjutnya adalah tes pemahaman konsep.

Penyusunan indikator soal tes pemahaman

konsep didasarkan pada analisis konsep yang

dibuat peneliti sesuai yang disarankan Frayer

(1969). Tes ini dikembangkan menggunakan

three-tier diagnostic test (Pesman dan Eryilmaz,

2010 & Dindar dan Geban, 2011). Tes ini

ditujukan untuk mengidentifikasi miskonsepsi

siswa pada materi reaksi redoks. Validasi tes

meliputi validasi oleh expert judgementmeliputi

validasi konstruksi, validasi isi dan kelugasan

kalimat yang digunakandan validasi empiris.

(6)

Hasil validitas konstruk setiap item soal

memperoleh skor 90% sampai 95% dengan

kategori valid (Arikunto, 1998). Hal ini

menandakan butir-butir soal tes pemahaman

konsep telah memenuhi validitas konstruk,

artinya instrumen yang dikembangkan dapat

digunakan untuk mengukur miskonsepsi siswa

berdasar indikator konsep yang hendak diukur,

dalam hal ini menyangkut nama konsep, definisi

konsep, ciri-ciri konsep, contoh dan non contoh

terkait reaksi redoks. Berdasar uraian tersebut,

peneliti berketetapan bahwa: (1) penilaian valid

adalah

kategori

yang

digunakan

untuk

memutuskan instrumen telah memenuhi syarat

validitas konstruk, (2) instrumen tes telah

memenuhi batas-batas kelayakan untuk dapat

digunakan

dalam

mengukur

kedalaman

pemahaman konsep siswa.

Menurut keempat validator, instrumen

tes pemahaman konsep yang dikembangkan

telah memenuhi validitas isi karena tidak

ditemukan catatan validator yang mengarah pada

simpulan adanya kesalahan konsep. Artinya,

butir-butir soal dalam tes telah mampu mewakili

secara keseluruhan dan proporsional perilaku

sampel yang dikenai tes (Matondang, 2009).

Menurut validator, kalimat yang digunakan

dalam tes pemahaman konsep sederhana, lugas,

tidak berbelit-belit. Berdasar uraian tersebut,

peneliti berketetapan bahwa instrumen tes

pemahaman konsep telah memenuhi persyaratan

validitas isi dan persyaratan dari segi kelugasan

kalimat dan tata tulis.

Hasil prauji coba tes menggunakan

korelasi biserial product moment (r) dapat

dilaporkan 20 soal tes pemahaman konsep

dinyatakan valid, dengan nilai korelasi (r)

masing-masing butir soal >nilai kritis korelasi

biserial (r

tabel

). Koefisien korelasi yang tinggi

antara skor butir soal dengan skor total

mencerminkan tingginya konsistensi antara hasil

ukur keseluruhan tes dengan hasil ukur butir tes

atau butir tes tersebut konvergen dengan

butir-butir lain dalam mengukur suatu konsep atau

konstruk yang hendak diukur (Matondang,

2009). Reliabilitas soal tes pemahaman konsep

dihitung

menggunakan

alpha

cronbach

menggunakan

program

SPSS.

Hasil

uji

reliabilitas diperoleh nilai alpha cronbach >

0,902. Artinya soal tes pemahaman konsep dapat

dikatakan reliabel. Instrumen yang baik menurut

Arikunto (2002) adalah instrumen yang telah

memenuhi syarat validitas dan reliabilitas.

Berdasar uraian di atas, peneliti berketetapan

bahwa: (1) instrumen tes pemahaman konsep

telah memenuhi validitas teoritis, (2) instrumen

tes juga telah memenuhi syarat validitas empiris

dan reliabilitas, (3) butir-butir soal yang

membangun tes pemahaman konsep dapat

digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa.

Tes pemahaman konsep yang telah tervalidasi

selanjutnya digunakan di kelas, yaitu pada siswa

responden. Pelaksanaan tes pemahaman konsep

dilakukan di luar jam pelajaran.

B. Profil Konsepsi Siswa Sebelum

Pembelajaran Remediasi

Berdasarkan

hasil

tes

pemahaman

konsep, semua siswa-siswa gaya belajar visual

yang berasal dari ketiga kelas (X MIA 8, X MIA

7 dan X MIA 6) mengalami miskonsepsi yang

menyebar pada sebagian butir soal yang

diujikan.

