• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang dapat menyebabkan gangguan kualitas hidup dan memperpendek harapan hidup (Wong, 2014). Pasien PJK yang pernah mengalami infark miokard memiliki risiko kejadian infark miokard berulang 1,5 kali lebih tinggi dan angka kematian 5-6 kali lebih tinggi dibandingkan orang tanpa PJK, sehingga diperlukan pencegahan sekunder agar dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitasnya (Mendis et al., 2005; Nakatani et al., 2013).

Pedoman penatalaksanaan dari American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) menyarankan percutaneous coronary intervention (PCI) serta penggunaan antitrombotik yaitu aspirin dan penghambat reseptor P2Y12 (klopidogrel dan ticagrelor) untuk mendukung reperfusi setelah PCI (4). Pedoman menyarankan penggunaan aspirin dengan jangka waktu tidak terbatas serta klopidogrel dan ticagrelor disarankan sampai 1 tahun (5,6).

Aspirin (asam asetil salisilat) merupakan obat penghambat cyclooxygenase (COX) sehingga mencegah agregasi trombosit (Yusuf et al., 2001). Klopidogrel merupakan pro-drug derivat thienopyridine yang menghambat reseptor adenosine diphosphate (ADP) P2Y12 secara ireversibel pada trombosit yang metabolismenya dipengaruhi oleh polimorfisme enzim CYP450 (Kumar & Cannon, 2009). Ticagrelor adalah obat penghambat reseptor P2Y12 secara reversibel pada

(2)

trombosit yang relatif masih baru (Dobesh & Oestreich, 2014) yang tidak dipengaruhi oleh metabolisme enzim CYP450 (10).

Ketiga obat antitrombotik tersebut dapat mencegah terjadinya Major Adverse Cardiovascular (MACE) pada pasien dengan PJK (CAPRIE, 1996; Wallentin et al., 2009). MACE merupakan gabungan tindakan revaskularisasi koroner, kejadian infark miokard, dan kematian (13,14).

Efek aspirin dan klopidogrel bersifat sinergis (15). Meta analisis mengenai terapi kombinasi aspirin dan klopidogrel dibandingkan aspirin monoterapi dapat menurunkan risiko kejadian kardiovaskuler sebesar 9%, infark miokard sebesar 14%, stroke sebesar 16%, dan meningkatkan kejadian perdarahan sebesar 62% (16).

Penelitian PLATO mengungkapkan bahwa setelah pemberian terapi aspirin dan ticagrelor selama 12 bulan memiliki angka kematian 9,8% dibandingkan aspirin dan klopidogrel 11,7% (hazard ratio (HR) 0,84; interval kepercayaan (IK) 95%, 0,77-0,92l; p<0,001). Infark miokard terjadi 5,8% pada kelompok ticagrelor dibandingkan 6,9% pada kelompok klopidogrel (HR 0,84, IK 95% 0,75-0,95, p=0,005). Stroke terjadi pada 1,5% pada ticagrelor dibandingkan 1,3% pada klopidogrel (HR 1,17, IK 95% 0,91-1,52, p=0,022). Hal ini menunjukkan bahwa ticagrelor lebih unggul dibandingkan klopidogrel dalam mencegah MACE (12,17). Pada populasi Asia, efektivitas ticagrelor lebih baik dibandingkan klopidogrel pada beberapa luaran klinis namun pada primary efficacy end point antara ticagrelor dibandingkan klopidogrel tidak berbeda signifikan (HR 0,84, IK 95% 0,61-1,17), infark miokard atau kematian akibat vaskuler (HR 0,75, IK 95%

(3)

0,49-1,16), stroke (HR 1,01, IK 0,44-2,32) dan trombosis stent (HR 0,91, IK 95% 0,37-2,25) (18).

Indonesia memiliki populasi dan faktor risiko PJK yang berbeda dengan negara lain. Faktor risiko utama PJK seperti diabetes mellitus (DM), hipertensi, kadar lipid tinggi dan merokok banyak ditemukan (19,20). Selain itu, penelitian mengenai efektivitas ticagrelor yang merupakan obat relatif baru dan lebih mahal dibandingkan dengan klopidogrel pada kondisi nyata di lapangan belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian mengenai terapi ticagrelor dibandingkan dengan klopidogrel terhadap MACE pada pasien PJK pasca PCI yang terjadi di Indonesia dengan rancangan penelitian retrospective cohort. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK ) yang merupakaan rujukan nasional Indonesia (21).

I. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diajukan adalah: Apakah terapi ticagrelor lebih efektif dibandingkan dengan klopidogrel terhadap MACE (tindakan revaskularisasi berulang, infark miokard dan kematian) dengan pengamatan selama 1 tahun pada pasien PJK pasca PCI di RSJPDHK Jakarta?

(4)

I. 3. Tujuan Penelitian

I.3.1. Tujuan Umum:

Mengetahui efektivitas terapi ticagrelor dibandingkan dengan klopidogrel terhadap MACE (tindakan revaskularisasi berulang, infark miokard dan kematian) dengan pengamatan selama 1 tahun pada pasien PJK pasca PCI di RSJPDHK Jakarta.

I.3.2. Tujuan Khusus:

1. Mengetahui angka kejadian dan risiko MACE (tindakan revaskularisasi berulang, infark miokard dan kematian) pada pasien PJK pasca PCI yang menggunakan ticagrelor dibandingkan klopidogrel di RSJPDHK.

2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian MACE (tindakan revaskularisasi berulang, infark miokard dan kematian) pada pasien PJK pasca PCI yang menggunakan ticagrelor dibandingkan klopidogrel di RSJPDHK.

I. 4. Keaslian Penelitian

Penggunaan terapi ticagrelor dibandingkan klopidogrel terhadap MACE telah dilakukan di beberapa penelitian seperti:

1. Wallentin et al., (2009), pada penelitian PLATO dengan subjek 18624 pasien sindrom koroner akut (SKA) mengungkapkan bahwa setelah pemberian terapi aspirin selama 12 bulan bersamaan dengan penghambat P2Y12, ticagrelor memiliki MACE 9,8% dibandingkan klopidogrel 11,7% (HR 0,84; IK 95%, 0,77-0,92l; p<0,001). Infark miokard terjadi 5,8% pada kelompok ticagrelor

(5)

dibandingkan 6,9% pada klopidogrel (HR 0,84, IK 95% 0,75-0,95, p=0,005). Stroke terjadi pada 1,5% pada ticagrelor dibandingkan 1,3% pada klopidogrel (HR 1,17, IK 95% 0,91-1,52, p=0,022). Hal ini menunjukkan bahwa ticagrelor lebih unggul dibandingkan klopidogrel dalam mencegah MACE. 2. Steg et al., (2010), melalukan analisis post hoc dari penelitian PLATO

dengan subjek 7544 pasien untuk membandingkan efek ticagrelor dibandingkan klopidogrel pada pasien dengan SKA ST elevation yang mendapatkan terapi primary PCI. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat penurunan primary end point (gabungan infark miokard, stroke dan kematian kardiovaskuler) pada ticagrelor 9,4% dibandingkan klopidogrel 10,8% (HR 0,87, IK 95%, 0,75-1,01, p=0,07) namun tidak signifikan. Ticagrelor menurunkan berbagai secondary end point dibandingkan klopidogrel, yang meliputi infark miokard (4,7% vs 5,8%, HR 0,80, IK 95% 0,65-0,98, p=0,03), kematian total yang tidak signifikan (5,0% vs 6,1%, HR 0,82, IK 95% 0,67-1,00, p=0,05), trombosis stent (2,6% vs 3,4%, HR 0,66, IK 95% 0,45-0,95, p=0,03), peningkatan risiko stroke (1,7% vs 1,0%, HR 1,63, IK 95% 1,07-2,48, p=0,02) dan kejadian perdarahan besar yang tidak signifikan (9,0% vs 9,2%, HR 0,98, IK 95% 0,83-1,14, p=0,76)

3. Lindholm et al., (2014) melakukan analisis post hoc dari penelitian PLATO dengan 11,080 pasien SKA untuk membandingkan efek ticagrelor dibandingkan klopidogrel pada pasien dengan non-ST elevation acute

coronary syndrome (NSTE-ACS) yang mendapatkan terapi revaskularisasi

(6)

angiografi 74%, PCI 46% dan coronary artery bypass graft (CABG) 5%.

Primary end point lebih baik pada ticagrelor dibandingkan klopidogrel

(10,0% vs 12,3%, HR 0,83, IK 95% 0,74-0,93), penurunan infark miokard (6,6 vs 7,7%, HR 0,86, IK 95% 0,74-0,99), penurunan kematian kardiovaskuler (3,7% vs 4,9%, HR 0,77, IK 95% 0,64-0,93), penurunan kematian akibat segala hal (4,3% vs 5,8%, HR 0,76, IK 95% 0,64-0,90), peningkatan perdarahan besar namun tidak signifikan (13,4% vs 12,6%, HR 1,07, IK 95% 0,95-1,19), namun ticagrelor terkait dengan peningkatan kejadian perdarahan major pada tindakan non CABG (4,8% vs 3,8%, HR 1,28, IK 95% 1,05-1,56).

4. Kang et al., (2015), untuk membandingkan ticagrelor dengan klopidogrel pada pasien Asia (1008 pasien) dengan studi RCT dan membandingkan secara retrospective dengan penelitian PLATO yang telah dilakukan. Pada penelitian ini, terdapat populasi pasien Indonesia namun tidak spesifik. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian terapi ticagrelor dibandingkan klopidogrel antara pasien Asia dan non Asia pada parameter luaran primer HR 0,84 (IK 95% 0,61-1,17) vs 0,85 (IK 95%, 0,77-0,93, p=0,974), keuntungan klinis HR 0,85 (IK 95% 0,65-1,11) vs HR 0,93 (IK (95%, 0,86-0,99, p=0,521), dan kejadian perdarahan HR 1,02 (IK 95% 0,70-1,49) vs 1,04 (IK 95%, 0,95-1,14, p=0,938). Secara keseluruhan tidak ada perbedaan signifikan antara populasi Asia dan non Asia, namun pada populasi Asia tidak terdapat perbedaan signifikan pada parameter luaran primer dan keuntungan klinis pemberian ticagrelor dibandingkan klopidogrel. Namun, pada populasi

(7)

Asia, tidak terdapat peningkatan atau penurunan yang signifikan terhadap luaran primer HR 0,84 (IK 95% 0,61-1,17, keuntungan klinis HR 0,85 (IK 95% 0,65-1,11) dan kejadian perdarahan HR 1,02 (IK 95% 0,70-1,49).

5. Cowper et al., (2015), melalukan analisis health economic untuk membandingkan efektivitas biaya ticagrelor dibandingkan klopidogrel (generik) pada pasien SKA dengan sistem kesehatan Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa terapi ticagrelor selama 1 tahun mendapatkan quality adjusted life-year (QALY) sebesar $29,665 dibandingkan klopidogrel dengan perkiraan ambang batas willingness-to-pay di bawah $100,000. Ticagrelor dapat meningkatkan harapan hidup, dengan pendanaan yang lebih baik dibandingkan klopidogrel.

Penelitian sejenis sudah dilakukan seperti pada penelitian Wallentin et al. (2009), Steg et al. (2010), Lindholm et al. (2014), Kang et al. (2015), Cowper et al. (2015). Indonesia memiliki populasi dan faktor risiko PJK yang berbeda dengan negara lain. Penelitian mengenai efektivitas ticagrelor yang merupakan obat relatif baru dibandingkan klopidogrel pada kondisi nyata belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian mengenai terapi ticagrelor dibandingkan dengan klopidogrel terhadap MACE pada pasien PJK pasca PCI dengan rancangan penelitian retrospective cohort. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) yang merupakan rujukan nasional Indonesia (21). Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai efek penggunaan antitrombotik sesuai dengan pasien Indonesia.

(8)

I. 5. Manfaat Penelitian

1. Bagi dunia pendidikan dan teknologi kedokteran khususnya di Indonesia, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai efektivitas terapi ticagrelor dibandingkan dengan klopidogrel terhadap MACE pada pasien PJK pasca PCI.

2. Bagi bidang klinis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan penggunaan terapi antitrombotik pada pasien PJK pasca PCI.

Referensi

Dokumen terkait

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut

1) Dari kajian mengenai sifat reologi dasar, penambahan asbuton murni ke dalam aspal pen 60/70 akan meningkatkan kekerasan aspal tersebut seiring dengan

Ketiga tesis di atas secara substantif memang meneliti tentang pemasaran pendidikan di sebuah lembaga, baik pada sekolah tingkat menengah maupun sekolah tinggi. Akan

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam