• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADOPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADOPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

M. Shinwanudin1

Abstract: Adoption or adoption of a child must be carried out by means of

a legal process with a court order product. The definition of adopted children in the Islamic Law Compilation if compared with the definition of adopted children in Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection, has similar substance. This study explicitly wants to obtain a clear picture of the substance of child adoption according to a review of Islamic law and civil law, RI Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection and then looks for the stages. From this discussion it was found that adoption of a child both under Islamic law and civil law had several stages. First, adoption according to Islamic law is that there are no arguments against fellow Muslims to adopt someone else's child for a married couple who have not been gifted with children. However, it is not permissible for adoptive parents to cover up the origin of the child's identity, as well as guarantee the survival of life during adoption. Second, adoption under civil law is adoption of children through provisions that apply normatively and maintain the principle of legality of children towards parents. So that the survival of the adoptive parents guarantees their daily needs, education, learning, and so on.

Keywords: Adoption, Islamic Law, Civil Law. A. Pendahuluan

Islam adalah agama yang universal diturunkan dimuka bumi sebagai rahmatan li

al’ālamīn yang mengatur segenap tatanan hidup manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh

alam. Sistem dan konsep yang dibawa Islam sesungguhnya padat akan nilai dan memberikan manfaat yang luar biasa kepada umat manusia. Konsepnya tidak hanya berguna pada masyarakat muslim tetapi dapat dinikmati oleh siapapun.

Sistem Islam tidak mengenal batas, ruang dan waktu, tetapi selalu baik kapan dan dimana saja tanpa menghilangkan faktor kekhususan masyarakat. Semakin utuh konsep itu diaplikasikan serta diimplementasikan, semakin besar manfaat yang diraih serta

(2)

72

dipuai dalam kehidupan sehari-hari. Islam tidak sebatas aturan hubungan manusia dengan Tuhan, akan tetapi seluruh aspek kehidupan mencakup politik, hukum, sosial dan budaya juga menjadi poros aturannya. Diantara beberapa hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam kaitannya dengan sesama manusia adalah hukum pengangkatan anak yang berhubungan dengan hak pemeliharaan anak (hadhānah).

Anak–anak adalah kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan khusus, bahwa agar anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka secara fiaik, mental, sosial, dan akhlak ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Upaya perlindungan anak perlu ditopang dengan pemberian jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan

tanpa diskriminasi.2 Islam memposisikan anak sebagai warisan berharga dan amanah

atau titipan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Anak dalam rumah tangga atau keluarga dapat dilihat dari dua dimensi ilmiah, yaitu : pertama, anak adalah sebagai buah alami (sunnatullāh), hasil kekuatan rasa cinta dan kasih sayang suami istri dalam mahligai kehidupan rumah tangga (mu’āsyarah bi al-ma’rūf) sebagai mawaddah dan Rahmat Allah SWT untuk memperkuat bangunan serta pondasi hubungan rumah tangga yang rukun dan damai, bahagia dan sejahtera sesuai dengan nilai–nilai Islam. Kedua, anak sebagai penerus generasi, pelindung orang tua disaat lemah dan pelanjut doa (ritual

communication) manakala orang tuanya meninggal dunia memenuhi panggilan sang

Khalik.

Salah satu alasan orang tua bekerja memeras keringat membanting tulang karena anak merupakan harapan utama bagi sebuah mahligai perkawinan. Namun, tidak semua perkawinan menghasilkan keturunan hingga pasangan suami istri tutup usia. Allah Swt mengaruniai anak kepada Nabi Ibrahim, yaitu Isma’il dan Ishaq pada usia senja, yang pertama di usia 99 tahun, yang terakhir 112 tahun. Itu terjadi tatkala usia senja dan harapan untuk mendapatkan keturunan sampai pada titik putus. Allah SWT berfirman melalui lisan Nabi Ibrahim, yaitu:

َو َلحيَعَحسَْا ََبََكحلا ىَلَع حَلِ َبَهَو حيَذهلا َهَلِلّ ُدحمَحلَْا

حَّبَر هنَا َقاَححسَا

ميهاربا( َءِاَع دلا ُعُحيَمَسََل

:

٣٩

)

(3)

73 Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua, Isma’il dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Pendengar

memperkenankan do’a.3

Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, bahwa anak adalah generasi penerus, baik bagi orang tua, bangsa maupun agama. Baik buruknya anak, akan menjadi apa mereka kelak tergantung bagaimana orang tua, bangsa maupun agama mendidik mereka. Dalam Islam, anak diibaratkan kertas putih, suci sejak lahir, dan oleh karenanya mau beragama apa, menjadi apa dan bagaimana masa depannya, tergantung bagaimana cara mewarnai mereka. Dalam hadis dikatakan bahwa :

