• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN MANGROVE DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS DI DESA BAGAN ASAHAN KECAMATAN TANJUNG BALAI KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEANEKARAGAMAN MANGROVE DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS DI DESA BAGAN ASAHAN KECAMATAN TANJUNG BALAI KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN MANGROVE DAN KELIMPAHAN

MAKROZOOBENTHOS DI DESA BAGAN ASAHAN

KECAMATAN TANJUNG BALAI KABUPATEN ASAHAN

PROVINSI SUMATERA UTARA

Mangrove Diversity and Macrozoobenthos Abudance in Bagan Asahan Village Tanjung Balai Subdistrict Asahan Regency North Sumatera Province

Indah Lutfa Mutia Tambunan1, Yunasfi2, Desrita2

1

Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, email: indahlutfa@gmail.com

2

Staf Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Periaran, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

ABSTRACT

Bagan Asahan village is one which is in Asahan Regency, which has the great potential of mangrove ecosystemnand diverse biota that live in it. Macrozoobrnthos is one which is potensial mangrove fishery that have economy value. This study aims to know mangrove diversity and macrozoobenthos abudance. The study held in March until April 2017. The study was conducted using purposive sampling method. Plot size was determined using classification category of seedling (2x2 m2), stake (5x5 m2) and tree (10x10 m2) The highest mangrove diversity for the three categories is located on station I with values of 1.94, 1.83 and 1.62. The highest macrozoobenthos abundance is on station II (18.5 ind/m2) and the lowest is at station III (11,66 ind/m2) meanwhile the macrozoobenthos abundance on station I is 15,41 ind/m2.

Keywords : Abundance , Diversity, Makrozoobenthos, Mangrove, Tanjung Balai.

PENDAHULUAN

Kabupaten Asahan yaitu satu diantara beberapa daerah di Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai kawasan mangrove di atas pesisir pantai dengan luas wilayah sekitar 4.624,41 km2 terdiri dari 17 kecamatan 238 desa dan 33 kelurahan. Dari luas wilayah seperti tersebut yang merupakan wilayah pesisir pada Kabupaten Asahan adalah sekiitar 30,6% dari luas keseluruhan wilayah (Tambunan et

al., 2005).

Desa Bagan Asahan merupakan salah satu desa yang terdapat di wilayah pesisir kabupaten Asahan. Di desa tersebut terdapat ekosistem mangrove yang banyak di manfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai kayu bakar. Masyarakat setempat juga memanfaatkan biota yang ada di dalam ekosistem mangrove tersebut seperti adanya penangkapan udang, kepiting dan keong yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yang

(2)

unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Fungsi ekologis ekosistem mangrove antara lain: pelindung pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi biota perairan. Fungsi ekonomis ekosistem mangrove adalah: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit (Sirante, 2007).

Makrozoobentos adalah organisme yang tidak mempunyai tulang belakang dan hidup di dasar perairan dengan ukuran > 1 mm. Umumnya hewan bentos yang berada di perairan terdiri atas beberapa jenis, diantaranya

Echinodermata, Crustacea dan

Moluska. Makrozoobenthos sering

dipakai sebagai bioindikator pencemaran di suatu perairan. Hal ini disebabkan makrozoobenthos hidup menetap (sesil) dan mobilitasnya rendah sehingga dapat digunakan untuk menduga kualitas suatu perairan dimana komunitas organisme tersebut berada (Amrul, 2007).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini di laksanakan pada bulan Maret sampai April 2017 di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjung Balai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali. Identifikasi

jenis mangrove dan

makrozoobenthos dilakukan di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara..

Pengambilan Contoh Mangrove Vegetasi Mangrove

Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan transek garis (line

transec). Transek garis ditarik dari

titik acuan (pohon mangrove terluar) dengan arah tegak lurus garis pantai sampai ke daratan. Identifikasi jenis mangrove langsung ditentukan pada transek tersebut dan dibuat petak-petak contoh dengan menurut tingkat tegakan :

1. Kategori pohon. Pada petak contoh (10 x 10) m2 dengan diameter batang lebih besar dari 10 cm pada ketinggian > 1 meter 2. Kategori anakan. Pada petak

contoh (5 x 5) m2 dengan diameter batang kurang dari 10 cm pada ketinggian > 1 m

3. Kategori semai. Pada petak contoh (2 x 2) m2 dengan ketinggian <

Pengumpulan Data Makrozoobenthos

Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan di dalam transek pengamatan vegetasi mangrove 2 m x 2 m. Pengambilan sampel makrozoobenthos yang terlihat pada substrat dan menempel di batang, pohon, dan daun mangrove diamati pada setiap transek dan plot kuadran dan untuk

pengambilan sampel

makrozoobenthos yang tidak terlihat pada permukaan substrat diambil pada kedalaman 15 cm. Makrozoobenthos yang diambil dan dimasukkan ke dalam kantong sampel, kemudian diberi pengawet alkohol 70%, dan diidentifikasi.

Analisis data Vegetasi mangrove

Analisa data yang dilakukan menggunakan analisa Bengen dan Dutton (2004)

(3)

Di = ni / A

Kerapatan jenis dan kerapatan relatif

Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area:

Keterangan:

Di : Kerapatan jenis ke-i ni : Jumlah total tegakan ke-i A : Luas area total pengambilan contoh

Kerapatan relatif (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis I dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Σn).

Keterangan:

RDi : Kerapatan relatif jenis ke-i ni : Jumlah total tegakan dari jenis ke-i

Σn : Jumlah total tegakan seluruh jenis

Frekuensi jenis dan frekuensi relatif

Frekuensi (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam plot yang diamati dibandingkan dengan jumlah total plot yang dibuat:

Fi = Σ pi / Σ P Keterangan:

Fi : Frekuensi jenis ke-i

Pi : Jumlah plot ditemukannya jenis ke-i

ΣP : Jumlah plot pengamatan Frekuensi relative (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dengan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (ΣF)

Keterangan:

RFi : Frekuensi relative jenis i Fi : Frekuensi jenis ke-i ΣF : Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis

Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis

Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area

Ci = Σ BA / A Keterangan:

Ci : Luas penutupan jenis i BA : Luas bidang dasar pohon (1/4πd2

) dengan nilai π = 3,1416 A : Luas total area pengambilan contoh (plot)

Penutupan relatif jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci) dan total luas area penutupan untuk seluruh jenis

(ΣC)

RCi = (Ci / Σ C) X 100

Keterangan:

RCi : Penutupan relatif jenis i Ci : Luas penutupan jenis ke-i

ΣC : Total luas area penutupan untuk seluruh jenis

Indeks nilai penting

Indeks nilai penting adalah jumlah nilai kerapatan jenis (RDi), frekuensi relatif jenis (RFi), dan penutupan relatif jenis (RCi).

Untuk Pohon:

INP = RDi + RFi + RCi Untuk Pancang dan Semai:

INP = KR+ FR

Keanekaragaman

Keanekaragaman mangrove yang berada di perairan estuari dihitung dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Shannon-Wienner (1949) (Ludwig RDi = (ni/Σn) x 100%

(4)

and Reynolds, 1988). s H' = -∑ Pi(LnPi) i =1 Keterangan: H’ : Indeks keanekaragaman jenis pi : ni/N

ni : Jumlah total individu ke-i N : Jumlah total individu

Kriteria nilai indeks diversitas Shannon-Winner

H’ < 1 = keanekaragaman rendah H’ = 1 s/d 3 = keanekaragaman sedang

H’ > 3 = keanekaragaman tinggi

Analisis Data Makrozoobenthos Kelimpahan

Kelimpahan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu makrozoobentos per satuan luas (m2) (Krebs 1989):

Ki = Σni/ A Keterangan:

Ki : Jumlah makrozoobenthos jenis ke-i (ind/m2)

ni : Jumlah individu jenis ke-i yang diperoleh

A : Luas total area pengambilan contoh

Keanekaragaman

Keanekaragaman makrozoob entos yang berada di perairan estuari dihitung dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Shannon-Winner (1949) (Ludwig and Reynolds, 1988). s H' = -∑ Pi(LnPi) i =1 Keterangan: H’ : Indeks keanekaragaman jenis pi : ni/N

ni : Jumlah total individu ke-i N : Jumlah total individu

Keseragaman

Untuk dapat mengetahui keseragaman dari makrozoobentos yaitu penyebaran individu antar spesies yang berbeda digunakan indeks equitabilitas. (Krebs, 1989).

E = H’ / H’ max Keterangan:

E : Indeks keseragaman jenis H’ : Indeks keanekaragaman H’ max : log2 S

S : Jumlah spesies

Indeks Dominasi

Indeks dominasi (C) dihitung rumus Dominance of Simpson (Krebs, 1989).

C = Σ (ni / N) 2 Keterangan:

C : Indeks dominasi

ni : Jumlah individu setiap jenis N : Jumlah total individu

Parameter Fisika Kimia Perairan

Nilai parameter fisika dan kimia perairan yang diukur mengacu kepada nilai baku mutu parameter fisika kimia perairan yang dapat dilihat pada Tabel 1.

(5)

Tabel 1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan yang Diukur

Parameter Satuan Alat Tempat Analisis Fisika

Suhu oC Thermometer In Situ

Kimia

DO mg/L DO meter In Situ

Salinitas Ppt Refraktometer In Situ

pH - pH meter In Situ

Substrat Botol Sampel (Lab) Ex Situ

Analisis Substrat

Tekstur substrat dianalisis berdasarkan perbandingan pasir, debu dan liat pada Segitiga USDA (Gambar 1). Langkah-langkah penentuan tekstur substrat

yaitu yang pertama,

menentukan komposisi dari masing-masing fraksi substrat. Misalnya, fraksi pasir 45%, debu 30% dan liat 25%. Kedua, tarik garis

lurus pada sisi persentase pasir dititik 45% sejajar dengan sisi persentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di titik 30% sejajar dengan sisi persentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi persentase liat 25% sejajar dengan sisi persentase pasir. Selanjutnya, titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang dianalisis, misalnya dalam hal ini adalah lempung.

Gambar 1. Tipe substrat berdasarkan Segitiga USDA (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN Kerapatan Mangrove

Pada stasiun I ditemukan 11 jenis mangrove, yaitu Avicennia

marina, Avicennia alba, Bruguiera

gymnorhiza, Rhizophora apiculata,

Rhizophora mucronata, Ceriops

tagal, Xylocarpus granatum, Ceriops

decandra, Acanthus ilicifolius,

Acrostichum speciosum, Scyphiphora

(6)

mangrove yang tertinggi kategori pohon tertinggi di stasiun I adalah A.

marina dan R. apiculata, kategori

pancang tertinggi yaitu R. apiculata dan Acanthus ilicifolius sedangkan kategori semai tertinggi yaitu R.

apiculata.

Kerapatan jenis pada stasiun I yang dikelompokan ke dalam 3 kategori yaitu pohon, pancang dan semai. Pada stasiun I kerapatan tertinggi terdapat pada jenis R.

apiculata. Hal ini menunjukkan

bahwa jenis ini cukup melimpah pada stasiun I. Pada staiun I untuk kategori pohon tergolong dalam kriteria rusak dengan nilai 800 ind/ha sedangkan untuk kategori pancang dan semai termasuk kedalam kriteria baik dengan nilai 3200 ind/ha dan 1500 ind/ha. Hal ini sesuai dengan Kementerian Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa kondisi ekosistem mangrove dapat digolongkan kedalam tiga kriteria yaitu sangat padat dengan nilai kerapatan > 1500 (baik), kepadatan sedang >1000 - <1500 dan kepadatan jarang dengan nilai <1000 (rusak).

Jenis mangrove yang ditemukan di stasiun II antara lain A.

alba, R. apiculata, R. mucronata, C. tagal, C. decandra, A. speciosum, E. egallocha. Kerapatan tertinggi

pada stasiun II baik dari kategori pohon dan semai yaitu A. alba sedangakan kategori pancang tertinggi yaitu pada jenis C. tagal.

Stasiun II merupakan lokasi dengan kondisi kerapatan mangrove yang sangat tinggi karena daerah ini dekat ke arah laut dan masih belum terjamah oleh aktivitas masyarakat sekitar, sehingga mangrove dapat tumbuh dengan baik di daerah ini. Pada stasiuin II A. alba dan A.

illicifolius merupakan jenis

mangrove yang memiliki nilai kerapatan tertinggi. Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa A. alba dan A. illicifolius merupakan jenis yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan dan mampu tumbuh dengan baik. Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan Talib (2008) di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang yaitu A. alba merupakan jenis pohon dengan kerapatan tertinggi pada transek 3. kerapatan vegetasi mangrove pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerapatan Mangrove. Secara keseluruhan vegetasi pohon pada stasiun 2 memiliki nilai yang tertinggi yaitu 466,67 ind/ha, kemudian stasiun 1 dan stasiun 2 dengan nilai 266,67 ind/ha. Kategori pancang pada stasiun 3 memiliki nilai yang tertinggi yaitu 4088,89 ind/ha, kemudian stasiun 2 yaitu 3155,56 ind/ha dan stasiun 3 yaitu 1066,67 ind/ha. Pada vegetasi semai stasiun 3 tergolong memiliki kerapatan tertinggi yaitu 8611,11 ind/ha selanjutnya stasiun 1 yaitu 5000 ind/ha dan yang terakhir pada yaitu stasiun 2 dengan nilai 3055,56 ind/ha.

Frekuensi

Pada stasiun I kategori pohon

(7)

dari sembilan plot yang diamati. Dari kategori pancang R. apiculata terdapat pada dua plot dari sembilan plot pengamatan, sedangkan untuk kategori semai A. alba terdapat pada tiga plot dari tiga plot yang diamati. Pada stasiun II pancang jenis R.

apiculata terdapat di dua plot

pengamatan sehingga nilai frekuensinya paling besar, untuk kategori pohon dan semai jenis mangrove memiliki nilai frekuensi yang sama.

Menurut Warongan (2009) nilai frekuensi dipengaruhi oleh jumlah ditemukannya jenis mangrove dalam suatu petak pengamatan, frekuensi jenis lebih dipengaruhi oleh jumlah jenis daripada ukuran diameter pohon. Frekuensi tertinggi pada stasiun II baik pada kategori pohon, pancang maupun semai yaitu jenis R. apiculata yang termasuk kategori

pancang. Meskipun R. apiculata termasuk dalam pancang yang memiliki diameter kecil namun memiliki frekuensi yang tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik di kondisi lingkungan tersebut. Simbala (2007) juga menyatakan bahwa nilai frekuensi dan nilai kerapatan tertinggi merupakan kategori jenis yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan.

Dominansi Relatif

Penutupan jenis relatif tertinggi pada stasiun I yaitu A.

marina dengan nilai 24% sedangkan

untuk stasiun II nilai dominansi relatif tertinggi pada jenis E. egallocha dengan nilai 30%. Hal ini

menunjukkan bahwa keberadaan mangrove jenis A. marina

mendominasi areal stasiun I dan

untuk jenis E. egallocha

mendominasi stasiun II.

R. mucronata merupakan

jenis dengan dominanasi tertinggi pada stasiun III dengan nilai 71,97% dan memiliki ukuran diameter yang besar. Stasiun III terletak di muara sungai menjorok ke arah laut. Jenis

yang dominan memiliki

produktivitas yang besar dimana dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter batang (Warongan, 2009).

Indeks Keanekaragaman

Nilai indeks keanekaragaman tertinggi untuk kategori pohon terdapat di stasiun I, untuk kategori pancang terdapat di stasiun II dan kategori semai terdapat pada stasiun III. Nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Indeks Keanekaragaman Mangrove Indeks Keanekaragaman Jenis S1 S2 S3 Pohon 1,94 0,80 1,63 Pancang 1,83 1,76 1,53 Semai 1,62 1,11 1,52

Nilai indeks keanekaragaman tertinggi kategori pohon terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 1,94 dan nilai tertinggi pada tingkat pancang terdapat pada stasiun I juga dengan nilai 1,83 sedangkan untuk kategori semai tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu 1,52. Hal ini disebabkan pada stasiun I dan III banyak ditemukan beberapa jenis mangrove. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kirauhe dan Pelealu (2016) yang menyatakan bahwa keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kekayaan jenis (S) dan

(8)

kelimpahan jenis (N).

Kelimpahan Makrozoobenthos

Makrozoobenthos yang ditemukan di kawasan mangrove Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjung Balai Kabupaten Asahan Sumatera Utara selama penelitian ini umunya menempel pada batang, akar dan daun tumbuhan mangrove, tetapi ada juga yang ditemukan di substrat dan terdiri dari 4 ordo, 14 famili, 16 genus dan 18 jenis organisme. Jumlah makrozoobenthos yang ditemukan selama penelitian pada stasiun I sebanyak 185 individu, stasiun II sebanyak 222 individu dan stasiun III sebanyak 140 individu. Gambar 3.

Gambar 3. Kelimpahan pada setiap stasiun.

Jumlah spesies terendah yang didapat pada lokasi penelitian yaitu

N. Otitis yaitu 1 ind/ha. Jenis

tersebut hanya terdapat pada stasiun II. Lokasi pada stasiun II ini banyak di jumpai sampah baik dari dari adanya aktivitas manusia maupun disebabkan faktor pasang surut yang mengakibatkan terjadinya perubahan lingkungan, sehingga hal tersebut juga dapat mengganggu kehidupan makrozoobenthos yang ada di daerah tersebut dan mengakibatkan penurun jumlah individu. Organisme benthos yang tahan terhadap perubahan lingkungan akan tetap hidup tetapi

bagi yang tidak mampu akan mengalami kematian (Ulfa et al., 2012).

Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D)

Keanekaragaman berkaitan dengan dua hal utama, yaitu banyaknya spesies yang berada pada suatu komunitas dan kelimpahan dari masing-masing spesies tersebut. etiap stasiun memiliki keanekaragaman yang berbeda-beda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) Makrozoobenthos

Stasiun H' E D

I 1,94 0,67 0,16

II 2,30 0,79 0,09

III 1,9 0,66 0,10

Nilai Keanekaragaman yang berada pada kisaran 1,9 – 2,3 menunjukkan stabilitas komunitas yang sedang (moderat) yang berarti bahwa kondisi komunitas ini mudah berubah hanya dengan pengaruh perubahan lingkungan yang relatif kecil. Keanekaragaman identik dengan kestabilan suatu ekosistem, dimana jika keanekaragaman suatu ekosistem tinggi, maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil (Amrul, 2007).

Paramater Fisika dan Kimia Perairan dan Substrat

Parameter Fisika Kimia Perairan

Suhu air tertinggi di temukan pada stasiun II dan stasiun III yaitu 32°C. Tingginya suhu air disebabkan

(9)

pada proses pengambilan data dan keadaan ataupun kondisi lingkungan saat itu. Pengambilan data yang dilakukakan pada siang hari menjelang sore dan pada saat itu intensitas cahaya matahari yang diterima juga tinggi sehingga dapat mempengaruhi suhu perairan. Suhu yang rata-rata lebih dari 30°C dapat berdampak buruk bagi kehidupan makrozoobenthos. Dalam Kebijakan Menteri Lingkungan Hidup kisaran suhu 31-33°C adalah kisaran yang masih ditoleransi untuk di daerah mangrove.

Salinitas yang didapat pada lokasi penelitian kisaran antara 3-15‰. Rendahnya nilai salinitas karena lokasi penelitian masih di sekitaran muara sungai dimana pengaruh air tawar lebih besar dibandingkan dengan pengaruh air laut terutama pada saat surut. Rasa dari air juga tidak begitu asin. Turunnya hujan pada saat pengambilan data juga menyebabkan salinitas di daerah tersebut sangat rendah.

Hasil pengamatan nilai pH di kawasan mangrove Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjung Balai berkisar antara 6-7,4. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu 7,4. Pada stasiun ini nilai keanekaragaman makrozoobenthos lebih rendah dibandingkan dengan

keanekaragaman di stasiun I dan II. Menurut Effendi (2003), apabila pH diatas 6 maka keanekaragaman benthos sedikit menurun. Hal ini sesuai dengan hasil indeks keanekaragaman yang didapat pada stasiun III yaitu 1,82 yang tergolong dalam keanekaragaman rendah.

Berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun batas oksigen terlarut yang diizinkan untuk memenuhi kriteria baku mutu ditetapkan >5 mg/l. Nilai DO pada stasiun III merupakan DO paling rendah yaitu 4,8 ppm dan itu sudah diluar dari baku mutu perairan. Kelimpahan makrozoobenthos pada stasiun ini juga sangat sedikit yaitu 35 ind/m2. Menurut Effendi (2003) menurunnya kadar oksigen terlarut pada suatu perairan dapat membawa

dampak negatif bagi

makrozoobenthos yaitu matinya spesies-spesies yang peka terhadap penurunan kadar oksigen terlarut.

Berdasarkan hasil

pengamatan nilai kisaran parameter fisika kimia perairan dan substrat di Kawasan Mangrove Desa Bagan Asahan dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai baku mutu diambil dari Kepmen LH No. 51 Tahun 2004.

Tabel 4. Parameter Fisika Kimia Perairan dan Substrat

PARAMETER SATUAN STASIUN Baku Mutu

I II III Fisika Suhu °C 29,6-32 30-32 30-32 28-32 Kimia pH - 6,1-7,4 6,1-7,1 6-7,4 7-8,5 DO Mg/l 5,6 7,2 5,4 >5 Salinitas ‰ 3-14 3-15 3-15 s/d 34 Substrat C-Organik % 3,93 4,49 4,16

(10)

Karakteristik Substrat

Berdasarkan hasil penelitian terhadap nilai tekstur diketahui bahwa debu memiliki nilai terendah dibanding dengan pasir dan liat. Nilai debu berkisar antara 16-28%. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriana (2006) yaitu kandungan pasir dalam substrat lebih dominan dibandingkan kandungan debu dan liat. Wulandari (2016) substrat dasar merupakan satu diantara faktor ekologis utama yang mempengruhi struktur komunitas makrozoobenthos. Jika dilihat dari substat jenis liat, apabila kandungan liat semakin rendah maka kelimpahan makrozoobenthos akan cenderung meningkat (Fitriana, 2006). Benthos dapat merubah pola distribusi lokalnya sebagai respon terhadap sedimen atau substratnya (Talib, 2008).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Keanekaragaman mangrove di

Desa Bagan Asahan

Kecamatan Tanjung Balai untuk kategori pohon nilai tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 1,94, dan untuk kategori pancang tertinggi pad a stasiun II yaitu 1,76 sedangkan untuk kategori semai nilai tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 1,62.

2. Kelimpahan makrozoobenthos tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu 18,5 ind/m2 dan terendah terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 11,66 ind/m2. Sedangkan untuk stasiun I kelimpahan makrozobenthos

yaitu 15,41 ind/m2.

Saran

Sebaiknya utuk selanjutnya dilakukan penelitian mengenai biota perairan lainnya yang ada di perairan Tanjungbalai seperti struktur komunitas kepiting bakau maupun plankton yang berada di perairan Tanjungbalai khusunya Desa Bagan Asahan.

DAFTAR PUSTAKA

Amrul, H. M. Z. N. 2007. Kualitas Fisika-Kimia Sedimen Serta Hubungannya Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos di Estuari Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bengen, D. G, I. M Dutton. 2004.

Interaction Mangroves, Fisheries And Forestry. Dalam Worldwide Watershed Interaction And Management. Blackwell Science Oxford.

Uk. Management In

Indonesia. Vol (4). Hal

632-653

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal. Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Jurnal Biodiversitas

(11)

Vol 7 No. 1 halaman 67-72. ISSN: 1412-033x.

Hardjowigeno S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. UGM Press. Yogyakarta.

Hasan, M. I. 2003. Pokok - Pokok Materi Statistik 1 (Statistik Deskriptif). Bumi Aksara, Jakarta.

Indriani, D., Marisa, H dan Zakaria. 2009. Keanekaragaman spesies tumbuhan pada kawasan mangrove nipah (Nypa fruticans Wurmb) di Kec. Pulau Rimau Kab. Banyuasin Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sains Vol 13 No. 3.

Kamalia, T. S. Raza’I dan T. Efrizal. 2013. Struktur Komunnitas Hutan Mangrove di Perairan Pesisir Kelurahan Sawang Kecamatan Kundur Barat Kabupaten Karimun. Universutas Maritim Raja Ali Haji.

Kepmen LH No. 51. 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota. Kelembagaan Lingkungan Hidup

Krebs, C. J. 1989. Ecological

Methodology. Harper and

Row. New York.

Ludwig, J. A dan J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. New York. Manalu, T. N., Yunasfi., R. Leidonald. 2016. Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla Spp.) di Desa Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara, Medan. Noor, Y. K., Khazali, M dan

Suryadiputra, I. N. N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.

Sirante, R. 2007. Studi Struktur Komunitas Gastropoda Di Lingkungan Perairan

Kawasan Mangrove

Kelurahan Lappa Dan Desa Tongke-Tongke, Kabupaten Sinjai. Sinjai.

Talib, M. F. 2008. Struktur Dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove Serta Makrozoobenthos Yang Berkoeksistensi, Di Desa Tanah Merah Dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tambunan, R., R. H. Harahap., Z. Lubis. 2005. Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan (Studi Kasus Partisipasi dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan. Jurnal Studi Pembangunan Vol 1 No. 1. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Warongan, C. W. A. O. 2009. Kajian Ekologi Ekosistem Mangrove Untuk Rehabilitasi di Desa Tiwoho Kecamatan Wori

(12)

Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wulandari, T. 2016. Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Kawasan Mangrove Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Gambar

Tabel 1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan yang Diukur
Gambar 2. Kerapatan Mangrove.

Referensi

Dokumen terkait

Apakah ada hubungan yang signifikan antara tiap dimensi adjustment problems (tugas sekolah yang tidak menantang, miskinnya hubungan interpersonal, harapan orang tua,

Para Pemegang Saham atau kuasanya yang akan menghadiri Rapat diminta dengan hormat untuk membawa dan menyerahkan Konfirmasi Tertulis Untuk Rapat (KTUR) atau

Uji efektivitas jambu biji merah (Psidium guajava) terhadap laju aliran saliva pada penderita xerostomia yang mengonsumsi telmisartan.. Ekstrak teh hijau 3% yang

Mengabolarasi dari pendapat Tilman dan Thomas Lichona tersebut dan dihubungkan dengan filsafat manajemen pendidikan karakter yang islami dan nilai-nilai luhur

Xerostomia merupakan tanda atau gejala dari mulut kering yang dirasakan oleh seseorang tetapi tidak selalu berkaitan dengan hipofungsi kelenjar saliva... Berdasarkan

Sehingga smartphone dapat berfungsi sebagai reader yang di mana smartphone tersebut dapat digunakan untuk mengontrol berbagai perangkat di dalam rumah yang pada skripsi ini

Berdasarkan hal diatas perlu dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh berkumur seduhan teh hijau terhadap laju aliran saliva pada wanita menopause

Walaupun Imām Fakhruddîn Ar - Rāzî adalah seorang „ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu secara komprehensif, akan tetapi dalam. penulisan tafsîr Mafātîḥul