• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu mempimpin serta melihat kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945, tentulah anak tersebut harus diasuh, diayomi, dididik, dihormati sebab posisi anak sangat penting dan strategis sebagai suatu potensi emas tumbuh kembangnya suatu bangsa dimasa depan.1

Anak yang merupakan titipan dari Tuhan berhak mendapatkan nama yang baik dan kasih sayang dari orang tua, masyarakat, dan lingkungannya. Anak adalah keturunan atau generasi sebagai suatu hasil dari hubungan antara laki-laki dengan seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan.2

Pada prinsipnya setiap anak berhak diasuh oleh orang tuanya karena orang tua lah yang paling bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua pula yang memiliki ikatan batin yang khas dan tidak tergantikan oleh apapaun dan/atau siapapun. Ikatan yang khas inilah yang kemudian akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hingga dewasa. Jika ikatan yang khas tersebut menorehkan warna positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak maka anak akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Sebaliknya, jika kekhasan hubungan dengan orang tua

1

Ahmad sofian, Perlindungan Anak Di Indonesia, Jakarta:PT.Soft Media, 2012, hlm. iii 2

(2)

2

ini menorehkan warna negatif, maka hal itu akan sangat berpengaruh pada masa depan anak secara potensial.3

Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan masa depan bangsa dan negara, oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik mental dan spritualnya secara maksimal.4

Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan kedua yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, menyebutkan : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 34 UUD 1945 hasil Namun tak jarang anak yang seharusnya dijamin perlindungannnya diayomi, dididik dan dihormati justru memperoleh perlakuan yang tidak sepantasnya diteima oleh mereka yang mana perlakuan itu dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosialnya terganggu.

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus mendapat perlindungan dan kesejahteraan dimana negara, masyarakat, dan orang tua maupun keluarga wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

3

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 147 4Ibid

(3)

3

perubahan keempat, yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam Pasal 34 UUD 1945 tersebut disebutkan:

1 Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

2 Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

3 Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.5

Pasal 52 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak-hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak.6

a. Non-diskriminasi ;

Hal tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang yang lebih khusus yaitu Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 2 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 yang dirubah menjadi Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan: “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:

5

UUD 45 Yang Sudah Diamandemen Dengan Penjelasannya, Jakarta: Nidya Pustaka, 2007, Pasal 28B dan Pasal 34.

6Undang Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Tahun 2000 dan

(4)

4 b. Kepentingan yang terbaik bagi anak ;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan ; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera ( Pasal 3 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 yang telah dirubah menjadi Undang-undang No. 35 Tahun 2014).7 Orang tua yang tidak mampu untuk memberikan perlindungan terhadap anak, maka undang-undang memberikan kemungkinan lain dalam menjamin perlindungan terhadap anak dengan menyediakan lembaga pengasuhan anak. Undang-undang tidak bermaksud untuk dengan sengaja memisahkan anak dari orang tuanya. Hal pengasuhan anak tersebut diatur dalam Bab VIII bagian Kesatu Pasal 37 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014, yaitu sebagai berikut:8

1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosialnya ( Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).

2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu. Penjelasan ayat ini

7

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta :UNICEF, 2014, Pasal 3.

8Ibid

(5)

5

menyatakan bahwa: “yang dimaksud dengan lembaga yang mempunyai kewenangan adalah lembaga yang sah bergerak dalam pengasuhan anak.” 3) Dalam lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan

agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan.

4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan.

5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan didalam atau diluar Panti Sosial.

6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4),dan ayat (5).

(6)

6 komersial serta kasus-kasus perebutan anak.9

Panti Asuhan atau Panti Sosial Asuhan Anak juga Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) ialah lembaga sosial

Hal inilah yang menempatkan anak sebagai alasan dan keterbatasan orang-orang dewasa untuk mengorbankan anaknya yaitu salah satunya meletakkan anaknya di panti asuhan.

dan memelihara anak-anak yatim, ya10

Pasal 2 Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak menyebutkan: “Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak merupakan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau masyarakat dalam menyelenggarakan pengasuhan anak.”

Dalam salah satu tujuan didirikan panti asuhan adalah sebagai tempat untuk merawat serta mendidik anak-anak terlantar dan kurang mampu sehingga dapat menolong dirinya sendiri dan berfungsi dalam masyarakat. Panti asuhan merupakan keluarga pengganti untuk memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak terlantar atau anak binaan.

11

Seperti halnya dalam kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG) merupakan salah satu dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap anak. Dalam kasus ini diceritakan pihak yang melakukan kekerasan adalah pemilik dari panti asuhan tersebut dimana ia melakukan kejahatan seksual dan kekerasan fisik terhadap

10

id.wikipedia.org/wiki/Panti_asuhan. Diakses Pada Tanggal 10 Februari 2015. Pukul 05.31 WIB.