َلَس َبَأ حنَع َّيَرحه زلا حنَع ٍبحئَذ َبَأ ُنحبا اَنَ ثهدَح ُمَدآ اَنَ ثهدَح

ا َيَضَر َةَرح يَرُه َبَأ حنَع َنَححْهرلا َدحبَع َنحب َةَم

َلاَق ُهحنَع ُهلِلّ

ىهلَص َبِهنلا َلاَق

ُهاَوَ بَأَف َةَرحطَفحلا ىَلَع ُدَلوُي ٍدوُلحوَم لُك َمهلَسَو َهحيَلَع ُهلِلّا

َلَثَمَك َهَناَسََّجَُيُ حوَأ َهَناَرَّصَنُ ي حوَأ َهَناَدَّوَهُ ي

اَهيَف ىَرَ ت حلَه َةَميَهَبحلا ُجَتح نُ ت َةَميَهَبحلا

َءِاَعحدَج

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dza'bi dari Az Zuhriy dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi Shallallahu'AlaihiWasallam bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kemudian kedua orang tunyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana hewan ternak yang melahirkan hewan ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat

ada cacat padanya?4

Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari adat kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia dan merambah dalam praktik melalui lembaga peradilan agama, maka sebelum terbentuknya undang–undang yang mengatur secara khusus, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Definisi anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam jika diperbandingkan dengan definisi anak angkat dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

3Departemen Agama RI, Al-Quran Terjemahan (Bandung: CV Darus Sunnah), 386.

4 Kitab Sembilan Imam, Sumber: Al-Bukhari, Kitab: Jenazah,Bab : Pembicaraan Tentang

keberadaan Mayit dari Anak-anak Kaum Musyrikin No. Hadist : 1296,

http://localhost:81/copy_open.php?imam=al-Bukhari&nohdt=1296,lidwapusaka i-software

(4)

74

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan

pengadilan.”5

Hal penting yang perlu digaris bawahi bahwa adopsi atau pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses hukum dengan produk penetapan pengadilan. Jika hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan sebagai rekayasa sosial, maka pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut merupakan kemajuan ke arah penertiban praktik hukum pengangkatan anak yang hidup di tengah–tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak itu di kemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi orang tua angkat. Praktik pengangkatan anak yang dilakukan melalui pengadilan tersebut, telah berkembang baik di lingkungan Pengadilan Negeri maupun dalam lingkungan Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.

Kajian ini secara eksplisit ingin memperoleh gambaran yang jelas mengenai substansi adopsi anak menurut tinjauan hukum Islam dan Hukum Perdata, Undang– undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian mencari tahapan-tahapannya.

Pembahasan

A. Pengertian Anak

Definisi terkait anak banyak ditemui dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah anak, diantaranya adalah :

1. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak, memberikan definisi : “Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka

(5)

75 menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh,

serasi, selaras dan seimbang.”6

2. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, memberikan definisi : “Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai

manusia seutuhnya”.7

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 54 tahun 2007 Tentang

Pengangkatan Anak, secara umum mendefinisikan sebagai berikut : “anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan sejak dini yang berlangsung secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental dan sosial anak.”8

4. Dalam Kamus Hukum Dictionary of law complete edition mendefinisikan tentang

anak, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah

demi kepentingannya.9

B. Macam-macam Anak

Tentang macam-macam anak beberapa literatur menggolongkan anak kedalam beberapa bagian, diantaranya adalah :

1. Anak Angkat

Dalam Kamus Hukum Dictionary of law lomplete edition anak angkat; anak punggut; anak yang dalam pemeliharaaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagaimana menjadi tanggung jawab orang tua angkatnya dari orang tua asal berdasarkan putusan Pengadilan; Anak yang bukan merupakan

6 Madukismo, Hukum Keluarga, 384.

7Ibid., 423. 8Ibid,. 467.

(6)

76

keturunan langsung dari suami, isteri, yang diambil, dipelihara dan diperlakukan

seperti anakn kandung.10

Mahmud Syaltut, ahli fikih kontemporer dari Mesir mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian (adopsi) anak angkat. “Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya; Cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehinnga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya, dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya

itu.11

Adopsi atau anak angkat dalam pengertian yang pertama lebih didasari oleh perasaan seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk mebantu orang tua kandung dari anak angkatnya atau dari pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak angkat itu bisa dididik atau disekolahkan, sehingga diharapkan nantinya anak tersebut bisa mandiri serta dapat meningkatkan taraf hidupnya dimasa mendatang. Anak angkat dalam pengertian kedua terkait dengan masalah hukum, seperti statusnya, akibatnya, dan sebagainya. Anak angkat dalam pengertian yang kedua secara hukum telah dikenal dan berkembang di berbagai negara, termasuk di Indonesia sendiri, khususnya dalam bidang keperdataan.

2. Anak Tiri

Adalah anak yang merupakan bawaan oleh salah satu pihak suami atau istri

dalam perkawinan.12

3. Laqīth

Adalah seorang anak yang ditemukan di tengah jalan. Menurut Musthafa Daib al-Bigha dalam Tadzhib kompilasi Hukum Islam ala madzhab Syafi’i menjelaskan tentang Laqīth (penemuan anak), apabila ditemukan seorang anak yang hilang

10Ibid., 42.

11Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 27.

(7)

77 ditengah jalan, maka wajib (Kifāyah) mengambilnya, mendidik serta mengasuhnya.

Dan tidak boleh dibiarkan kecuali di tangan orang yang jujur dan terpercaya.13

Ketika seseorang memelihara kehidupan, maka dosa manusia lain digugurkan, dan dipastikan selamat dari ancaman siksaan. Sebab, laqīth adalah seorang anak cucu Adam yang jiwanya dilindungi hukum sehingga dia harus dilindungi, seperti orang yang membutuhkan makanan milik orang lain. Bahkan, tindakan tersebut lebih utama karena orang yang telah balīgh dan berakal sempurna pasti menemukan cara untuk

menyelamatkan diri.14

Perbedaan laqīth, bahwa luqāthah ialah harta benda dan tidak wajib memugutnya karena ada dugaan kuat ketika memungut luqāthah boleh jadi menjadi mata pencaharian, dan nafsu cenderung menyukai hal semacam itu sehingga itu tidak diwajibkan seperti meinikah. Jadi, andaikan hanya ada seorang diri yang mengetahui

laqīth, dia harus mengambilnya, dan ketika ada yang mengetahui laqīth, mereka

berdua wajib memungutnya. Tidak ada kewajiaban mengumumkan dalam masalah

penemuan laqīth.15

4. Anak Asuh

Anak asuh yang diasuh oleh seseorang atau suatu lembaga karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh berkembang anak secara wajar, yang kemudian akan diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, serta jaminan kesehatan.

5. Anak Piara

Hukum adat mengenal suatu lembaga yang dinamakan lembaga anak piara dan menurut hukum perdata anak piara juga dapat disebut dengan anak titip; yaitu anak yang diserahkan kepada orang lain dengan tujuan untuk dipelihara sehingga orang

yang dititipi merasa memiliki kewajiban untuk memelihara anak tersebut.16 Lembaga

ini berbeda dengan lembaga pengangkatan anak, karena orang tua yang dititipi

13Musthafa Daib al-Bigha, Tadzhib Kompilasi Hukum Islam ala Madzhab Syafi’i (Surabaya:

al-Hidayah, 2008), 380.

14Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2 (Jakarta: Almahira, 2010), 415.

15Ibid,. 416.

(8)

78

tersebut hanya melakukan tugas sebagai pemelihara. Demikian pula akibat hukumnya berbeda dengan pengangkatan anak.

6. Anak didik pemasyarakatan

Anak negara, Anak pidana, Anak sipil, adalah anak yang berdasarkan keputusan Pengadilan harus menjalani hukuman pidana dilembaga pemasyarakatan anak paling lama hingga berumur 18 tahun, Anak yang atas orang tua atau walinya mendapatkan penetapan Pengadilan untuk dididik di lembaga pemasyarakan anak paling lama

hingga berumur 18 tahun.17

C. Hubungan Hukum antara Orang Tua dan Anak

Islam sangat memperhatikan kedudukan anak, hal ini terlihat dengan banyaknya ayat dalam al-Quran serta beberapa hadis yang membahas masalah anak. Anak merupakan titipan atau amanat Allah kepada orang tua, anak diibaratkan seperti kertas putih, jika diisi dengan hal yang baik maka baiklah anak tersebut demikian pula sebaliknya.

Menurut pandangan Islam anak adalah ciptaan Allah SWT yang dilahirkan oleh sepasang suami istri seperti disebutkan firman-Nya :

ٍسحفَ ن حنَم حمُكَقَلَخ حىَذلها ُمُكّبَر احوُقه تا ُساهنلا اَه يَاَيَ

َو

اَمُهح نَم هثََّبَو اَهَجحوَزَ اَهح نَم َقََلَخَو ٍةَدَحا

ًلااَجَر

اًحيَْثَك

ًَۚماَححرَلاحاَو َهَب َنحوُلَءِاَسََت حىَذلها َالله احوَقه تاَو

ًءِاَسََنَو

ًۚ

:ءِاسَنلا( اًبح يَقَر حمُكحيَلَع َناَك َالله هنَا

١

)

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada tuhanMu, yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.

Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS. An-Nisā’: 1)18

Di surat lain menjelaskan anak merupakan perhiasan dunia :

ُت اَحَلهصلا ُتَيَقَبحلاَواَيح ند لا ُةوَيَلْحا ُةَنح يَزَ َنحوُ نَ بلحاَو ُلاَمحلَا

ًلَمَاٌحيَْخَو ًبًاَوَ ث َكَّبَر َدحنَع ٌحيَْخ

17Ibid.

18 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an Dan Terjemahannya (Surabaya: Jaya

(9)

79 Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi TuhanMu serta lebih baik

untuk menjadi harapan. (Q.S al-Kahfi : 46)19

Allah memberikan rasa cinta kepada anak-anaknya :

اَنَقلحاَو َحيَْنَبحلاَو َءِاَسََّنلا َنَم َتاَوَههشلا بُح َساهنلَل َنَّيُزَ

حيَحلْاَو َةهضَفحلاَو َبَههذلا َنَم َةَرَطحنَقُمحلا َحيَْط

َثحرَلْحاَو َماَعح نَحلااَو َةَمهوَسَُلمحا َل

ا

َ

لمحا ُنحسَُح ُهَدحنَع ُاللهَو ۗاَيح ن دلا َةاوَيَلْحا َعاَتَمحلا َكَلاَذ

َبٴ

Di jadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak- anak , harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)

(QS. Ali Imrān: 15)20

Namun demikian Allah SWT menjelaskan anak dapat menjadi cobaan bagi manusia, karena manusia harus berhati-hati dan bila memaafkan kesalahan mereka maka maka Allah SWT akan memberikan pahala yang besar :

ۗ

ًةَنح تَف حمُك ُد َلاحوَاَو حمُكُلاَوحمَا اَهنََّا

َع ٌرحجَا ُهَدحنَع ُاللهَو

:نب اغتلا ( ٌمحيَظ

١٥

)

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan disisi

Allahlah pahala yang besar (Q.S at-Taghābun : 15)21

Disisi lain Allah Swt menciptakan manusia berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan untuk bersatu dalam perkawinan:

حوُ نُكحسََتَل ۗ اًجاَوحزََا حمُكَسَُفح نَا حنَم حمُكَل َقََلَخ حنَا َهَتَيَا حنَمَو

هنَا

ًةَححَْر َو ًةهدَوَم حمُكَنح يَ ب َلَعَجَو اَهح يَلَا ا

ًۚ

َنحوُرّكَفَ تَ ي ٍمحوَقَل َتَي ََلَ َكَلَذ َفِ

Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu, sesungguhnya allah

maha mengetahui dan maha mengenal (Q.S al-Rūm : 21)22

Dari perkawinan ini akan dilahirkan keturunan baik anak laki-laki atau anak perempuan.

حوُ فاَخ اًفَعُض ًةهيَّزَُذ حمَهَفحلَخ حنَم احوُكَرَ تحوَل َنحيَذهلا ُشحخَيحلَو

َس ًلاحوَ ق احوُلحوُقَ يحلَو َاللهَاحوُقه تَ يحلَ ف حمَهحيَلَع ا

اًدحي َد

Dan hendaklah takut kepada allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang anak-anak yang lemah, yang mereka kawatirkan terhadap

19Ibid., 450. 20Ibid., 77. 21Ibid,. 942. 22Ibid, 847.

(10)

80

(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada allah

dan hendaklah mengucapkan perkataan yang benar (Q.S An-Nisā’: 9)23

Selain hukum Islam, peraturan perundang-undangan mengatur pula tentang kedudukan anak, yaitu terdapat dalam Pasal 42 sampai Pasal 44 Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974, diuraikan sebagai berikut : 24

1. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42).

2. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya atau keluarga ibunya (Pasal 43).

3. Suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan

tersebut (Pasal 44).25

Disamping Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai kedudukan anak dalam Pasal 99 sampai Pasal 106.

Kedudukan anak dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut: 26

1. Anak yang sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut (Pasal 99).

2. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal100).

3. Seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedang istri tidak menyangkalnya dapat meneguhkan pengingkarannya dengan lisan dan mengajukan ke Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada ditempat memungkinkan dia mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama (Pasal101-102).

23Ibid., 116.

24Undang-Undang Reublik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan & Kompilasi

Hukum Islam (Graha Media Press, 2014), 13.

25Madukismo, Hukum Keluarga…, 292.

(11)

81 Dari kedudukan anak yang telah dijelaskan diatas, secara tidak langsung juga meneranggkan tentang hubungan hukum antara orang tua dengan anak.

D. Hak dan Kewajiban Orang Tua

Menghormati hak-hak orang tua merupakan hal yang harus dilakukan oleh seorang anak. Seperti dalam firman Allah Swt mengenai hak-hak orang tua, yaitu :

همَا َناَسَححَا َنحيَدَلاَوحلَبًَو ُههيََا احوُدُبحعَ ت هلاَا َك بَر ىَضَقَو

َف اَُهُمَ َلَكحوَااَُهُمَُدَحَا َُبََكحلا َكََدحنَع هنَغُلح بَ يا

حلُقَو اَُهُمَحرَهح نَ ت َلاَو ٍّفُااَمَُلَ حلُقَ تَل

َُلَ

اَم

(اًحيَُرَك ًلاحوح ق

٣

۲

َو َةَححْهرلا َنَم َّل ذلا َحاَنَجاَمَُلَ حضَفححاَو )

لَا ( اًحيَْغَص َنِيَيه بَر اَمَك اَمُهحَحْحرا َّبَر حلُق

: ءِارس

٤

۲

)

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan meyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik pada ibu, bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkatan (ah) dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (ayat 23). Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagai mana mereka berdua telah mendidik aku

waktu kecil (Q.S al-Isrā’ : 24)27.

Fakta bahwa hak-hak orang tua ditempatkan tepat setelah hak-hak Allah menunjukkan pentingnya hak-hak tersebut. Setelah hak orang tua ada pula kewajiban dalam hubungannya dengan anak. Kewajiban orang tua wajib memelihara, mendidik dan menjaga, melindungi anak menurut kadar kemampuanya. Selain dalam al-Qur’an, kewajiban orang tua juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yaitu pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi : “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun

perkawinan antara kedua orang tua putus.28

E. Hak dan Kewajiban Anak

Menurut Madukismo Kavling dalam bukunynya “Hukum keluarga” menjelaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar

27Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahannya…, 247.

(12)

82

konvensi Hak-Hak Anak meliputi: 1) Nondiskriminasi; 2) Kepentingan yang terbaik bagi anak; 3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan 4) penghargaan terhadap pendapat anak (pasal 2). Dan dalam pasal 3 tentang perlindungan anak, juga mengatur tentang hak-hak anak, yang berbunyi “perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi “secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera” (Pasal 3). Selain itu mengenai tentang hak dan kewajiban terhadap anak pasal 4 yang berbunyi “Setia anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusian, serta mendapat perlidungan dari kekerasan dan diskriminasi.29

Menurut padangan ulama’ beberapa macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu hak nasab, hak radlā, hak hadhānah, hak walāyah dan hak nafkah. Hak-hak tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Hak Nasab

Hak Nasab adalah sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari garis mendasar.

Namun, para ulama berbeda pendapat tentang jumlah susuan yang mengharamkan

pernikahan. Nasab atau keturunan artinya pertalian atau perubungan yang menentukan

asal usul seorang menusia dalam pertalian darahnya. Dalam Islam kelahiran keturunan jaris dengan jalan pernikahan yang sah sehingga anak memiliki status yang jelas, artinya mempunyai bapak dan ibu. Kalau anak lahir di luar pernikahan yang sah, statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hanya mempunyai ibu, tetapi tidak mempunyai bapak.

Nasab adalah pertalian darah yang juga secara genetis akan membentuk pola rupa secara enkulturatif, artinya bahwa seorang anak dilihat secara fisik akan menyerupai ibu atau bapaknya, nenek atau kakeknya, demikian seterusnya. Bahkan,

(13)

83 ada anak yang cara berjalannya, suaranya, dan gayanya mirip dengan ibunya atau

ayahnya. Itu semua berakar dari adanya nasab.30

2. Hak Radla’

Hak Radla’ adalah hak anak untuk mendapatkan pelayanan makan pokok dengan jalan menyusu pada ibunya. Dan apabila seorang perempuan menyusukan air susunya pada seorang anak, maka anak yang disusuinya itu menjadi anaknya, dengan dua syarat a) anak yang disusui kurang dari dua tahun, b)penyusuan terjadi lima kali

secara terpisah.31 Para imam madzhab sepakat bahwa kemuhriman lantaran

sepersusuan sama dengan kemuhriman karena nasab. Walaupun begitu, mereka tetap

saja berbeda pendapat tentang jumlah susuan yang mengharamkan pernikahan.32

3. Hak Hadhānah

Hak Hadhānah menurut bahasa adalah memeluk, sedangkan menurut istilah adalah menjaga anak (atau orang gila) yang tidak dapat hidup mandiri dan

mengasuhnya, dengan melakukan sesuatu demi kemaslahatannya.33 Menurut Fikih

Hadhānah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak

ia lahir sampai mampu menjaga atau mengatur dirinya sendiri. Tugas hadhanah bagi anak yang nasabnya sah akan dipikul oleh kedua orang tuanya sekaligus. Pandangan ulama fikih tentang persoalan hadhanāh tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak. Baik menyangkut perkawinan maupaun menyangkut harta. Hadhanāh adalah perkara mengasuh anak, dalam arti mendidik dan menjaganya untuk untuk masa ketika anak-anak itu membutuhkan wanita pengasuh. Dalam hal ini, mereka sepakat bahwa itu hak ibu. Namun mereka berbeda pendapat tentang lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak sesudah, syarat-syarat pengasuh,

hak-hak atas upah, dan lain-lain.34

4. Hak Walāyah (perwalian)

30Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 173.

31Bigha, Tadzhib Kompilasi Hukum Islam…, 466.

32Muhammad bin ‘Abdurrahmān ad-Dīmasyqi, Fiqih Empat Mazhab (Bandung: Hasyimi,

2012), 386.

33Tim Penulis, Kamus Fiqih (Kediri: Lirboyo Press, 2014), 368.

(14)

84

Untuk menyambung dan menyempurnakan pendidikan anak sampai bāligh, pemeliharaan harta dan mengatur pembelanjaan harta anak kecil dan perwalian dalam pernikahan bagi anak perempuan.

