• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI PRIA DALAM KELUARGA BERENCANA DI UPTD PUSKESMAS CIGASONG KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN Oleh : Ade Tedi Irawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI PRIA DALAM KELUARGA BERENCANA DI UPTD PUSKESMAS CIGASONG KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN Oleh : Ade Tedi Irawan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI PRIA DALAM KELUARGA

BERENCANA DI UPTD PUSKESMAS CIGASONG KABUPATEN

MAJALENGKA TAHUN 2015

Oleh : Ade Tedi Irawan

ABSTRAK

Pendekatan program KB terutama pada masa kini yang diarahkan pada pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi, dalam pelaksanaannya masih dijumpai beberapa pelayanan KB yang mencerminkan pendekatan pemenuhan target akseptor dan terfokus pada perempuan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk di Indonesia, tidak hanya peran serta perempuan, sebagai pihak yang melahirkan anak. Pria harus berperan serta dalam pengendalian dan pertambahan penduduk di Indonesia tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan determinan penggunaan alat kontrasepsi pria dalam Keluarga Berencana di UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik kuantitatif dengan desain

case control. Sampel penelitian adalah seluruh pria yang telah mengikuti program KB

sebagai kasus dan kontrol pada suami yang tidak ikut KB. Analisis yang digunakan univariat, bivariat dan multivariat.

Variabel yang secara signifikan berhubungan dengan penggunaan KB pria adalah umur (p=0.001, OR = 2.407), pendidikan (p=0.000, OR=2.677), pekerjaan (p=0.005, OR=2.921), jumlah anak (p=0.003, OR=2.272), dan agama (p=0.018, OR=2.388). Pada analisis multivariat, faktor yang paling dominan berhubungan dengan penggunaan KB pria adalah pekerjaan (p value=0,008 OR=3,112), setelah dikontrol dengan pendidikan (OR=2,973) dan agama (OR=2,509).

Saran diajukan bagi Puskesmas meningkatkan peran petugas KB dalam memberikan konseling atau penyuluhan khususnya pada Pasangan Usia Subur tentang kontrasepsi dan adanya peran suami dalam gerakan KB dan melakukan pendekatan dan kerjasama pada tokoh masyarakat, tokoh agama, serta tokoh adat setempat sehingga KB dapat diterima khusunya bagi suami, penelitian selanjutnya diharapkan agar lebih mengembangkan pada faktor–faktor yang mempengaruhi akseptor KB pria yang belum sempat di teliti

Kata kunci : Penggunaan alat kontrasepsi pria Kepustakaan : 23 (2002 – 2014)

(2)

THE USE OF MALE CONTRACEPTIVE METHOD FOR FAMILY PLANNING IN CIGASONG PUBLIC HEALTH CENTER UPTD MAJALENGKA DISTRICT 2015

ADE TEDI IRAWAN, SKM, M.Kes

ABSTRACT

Approach to family planning programs, especially in the present is directed at the fulfillment of rights and reproductive health, in practice it is still found some family planning services that reflect the acceptor target fulfillment approach and still focus on women to control the population growth in Indonesia. Not only the women, as a party who deliver a child should participate, men should also participate in the control of population growth in Indonesia. This study aims to observe and explain the determinants of the use of male contraceptive method in family planning in Cigasong Public Health Center UPTD Majalengka District.

This was a quantitative analytical study with case control design. The samples were all men who had followed the family planning program as cases and the controls were husbands who did not participate in Family Planning Program. The analysis used here were univariate, bivariate and multivariate analyzes.

The variables that were significantly associated with the use of male contraceptive method were age (p = 0.001, OR = 2,407), education (p = 0.000, OR = 2,677), occupation (p = 0.005, OR = 2,921), the number of children (p = 0.003, OR = 2,272), and religion (p = 0.018, OR = 2,388). On multivariate analysis, the most dominant factor related to the use of male contraceptive method was occupation (p value = 0.008 OR = 3.112)

Suggestions were put forward for the public health center to enhancing the role of family planning officers in providing counseling or couple counseling, especially in the fertile age about contraception and the role of husband in the family planning movement and to provide approach and cooperation with public figures, leaders, religious and traditional leaders so that Family Planning can be acceptable especially for husbands. Future study should develop the factors-factors that might affect male acceptors in family planning, especially regarding occupation such as what kind of occupation as the most dominant influence on the use of male contraceptive method

Keywords: The use of male contraceptive method Bibliography: 23 (2002 – 2014)

(3)

Program Keluarga Berencana Nasional telah berlangsung cukup lama dan telah memberikan sumbangan yang besar terhadap penurunan Total Fertility

Rate (TFR) dan laju pertumbuhan

penduduk. Kondlsi ini tercapai karena program Keluarga Berencana (KB) secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan sumbangan pada kesehatan reproduksi dan kesejahteraan keluarga.