11

(7)

7

anak asuhnya. Dari adanya pemberitaan kasus tentang kekerasan terhadap anak yang terjadi di panti asuhan tersebut, mendorong penulis untuk meneliti permasalahan mengenai ketentuan hukum pertanggungjawaban pidana pemilik panti asuhan yang melakukan kekerasan terhadap anak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku diIndonesia, mengetahui pertimbangan hakim terhadap penerapan sanksi pidana serta landasan hakim dalam memberikan sanksi pidana kepada si pelaku tindak pidana tersebut.

Berdasarkan permasalahan diatas, penulis merasa tertarik untuk mencoba menguraikan masalah tindak pidana kekerasan khususnya tindak pidana kekerasan yang terjadi pada anak panti asuhan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan yang Terjadi Pada Anak Panti (Studi Putusan Pengadilan

Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG )” .

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap kekerasan yang dilakukan pada anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimana pertimbangan hakim mengenai penerapan sanksi pidana terhadap pemilik panti asuhan dalam Putusan Pengadilan Tangerang No. 1617/Pid.sus/ 2014/PN.TNG ?

(8)

8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:

a) Untuk mengetahui ketentuan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pemilik panti asuhan yang melakukan kekerasan terhadap anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. b) Untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap penerapan sanksi

pidana dalam Putusan Pengadilan Tangerang No. 1617/Pid.sus/ 2014/PN.TNG terhadap kekerasan oleh pihak panti asuhan.

c) Untuk mengetahui landasan hakim dalam memberikan sanksi pidana kepada pemilik yayasan yang melakukan kekerasan.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dapat menambah wawasan dan ilmu Pengetahuan dalam bidang Hukum pada umumnya dan Hukum pidana pada khususnya.

b. Manfaat Praktis

(9)

9

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Terjadi Pada Anak Panti ( Studi Putusan

Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617 / Pid . Sus / 2014 /

PN . TNG) belum pernah dilakukan dalam topik dan pembahasan yang sama.

Penelitian terhadap judul skripsi ini juga telah diperiksa oleh pihak perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti.

Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dapat dikatakan masih “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif, serta terbuka sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Azas pertanggungjawaban dalam hukum pidanaialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea). Azas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle). Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H.R 1961 Nederland, hal itu ditiadakan.12

Menurut Moeljatno orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.13

12

Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineka, 2002 hlm.153 13Ibid

(10)

10

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.14

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu :

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : Disengaja dan Sikap kurang hati-hati atau lalai.

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.

Pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung mempertanggungjawabkan perbuatannya, pertanggungjawaban dikenakan kepada orang yang mewakilinya.15

Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggungjawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggungjawab dihubungkan dengan Pasal 44 KUHP.

Diakses

Pada Tanggal 09 Februari 2015. Pukul 09.32WIB. 15

(11)

11

Pasal 44 KUHP menentukan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwanya yang terganggu karena penyakit. Maka berdasarkan pasal tersebut kemampuan bertanggungjawab harus ada kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai dengan ketentuan hukum karena tindakan tersebut menyangkut aspek moral dan kejiwaan.

2. Pengertian Panti Asuhan

Panti Asuhan atau Panti Sosial Asuhan Anak juga Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) ialah lembaga sosial dan memelihara anak-anak yatim, ya

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefenisikan panti asuhan sebagai rumah tempat memelihara dan merawat anak yatim piatu dan sebagainya.

Departemen Sosial Republik Indonesia menjelaskan bahwa:

“Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar dengan melakukan penyantunan dan pengentasan anak terlantar, memberikan pelayanan pengganti fisik, mental, dan sosial pada anak asuh, sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan yang turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional.”16

Berdasarkan Kepmensos No.50/HUK/2004, Panti Sosial Asuhan Anak adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi anak yatim, piatu, dan yatim piatu yang kurang mampu, terlantar agar potensi dan kapasitas belajarnya pulih kembali dan dapat berkembang secara wajar.17

Menurut Musdalifah, definisi dari Panti Asuhan adalah: ”Panti asuhan dapat

16

Departemen Sosial Republik Indonesia. Panduan Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Melalui Panti Asuhan Anak. Jakarta. 2007.

(12)

12

diartikan sebagai suatu lembaga untuk mengasuh anak-anak, menjaga dan memberikan bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan tujuan agar mereka dapat menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab atas dirinya dan terhadap masyarakat kelak di kemudian hari. Panti asuhan dapat pula dikatakan atau berfungsi sebagai pengganti keluarga dan pimpinan panti asuhan sebagai pengganti orang tua; sehubungan dengan orang tua anak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam mendidik dan mengasuh anaknya”.18

3. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Pada Anak

Berdasarkan dari uraian pengertian di atas bahwa panti asuhan merupakan suatu lembaga kesejahteraan sosial dimana sebagai tempat untuk mendapatkan pengasuhan dan pelayanan pengganti dalam memenuhi kebutuhan fisik, sosial dan mental pada anak yang kurang mendapat pengasuhan dari kluarganya, sehingga mereka dapat mengembangkan diri dan mampu melaksanakan perannya sebagai individu yang sesuai dengan kepribadian dan harapan bangsa.

Bila ditinjau dari segi bahasa (Etimologi), maka kekerasan berasal dari kata dasar “keras” daan mendapat awalan “ke” dan kemudian mendapat akhiran “an”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata kekerasan mempunyai makna:

“Kekerasan menunjukkan kata sifat (hal dan sebagainya) keras pada suatu kegiatan, suatu kekerasan dapat diartikan sebagai perihal keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cidera atau

18

Musdalifah. Perkembangan Sosial Remaja dalam Kemandirian (Studi Kasus Hambatan Psikologis Dependensi Terhadap Orangtua). 2007. http : // www. linkpdf. com/ ebookviewer. php? url= http:// Jurnalinqro. files. wordpress. com/ 2008/ 08/ 05- ifah- 46-

(13)

13

matinya orang lain dan menyebabkan cidera atau matinya orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik orang lain.”19

“Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Yang disamakan dengan kekerasan menurut pasal ini adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.”

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian yang otentik tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan. Hanya dalam Pasal 89 KUHP disebutkan bahwa yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu, membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Menurut R.Soesilo dalam Memorie van Toelichting (MvT) Pasal 89 KUHP dijelaskan bahwa:

20

a. Pengrusakan terhadap barang.

Perlu diketahui bahwa melakukan kekerasan bukan hanya dilakukan terhadap orang saja tetapi penjelasan mengenai kekerasan juga dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

b. Penganiayaan terhadap hewan atau orang .

c. Melemparkan batu-batu kepada orang atau rumah.

d. Membuang-buang barang hingga berserakan dan lain sebagainya.21 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa objek kekerasan bukan hanya pada orang tetapi juga pada benda atau hewan. Dari uraian dan pengertian diatas kejahatan kekerasan adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan aturan hukum yang dapat memberi dampak negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasaran.22

19

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Sinar Global. 2009. Hal.343

20

Penjelasan Pasal 89 R.Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia. 1988. hal.98

21 Ibid. 22

Ray Pratama Siadari . Tindak Pidana Kekerasan dan Jenis-Jenisnya.

(14)

14

Barker mendefinisikan kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok.23

Richard J. Gelles dalam Encyclopedia Articlefrom Encarta, mengartikan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah kekerasan anak meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak.

Sedangkan, kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan pada orangtua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.

24

4. Pengertian Anak

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Sesuai dengan hal yang tercantum dalam konsideran Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun, namun

23

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa, 2006, hal. 36 24

(15)

15

diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional.25

Berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundang-undangan, lain pula kriteria anak. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Pokok Perburuhan (Undang-undang No. 12 Tahun 1948) menentukan bahwa anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah. Menurut Hukum Adat seseorang dikatakan belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan berdiri sendiri belum terlepas dari tanggung jawab orang tua. Hukum Adat menentukan bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah dapat bekerja sendiri, cakap melakukan yang disyaratkan dalam kehidupan masyarakat, dapat mengurus kekayaan sendiri.

Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

26

25

Unicef. Pengertian Konvensi Hak Anak. Jakarta:PT Enka Parahiyangan. 2003. hal. 3. 26

(16)

16

Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menentukan batas usia dalam hal defenisi anak, maka akan terdapat berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya defenisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya :27

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. 2. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

mendefenisikan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

3. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin .

(Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini telah dirubah menjadi Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana mendefenisikan anak telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan membedakan anak dalam 3 kategori yaitu:

a) Anak yang menjadi pelaku tindak pidana 28 b) Anak yang menjadi korban tindak pidana

, 29

c) Anak yanag menjadi saksi tindak pidana.

,dan 30

27

M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta:Sinar Grafika, 2013, hal 9-10 28

Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak

29

Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak

(17)

17

4. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.

5. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun.

6. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan wajib belajar 9 (sembilan) tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.

Berbagai macam defenisi tersebut, menunjukkan adanya disharmonisasi perundang-undangan yang ada. Sehingga, pada praktiknya di lapangan akan banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut. Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child), maka defenisi anak : “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. Untuk itu Undang-undang No. 23 Tahun 2002 yang telah di rubah menjadi Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak memberikan defenisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.31

F. Metode Penulisan

Metode penelitian menurut Soerjono Soekanto mempunyai peranan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengatakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap.

30

Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak

31

(18)

18

2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.

3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui.

4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan.32

Pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini telah dilakukan melalui pengumpulan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulisan skripsi ini metode yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.33

2. Data dan Sumber Data

32

Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:UI Press, 1988, hlm. 15. 33

(19)

19

Penulisan skripsi ini, menggunakan data skunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang telah ada dan berhubungan dengan skripsi ini yakni berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini yaitu berupa Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana dan perundang-undangan lainnya

b. Bahan hukum skunder yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti dokumen-dokumen yang merupakan informasi dan artikel-artikel yang berkaitan dengan eksistensi Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG melalui jurnal-jurnal hukum, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan yang diangkat dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder sperti Kamus Hukum dan Ensiklopedia.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode Library research

(20)

20

pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk Peraturan Perundang-Undangan.34

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis Data

Tahap-tahap dari analisis data pada penelitian yuridis normatif adalah sebagai berikut:35

a. Merumuskan asas-asas hukum, baik dari data sosial maupun dari data hukum positif.

b. Merumuskan pengertian-pengertian hukum. c. Pembentukan standar-standar hukum. d. Perumusan kaidah-kaidah hukum.

Data skunder yang telah diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan lalu dianalisis dengan metode dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan

34

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rieneka Cipta, 1996, hlm.59 35

(21)

21

sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Penulis dalam memudahkan penyusunan dan pemahaman skripsi ini, membuat suatu sistematika penulisan ini secara teratur dari berbagai hal dan bagian yang semuanya mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Sistematika penulisan tersebut dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub-sub bab. Skripsi ini dirancang dengan tujuan agar terhindar dari kesimpangsiuran sehingga tidak terjadi tumpang tindih

(overlapping) antar satu hal dengan yang lain sehingga karenanya disusun secara sistematis dalam bentuk sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan

Merupakan kerangka yang terdiri dari latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Di dalam bab ini pada permasalahan, penulis memaparkan tentang pengertian pertanggungjawaban pidana , panti asuhan, kekerasan, dan anak. Hal ini perlu karena sebagaimana biasanya pada bab inilah pertama kali kita jumpai gambaran umum tentang apa yang akan dibahas kemudian.

(22)

22

Bab ini membahas tentang tujuan dan fungsi panti asuhan, pelaksanaan pengasuhan dalam panti asuhan berupa syarat berdirinya panti asuhan, struktur organisasi dan fasilitas yang seharusnya terdapat dalam panti asuhan. Sedangkan mengenai pertanggungjawaban pidana pemilik panti asuhan terhadap kekerasan pada anak, bab ini membahas pengaturan hukumnya berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Bab III: Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Pada Anak dalam Putusan Pengadilan Negeri No. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG

Dalam bab ini dibahas sehubungan dengan: prinsip-prinsip yang melandasi pertanggungjawaban pidana pemilik panti asuhan menurut Putusan Pengadilan Negeri No. 1617 / Pid.Sus / 2014 / PN .TNG dengan menggambarkan: kronologis kasus, tuntutan, fakta hukum dan putusan serta dilakukan analisis terhadap kasus berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

(23)

23

Bab ini membahas tentang landasan hakim dalam panjatuhan sanksi pidana kepada pemilik yayasan yang melakukan kekerasan baik dari segi yuridis dan non yuridis.

Bab V: Kesimpulan dan Saran

Referensi

Dokumen terkait

Berangkat dari beragam pertanyaan itu, penulis mencoba menempuh alternatif lain yang belum pernah dilakukan pada berbagai penelitian tentang musik liturgi,

Pemberian motivasi dan penegakan disiplin oleh atasan berarti telah memberikan kesempatan terhadap karyawan yang menjadi bawahannya, sehingga karyawan bisa dan mampu

“Semuanya menyatu bersama visi besar untuk menghasilkan produk yang lebih luar biasa yang akan disukai pelanggan kita, bisnis yang kuat dari pendekatan global yang pintar dan dunia

 Intisari mitos Plato: Kebanyakan orang dapat disamakan dengan orang tahanan yang terbelenggu. Mereka mengandaikan begitu saja bahwa pengenalan indera menyodorkan realitas

4) Atas dasar pemberitahuan sebagaimana yang dimaksud ayat 3, pengawas perikanan melakukan koordinasi dengan pemiiik kapal untuk merencanakan perbaikan transmiter SPKP

Dari hasil perhitungan di atas diketahui bahwa keberadaan tanaman serealia lahan kering di daerah penyangga masih memiliki status ekologi lestari, namun demikian tanaman

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data penelitian dari data primer yaitu adalah dengan menyebarkan kuesioner yang digunakan untuk menganalisis pengaruh

Lima komponen Pengendalian Internal yang dibentuk oleh COSO dan diadopsi oleh pemerintah dalam PP No.60 Tahun 2008 adalah lingkungan pengendalian, penilaian risiko,