BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mata
2.1.1. Anatomi Mata
Gambar 2.1. Anatomi Mata (Netter,2010)
Pembagian anatomi mata menurut Riordan-Eva (2009) adalah: Orbita
Secara skematis rongga orbita digambarkan sebagai piramida segi empat yang mengerucut di bagian posteriornya. Volume orbita pada orang dewasa sekitar 30mL dan bola mata hanya menempati seperlima bagian rongga. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Batas anterior rongga orbita adalah septum orbitale, yang berfungsi sebagai pemisah antara palpebra dan orbita.
Konjungtiva
Konjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu: konjungtiva palpebralis yang melapisi permukaan posterior kelopak mata dan merekat erat ke tarsus dan konjungtiva bulbaris yang melekat longgar ke septum orbital di
fornix dan melipat berkali-kali. Konjungtiva juga menyokong pergerakan bola mata dan menghasilkan lapisan air mata prakornea yang merata yang dihasilkan oleh sel-sel goblet pada lapisan epitel superfisialisnya.
Sklera dan Episklera
Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata dibagian luar, yang hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Struktur kolagen dan jaringan elastin membentang di sepanjang foramen sklera posterior, membentuk lamina kribosa, yang diantaranya dilalui oleh berkas akson nervus optikus. Bagian luar sklera terdapat sebuah lapisan yang disebut episklera. Selain sebagai pelindung, episklera juga mengandung banyak pembuluh darah untuk mendarahi sklera.
Kornea
Kornea adalah selaput bening mata yang dapat menembus cahaya, bersifat jernih, transparan, permukaan yang licin, permukaan yang lici dan berfungsi sebagai pelindung mata (Ilyas,2011). Kornea pada dewasa memiliki diameter horizontal sekitar 11,75mm dan diameter vertikal sekitar 10,6mm. Kornea dinutrisi oleh aqueous humor, pembuluh-pembuluh darah limbus, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama nervus trigeminus.
Iris
Iris berupa permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak ditengah. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator sehingga iris dapat mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Iris mendapat nutrisi dari pendarahan yang dibawa oleh circulus major iris. Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares.
Corpus Ciliare
Corpus ciliare secara zona terbagi atas dua zona yaitu: zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata yang terbentuk dari kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena verticosa dan zona posterior yang datar.
Koroid
Koroid adalah segmen postrior uvea yang terdiri dari tiga lapis pembuluh koroid yang makin dalam semakin besar lumennya. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus optikus. Di sebelah anterior, koroid bergabung dengan corpus ciliare. Pembuluh darah koroid juga berfungsi untuk mendarahi bagian luar dari retina.
Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan hampir transparan. Lensa terdiri atas air (65%) dan protein (35%). Lensa memiliki tebal 4mm dan diameter 9mm yang dilapisi suatu membran semipermeabel yang akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk. Posisi lensa dipertahankan oleh ligamentum suspensorium yang dikenal sebagai zonula Zinii.
Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina memiliki tebal 0,1mm pada ora serrata dan 0,56mm pada kutub posterior. Retina menerima darah darah dari koriokapilaris yang mendarahi sepertiga luar retina dan cabang-cabang arteria centralis retinae yang mendarahi dua pertiga dalam retina.
Vitreus
Vitreus adalah suatu bahan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Sekitar 99% komponen vitreus adalah air dan sisa 1% adalah asam hialuronat dan kolagen, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak air.
2.1.2. Histologi Mata Sklera dan Episklera
Secara histologi, sklera tersusun atas jaringan ikat padat dan fibroblas yang saling bersilangan dan paralel dengan permukaan bola mata. Permukaan luar sklera (episklera) berhubungan melalui jalinan serat
kolagen halus longgar dengan lapisan jaringan ikat padat yang disebut Kapsula Tenon. Kapsula Tenon berhubungan dengan stroma konjungtiva longgar pada perbatasan kornea dengan sklera. Diantara kapsula tenon dan sklera terdapat ruang tenon yang memungkinkan mbola mata berputar (Junqueira, 2007).