Pendekatan program KB terutama pada masa kini yang diarahkan pada pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi, dalam pelaksanaannya masih dijumpai beberapa pelayanan KB yang mencerminkan pendekatan pemenuhan target akseptor dan terfokus pada perempuan. Pendekatan ini mengakibatkan proses dan kualitas informasi lebih ditekankan pada angka target akseptor dan kurang memperhatikan kecocokan cara/metode kontrasepsi dan kepuasan akseptor serta mengabaikan isu jender. Pendekatan tersebut berpeluang besar untuk terjadinya pelanggaran hak-hak reproduksi yang merupakan bagian integral hak-hak asasi manusia (BKKBN, 2006) .

Sejak tahun 1999 program KB Nasional memasuki era baru, yakni setelah disepakatinya suatu perubahan paradigma dari aspek demografis (pengendalian populasi dan penurunan fertilitas) menjadi lebih kearah pendekatan reproduksi dengan memperhatikan hak-hak reproduksi. Dalam era ini terjadi pergeseran visi program KB dari "Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera" menjadi "Keluarga Berkualitas Tahun 2015" (BKKBN, 2009).

Perwujudan keluarga berkualitas tahun 2015 ini tidak berdiri sendiri,

melainkan didasari atas asumsi adanya dukungan dan kerja sama yang sinergis antara berbagai sektor yang berkaitan dengan program Keluarga Berencana (KB) Nasional (BKKBN, 2009).

Gerakan Keluarga Berencana (KB) Nasional selama ini telah berhasil mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun keluarga kecil yang makin mandiri (Hartanto, 2004). Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa yang saling ketergantungan, dan sebagai unit dalam kehidupan bangsa diharapkan dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai pendidik, perlindungan dan perasaan secara mandiri (Effendi, 2004)

Kepala keluarga bertanggung jawab secara sosial dan ekonomi terhadap anak-anaknya, sehingga keterlibatan pria dalam keputusan reproduksi akan membentuk ikatan yang kuat bagi keturunannya, sehingga sangat beralasan apabila pria dan wanita berbagi tanggung jawab dan berperan secara seimbang untuk mencapai kepuasan kehidupan seksual, pria secara nyata terlibat dalam fertilitas dan mereka mempunyai peranan yang penting dalam memutuskan kontrasepsi yang akan dipakai dan digunakan istrinya serta memberikan dukungan kepada pasangannya terhadap kehidupan reproduksinya (BKKBN, 2004).

Rendahnya partisipasi pria/suami dalam program KB dan Kesehatan Reproduksi pada prinsipnya berhubungan dengan faktor yaitu kondisi lingkungan sosial, budaya dan masyarakat yang masih menggangap partisipasi pria belum atau tidak penting dilakukan, pengetahuan dan kesadaran pria serta dukungan

(4)

keluarganya dalam ber KB rendah, dan keterbatasan penerimaan serta aksesibilitas terhadap pelayanan KB dan kesehatan reproduksi pria (BKKBN, 2004).

Keberhasilan program Keluarga Berencana di Indonesia selama tiga tahun dasawarsa ini telah dianggap berhasil di tingkat internasional. Hal ini tampak dari penurunan angka kesuburan total sebesar 2,27 pada rentang 1998-2002. Pencapaian ini memberikan kontribusi pada penurunan laju pertumbuhan penduduk 1,98% pada tahun 1990, menjadi 1,49% pada tahun 2000 dan pada tahun 2012 menjadi 1,3%.

Untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk di Indonesia, tidak hanya peran serta perempuan, sebagai pihak yang melahirkan anak. Pria harus berperan serta dalam pengendalian dan pertambahan penduduk di Indonesia (BKKBN, 2004).

Peran serta pria dalam menjalankan program Keluarga Berencana masih rendah. Pada Propenas Tahun 2000-2004 menetapkan peran pria dalam program KB sebesar 8,0% pada tahun 2004, namun demikian dengan memperhatikan pergerakan yang sangat lambat dari tahun ke tahun, maka pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menyepakati kembali peran pria dalam program KB menjadi, 4,5% pada tahun 2010 dan 6,5% pada tahun 2015 (BKKBN, 2005).

Angka peran pria dalam KB di Indonesia relative rendah dibandingkan dengan negara lain, seperti Banglades 13,9% pada tahun 1997, Malaysia 16,8% pada tahun 1998, sedangkan di negara maju seperti Jepang, Amerika, Eropa 19,6% pada tahun 2010 (BKKBN, 2002)

Rendahnya peran pria dalam program KB pada dasarnya tidak terlepas dari flperasionalisasi program yang dilaksanakan selama ini yang lebih mengarah kepada perempuan sebagai sasaran. Demikian juga dengan penyiapan tempat pelayanan, tenaga pelayanan dan penyediaan alat kontrasepsi untuk pria sangat terbatas yaitu hanya kondom dan sterilisasi/kontrasepsi mantap (kontap) pria.

Di samping itu ditinjau dari aspek komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) rendahnya peran pria disebabkan antara lain: (l) Informasi metode KB pria untuk klien tidak lengkap; (2) Bias sasaran KIE dan konseling KB dan kesehatan reproduksi (KR) yang lebih banyak diarahkan kepada perempuan; (3) Remaja pria kurang tersentuh KIE dan konseling; (4) Provider kurang faham dan tertarik dengan metode kontrasepsi pria; (5) Informasi tempat pelayanan tidak jelas; (6) Informasi "polisy makers" sedikit; (7) Data dan analisa kontrasepsi pria masih minimal (BKKBN, 2000).

Menurut Pangkahila (2000) terdapat tiga faktor utama rendahnya peran pria menjadi akseptor KB, yaitu: (1) Perbedaan peran jender antara suami dan istri; (2) Terbatasnya metode atau cara kontrasepsi yang tersedia; dan (3) Kurangnya pengetahuan pria tentang kontrasepsi. Dalam hal perbedaan jender, terdapat dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap rendahnya peran pria dalam program KB adalah peran suami yang dominan daripada istri dan kesiapan istri yang lebih tinggi untuk menerima program KB. Ketika berbicara mengenai KB secara langsung pikiran tertuju pada istri yang harus menggunakan alat kontrasepsi, sedangkan suami tidak mempunyai urusan dengan perencanaan

(5)

kehamilan dan kelahiran. Persepsi peran peperti ini merupakan pendapat yang salah bahwa KB adalah urusan perempuan.

Pelaksanaan program KB saat ini didominasi oleh pemakaian alat kontrasepsi wanita, atau istri yang ikut ber KB, hal ini dapat dilihat dari aspek pemakaian alat kontrasepsi pria yang masih rendah di di Jawa Barat pada tahun 2013 akseptor KB pria adalah MOP(0,21%) dan Kondom (3,37%). Di Majalengka berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Majalengka tahun 2013 di Kabupaten Majalengka jumlah akseptor KB pria adalah MOP (1,7%) dan kondom

(1,9%). dan responden di ambil dari peserta KB pria di Puskesmas Cigasong. Berdasarkan data rekapitulasi dari UPTD Puskesmas Cigasong tahun 2013 dalam laporan UPTD Puskesmas Cigasong terdapat jumlah akseptor KB pria yaitu MOP (11,2%) dan kondom (11%).

Rendahnya peran pria dalam program KB sangat memprihatinkan, Pengambilan keputusan keluarga sebagian besar masih didominasi suami, termasuk dalam pengaturan jumlah anak. serta juga letak wilayah kelurahan yang berada di jalur transportasi sehingga memudahkan untuk akses ke pelayanan kesehatan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi analitik dengan rancangan penelitian case

control. Dalam penelitian ini akan di

telusuri penggunaan kontrasepsi pria, serta faktor-faktor yang berhubungan dengan akseptor KB pria dalam program KB. Objek penelitian yang diambil adalah pria/suami yang ikut KB sebagai kasus dan pria/suami yang tidak ikut KB sebagai kontrol.

Sampel penelitian adalah seluruh pria yang telah mengikuti program KB, dengan rincian kasus 114 responden dan kontrol 114 responden. Pengambilan sampel diambil dengan cara sistimatis

random sampling yang diambil secara

interval dari populasi KB pria.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah melihat data rekam medik penggunaan kontrasepsi adapun batas untuk kasus yaitu pria/suami yang ikut KB sebagai peserta yang menggunakan kondom maupun vasektomi, yaitu suami yang berpartisipasi dalam KB, yaitu sebagai akseptor KB yang dilihat dari karakteristik umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah anak, dan agama. Sedangkan batasan untuk kontrol yaitu pria /suami yang tidak ikut KB dengan status menikah dan istri usia reproduktif, dan istri yang ber KB.

(6)

1. Pengguaan KB pria berdasarkan umur responden di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong

Tabel 1.1 Distribusi resonden berdasarkan umur di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tahun 2015

Umur Frekuensi Persentase (%)

< 30 tahun 96 42.1

> 30 tahun 132 57.9

Jumlah 228 100.0

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perbandingan umur adalah 4:6 yaitu, responden dengan umur < 30 tahun sebanyak 42.1%, sedangkan

responden dengan umur > 30 tahun sebesar 57.9%. Dengan demikian kurang dari setengahnya 42.1% dengan umur < 30 tahun.

2. Pengguanaan KB pria berdasarkan pendidikan responden di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong

Tabel 1.2 Distribusi resonden berdasarkan pendidikan di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tahun 2015

Pendidikan Frekuensi Persentase (%)

Rendah 88 38.6

Tinggi 140 61.4

Jumlah 228 100.0

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perbandingan pendidikan adalah 4:6 yaitu, responden dengan pendidikan rendah sebesar 38.6%,

sedangkan responden dengan pendidikan tinggi sebesar 61.4%. Dengan demikian lebih dari setengahnya 61.4% responden yang berpendidikan rendah.

3. Pengguaan KB pria berdasarkan pekerjaan responden di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong

Tabel 1.3 Distribusi resonden berdasarkan pekerjaan di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tahun 2015

Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)

(7)

Bekerja 193 84.6

Jumlah 228 100.0

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perbandingan pekerjaan adalah 2:8 yaitu, responden yang tidak bekerja sebesar 15.4%, sedangkan pada

responden yang bekerja sebesar 84.6%. Dengan demikian sebagian kecil 15.4% responden yang tidak bekerja.

4. Pengguaan KB pria berdasarkan jumlah anak responden di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong

Tabel 1.4 Distribusi resonden berdasarkan jumlah anak di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tahun 2015

Jumlah Anak Frekuensi Persentase (%)

1 – 3 anak 138 60.5

> 3 anak 90 39.5

Jumlah 228 100.0

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perbandingan jumlah anak adalah 6:4 yaitu, responden dengan jumlah anak 1 – 3 orang sebesar 60.5%, sedangkan responden dengan jumlah anak

> 3 orang sebesar 39.5%. Dengan demikian lebih dari setengahnya 60.5% responden dengan jumlah anak 1 – 3 Orang.

5. Pengguaan KB pria berdasarkan agama responden di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong

Tabel 1.5 Distribusi resonden berdasarkan agama di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tahun 2015

Agama Frekuensi Persentase (%)

Islam 191 83.8

Non Islam 37 16.2

Jumlah 228 100.0

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perbandingan agama adalah 8:2 yaitu, responden yang beragama Islam sebesar 83.8%,

sedangkan responden non Islam sebesar 16.2%. Dengan demikian Sebagian besar 83.8% responden beragama Islam.

6. Hubungan antara umur suami dengan penggunaan alat kontrasepsi pria

di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong

(8)

Tabel 1.6 Distribusi resonden berdasarkan umur suami dan

penggunaan alat kontrasepsi pria di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tahun 2015 Umur Penggunaan KB OR (95% CI) p value Kasus Kontrol N % n % < 30 tahun 60 52.6 36 31.6 2.407 (1.404- 4.129) 0.001 ≥ 30 tahun 54 47.4 78 68.4 Jumlah 114 100.0 114 100.0 Berdasarkan tabel di atas

diketahui bahwa proporsi responden dengan umur < 30 tahun dan menggunakan kontrasepsi sebanyak 52.6%, sedangkan responden dengan umur < 30 tahun dan tidak menggunakan kontrasepsi sebesar 31.6%. Hasil uji statistik diketahui bahwa p value = 0.001 yang berarti ada hubungan antara umur

suami dengan penggunaan alat kontrasepsi pria. Dari tabel tersebut terlihat nilai OR = 2.407(CI : 1.404-4.129) yang berarti bahwa responden dengan umur < 30 tahun berpeluang untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 2.407 lebih besar dibandingkan dengan responden dengan umur > 30 tahun.

7. Hubungan antara pendidikan dengan penggunaan alat kontrasepsi pria di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong

Tabel 1.7 Distribusi resonden berdasarkan pendidikan dan penggunaan alat kontrasepsi pria di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tahun 2015 Pendidikan Penggunaan KB OR (95% CI) p value Kasus Kontrol n % n % Rendah 57 50.0 31 27.2 2.677 (1.541- 4.651) 0.000 Tinggi 57 50.0 83 72.8 Jumlah 114 100.0 114 100.0 Berdasarkan tabel di atas

diketahui bahwa proporsi responden dengan pendidikan rendah dan menggunakan kontrasepsi sebanyak 50.0%, sedangkan responden dengan pendidikan rendah dan tidak menggunakan kontrasepsi sebesar 27.2%.

Hasil uji statistik diketahui bahwa p value = 0.000 yang berarti ada hubungan antara pendidikan dengan penggunaan alat kontrasepsi pria. Dari tabel tersebut terlihat nilai OR = 2.677 (CI: 1.541 - 4.651) yang berarti bahwa responden dengan pendidikan rendah berpeluang

(9)

untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 2.677 lebih besar dibandingkan dengan

responden dengan pendidikan tinggi.

8. Hubungan antara pekerjaan dengan penggunaan alat kontrasepsi pria di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong

Tabel 1.8 Distribusi resonden berdasarkan pekerjaan dan penggunaan alat kontrasepsi pria di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tahun 2015 Pekerjaan Penggunaan KB OR (95% CI) p value Kasus Kontrol n % n % Tidak Bekerja 25 21.9 10 8.8 2.921 (1.331 - 6.412) 0.005 Bekerja 89 78.1 104 91.2 Jumlah 114 100.0 114 100.0 Berdasarkan tabel di atas

diketahui bahwa proporsi responden yang tidak bekerja dan menggunakan kontrasepsi sebanyak 21.9%, sedangkan responden yang tidak bekerja dan tidak menggunakan kontrasepsi sebesar 8.8%. Hasil uji statistik diketahui bahwa p value = 0.005 yang berarti ada hubungan antara

pekerjaan dengan penggunaan alat kontrasepsi pria. Dari tabel tersebut terlihat nilai OR = 2.921 (CI: 1.331 - 6.412) yang berarti bahwa responden tidak bekerja berpeluang untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 2.921 lebih besar dibandingkan dengan responden yang bekerja.

9. Hubungan antara jumlah anak dengan penggunaan alat kontrasepsi pria di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong

Tabel 1.9 Distribusi resonden berdasarkan jumlah anak dan penggunaan alat kontrasepsi pria di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tahun 2015 Jumlah Anak Penggunaan KB OR (95% CI) p value Kasus Kontrol n % n % 1 – 3 anak 80 70.2 58 50.9 2.272 (1.319 - 3.914) 0.003 > 3 anak 34 29.8 56 49.1 Jumlah 114 100.0 114 100.0 Berdasarkan tabel di atas

diketahui bahwa proporsi responden

dengan jumlah anak 1-3 orang dan menggunakan kontrasepsi sebanyak

(10)

70.2%, sedangkan responden dengan jumlah anak 1-3 orang dan tidak menggunakan kontrasepsi sebesar 50.9%. Hasil uji statistik diketahui bahwa p value = 0.003 yang berarti ada hubungan antara jumlah anak dengan penggunaan alat kontrasepsi pria. Dari tabel tersebut

terlihat nilai OR = 2.272 (CI: 1.319 - 3.914) yang berarti bahwa responden dengan jumlah anak 1 – 3 berpeluang untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 2.272 lebih besar dibandingkan dengan responden memiliki anak > 3.

10. Hubungan antara agama dengan penggunaan alat kontrasepsi pria di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tabel 1.10 Distribusi resonden berdasarkan agama dan penggunaan

alat kontrasepsi pria di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Tahun 2015 Agama Penggunaan KB OR (95% CI) p value Kasus Kontrol n % n % Islam 102 89.5 89 78.1 2.388 (1.134 - 5.028) 0.018 Non Islam 12 10.5 25 21.9 Jumlah 114 100.0 114 100.0 Berdasarkan tabel di atas

diketahui bahwa proporsi responden yang beragama Islam dan menggunakan kontrasepsi sebanyak 89.5%, sedangkan responden yang beragama Islam dan tidak menggunakan kontrasepsi sebesar 78.1%. Hasil uji statistik diketahui bahwa p value = 0.018 yang berarti ada hubungan antara

agama dengan penggunaan alat kontrasepsi pria. Dari tabel tersebut terlihat nilai OR = 2.388 (CI: 1.134 - 5.028) yang berarti bahwa responden yang beragama Islam berpeluang untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 2.388 lebih besar dibandingkan dengan responden beragama non Islam.

PEMBAHASAN

1. Hubungan Umur dengan Penggunaan KB Pria

Hasil analisa data diketahui

value = 0,001 yang berarti ada

hubungan antara umur dengan penggunaan alat kontrasepsi pria. Proporsi responden yang tidak menggunakan kontrasepsi pada responden umur > 30 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan umur < 30 tahun. Nilai OR = 2.407 (CI : 1.404 - 4.129) yang

berarti bahwa responden dengan umur < 30 tahun berpeluang untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 2.407 lebih besar dibandingkan dengan responden dengan umur > 30 tahun.

Hal ini sejalan dengan studi peran pria dalam penggunaan kontrasepsi (Puslitbang KB, 2001), menyatakan bahwa keinginan suami untuk menggunakan kontrasepsi diantaranya adalah faktor usia yang cukup dewasa

(11)

dengan status kawin sehingga berpengaruh terhadap penerimaan. Hasil penelitian di Jawa Barat dan Sumatra Selatan didapatkan suami yang ikut KB adalah rata-rata umur suami 39 tahun dan istri 33 tahun, usia termuda suami 23 tahun dan istri 18 tahun, sedangkan responden tertua berumur 60 tahun danumur istri 55 tahun. Hal ini terjadi di Jawa Barat. Di Sumsel rata-rata umur responden suami 38 tahun, istri 31 tahun, umur termuda 18 tahun dan istri 18 tahun, sedangkan umur responden tertua 70 tahun dan umur istri tertua 56 tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh BKKBN (1999) tetang ciri-ciri akseptor baru di luar Jawa dan Bali menunjukan bahwa ada hubungan antara umur dengan pemakaian alat kontrasepsi, dimana akseptor baru lebih banyak pada akseptor muda (<30 tahun). Demikian pula halnya dengan pendidikan, dimana sebagian besar (83,57) akseptor baru berpendidikan rendah (SD ke bawah).

2. Hubungan Pendidikan dengan Penggunaan KB Pria

Ada hubungan antara pendidikan dengan penggunaan alat kontrasepsi pria,

value = 0,000. Proporsi responden dengan

pendidikan tinggi dan tidak menggunakan kontrasepsi lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang berpendidikan rendah. Dari tabel tersebut terlihat nilai OR = 2.677 (CI: 1.541 - 4.651) yang berarti bahwa responden dengan pendidikan rendah berpeluang untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 2.677lebih besar dibandingkan dengan responden dengan pendidikan tinggi.

Pendidikan formal seseorang akan mempengaruhi pengetahuannya. orang dengan pendidikan formal lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih

tinggi di banding dengan orang dengan tingkat pendidikan formal lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudahmengalami arti dan pentingnya kesehatan serta pemampaatan pelayanan kesehatan. (Notoatmodjo, 2003)

Pada umumnya kedudukan suami dalam keluarga sebagai kepala keluarga, sehingga semua kehendak dan pendapat suami cenderung menjadi keputusan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan suami akan semakin dapat mempertimbangkan bahwa bukan saja melihat asset keluarga, tetapi lebih penting dari itu adalah semakin menyadari akan kewajiban –kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Dengan kata lain semakin tinggi pendidikan suami akan semakin mementingkan segi kualitas anak daripada kuantitasnya, sehingga akan cenderung memilih mempunyai anak sedikit yang pada giliranya lebih baik memakai alat kontrasepsi (BKKBN, 1999).

Partisipasi dalam ber-KB juga berhubungan dengan upaya sosialisasi metode kontrasepsi pria yang rendah. Pro- kontra pada proses Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) alat kontrasepsi pria mengindikasikan bahwa upaya promosi kontrasepsi pria yang belum maksimal. 3. Hubungan Pekerjaan dengan Penggunaan KB Pria

Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada hubungan antara pekerjaan dengan penggunaan alat kontrasepsi pria,

value = 0,005. Proporsi responden yang

bekerja dan tidak menggunakan kontrasepsi lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak bekerja dan tidak menggunakan kontrasepsi. Nilai OR = 2.921 (CI: 1.331 - 6.412) yang berarti bahwa responden tidak bekerja

(12)

berpeluang untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 2.921 lebih besar dibandingkan dengan responden yang bekerja.

Pekerjaan merupakan sesuatu yang dikerjakan, dilakukan atau di perbuat (Kamus besar bahasa Indonesia, 2005). pekerjaan menggambarkan tingkat social ekonomi seseorang dalam keluarga. Hasil penelitian SDKI (2007) menunjukan bahwa persentase pemakaian alat kontrasepsi pria, lebih banyak ditemukan pada suami yang memiliki sosial ekonomi menengah keatas.

Berdasarkan hasil studi FK Muhamadiyah-PUBIO BKKBN (1999), menyatakan bahwa status pekerjaan responden berpengaruh secara bermakna terhadap pemakaian kontrasepsi (p<0,05). Dimana semakin tinggi tingkat pekerjaan atau status social responden, maka semakin tinggi tingkat kesertaan ber KB. Hal yang sama juga terlihat pada tingkat pendapatan responden, dimana kemampuan untuk membeli alat kontrasepsi semakin tinggi sehingga kesempatan untuk menggunakan kontrasepsi semakin besar.

Disamping penelitian-penelitian yang berkaitan dengan hubungan antara tingkat ekonomi denagan pemakaian alat/cara kontrasepsi, beberapa teori perilaku mengatakan hal yang sama. Artinya tingkat ekonomi berpengaruh terhadap perilaku seseora dalam memakai alat/cara kontrasepsi.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Yani (2011), diperoleh hasil penelitian bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan terhadap penggunaan alat kontrasepsi pria di wilayah kerja Puskesmas Simeuleu Timur.

Dengan demikian diharapkan melakukan pembinaan pemasaran pada Usaha peningkatan pendapatan keluarga Sejahtera dan melakukan studi pasar untuk meningkatkan taraf hidup sehingga akseptor KB pria termotivasi untuk berKB 4. Hubungan jumlah anak dengan penggunaan KB pria

Hasil pengolahan data diketahui bahwa bahwa p value = 0,003, yang berarti

ada hubungan antara jumlah anak dengan penggunaan alat kontrasepsi pria. Proporsi responden dengan jumlah anak >3 tidak menggunakan kontrasepsi lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan jumlah anak 1 – 3. Nilai OR = 2.272 (CI: 1.319 - 3.914) yang berarti bahwa responden dengan jumlah anak 1 – 3 berpeluang untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 2.272 lebih besar dibandingkan dengan responden memiliki anak > 3.

Menurut Soeradji dan Hatmadji (1981), di daerah Jawa Timur menunjukan bahwa jumlah anak yang masih hidup merupakan faktor yang dalam penentuan pemakaian alat kontrasepsi, diperkirakan semakin banyak jumlah anak yang masih hidup semakin tinggi pemakaian alat kontrasepsi. Sedangkan hasil penelitian Biro Pusat Statistik (2007) terlihat bahwa mempunyai anak 3 orang dengan memakai alat kontrasepsi sebesar 50-51%, yang mempunyai anak 2 orang sebesar 44.70% dan yang mempunyai 1 anak sebesar 29.40%.

5. Hubungan agama dengan penggunaan KB pria

Berdasarkan analisis data diketahui bahwa ada hubungan antara agama dengan penggunaan alat kontrasepsi pria, p value = 0,018. Proporsi

(13)

responden beragama Islam dan non Islam dan tidak menggunakan kontrasepsi lebih tinggi dibandingkan dengan responden beragama Islam. Dari tabel tersebut terlihat nilai OR = 2.388 (CI: 1.134 - 5.028) yang berarti bahwa responden yang beragama Islam berpeluang untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 2.388 lebih besar dibandingkan dengan responden beragama non Islam.

KB adalah gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran. Dengan kata lain KB adalah perencanaan jumlah keluarga. Pembatasan bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontra sepsi atau penanggulangan kelahiran seperti kondom, spiral, IUD dan sebagainya. Jumlah

anak dalam sebuah keluarga yang dianggap ideal adalah dua.

Dalam masyarakat keanggotaan seseorang di dalam suatu kelompok sosial mempengaruhi pengalaman dan perilakunya. Pengaruh struktur sosial sesungguhnya lebih kuat daripada kenyataan umumnya. Seseorang yang mempunyai kelas sosial yang tinggi dalam masyarakat bisa disebut tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat ini dibedakan atas tokoh formal dan non formal.

Dengan demikian diharapkan dapat melakukan pendekatan dan kerjasama pada tokoh masyarakat, tokoh Agama, serta tokoh adat setempat sehingga KB dapat diterima Khusunya bagi suami.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Variabel yang secara signifikan berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi pria adalah umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah anak, dan agama.

2. Proporsi kasus pengguna alat kontrasepsi pria adalah sebanyak 11,0%.

Saran

Meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi bagi pasangan usia subur mengenai peran pria dalam ber-KB dengan peran petugas KB melalui konseling atau Penyuluhan, maupun pemasangan pesan di media massa dan elektronik, dan mendekatkan ke sasaran pelayanan. Melakukan pendekatan dan kerjasama pada tokoh masyarakat, tokoh Agama, serta tokoh adat setempat sehingga KB dapat diterima Khusunya bagi suami.

DAFTAR PUSTAKA

Bertrand, Jane T. Audience Researche For

Improving Family Planning

Communication Program.

Community and Family Study Centre University or Chicago; 1980

BKKBN, (1999). Studi Gender Peran

Pria dalam Penggunaan

Kontrasepsi di DIY, Kerjasama

Fakultas Kedokteran Muhamadiah– PUDIO BKKBN. Jakarta.

(14)

_______, (2002a). BukuSumber Advokasi:

Keluarga Berencana, Kesehatan

Reproduksi, Gender, dan

Pembangunan Kependudukan,

Kerjasama BKKBN-UNFPA. Jakarta.

______, (2002b). Partisipasi Pria/Suami

dalam Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, BKKBN.

Jakarta

______, (2002c). Studi Peran Pria dalam

Penggunaan Kontrasepsi di Jawa

Barat dan Sumatra Selatan,

BKKBN. Jakarta.

______, (2002d). Studi kualitatif:

identifikasi sasaran Khalayak

Partisipasi Pria dalam Keluarga

Berencana dan Kesehatan

Reproduksi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, BKKBN. Jakarta.

______, (2004a). Hubungan Beberapa

Faktor dengan Partisipasi Pria dalam Ber KB dan KR di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur,

Laporan SeriHasul Analisis Lanjut Data SM-PFA 2002-2003, BKKBN. Jakarta.

______, (2004b). Materi Rapat Kerja

Daerah Program Kerja Nasional di Propinsi Sumatra Selatan Tahun

2004, BKKBN. Sumsel,

Palembang.

______, (2005a). Keluarga Berencanadan

Kesehatan Reproduksi: Kebijakan, Program dan Kegiatan Tahunan 2005-2009,BKKBN. Jakarta.

_______, (2005b). Pedoman

Penggarapan Peningkatan

Partisipasi Pria dalam Keluarga

Berencana danKesehatan

Reproduksi yang Berwawasan

Gender, BKKBN. Jakarta.

_______, (2005c). Ada apa dengan

Gender dalam Keluarga Berencana

dan Kesehatan Reproduksi,

BKKBN dan ADB. Jakarta.

_______, (2006). Buku Saku Bagi Petugas Lapangan Program KB Nasional Materi Konseling, BKKBN. Jakarta.

_______, (2009a). Materi Konseling

Untuk Membantu Klien Memilih Jenis Kontrasepsi, Jakarta.

________, (2009b). Panduan Praktis

Pelayanan Kontrasepsi, Jakarta.

________, (2009c). Pedoman Peningkatan Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana, Jakarta.

Effendi. (2004). Dasar-dasar

Keperawatan Kesehatan

Masyarakat. Jakarta : EGC

Green, L. W, et al (1980). Health

Education Planning, a Diagnostic

Approach. Mayfile Puslishing

Company.

Hartanto, H. (2004). Keluarga Berencana

dan Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka

Sinar Harapan.

Mochtar, Rustam, (1998). Sinopsi Obstetric, Jakarta, EGC.

Notoatmodjo,S. (2005). Pendidikan dan

Prilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Sarwono. (2003). Buku Panduan Praktis

Pelayanan Kontrasepsi. Yayasan

Bina Pustaka. Jakarta.

Widyastuty, Yani et al, (2009). Kesehatan

Reproduksi. Yogyakarta:

(15)

Wiknjosastro. (2005). Kontrasepsi dan

Kesehatan Seksual Reproduktif.

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen produksi merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan penciptaan atau pembuatan barang, jasa, atau kombinasinya, melalui proses transformasi dari masukan

Hasil observasi sebelum tindakan ditemukan bahwa kemampuan motorik halus anak khususnya dalam kegiatan menjahit pada anak kelompok B2 Raudhatul Athfal An Nur

Reaktor merupakan tempat terjadinya reaksi kimia, perancangan atas alat ini sangat spesifik, tergantung pada: jenis reaksi yang terjadi ( homogen, heterogen, eksotermal,

konstruksi Undang-undang Desa terhadap tidak membedakan antara desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum

Aset keuangan (atau mana yang lebih tepat, bagian dari aset keuangan atau bagian dari kelompok aset keuangan serupa) dihentikan pengakuannya pada saat: (1) hak kontraktual atas arus

Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa pengaruh tahapan penimbunan terhadap gaya tarik geotekstil pada tanah lempung lunak dengan permeabilitas rendah tidak

Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan jenis protein dalam substrat, jumlah kandungan protein dalam substrat, aktivitas masing-masing bromelain yang digunakan

Untuk mengatasi permasalahan perekonomian itu perlu adanya SDM yang berkualitas untuk investasi dalam bentuk tenaga kerja, untuk itu guru harus bisa membangkitkan minat siswa