5. Hak Nafkah

Menurut para ahli fikih, orang pertama yang bertanggung jawab atas nafkah anak adalah kerabat terdekat dalam garis nasab, yaitu ayah kandungnya. Syarat utama bagi wajibnya nafkah terhadap kaum kerabat kepada kerabat lain adalah, hendaknya hubungan kekerabatan mereka itu merupakan hubungan yang menyebabkan keharaman nikah antara mereka, yaitu andai kata salah seorang di antara mereka laki-laki dan yang lain perempuan, niscaya mereka terlarang kawin satu sama laindengan demikian kewajiban nafkah-menafkahi itu mencakup ayah keatas, para anak hingga kebawah. Juga mencakup saudara laki-laki dan perempuan, paman dan bibi dari pihak ayah, serta paman dan bibi dari pihak ibu, sebab mereka semua terlarang kawin satu

sama lainnya.35

Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, haruslah menjalankan kewajiabnnya-kewjibannya dengan baik. Kewajiban-kewajiban anak pada orang tua menurut hukum Islam yaitu sebagai taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya, berkata lemah lembut kepada orang tua dan memelihara orang tua sewaktu telah lanjut usia.

Ada pula kewajiban anak terhadap orang tua berdasar pada peraturan perundang-undangan, yaitu pada Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) tentang kedudukan anak tehadap orang tua yang berbunyi :“ Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka

itu memerlukan bantuannya”.36 Pada saat anak telah dewasa, anak berkewajiban

memelihara orang tua menurut kemampuannya, seperti dulu pada saat anak masih kecil dipelihara oleh orang tuanya.

F. Tinjauan Tentang Pengangkatan Anak

35Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab…, 430.

(15)

85 1. Pengertian Pengangkatan Anak

Dalam Kamus Hukum istilah pengangkatan anak disebut juga dengan adopsi yang mempunyai arti Perbuatan mengangkat atau memungut anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri atau dimasukan sebgai anggota keluarga sedemikian sehingga mengakibatkan orang yang mengangkat atau memungut timbul suatu hukum

kekeluargaan yang sama seperti orang tua dengan orang tua kandungnya sendiri.37

Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi setiap orang. Baik bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah dikaruniai keturunan. karena hal ini diperbolehkan oleh Undang–Undang dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum. Pengangkatan anak telah dilakukan dari jaman dulu, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Walaupun pada masa sekarang ini pelaksanaan pengangkatan anak telah jauh berkembang. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pelaksanaan pengangkatan anak yang sudah berkembang dari tujuan semula diadakannya pengangkatan anak. Namun bila diperhatikan dari segi apapun juga, pada dasarnya pengangkatan anak mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh keturunan serta agar dapat mencurahkan rasa keperdulian dan kasih sayang.

Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Untuk mewujudkan sumber daya manusia indonesia berkualitas diperlukan pembinaan sejak dini yang berlangsung secara terus-menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak. Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat memengaruhi kondisi perekonomian keluarga dan berdampak pada tingkat kesejahteraan anak Indonesia. Kenyataan yang kita jumpai sehari-hari di dalam masyarakat masih banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan penyandang cacat dengan berbagai permasalahan yang kompleks yang memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak pemerintah maupaun masyarakat.

(16)

86

Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Salah satu solusi masalah penanganan anak dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik bagi anak dan harus berdasarkan peraturan

perundangan-undangan yang berlaku/atau berdasarkan kebiasaan adat setepat.38

2. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Adopsi atau pengangkatan anak sudah terkenal dan berkembang sebelum masa kerosulan Nabi Muhammad Saw. Bahkan beliau sendiri melakukannya terhadap Zaid bin Haritsah, ia adalah pemuda Arab yang sejak kecil menjadi tawanan perang, dan kemudian di beli oleh Khadijah sehingga ketika Khadijah menikah dengan Nabi, diberikannya Zaid bin Haritsah kepada beliau. Setelah kabar tersebut terdengar oleh orang tua Zaid, mereka berusaha mengambil Zaid dari tangan Nabi, sehingga Nabi menawarkan pilihan untuk tetap tinggal bersama beliau atau mengikuti orang tuanya. Akan tetapi Zaid tetap memilih Nabi sebagai orang tuanya, bahkan masyarakat telah mengetahui dan mengukuhkan bahwa Zaid adalah anak Nabi Muhammad Saw, bukan anak Haritsah, samapi turun wahyu sebagai koreksi terhadap sikap masyarakat yang menganggap bahwa Zaid adalah anak Nabi Muhammad SAW bukan anak Haritsah. Wahyu tersebut terdapat dalam Al-quran Surat Al-Ahzab (33) ayat 4 dan 5 yang sebagai berikut :

اَمَو َهَفحوَج َفِ َحيَْبحلَ ق حنَم ٍلُجَرَل ُهلِلّا َلَعَج اَم

اَوحزََأ َلَعَج

اَمَو حمُكَتاَههمُأ هنُهح نَم َنوُرَهاَظُت يَئللا ُمُكَج

َج

حمُكَءِاَنح بَأ حمُكَءِاَيَعحدَأ َلَع

يَدحهَ ي َوُهَو هقََحلْا ُلوُقَ ي ُهلِلّاَو حمُكَهاَوح فََبِ حمُكُلحوَ ق حمُكَلَذ