Kondisi

ini

sebenarnya

masih

merupakan gambaran yang wajar, walaupun

siswa telah mengikuti pembelajaran konsep

reaksi redoks menggunakan model inkuiri

terbimbing. Suparno (2012) menyatakan siswa

memiliki kecepatan yang berbeda-beda dalam

mengkonstruksi pengetahuannya. Tabor (dalam

Horton, 2004) juga menyatakan bahwa ada

sebagian siswa

yang tidak

membongkar

prakonsepsinya,

melainkan

memilih

menambahkan pemikiran baru, sehingga pada

akhirnya mengakibatkan kebingungan dan

pemahaman yang buruk. Tuntutan proses

pembelajaran student centered yang saat ini

sedang digalakkan (dalam hal ini pembelajaran

inkuiri)

menghendaki

siswa

aktif

dalam

(7)

mengkonstruksi

pengetahuannya

tersebut,

khususnya dalam ranah kognitif (Suparno,

1997).

X MIA 8 X MIA 7 X MIA 6

Gambar 1 Diagram Batang Konsepsi Kelompok Siswa Gaya Belajar Visual Sebelum Pembelajaran Remediasi pada Setiap Konsep.

Keterangan:

MK1 MK2 MK3 TK TTK

Perbedaan kecepatan dan keaktifan

siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya

menyebabkan siswa memiliki TK, TTK, MK1,

MK2, dan MK3 yang menyebar pada seluruh

konsep, walaupun jumlah siswa TK telah

mendominasi. Data yang menunjukkan dominasi

siswa

TK

memberikan

simpulan

bahwa

pembelajaran model inkuiri terbimbing berhasil

meningkatkan pemahaman konsep siswa pada

konsep reaksi redoks yang ditujukan untuk

mencegah

terjadinya

miskonsepsi

siswa.

Kenyataan

ini

didukung

oleh

penelitian

Barthlow (2011) yang melaporkan bahwa

pembelajaran

dengan

model

inkuiri

termbimbing berhasil mengurangi jumlah siswa

dengan alternatif konsepsi sebesar 14,8% lebih

tinggi

dibandingkan

dengan

pembelajaran

konvensional.

Profil konsepsi siswa memberikan hasil

bahwa keberhasilan pemahaman konsep reaksi

redoks siswa

gaya belajar visual

telah

memahami konsep reaksi redoks mencapai 65%

di kelas X MIA 8, 67% di X MIA 7, dan 56% di

X MIA 6. Kenyataan ini dapat dijelaskan karena

siswa telah dilibatkan dalam suatu pembelajaran

inkuiri terbimbing, yang merupakan salah satu

pembelajaran student centered. Siswa dilibatkan

secara aktif dan dituntut untuk menggali

informasi untuk memahami suatu konsep

melalui fenomena yang terjadi dalam kehidupan

sehari-hari yang sesuai dengan konsep yang

dipelajari, sehingga fenomena tersebut dapat

dijelaskan secara konseptual. Selama proses ini

siswa mengaitkan pengetahuan sebelumnya ke

dalam materi yang sedang dipelajari dan

mengkonstruksi

pengetahuannya

sendiri.

Persentase beban TK siswa yang melebihi

persentase beban

MK dan

TTK siswa

disebabkan

karena

siswa

telah

berhasil

mengkonstruksi

pengetahuannya

sendiri,

khususnya pengetahuan fisis dan

logiko-matematisnya. Pengetahuan ini dibentuk dengan

mengaitkan

pengetahuan

sebelumnya

(pengetahuan prasyarat) dengan konsep reaksi

redoks yang telah dipelajarinya, dengan kata lain

siswa berhasil melaksanakan proses asimilasi

dalam skema pengetahuannya (Suparno, 2001).