Kornea
Secara histologi kornea terdiri dari tujuh lapisan (Eroschenko, 2010). Lapisan pertama adalah epitel berlapis gepeng yang tidak mengandung keratin yang terdiri dari lima sampai enam lapis sel. Dibawah epitel ini ada membran Bowman, yang terdiri dari serat kolagen yang tersusun menyilang secara acak dan berfungsi membantu stabilitas dan kekuatan kornea. Stroma terbentuk dari lapisan berkas sejajar serat kolagen dan lapisan fibroblas. Sel-sel dan serat stroma terbenam di dalam substansi yang kaya akan glikoprotein dan kondroitin sulfat. Membran Descement adalah membran basalis tebal yang terletak di bagian posterior stroma dengan struktur homogen yang terdiri atas susunan filamen kolagen halus. Endotel kornea merupakan epitel selapis gepeng yang memiliki fungsi dalam transpor aktif, sintesis protein, dan ketahanan membran Descement.
Koroid
Merupakan lapisan yang mengandung melanosit dan memberinya warna yang khas. Koroid juga mengandung banyak pembuluh darah yang disebut lapisan koriokapiler yang berfungsi untuk nutrisi retina.
Iris
Iris adalah perluasan koroid yang menutupi sebagian lensa dan memiliki lubang dipusatnya yang disebut pupil. Iris dibentuk oleh lapisan sel pigmen dan fibroblas. Fungsi sejumlah besar sel melanosit di beberapa daerah mata adalah untuk mencegah berkas cahaya yang dapat mengganggu pembentukan bayangan.
Lensa
Lensa adalah struktur bikonkaf yang sangat elastis dan memiliki tiga komponen utama. Kapsul lensa memiliki struktur homogen, refraktil, dan kaya akan karbohidrat, yang meliputi permukaan luar sel-sel epitel. Kapsul ini merupakan suatu membran basal yang sangat tebal dan terdiri dari kolagen tipe IV dan glikoprotein. Epitel subkapsular terdiri atas selapis sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada permukaan anterior lensa. Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis dan gepeng. Sel-sel pada serat lensa berisikan proten yang disebut kristalin.
Retina
Retina dalah lapisan dalam bola mata, yang terdiri dari dua bagian. Bagian anterior yang tidak foto sensitif dan menyusun lapisan dalam badan siliar dan bagian posterior iris. Bagian posterior atau bagian yang fotosensitif. Lapisan luarnya terdiri atas sel batang dan sel kerucut, lapisan tengah menghubungkan sel batang dan sel kerucut dengan sel-sel ganglion, dan lapisan dalam sel-sel ganglion, yang berhubungan dengan sel-sel bipolar melalui dendritna dan mengirimkan akson ke susunan saraf pusat. Akson-akson ini berkumpul pada papila optikus dan membentuk nervus optikus (Junqueira, 2007).
2.1.3. Fisiologi Penglihatan
Sebagian besar bola mata ditutupi oleh suatu lapisan jaringan ikat, sklera, yang membentuk bagian putih mata. Di bagian anterior, terdapat kornea transparan yang dapat ditembus cahaya untuk masuk kedalam mata (Barret et al,2012). Sinar/cahaya adalah suatu bentuk radiasi elektromagnetik yang terdiri dari paket-paket energi mirip partikel yang berjalan dalam bentuk gelombang. Fotoreseptor mata hanya peka terhadap panjang gelombang dari 400 nanometer sampai 700 nanometer yang merupakan sebagian kecil dari spektrum elektromagnetik total.
Cahaya yang melewati kornea tidak semuanya mencapai fotoreseptor, karena adanya iris, suatu otot polos tipis berpigmen yang membentuk struktur mirip cincin di dalam aqueous humor. Iris memiliki lubang di bagian tengah yang disebut dengan pupil yang memungkinkan cahaya masuk ke bagian mata yang lebih dalam. Iris memiliki dua jenis otot polos, yaitu otot polos sirkular dan otot polos radial. Otot-otot iris ini dikendalikan oleh sistem saraf otonom. Saat keadaan sinar terang, saraf parasimpatis menyarafi otot sirkular dan menyebabkan konstriksi pupil untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke mata, sementara saraf simpatis menyarafi otot radial saat intensitas cahaya rendah sehingga menyebabkan dilatasi pupil dan sinar yang masuk ke mata lebih banyak (Sherwood,2007).
Sumber cahaya mengalami divergensi (memancar ke segala arah) sehingga harus dibelokkan agar dapat difokuskan pada satu titik agar diperoleh bayangan yang akurat. Ketika masuk ke suatu medium dengan densitas tinggi, berkas cahaya melambat dan arah berkas berubah jika cahaya tersebut mengenai permukaan medium baru yang tidak tegak lurus. Berbeloknya berkas sinar dikenal sebagai refraksi (pembiasan). Derajat refraksi dipengaruhi oleh rasio dari kedua indeks refraktif pada kedua medium transparan dan derajat angulasi dari sinar cahaya yang masuk (Hall dan Guyton, 2011).
Kornea dan lensa merupakan struktur penting dalam kemampuan refraktif mata. Permukaan kornea yang melengkung merupakan struktur pertama yang dilewati sinar saat masuk ke mata sehingga memiliki peran paling besar dalam kemampuan refraktif total mata karena perbedaan dalam densitas pada pertemuan udara-kornea. Kemampuan refraktif kornea tidak berubah karena kelengkungan kornea tidak pernah berubah. Namun, kemampuan refraktif lensa dapat diubah-ubah dengan mengdiubah-ubah kelengkungannya.
Kemampuan lensa dalam menyesuaikan kekuatan lensa disebut sebagai akomodasi. Kekuatan lensa dipengaruhi oleh bentuknya (kelengkungan) dan pengaruh dari otot siliaris. Otot siliaris adalah bagian dari badan siliar yang melingkar dan melekat ke lensa melalui ligamentum suspensorium (Sherwood, 2007). Aktivitas otot siliaris diatur oleh sistem saraf otonom, sinyal saraf
parasimpatis yang dihantarkan ke mata melalui saraf kranial III dan nukleus saraf III dibatang otak akan menimbulkan kontraksi pada otot siliaris, yang akan mengendurkan ligamentum suspensorium, sehingga lensa lebih tebal dan meningkatkan daya biasnya. Otot siliaris juga dikontrol oleh stimulasi saraf simpatis untuk relaksasi sehingga lensa memipih (Hall dan Guyton, 2011).
Fungsi utama mata adalah memfokuskan berkas cahaya dari lingkungan ke sel batang dan sel kerucut,sel fotoreseptor retina (Sherwood, 2007). Setelah cahaya melewati susunan lensa mata dan vitreuos humor, cahaya memasuki retna dari bagian dalam mata. Secara berurutan cahaya akan melewati sel-sel ganglion, lapisan pleksiform, dan lapisan nukleus sebelum akhirnya mencapai lapisan sel batang dan sel kerucut. Setelah melewati beberapa lapisan maka akan ada pengurangan tajam penglihatan namun di bagian fovea retina lapisan-lapisan tadi tersingkap dan cahaya langsung sampai ke sel kerucut sehingga penglihatan tetap tajam (Hall dan Guyton, 2011).
Secara struktur fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) memliki tiga bagian, yaitu: segmen luar, segmen dalam dan terminal sinaps. Segmen luar, yang terdiri dari susunan lempeng membran yang mengandung fotopigmen, merupakan bagian yang mendeteksi rangsangan cahaya. Fotopigmen mengalami perubahan kimiawi ketika diaktifkan oleh sinar. Melalui serangkaian tahap perubahan yang dipicu oleh cahaya ini akan mengaktifkan fotopigmen yang kemudian terjadi potensial reseptor yang akhirnya menghasilkan potensial aksi. Fotopigmen terdiri dari opsin dan retinen. Retinen adalah bagian fotopigmen yang menyerap cahaya. Pada sel batang terdapat fotopigmen rodopsin yang menyerap semua panjang gelombang cahaya tampak dan pada sel kerucut terdapat fotopigmen merah, hijau, biru yang berespon secara selektif terhadap berbagai panjang gelombang cahaya, menyebabkan kita dapat melihat warna.
Setelah cahaya ditangkap oleh fotoreseptor maka sinyal ini akan diubah menjadi sinyal listrik. Proses ini dinamakan proses fototransduksi. Reseptor biasanya mengalami depolarisasi jika dirangsang, tetapi fotoreseptor mengalami hiperpolarisasi ketika menyerap cahaya. Aktivitas fotoreseptor berbeda dalam keadaan gelap dan terang. Pada keadaan gelap, cGMP terikat ke saluran Na+
sehingga saluran Na+ tetap terbuka. Kebocoran pasif Na+ masuk ke sel menyebabkan depolarisasi fotoreseptor yang menyebar dari segmen luar ke ujung sinaps membuat saluran Ca2+ tetap terbuka sehingga masuknya kalsium memicu
pelepasan neurotransmiter inhibitorik dari ujung sinaps dalam keadaan gelap. Sebaliknya, pada keadaan terang, konsentrasi cGMP menurun.