( َليَبهسَلا

٤

َدحنَع ُطَسَحقَأ َوُه حمَهَئَبًلآ حمُهوُعحدا )

َف َهلِلّا

حمُهَءَِبًآ اوُمَلحعَ ت حَلَ حنَإ

َميَف ٌحاَنُج حمُكحيَلَع َسحيَلَو حمُكيَلاَوَمَو َنيَّدلا َفِ حمُكُناَوحخَإَف

هَب حُتُحأَطحخَأ ا

حنَكَلَو

اًميَحَر اًروُفَغ ُهلِلّا َناَك

َو حمُكُبوُلُ ق حتَدهمَعَ ت اَم

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang

(17)

87 demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menujukkan jalan (yang benar) ,5.Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memekai) bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagamamu dan maula-maulamu. Tetapi (yang ada dosanya) apa yang disegaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha

penyayang.(Q.S Al-Ahzab: 4-5)39

Atas dasar tersebut di atas adopsi (pengangkatan anak) yang dilakukan secara mutlak dengan memutus nasab antara anak yang di adopsi dengan orang tua kandungnya jelas diharamkan dalam islam. Keharaman adopsi tersebut seperti ini sama halnya dengan tidak memperbolehkan menasabkan anak kepada orang lain padahal yang melakukannya mengetahui bahwa hal itu diharamkan.

Menurut Beni Ahmad Saebani dalam “Fikih munakahat” menjelaskan tentang adopsi (pengangkatan anak) adalah pengambilan anak yang dilkakuakn oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya, kemudian anak itu dia nasabkan kepada dirinya. Dalam hal tersebut syariat islam, tidak menjadikan adopsi sebagai sebab terjadinya hak waris-mewarisi, sebab adopsi pada hakikatnya tidak dapat merubah fakta bahwa nasab anak itu bukan kepada orang yang mengadopsinya, tetapi kepada orang tua lain. Nasab

tidak pernah bisa dihapuskan dan tidak pula diputuskan.40

Menurut al-Alusi dalam tafsirnya Rūhul Ma’āni yang dikutip Muamal Hamidi, dengan sengaja mengaku ayah yang bukan ayahnya sendiri itu adalah haram. Tetapi barang kali yang demikian itu kalau anggapannya tersebut seperti anggapan jahiliyah. Kalau tidak seperti anggapan jahiliyah, misalnya panggilan seorang tua kepada anak kecil “hai anakku” karena iba dan sayang dan memang yang demikian itu banyak terjadi, maka

zhahirnya tidaklah haram.41

Sedangkan menurut pandangan Ibnu katsir : adapun panggilan anak oleh seseorang yang bukan ayahnya sendiri, karena rasa cinta dan kasih sayang, maka tidak termasuk yang terlarang. Berdasarlkan Riwayat Ibnu Abas Ra. Sebagai berikut :

46M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum lslam (Jakarta: Amzah, 2013), 57.

40Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat, 189.

41Mu’ammal Hamidy dan Imron A Manan, Tafsir Ayat Ahkam Jilid 3 (Surabaya:Bina Ilmu,

(18)

88

َّلِلّا ُلحوُسَر َمهدَق

َع َنَِب َةَمَلح يَغُا َمهلَسَو َهحيَلَع ُ الله ىهلَص

َلَعَجَف ٍعُحَجَ حنَم َانَل ٍتاَرََجَ ىَلَع َبَلهطُمحلاَدحب

َ ي

هَنِيحيَ بُا ُلحوُقَ يَو َنََد اَخحفَا ُحَطحل

ُسحمهشلا َعُُلحطَت ّتَّح َةاَرحمُلجحااحوُمحرَ ت َلا

Kami hadapkan kepada Rasulullah Saw. Beberapa anak kecil dari anak-anak Abdul Mutholib untuk melempar jamrah-jamrah dari (malam) berhimpun (wukuf), lalu Rasulullah saw, menepuk paha-paha kami sambil bersabda: wahai anak-anakku!

Janganlah kamu melempar jamrah (aqābah), tunggu sampai matahari terbit.42

Menurut Masjfuk Zuhdi dalam Masailul Fikihiyah, menjelaskan tentang pengangkatan anak dibedakan menjadi dua pengertian :

a. Mengambil anak dari orang lain untuk diasuh dan dididik dengna penuh

perhatian dan kasih sayang, dan diperlukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya.

b. Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandun sehingga

ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tuanya.

Pengertian kedua dari adopsi di atas adalah pengertian menurut istilah di kalangan agama adat di masyarakat. Adopsi menurut istilah ini membudidaya dimuka bumi ini, baik sebelum islam maupun sesudah Islam, termasuk di masyarakat Indonesia.