Ditemukannya siswa dengan beban TTK

dikarenakan konstruksi pengetahuan yang belum

tercapai atau dapat pula disebabkan kurangnya

waktu pada saat pengkonstruksian pengetahuan

tersebut. Reaksi redoks bukan hanya melibatkan

pengetahuan

fisis

saja,

melainkan

juga

pengetahuan matematis-logis. Pengetahuan ini

dibentuk dari perbuatan berpikir siswa terhadap

objek tersebut, dalam hal ini mengenai reaksi

redoks

(Piaget

dalam

Suparno,

1997).

Pengetahuan ini dibentuk secara perlahan-lahan

dalam pengetahuan siswa.

C. Keterlaksanaan Pembelajaran Remediasi

Guru

mengumumkan

hasil

tes

pemahaman konsep yang telah dikerjakan siswa

sebelumnya dan memberi penjelasan bahwa

pemahaman siswa tentang konsep-konsep reaksi

redoks masih ada yang dipahami secara

miskonsepsi. Artinya pemahaman yang dimiliki

siswa tidak sesuai dengan pemahaman yang

telah disepakati oleh para ilmuwan, sehingga

perlu diadakan pembelajaran remediasi.

Langkah pertama, guru membagikan

LKS remediasi pada siswa dan mengajak siswa

0 10 20 30 40 50 60 70 A B C D 0 10 20 30 40 50 60 70 80 A B C D 0 10 20 30 40 50 60 A B C D

(8)

untuk mengungkapkan konsep-konsep apa yang

masih

dipahami

secara

miskonsepsi.

Pelaksanaan tahap pertama ini menemui

kendala, yaitu siswa bingung bagaimana harus

menuliskan

pernyataan yang

mengandung

miskonsepsi tersebut ke dalam LKS. Guru

membahas dan mengevaluasi konsepsi yang

dimiliki siswa, meminta siswa dengan konsep

yang berbeda mengungkapkan alasannya dan

saling mengevaluasi ide-ide yang diungkapkan

oleh masing-masing siswa. Guru memberi

bimbingan kepada siswa sehingga siswa dapat

menuliskan pernyataannya sendiri. Pengamat

memberikan nilai baik untuk tahap ini di ketiga

kelas. Pada tahap kedua, yaitu penciptaan

kondisi konflik yang merupakan fase pokok

pembelajaran

conceptual

change,

guru

menyajikan sebuah video tentang reaksi redoks

dan meminta siswa untuk mengamati video

tersebut. Penyajian video didasarkan pada

pendapat Felder (1993); Paivio (dalam McEwan

dan Reynolds, 2007) bahwa siswa dengan gaya

belajar visual lebih suka memproses dan

menyimpan informasi dalam bentuk tampilan

atau gambar. Materi reaksi redoks merupakan

materi yang bersifat abstrak dan berada pada

tingkat

submikroskopik,

sehingga

video

mengenai reaksi redoks digunakan sebagai

model untuk membantu siswa visual untuk

memvisualisasikan materi tersebut (Shehu,

2015). Terbukti adanya penanyangan video

materi redoks ini menyita perhatian siswa

dengan gaya belajar visual. Adanya perhatian

siswa menandakan adanya minat siswa dalam

pembelajaran (Suyono, 2015). Guru meminta

siswa untuk menuliskan hal apa saja yang

mereka dapatkan selama mengamati video

tersebut dan meminta salah satu perwakilan dari

siswa untuk menuliskan di papan tulis tentang

apa yang diperolehnya tersebut. Siswa terlihat

antusias berebut untuk menuliskan hasilnya di

papan

tulis.

Hal

ini

dilakukan

sebagai

penguatan, karena tampilan video dirasa masih

belum cukup. Hal-hal yang dituliskan siswa di

papan tulis telah sesuai dengan yang diharapkan

guru. Siswa dapat memahami konsep dasar

dalam menentukan reaksi kimia yang termasuk

reaksi

redoks.

Guru

juga

memberikan

penguatan-penguatan

terhadap

hasil

yang

mereka peroleh dari penayangan video tadi.

Setelah dirasa cukup, guru mengajak siswa

mencermati pernyataan yang terdapat dalam

LKS. Siswa mengalami konflik dalam dirinya,

terbukti

ekspresi

siswa

yang

terlihat

kebingungan dan terdengar suara diskusi sesama

teman. Kondisi ini merupakan kondisi yang

diharapkan oleh guru. Adanya konflik dalam diri

siswa dibutuhkan sehingga memungkinkan

terjadinya asimilasi dan akomodasi dalam

rangka restrukturisasi pemahaman

mereka

tentang konsep reaksi redoks (Suparno, 1997).

Kondisi konflik ini dimanfaatkan guru

untuk mengorganisasikan siswa ke dalam

kegiatan

praktikum.

Siswa

diajak

mengkonfirmasi pengetahuan yang dimiliki

terhadap konsep-konsep yang benar melalui

kegiatan praktikum yang dilakukan. Berdasarkan

saran dalam penelitian Aryungga (2014) dan

Suyono (2014) bahwa kegiatan praktikum

sebaiknya tetap diadakan, selain merupakan

salah

satu

cara

membuat

pembelajaran

bermakna,

juga

dapat

mengakomodasi

kebutuhan siswa dengan gaya belajar visual.

Guru membimbing siswa mengulas kembali

konsep-konsep

yang

penting

dan

benar

mengenai

materi

redoks

setelah

siswa

menemukan konsep melalui kegiatan praktikum.

Tahap ketiga ini mendapat skor dengan sangat

baik di ketiga kelas.

Guru menjelaskan konsep-konsep yang

benar tentang konsep reaksi redoks dan memberi

waktu kepada siswa untuk memikirkan kembali

konsep tersebut sebagai perubahan konseptual

terhadap miskonsepsi yang dialami siswa

sehingga konsep yang baru (benar) dapat

tertanam dengan kuat. Guru meminta siswa

untuk menuliskan konsep yang baru ke dalam

LKS. Tahap ini memperoleh skor dengan

(9)

kriteria sangat baik di ketiga kelas. Selanjutnya

pemantapan

pemahaman

siswa

dilakukan

melalui kegiatan Chem-Quiz dan Chem-Task.

Guru mengecek pemahaman siswa melalui

sebuah permainan dan memberikan aplikasi soal

yang berbeda, serta memberikan penguatan

terhadap jawaban siswa. Tahap ini mendapat

skor dengan penilaian baik di ketiga kelas.

Antusiasme guru dalam kegiatan

belajar-mengajar mendapatkan kualifikasi sangat baik

pula, sebab siswa tetap bersemangat sampai

akhir pembelajaran. Simpulan yang diperoleh

dari

keterlaksanaan

pembelajaran

strategi

conceptual change menggunakan LKS gaya

belajar visual adalah semua sintaks telah

terlaksana dengan kualifikasi sangat baik di

ketiga kelas dan diprediksikan siswa-siswa pada

gaya belajar ini mampu mengubah konsepsinya

dari miskonsepsi menjadi tahu konsep.

Tabel 2 Hasil Kruskal-Wallis Test terhadap Penilaian Pembelajaran Remediasi pada Siswa-siswa dengan Gaya Belajar Visual yang berasal dari Kelas X MIA 8, X MIA 7, dan X MIA 6

X MIA 8 X MIA 7 X MIA 6

p-value 0.182 diterima 0.342 diterima 0.085 diterima

Ketiga pengamat dalam pembelajaran

remedial ini, mempunyai pandangan yang sama

terhadap keterlaksanan sintaks dalam strategi

conceptual change sebagaimana hasil

Kruskal-Wallis Test. Berdasarkan hasil tersebut, maka

kualitas pembelajaran remedial dapat mengacu

pada skor-skor yang telah diberikan ketiga

pengamat atas keterlaksanaan pembelajaran

remedial pada siswa-siswa gaya belajar visual di

ketiga kelas. Uraian di atas menunjukkan bahwa

fase-fase dalam pembelajaran srategi conceptual

change

menggunakan

LKS

visual

telah

terlaksana dengan penilaian sangat baik di ketiga

kelas. Berdasar hasil ini, maka diprediksikan

siswa-siswa

gaya

belajarvisualmampu

mengubah

konsepsinya

dari

miskonsepsi

menjadi tahu konsep.

D. Pemahaman Konsep Siswa

Terjadi peningkatan yang tajam terhadap

perubahan konsepsi siswa TK pada siswa-siswa

gaya belajar visual yang berasal dari kelas X

MIA 8, X MIA 7, dan X MIA 6. Konsep A dan

B di ketiga kelas pada gaya belajar visual telah

terbebas dari miskonsepsi. Masih ditemukan

beberapa siswa yang mengalami miskonsepsi

diketiga kelas pada siswa gaya belajar visual

pada beberapa konsep yang merepresentasikan

konsep reaksi redoks, baik MK1, MK2, maupun

MK3. Persentase MK2 merupakan persentase

tertinggi pada konsep Cdiketiga kelas, disusul

persentase MK3 pada konsep D.

X MIA 8 X MIA 7 X MIA 6

Gambar 2 Diagram Batang Konsepsi Siswa-Siswa Gaya Belajar Visual Sesudah Pembelajaran Remediasi pada Setiap Konsep.

Keterangan:

MK1 MK2 MK3 TK TTK

Persentase terbesar pada konsepsi siswa

setelah pembelajaran remedial adalah TK di

ketiga kelas. Capaian persentase siswa TK

mencapai 96% di ketiga kelas. Keberhasilan

siswa ini menandakan bahwa siswa gaya belajar

visual telah mampu mengubah miskonsepsinya

menjadi tahu konsep di ketiga kelas. Artinya

siswa telah berhasil melakukan restrukturisasi

konsep melalui proses asimilasi dan akomodasi

dari informasi yang didapat dan menyimpannya

dalam memori jangka panjang, walaupun masih

menyisakan 4% siswa MK (belum TK penuh).

Keberhasilan strategi conceptual change dalam

meremediasi miskonsepsi siswa tidak terlepas

dari fase-fasenya yang telah diorganisasikan

dengan baik, yang didukung oleh penilaian

keterlaksanaan pembelajaran dengan kategori

sangat baik. Secara keseluruhan fase-fase yang

0 20 40 60 80 100 A B C D 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 A B C D 0 20 40 60 80 100 A B C D

(10)

terdapat dalam strategi conceptual change

menggunakan

LKS

visual

telah

mampu

mengembangkan dan mengubah skema siswa

melalui proses asimilasi dan akomodasi.

Menurut Suparno (1997) hasil dari kedua proses

ini akan membuat siswa secara terus-menerus

membentuk pengetahuan setiap kali mengubah

atau mengembangkan skema yang dimilikinya,

sehingga siswa dapat mencapai mekanisme

ekuilibrasi. Rangkaian kegiatan dalam LKS

visual yang dilengkapi informasi visual telah

mampu memfasilitasi siswa ini dalam proses

pengubahan konsepsinya dari miskonsepsi

menjadi tahu konsep. Informasi visual yang

disajikan mengaktifkan sistem visual dalam

struktur kognitif siswa yang menjadi ciri khas

gaya belajar ini dalam mengasimilasi dan

mengakomodasi informasi baru terhadap skema

yang telah dimilikinya (McEwan & Reynolds,

2007).

Gambar 3 Diagram Batang Jumlah SiswaVisual yang Masih Memiliki Beban MK,

(A) Sebelum Pembelajaran Remediasi dan (B) Setelah Pembelajaran Remediasi

Sebanyak 24 siswa gaya belajar visual

yang berasal dari ketiga kelas masih memiliki

beban miskonsepsi. Miskonsepsi terjadi pada

konsep C dan D, yaitu konsep reaksi redoks dan

bilangan oksidasi.

E. Pergeseran Miskonsepsi Siswa

Secara individual seluruh siswa pada siswa

gaya belajar visual yang berasal dari ketiga kelas

X MIA, yaitu X MIA 8, X MIA 7 dan X MIA 6

telah mengalami pergeseran miskonsepsi baik

MK1, MK2, maupun MK3 menuju ke arah TK.

Tidak terdapat seorangpun yang bergeser

konsepsinya dari TK menuju miskonsepsi,

melainkan

siswa

yang

tetap

pada

miskonsepsinya atau bergeser pada jenis

miskonsepsi lainnya. Contohnya terdapat satu

kasus pergeseran MK1 menuju MK2, tiga kasus

yang tetap pada MK2, dan dua kasus tetap pada

MK3.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4 Diagram Pastel Pergeseran Miskonsepsi Siswa Gaya Belajar Visual(a) Bermula dari MK1; (b) Bermula dari MK2; (c) Bermula dari MK3.

Secara umum persentase MK1 yang

mengalami pergeseran menuju TK mencapai

97%,

persentase

MK2

yang

mengalami

pergeseran menuju TK mencapai 94%, dan

persentase MK3 yang mengalami pergeseran

menuju TK mencapai 90%. Berdasarkan uraian

tersebut,

pergeseran

MK1

menuju

TK

merupakan capaian penurunan miskonsepsi yang

paling besar, disusul dengan pergeseran MK2

menuju TK. Pergeseran MK3 menuju TK

merupakan capaian penurunan miskonsepsi yang

paling sedikit. MK1 mempunyai derajad retensi

yang paling kecil dibandingkan dengan MK2

dan MK3. Pernyataan ini sesuai dengan

pendapat Arslan et al. (2013) dan Kaltakcy et al.

(2006)

yang

menyatakan

MK3

adalah

0 2 4 6 8 10 12 14 A B A B A B

X MIA 8 X MIA 7 X MIA 6

97%

2% 1%

Pergeseran Miskonsepsi Bermula dari MK1 Siswa Gaya

Belajar Visual MK1-TK MK1-TTK MK1-MK1 MK1-MK2 MK1-MK3 94% 1% 5% Pergeseran Miskonsepsi Bermula dari MK2 Siswa Gaya

Belajar Visual MK2-TK MK2-TTK MK2-MK1 MK2-MK2 MK2-MK3 90% 0% 5% 2% 3%

Pergeseran Miskonsepsi Bermula dari MK3 Siswa Gaya Belajar Visual

MK3-TK MK3-TTK MK3-MK1 MK3-MK2 MK3-MK3

(11)

miskonsepsi yang paling kuat. Berdasarkan

uraian pergeseran miskonsepsi tersebut, maka

pada penelitian ini urutan resistensi miskonsepsi

dari derajad terkecil pada siswa gaya belajar

visual adalah MK2, disusul MK1, kemudian

MK3. Kecenderungan pola pergeseran ini perlu

dibuktikan pada penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui secara pasti pola pergeserannya.

Berdasarkan

hasil

analisis

deskriptif

kuantitatif, pergeseran miskonsepsi siswa gaya

belajar visual, maka dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran

remediasi

menggunakan

conceptual change dengan LKS gaya belajar

berhasil meremediasi miskonsepsi siswa dengan

persentase yang cukup tinggi mencapai 97%.

Keberhasilan pembelajaran remediasi ini juga

didukung

dengan

analisis

inferensial

menggunakan Wilcoxon’s Signed Rank Test.

Tabel 4 Hasil Wilcoxon’s Signed Rank Test pada Pergeseran Beban Miskonsepsi SiswaVisual

MK1 MK2 MK3 Nilai Kritik p-value = 0,000 p-value = 0,000 p-value = 0,000  = 0,05

Hasil Wilcoxon’s Signed Rank Test untuk

pergeseran miskonsepsi siswa gaya belajar

visual memperoleh nilai p-value (0,000) <

(0,05) baik untuk MK1, MK2, maupun MK3.

Berdasar

hasil

analisis

tersebut

dapat

disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran remediasi

yang didukung oleh perangkat pembelajaran

remediasi menggunakan strategi conceptual

change dengan LKS gaya belajar visual yang

dikembangkan oleh peneliti telah berhasil secara

signifikan meremediasi miskonsepsi siswa

dengan menggeser MK (baik MK1, MK2, MK3)

menuju TK pada materi reaksi redoks secara

individual dan (2) terjadi pergeseran konsepsi

siswadari MK3 menuju MK2 dan MK2 menuju

MK1 merupakan pertanda kemajuan siswa,

walaupun belum mencapai TK.

KESIMPULAN

Berdasarkan

hasil

penelitian

dapat

disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran

berbasis gaya belajar untuk meremediasi

miskonsepsi

pada

materi

redoks

layak

digunakan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada

Prof. Dr. Suyono, M.Pd., Dr. sc. agr. Yuni Sri

Rahayu, M.Si., Wike Kusuma W, S.Si., M.Pd.,

David EA, S.Pd., teman-teman satu bimbingan,

teman-teman kimia pascasarjana angkatan 2012,

Bapak dan Ibu, Yusta Farya Dinata, S.Si. dan

Faeyza Izzannullah atas dukungan dan doanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abosalem, Y.M. (2013). The Relationship

Between the Learning Styles of Students in

Grades Five and Six and Their Held

Misconceptions About Dividing Fractions

Based on Kolb’s Model (Unpublished

master’s thesis). The British University.

2. Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi

Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

3. Arslan, H.O., Cigdemoglu, C., and Moseley,

C. (2012). “A Three-Tier Diagnostic Test to

Assess

Pre-Service

Teachers’

Misconceptions about Global Warming,

Greenhouse Effect, Ozone Layer Depletion,

and Acid Rain.” International Journal of

Science Education. Vol.34 No.11, pp.1667–

1686.

4. Bao, L. and Redish, E.F. (2001). “Model

Analysis: Assessing The Dynamics of

student Learning.”

5. Barthlow, M.J. (2011). The Effectiveness of

Process Oriented Guided Inquiry Learning to

Reduce Alternate Conceptions in Secondary

(Unpublished doctoral disertation). Liberty

University.

6. Chong, V.D., Salleh, S.M. and AiCheong,

I.P. (2013). “Using an Activity Worksheet to

Remediate Students’ Alternative Conceptions

of

Metallic

Bonding.”

American

International Journal of Contemporary

Research. Vol.3 No.11.

7. Danielson, C. (2013). The Framework for

Teaching Evaluation Instrument. USA: The

Danielson Group.

8. Dindar, A.C. dan Geban, O. (2011).

“Development of a Three-tier Test to Assess

(12)

High School Students’ Understanding of

Acids and Bases.” Procedia Social and

Behavioral Science. Vol.15, pp.600–604.

9. Felder, R.M. and Silverman, L. (1988).

"Learning

and

Teaching

Styles

in

Engineering

Education.”

Engineering

Education. pp.674-681.

10. Frayer,

D.A.,

Fredrick,

W.C.

and

Klausmeler, H. (1969). A Schema for Testing

The Level of Concept Mastery. Wisconsin:

Wisconsin Reasearch and Development.

11. Hastuti, W.J. (2014). Prevensi dan Reduksi

Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi

Redoks Melalui Gabungan Sekuensial Model

Modified Inquiry dan ECIRR (Tesis magister

pendidikan tidak dipublikasikan). Universitas

Negeri Surabaya.

12. Horton, C. (2004). “Student Alternative

Conception

in

Chemistry”.

California

Journal of Science Education. Vol.7 No.2,

pp.1-78.

13. Ibrahim, M. (2012). Seri Pembelajaran

Inovatif: Konsep, Miskonsepsi dan Cara

Pembelajarannya.

Surabaya:

Unesa

University Press.

14. Kaltakci, D., and Eryilmaz, A. (2006).

“Identifying Pre-Service Physics Teacher’

Misconceptions With Three-Tier Tests”.

Istanbul: Sixth International Conference of

The Balkon Physical Union 22-26 August.

15. Kaya, E. and Geban, O. (2012). “Facilitating

Conceptual Change in Rate of Reaction

Concepts Using Conceptual Change Oriented

Instruction.” Education and Science. Vol.37

No.163, pp.216-225.

16. Kolomuc, A., and Tekin, S. (2011).

“Chemistry

Teachers’

Misconceptions

Concerning Concept of Chemical Reaction

Rate.” Eurasian: Journal Physics and

Chemistry Education. Vol.3 No.2, pp.84-101.

17. Matondang, Z. (2009). “Validitas dan

Reliabilitas Suatu Instrumen Penelitian.”

Jurnal Tabularasa PPS Unimed. Vol.6 No.1,

hal.87-97.

18. McEwan, R.C. and Reynolds, S. (2007).

Verbalisers and Visualisers: Cognitive Styles

That Are Less Than Equal. Fanshawe College.

19. Muammer,C., Ayas, A. and Coll, R. (2008).

“Investigating The Effectiveness of An

Analogy Activity in Improving Students’

Conceptual Change For Solution Chemistry

Concepts.” International Journal of Science

And Mathematics Education. Vol.7 No.5,

pp.651-676.

20. Muallifah, L. (2013). Prevensi dan Reduksi

Miskonsepsi Kesetimbangan Kimia Siswa

SMA Negeri 1 Kandangan Kediri (Tesis

magister pendidikan tidak dipublikasikan).

Universitas Negeri Surabaya.

21. Pesman, H., and Eryilmaz, A. (2010).

“Development of a Three-Tier Test to Assess

Misconceptions

About

Simple

Electric

Circuits.” The Journal of Educational

Research. Vol. 103, pp.208-222.

22. Riduwan.

(2008).

Skala

Pengukuran

Variabel-Variabel Penelitian. Bandung: CV

Alfabeta.

23. Sen, S. dan Yilmaz, A. (2012). “The effect of

learning styles on students’ misconceptions

and

selfefficacy

for

learning

and

performance.”

Procedia

Social

and

Behavioral Sciences. Vol.46, pp.1482-1486.

24. Subagyo, A.I. (2014). Penerapan Modified

Inquiry Models dan Strategi Analogi untuk

Mengatasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep

Kesetimbangan Kimia (Tesis magister tidak

dipublikasikan).

Universitas

Negeri

Surabaya.

25. Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme

dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

26. Suyono, Amaria, Muchlis, dan Setiarso, P.

(2013). “Diseminasi Model Prevensi dan

Kurasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep

Kimia.” Laporan Akhir Penelitian Unggulan

Perguruan Tinggi. Surabaya: LPPM Unesa.

27. Suyono. (2015). Implementasi Belajar dan

Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.

28. Taslidere, E. (2013). “Effect of Conceptual

Change Oriented Instruction on Student’s

Conceptual Understanding and Decreasing

Their Misconceptions in DC Circuits.”

Creative Education. Vo.4 No.4, pp.273-282.

29. Verawahyuni, H. (2015). Pengembangan

Instrumen Pendeteksi Penyebab Miskonsepsi

Kimia Berbasis Model Mental Pada Konsep

Struktur

Atom

(Tesis

magister

tidak

dipublikasikan).

Universitas

Negeri

Surabaya.

30. Woolfolk,

A.

(2009).

Educational

Psychology

Active

Learning

Edition.

Gambar

Tabel 1 Kriteria Pengelompokan Konsepsi Siswa   Berdasarkan Three-tierDiagnostic Test
Gambar 1 Diagram Batang Konsepsi Kelompok Siswa Gaya  Belajar Visual Sebelum Pembelajaran Remediasi pada Setiap  Konsep
Gambar 3 Diagram Batang Jumlah SiswaVisual yang  Masih Memiliki Beban MK,

Referensi

Dokumen terkait

Mangkunegara (2004:67) mengungkapkan pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam

Untuk itu, perusahaan harus lebih memperhatikan para pelanggannya dan secara periodik melakukan pengecekan terhadap perangkat guna menghindari ketidakpuasan akan

Tingkat harga yang melambung sampai 100% atau lebih dalam setahun (hiper inflasi), menyebabkan masyarakat lebih menyukai menyimpan kekayaannya dalam bentuk aset seperti emas,

Dalam segi biaya, campuran koagulan PAC-tawas cair 75:25 lebih efisien pada tingkatan kekeruhan tinggi dibandingkan dengan koagulan yang lain. Perlu dilakukan plant test

Dari hasil kerja siswa berdasarkan aspek kemampuan siswa melengkapi bagian cerita yang rumpang dengan memperhatikan aspek kepaduan cerita dapat diketahui bahwa ada

Variabel independen yang digunakan dlam penelitian ini adalah kesadaran membayar pajak, pemahaman tentang peraturan pajak, dan persepsi yang baik atas efektifitas sistem

Penelitian ini penting dilakukan karena hasil penelitian sebelumnya memberikan hasil yang berbeda-beda, maka peneliti akan menguji kembali faktor-faktor yang

Berdasarkan hasil deskripsi dan analisis data yang dilakukan, diperoleh rata-rata skor pemahaman konsep matematika siswa di kelas eksperimen lebih baik daripada