Cahaya kemudian mengaktifkan fotopigmen lalu mengaktifkan protein transdusin dari fotoreseptor dan mengaktifkan enzim intrasel fosfodiesterase yang menguraikan cGMP. Penurunan cGMP ini membuat saluran Na+ tertutup.
Penutupan saluran ini menghentikan kebocoran Na+ penyebab depolarisasi dan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Hiperpolarisasi ini, yang merupakan potensial reseptor, secara pasif menyebar dari segmen luar menuju ujung sinap fotoreseptor. Hal in menyebabkan penurunan pelepasan neurotrasmiter inhibitorik sehingga terjadi potensial aksi menuju pusat persepsi penglihatan (Sherwood, 2007).
Tahap berikutnya, potensial aksi meninggalkan retina melalui nervus optikus dan setiap nervus optikus membawa informasi dari kedua retina yang disarafinya. Kemudian nervus optikus bertemu di kiasma optikum. Di dalam kiasma optikum, serat-serat dari separuh medial masing-masing retina menyebrang ke sisi kontralateral, tetapi yang separuh lateral tetap di sisi semula. Reorganisasi berkas-berkas serat yang meninggalkan kiasma optikum disebut traktus optikus. Serat-serat dari tiap traktus optikus bersinaps di nukleus genikulatum lateralis dorsalis di talamus, dan dari sini, serat-serat genikulokalkarina berjalan melalui radiasio optikus menuju korteks penglihatan primer (area 17) yang terletak di fisura kalkarina lobus oksipitalis (Barret et al, 2012).
Kemudian, sinyal-sinyal penglihatan berakhir di area fisura kalkarina, yang meluas ke arah depan dari ujung oksipital pada bagian medial setiap korteks oksipital (Hall dan Guyton, 2011). Berdasarakan kompleksitas rangsangan yang diperlukan untuk menimbulkan respon, diketahui terdapat tiga jenis neuron korteks penglihatan yaitu: sel sederhana, kompleks, dan hiperkompleks. Tidak seperti retina yang merespon jumlah sinar, sel korteks hanya melepaskan muatan
jika menerima pola iluminasi tertentu yang telah terprogram di sel tersebut. Pola-pola ini dibentuk dengan menyatukan koneksi-koneksi yang berasal dari sel-sel fotoreseptor yang berdekatan di retina.
Setiap level neuron korteks penglihatan memperlihatkan peningkatan kapasitas untuk abstraksi informasi yang terbentuk oleh peningkatan konvergensi masukan dari neuron-neuron level di bawahnya. Dengan cara ini, korteks mengubah pola mirip titik dari fotoreseptor yang dirangsang oleh cahaya dengan berbagai intensitas di bayangan retina menjadi informasi tentang kedalaman, posisi, orientasi, gerakan, kontur, dan panjang. Lalu potongan-potongan informasi ini diintegrasikan oleh regio-regio visual yang lebih tinggi sehingga kita dapat mempersepsikan informasi visual secara lengkap (Sherwood, 2007).
2.2. Fotofobia
2.2.1. Definisi Fotofobia
Fotofobia (photophobia) merupakan terminologi yang diambil dari bahasa Yunani yaitu: photo- “cahaya” dan phobia “takut” yang apabila disatukan berarti “takut akan cahaya”. Fotofobia didefinisikan sebagai suatu keadaan klinis yang berupa ketidaknyamanan pada penglihatan. Ketidaknyamanan dari fotofobia dirasakan sebagai sensasi terang yang berlebihan (Digre dan Brennan,2012) (Cummings dan Gittinger,1981).
2.2.2. Etiologi Fotofobia
Fotofobia merupakan gejala dari penyakit yang melibatkan mata dan sistem saraf seperti, abrasi kornea, iritis, tumor yang menekan jaras penglihatan, trigeminal neuralgia dan migrain (Strigham, Fuld dan Wenzel,2004). Fotofobia pada penyakit kornea disebabkan oleh kontraksi iris meradang yang nyeri, peristiwa ini adalah refleks yang timbul akibat iritasi pada ujung saraf kornea (Biswell,2009). Dalam Digre dan Brennan (2004) dinyatakan bahwa lesi pada kornea yang lebih superfisial menyebabkan gejala fotofobia yang lebih berat. Fotofobia juga dapat disebabkan oleh distrofi dari retina, retinitis pigmentosa, dan distrofi dari sel kerucut. Selain disebabkan oleh kondisi mata, fotofobia juga dapat dikaitkan dengan kejadian pada meningitis, tumor pada pituitari.
2.2.3. Mekanisme Fotofobia
Kornea mata merupakan bagian paling awal dan paling sensitif yang dilalui oleh cahaya ketika memasuki mata. Bagian epitel kornea merupakan bagian yang paling banyak menyerap sinar ultraviolet dibawah 300nm dan spektrum cahaya yang dapat merusak kornea adalah sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 270nm (Podshocky, 2002 dalam Wahyuni,2012).
Bagian mata seperti konjungtiva, kornea dan sklera dipersarafi oleh saraf trigeminal dan begitu sensitif akan rangsangan nyeri. Kerusakan pada bagian kornea mata yang mengandung serabut aferen dari saraf trigeminal membawa informasi rasa nyeri dari mata. Beberapa rangsangan yang dapat menyebabkan nyeri seperti abrasi kornea, iritits, dan uveitis juga dapat menyebabkan fotofobia. Ketika saraf trigeminal mendapat rangsang maka mediator-mediator seperti calcitonin dan nitrit oxide keluar dan menyebabkan terjadinya refleks trigemino-autonomic.
Refleks trigemino-autonomic merupakan adalah suatu refleks multi sinaps yang merangsang superior salivatory dan nukleus Edinger-Westphal dari bagian kolateral kauda nukleus trigeminal. Efek dari superior salivatory adalah mengaktifasi efektor parasimpatis di ganglion pterygopalatine, yang melebarkan pembuluh darah, dan aktivasi di ganglion cilliary yang menyebabkan lakrimasi pada mata. Efek dari Edinger-Westphal sendiri menyebabkan konstriksi dari pupil mata. Refleks trigemino-autonomic juga menyebabkan injeksi pada konjungtiva, mata berair dan migrain yang dapat disertai oleh fotofobia (Digre dan Brennan,2012).
Refleks berkedip juga sangat berkaitan erat dengan fotofobia. Refleks berkedip dimulai dari adanya rangsangan pada aferen saraf trigeminal yang bersinaps di trigeminal nucleus caudalis (TNC). Selanjutnya, rangsangan ini diolah di trigeminal dorsal horn dan laterodorsal reticular formation yang memiliki koneksi langsung dengan saraf fasialis yang menyebabkan terjadinya refleks berkedip. Perbedaan panjang gelombang dari suatu sinar juga menyebabkan adanya perbedaan persepsi fotofobia. Dalam (Digre dan Brennan,2012) dinyatakan bahwa sinar dengan panjang gelombang pendek (biru)
menyebabkan rasa yang lebih tidak nyaman dibandingkan sinar dengan panjang gelombang yang lebih panjang (merah). Hal ini disebabkan oleh supresi dari sinar merah yang menekan aktivitas visual dibagian beta dari otak.
2.2.4. Tanda dan Gejala Fotofobia
Fotofobia ditandai oleh gejala seperti nyeri pada mata, mata berair, pandangan kabur, mata merah, migrain, dan peningkatan refleks berkedip (Digre dan Brennan,2012). Gejala fotofobia dapat dirasakan setelah terpajan sinar ultraviolet sekitar 6-12 jam, tergantung intesitas pajanan dari sinar ultraviolet itu sendiri. Gejala akut fotofobia biasanya akan bertahan dalam 6-24 jam dan hampir semua gejala ketidaknyaman hilang dalam waktu 48 jam. Gejala fotofobia karena abrasi kornea ringan juga akan sembuh dalam 2-5 hari. Namun pada fotofobia karena abrasi kornea berat didapatkan adanya keluhan fotofobia berulang sebanyak 28% setelah 3 bulan (Podshocky, 2002 dalam Wahyuni,2012).
2.3. Pengelasan
2.3.1. Definisi Pengelasan
Las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Dalam rentang waktu 4000-3000 SM telah dilakukan penyambungan logam yang menggunakan kayu atau arang sebagai sumber panasnya. Seiring perkembangan, proses pengelasan menunjukan kemajuan dengan menggunakan berbagai jenis sumber energi dalam proses pengelasan, seperti penggunaan energi listrik (Rajagukguk,2012).
2.3.2. Efek Sinar Ultraviolet Pengelasan bagi Mata
Sebagai salah satu pekerjaan yang berisiko terhadap pajanan sinar ultraviolet, keterpajanan pekerja las terhadap sinar ultraviolet tergolong tinggi (CCOHS,2005). Hal ini disebabkan karena peralatan pengelasan merupakan salah satu peralatan kerja yang merupakan sumber sinar ultraviolet buatan dan dalam pengoprasiannya terjadi pelelehan sehingga dari pelelehan akan timbul percikan bunga api yang membahayakan. Proses pengelasan dapat menghasilkan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 100-400 nm dan sinar tampak 400-760 nm. Para pekerja las memiliki resiko tinggi apabila tidak dilakukan pengendalian
bahaya, terutama bahaya percikan bunga api yang akan melebihi nilai ambang batas sinar ultraviolet pada selang beberapa detik dengan jarak dekat (CCOHS, 2005). Efek akut yang ditimbulkan sinar ultraviolet pada mata dalam enam jam pertama dapat berupa mata berair, fotofobia, sampai reaksi inflamasi pada kornea yang menyebabkan kerusakan sel superfisial kornea, dan konjungtiva. Selama 24-48 jam, perasaaan sakit akan reda dan sensitivitas terhadap cahaya akan berkurang atau yang disebut snowblindness atau welders flash. Pajanan sinar ultraviolet juga dapat menyebabkan katarak akut dengan panjang gelombang lebih dari 310 nm yang dipancarkan sumber laser atau sumber buatan (Pitts, 1974).
2.3.3. Faktor yang Memengaruhi Pajanan Sinar Ultraviolet
Pajanan Sinar Ultraviolet pada proses pengelasan memiliki beberapa faktor yang mempengaruhi pekerja las, antara lain:
Komponen Struktur Sinar Ultraviolet
Sinar Ultraviolet memili tiga spektrum yaitu: UV-A, UV-B, dan UV-C yang memiliki pengaruh biologik yang berbeda-beda (CCOHS, 2005). Spektrum UV-B yang memiliki panjang gelombang 315 nm-270 nm memiliki pengaruh biologik terbesar, terutama dampak pada mata (Peterson, 1985 dalam Wahyuni,2012).
Intensitas Radiasi
Intensitas radiasi pada proses pengelasan dipengaruhi beberapa faktor yaitu:
o Jenis Las
Beberapa jenis las yang sering dipakai antara lain GTAW, GMAW, SMAW, Las Listrik, dan Las Karbit. Las Listrik dan Las Karbit merupakan jenis las yang sering digunakan di dalam industri. Kedua jenis las ini dapat menghasilkan sinar ultraviolet yang berbahaya terutama bagi mata pekerja las. Namun pengelasan listrik memberikan efek sinar ultraviolet yang besar dibandingkan jenis las lain dan memberikan efek buruk pada kesehatan mata (Olifhifski,1985) .
o Diameter Kawat Las
Beberapa jenis kawat yang sering digunakan adalah 2,6 mm dan 3,2 mm. Menurut Olifhifski (1985) terdapat perbandingan lurus pada diameter kawat dan intensitas radiasi yaitu, semakin besar diameter kawat maka semakin besar pula intensitas radiasi yang ditimbulkan. Lama Pajanan
Lama pajanan merupakan salah satu faktor yang memperberat terjadinya welders flash, semakin lama pajanan mata dengan sinar sinar ultraviolet makan semakin parah pula welders flash yang terjadi. Menurut penelitian Yen et al (2004) dinyatakan ada perbedaan rata-rata lama pajanan antara pekerja yang terpajan selama 41,1 menit, 16,9 menit, dan 1 detik dengan kejadian welders flash.
Jarak dari Sumber
Jarak dari sumber pajanan sinar ultraviolet dapat mempengaruhi terjadinya welders flash. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yen et al (2004), terdapat perbedaan kejadian welders flash pada jarak pengelasan 80 cm dengan kejadian welders flash pada jarak kurang dari 80 cm.
Perlindungan terhadap Radiasi
Penggunaan alat pelindung diri yang sesuai standar dapat melindungi pekerja terhadap risiko pajanan sinar ultraviolet yang dihasilkan dari proses pengelasan. Pada penelitian Muskita (2015) di PT. PAL Indonesia didapatkan 81% pekerja yang tidak memakai alat pelindung mata mengalami fotokeratitis dan 60% pekerja yang selalu memakai alat pelindung mata yang sesuai standar terbebas dari keluhan fotokeratitis.
Faktor Individu Pekerja Las
Beberapa faktor individu dari pekerja las yang dapat mempengaruhi efek sinar ultraviolet, antara lain:
o Usia
Menurut Maryam et al (2008) dalam Wahyuni (2012), pertambahan usia akan menyebabkan penurunan sensitifitas dan peningkatan fragilitas pada kornea yang ditimbulkan oleh rangsangan mekanis. Fragilitas kornea akan meningkat pada usia diatas 40 tahun. o Perilaku
Pajanan radiasi dari sumber pengelasan dapat diperparah ketika pekerjaan ini dilakukan di tengah hari dimana sinar ultraviolet dari matahari dalam intensitas tertinggi (Diffey,1995). Asupan vitamin A yang kurang berdampak langsung pada kornea mata. Kelenjar air mata pun tidak dapat mengeluarkan air mata sehingga kornea mata kering yang diikuti pelepasan epitel-epitel kornea. Hal ini ditandai oleh mata terasa panas dan gatal, tidak tahan cahaya dan kehilangan ketajaman penglihatan (Almatsier, 2004).
2.4. Alat Pelindung Diri
Alat Pelindung Diri merupakan metode dalam mengendalikan potensi cedera terhadap pemaparan bahan-bahan berbahaya atau bentuk-bentuk energi yang ditemukan dilingkungan tempat kerja (Rijanto, 2011).
Menurut IHDO (2000), Alat Pelindung Diri (APD) adalah sejumlah peralatan yang digunakan oleh para pekerja untuk melindungi bagian tubuhnya baik secara menyeluruh ataupun sebagian untuk mengurangi resiko terjadinya suatu kecelakaan kerja.
Berdasarkan pengertian Alat Pelindung Diri (APD) dalam Rijanto (2011), Alat Pelindung Diri (APD) dapat didefinisikan sebagai alat yang memiliki kemampuan melindungi seseorang dalam pekerjaannya, yang fungsinya mengisolasi pekerja dari bahaya ditempat kerja. Alat Pelindung Diri (APD) meliputi penggunaan pakaian khusus, kacamata pelindung, topi pengaman,
respirator dan seperangkat alat lainnya yang jika digunakan dengan benar dapat mengurangi resiko cedera yang disebabkan oleh potensi bahaya ditempat kerja.
Berdasarkan Rijanto (2011), Alat Pelindung Diri (APD) berdasarkan penggunaannya dikategorikan dalam beberapa jenis:
1. Pelindung Kepala (Helm Pengaman)
American National Standard Institute (ANSI) mendefinisikan helm pengaman sebagai suatu alat yang dipakai untuk memberikan perlindungan kepada kepala dan bagian-bagiannya dari benturan, partikel-partikel asing, sengatan listrik, atau kombinasinya. Pada beberapa kasus, helm pengaman juga dapat melindungi pekerja dari bahaya sengatan listrik dan bahaya kebakaran di lingkungan kerja.
2. Pelindung Telinga Sumbat Telinga
Sumbat telinga bisa terbuat dari kapas, karet, lilin, dan plastik. Kemampuan daya lindung sumbat telinga berkisar antara 25-30 desibel (dB), bila ada kebocoran sedikit saja daya lindungnya dapat berkurang sampai 15 dB.
Tutup Telinga
Tutup telinga memiliki jenis yang mempunyai daya lindung pada frekuensi biasa (25-30 dB) dan yang mempunyai daya lindung pada frekuensi 2800-4000 (35-45 dB).
3. Pelindung Muka dan Mata
Pelindung muka dan mata memiliki fungsi melindungi muka dan mata dari lemparan benda- benda kecil, lemparan benda-benda panas, pengaruh cahaya dan pengaruh radiasi tertentu. Bahan pembuat pelindung mata antara lain adalah gelas/kaca dan plastik. Bahan-bahan tersebut harus memiliki karakteristik sebagai berikut:
Gelas yang ditempa secara panas, bila pecah tidak menimbulkan bagian-bagian yang tajam.
Gelas dengan laminasi almunium dan lain lain. Bahan dari plastik meliputi selulosa asetat, akrilik, polikarbonat, dan CR-39.
Pelindung muka dan mata juga memiliki beberapa syarat sebagai berikut: Ketahanan terhadap api, sama dengan helm pengaman.
Ketahanan terhadap lemparan benda, yang dapat diuji dengan menjatuhkan bola besi dengan diameter 1 inci dengan bebas jatuh dari ketinggian 125 sentimeter, dan mengenai lensa pada titik pusat geometris lensa. Memiliki ketahanan terhadap panjang gelombang tertentu yang menghasilkan radiasi.
Beberapa contoh alat pelindung muka dan mata antara lain: Safety Glasses
Adalah kacamata keselamatan yang mirip dengan kacamata biasa, namun terbuat dari bahan yang tahan terhadap benturan sehingga dapat melindungi mata dari bahaya benda asing. Pemakaian safety glasses juga biasanya diikuti dengan pemakaian pelindung muka.
Googles
Merupakan jenis kaca mata yang melindungi mata dari bahaya percikan bahan-bahan kimia cair atau dari benturan benda asing yang berterbangan dan membahayakan mata. Pemakaian googles juga harus disesuaikan dengan jenis pekerjaannya sehingga mendapatkan fungsi perlindungan yang maksimal.
Shaded Eyewear
Jenis pelindung muka dan mata ini melindungi pekerja dari bahaya efek radiasi pembakaran. Fungsi perlindungan bahaya efek radiasi pembakaran ditunjang dengan karakteristik pelindung yang memiliki kaca pelindung yang gelap.
Face Shield dan Head Covering
Penggunaan bersama face shield dan head covering membuat proteksi pada bagian muka dan mata menjadi maksimal. Selain melindungi dari benturan dan benda asing yang berterbangan, pelindung ini juga memberikan proteksi kepada bahaya efek radiasi pembakaran.
Gambar 2.2 Alat Pelindung Mata (Rijanto,2011)
Tabel 2.1 Rekomendasi Alat Pelindung Mata (Rijanto,2011)
Jenis Pekerjaan Bahaya Proteksi yang
disarankan (lihat Gambar2.2) Pembakaran dengan asetilen, pemotongan dengan asetilen, pengelasan dengan asetilen
Percikan api, sinar ultraviolet, lemparan benda asing 7,8,9 Penggunaan bahan kimia Tumpahan bahan kimia, kebakaran, gas
2,10
Pemotongan Lemparan benda asing
1,3,5,6,7,8
Pengelasan Listrik Percikan api, sinar ultraviolet, lelehan logam
Pelelehan logam Panas, tumpahan logam cair
4. Pelindung Pernafasan
Alat pelindung pernafasan berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap sumber-sumber bahaya di udara tempat kerja seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap, dan uap logam) dan pencemaran oleh gas atau uap.
5. Pakaian Kerja
Pakaian kerja khusus dibuat untuk melindungi pekerja dari: Radiasi panas
Dilindungi bahan yang dapat merefleksikan panas. Terbuat dari katun yang mudah menyerap keringat. Radiasi Mengion
Dilapisi dengan timbal (timah hitam), biasanya berupa celemek. Cairan dan Bahan Kimia
Terbuat dari plastik atau karet 6. Pelindung Tangan
Pelindung tangan harus memiliki fungsi untuk melindungi tangan dari api, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, listrik, bahan kimia, benturan dan lain lain. Beberapa bahan yang sering dipakai adalah asbes, katun, wool, kulit, karet maupun PVC (Poly Vinyl Chloride).
7. Pelindung Kaki
Pelindung kaki memiliki beberapa fungsi dalam melindungi pekerja, antara lain:
Melindungi dari benturan benda-benda berat atau keras.
Melindungi dari tumpahan atau genangan logam cair, bahan kimia korosif atau iritatif.