Adopsi di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan memakai upacara keagamaan dan pengumuman dan penyaksian penjabat dan tokoh agama agar terang

(clear) statusnya.43

Adapun landasan teori selain di atas tentang pengangkatan anak (at-tabanny), juga sesuai ketentuan Pasal 39 menjelaskan (1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Tentang undang-undang Nomor 23 tentang perlindungan

anak.44

42Ibid .

43Masjfuk Zuhdi, Masail Fikihiyah (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), 28.

(19)

89

َسَحمَا َهحيَلَع َتحمَعح نَاَو َهحيَلَع ُالله َمَعح نَا حيَذهلَل ُلحوُقَ ت حذَاَو

حيَلَع َك

َكَسَحفَ ن َفِ يَفحُتُخَْو َالله َقَهتاَو َكَجحوَزَ َك

َم

َساهنلا ىَشحَتُخَْو َهحيَدحبُم ُالله ا

َنحجهوَزَ اًرَطَو اَهح نَم ٌدحيَزَ ىَضَق اهمَلَ ف ُهَشحَتُخْ حنَا قََحَا ُاللهَو

ىَلَع َن حوُكَي َلا حيَكَل اَهَك ا

حمَهَئاَيَعحدَا َجاَوحزََا

حَفِ

ٌجَرَح َحيَْنَمحؤُمحلا

: بازحلَا ( ًلاحوُعحفَم َاللهُرحمَا َناَكَو اًرَطَواحوَضَقاَذَا

٣٧

)

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah

itu pasti terjadi. (Q.S. Al-Ahzab: 37) 45

Sedangkan dasar hukum pengangkatan anak menurut undang-undang adalah sebagai berikut:

1. Undang–Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan; Pasal 43 Ayat 1; Pasal 45 Ayat 1, 2; Pasal 46

2. Undang–Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang PerubahanAtas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; Pasal 2; Pasal 9; Pasal 49

3. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; Pasal 1 Angka 9; Pasal 4; Pasal 6; Pasal 39 ayat 1,2,3,4 dan 5; Pasal 40

4. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik IndonesiaNomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak.

Penutup

Berdasarkan paparan dan analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa adopsi atau pengangkatan anak baik secara hukum islam dan hukum perdata ada beberapa tahapan.

Pertama: adopsi secara hukum islam adalah tidak ada larangan terhadap sesama muslim

untuk mengangkat anak bagi pasangan suami isteri yang belum dikarunia anak. Akantetapi tidak diperbolehkan bagi orangtua angkat untuk menutupi asal muasal jati diri anak tersebut, serta menjamin keberlasungan hidup selama diadopisi. Kedua: adopsi

(20)

90

secara hukum perdata merupakan pengangkatan anak melalui ketentuan-ketentuan yang berlaku serta menjaga asas legalitas anak terhadap orang tua. Agar keberlangsungan hidup selama diadopsi orang tuangkat kebutuhan kehidupan sehari-hari, pendidikan, dll dapat terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

Bigha (al), Musthafa Daib. Tadzhīb kompilasi Hukum Islam ala Madzhab Syafi’i. Surabaya: al-Hidayah, 2008.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001. Departemen Agama Republik Indonesia. al-Qur’an Dan Terjemahannya. Surabaya: Jaya

Sakti Surabaya, 1989.

Dimasyqi (al) Muhammad bin ‘Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi, 2012.

Hamidy, Mu’ammal dan Imron A Manan. Tafsir Ayat Ahkam Jilid 3. Surabaya: Bina Ilmu, 2011.

Irfan, M. Nurul. Nasab dan Status Anak dalam Hukum lslam. Jakarta: Amzah, 2013. Madukismo, Kavling. Hukum Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010.

Marwan, M & Jimmy P. Kamus Hukum. Surabaya: Reality Publisher, 2009. Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2011. Saebani, Beni Ahmad. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 2001. Soenarjo, A.. al-Quran Terjemah. Surabaya: Jaya Sakti Surabaya, 1989.

Suyūthi (al), Abdurrahmān Jalālu al-dīn. Jāmi’ al-Shagīr fi Ahādits al-Basyīr wa al-Nadzīr. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Tim Penyusun. Kamus Fiqih. Kediri: Lirboyo Press, 2014.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam. Graha Media Press, 2014.

Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i 2. Jakarta: Almahira, 2010. Zuhdi, Masjfuk. Masail Fikihiyah. Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997.

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan anak memiliki tujuan (sebagaimana pasal 3 UU No. 23 Tahun 2002) untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak selain mengatur hak-hak anak, dalam Pasal 59 mengatur pula tentang anak yang mendapat

bahwa urusan pemerintahan dibidang perlindungan anak berupa kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar anak dapat hidup,

Tujuan perlindungan hukum terhadap anak yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak- hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal

Tujuan perlindungan hukum terhadap anak yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak- hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai

bahwa urusan pemerintahan di bidang perlindungan anak berupa kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar anak dapat hidup,

bahwa urusan pemerintahan di bidang perlindungan anak berupa kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar anak dapat hidup,

bahwa urusan pemerintahan dibidang perlindungan anak berupa kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh,