• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Trafficking) (Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor 03/Pid.B/2012/Pn.Sbg Dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/Pn.Sbg)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Trafficking) (Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor 03/Pid.B/2012/Pn.Sbg Dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/Pn.Sbg)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah telah mengundangkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak bangsa dari tindakan-tindakan pengekangan dan eksploitasi hak-hak anak. Konsideran Undang-undang Perlindungan Anak ini mempertimbangkan perlindungan terhadap anak adalah penting sebab anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.1

Perlindungan anak merupakan suatu upaya untuk mengadakan kondisi setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.2 Perlindungan anak menurut Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Pentingnya diberikan perlindungan terhadap anak sesungguhnya menurut Undang-undang Perlindungan Anak agar setiap anak kelak mampu memikul

1

Diktum pada Konsideran hruf c UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (disingkat UUPA).

2

(2)

tanggung jawab, mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, maka melalui upaya perlindungan anak dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Kendatipun banyaknya ketentuan perundang-undangan yang menjadi landasan berpijak memberikan perlindungan terhadap anak, namun pada faktanya anak selalu cenderung dijadikan sebagai objek bagi oknum-oknum tertentu untuk dieksploitasi hak-haknya. Kondisi saat ini masih tetap menjadikan anak-anak sebagai objek perdagangan manusia (trafficking) oleh oknum-oknum tertentu.

Ekspolitasi hak-hak anak tidak hanya dalam bentuk memperdagangkan anak, di sisi lain masalah anak tidak tersentuh perlindungannya antara lain anak jalanan (street children), anak yang bekerja (working children), pekerja anak (child labour), kekerasan terhadap anak, dan lain-lain. Anak sebagai korban tindak pidana sesungguhnya sebagai bentuk pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku.3

Perdagangan manusia (trafficking) khususnya anak telah menjadi sebuah fenomena yang tiada habis-habisnya dicegah maupun diberantas di dunia ini. Banyak faktor yang kondusif menyebabkan oknum-oknum tertentu memperdagangkan anak demi kepentingannya semata, antara lain: karena kemiskinan, kebutuhan kerja, kurangnya pendidikan, migrasi, kondisi keluarga, pengaruh sosial budaya, kebutuhan para majikan, kemajuan bisnis pariwisata, dan

3

(3)

lain-lain. Semua faktor tersebut berpotensi membuka peluang terjadinya perdagangan manusia.4

Komposisi anak dalam konsep pembangunan bangsa sesungguhnya adalah sebagai generasi penerus, pelopor, dan pencetus ide-ide cemerlang bagi pembangunan dan keutuhan bangsa. Kondisi anak-anak bangsa hari ini penentu kondisi pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Jika anak-anak tidak dididik, dibina, dibekali akhlak dan budi pekerti yang baik, maka kelangsungan bangsa di masa akan datang dapat dipastikan terancam oleh sumber daya manusia yang tidak berkualitas dan tidak bermoral.

Tanggung jawab terhadap anak tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua, melainkan tanggung jawab bersama, baik orang tua, masyarakat, dan Pemerintah/Negara sama-sama memiliki komposisi tanggung jawab terhadap anak-anak bangsa agar tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang berpotensi dan berkualitas baik untuk dirinya maupun untuk keluarga, masyarakat, dan Negara.

UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (disingkat UUPTPPO) diundangkan juga sebagai upaya untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak bangsa dari tindakan oknum-oknum tertentu yang memperdagangkan anak-anak untuk dieksploitasi hak-haknya. Perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak azasi manusia.

4

(4)

Perdagangan manusia telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Sebenarnya menurut Rahmat Syafaat, perdagangan manusia telah berlangsung sejak dahulu kala dan hingga kini masih terus berlangsung bahkan semakin marak khususnya di Indonesia.5

Perdagangan manusia bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta melanggar HAM dalam norma dasar UUD 1945. Perdagangan manusia merupakan penghianatan terhadap penghormatan HAM sebagaimana yang dianut dalam norma dasar pada Bab X UUD 1945 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (disingkat UUHAM). Perdagangan manusia bukan merupakan pribadi bangsa, oleh karena itu, tindakan ini harus dicegah dan diberantas serta korban perdagangan manusia wajib mendapat perlindungan dari Pemerintah.

Bentuk kejahatan ini sulit diberantas, oleh masyarakat internasional menyebutnya sebagai bentuk perbudakan modern6 dan pelanggaran terhadap HAM. Kejahatan ini terus-menerus berkembang baik dalam kapasitas nasional maupun transnasional.7 Sasaran kejahatan perdagangan orang memiliki kecenderungan (dominan) korbannya adalah perempuan dan anak-anak (laki-laki dan/atau perempuan).

5

Rachmat Syafaat, Dagang Manusi, Kajian Trafiking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur,Yogjakarta, Lappera Pustaka Utama, 2003, hal. 32.

6

Ibid., hal. 1. 7

(5)

Modus pelaku umumnya diawali dengan penipuan terhadap korban kemudian korban tanpa sepengetahuannya khusus untuk anak perempuan dijual atau dieksploitasi baik untuk eksploitasi seksual maupun bentuk eksploitasi lainnya misalnya untuk pekerja anak (child labour), dalam bentuk perbudakan, penjualan organ tubuh, bahkan penjualan bayi. Tujuan pelaku tidak lain hanya untuk kepentingan komersil.8

Korban perdagangan bisa pula terjadi pada anak laki-laki selain tujuan untuk pekerja anak (child labour), anak laki-laki dijual pada laki-laki dewasa yang biasanya untuk memperkuat ilmu tertentu karena tidak diperbolehkan melakukan perkawinan atau hubungan seksual dengan perempuan yang dalam istilah bahasa jawa disebut warok.9

Modus pelaku perdagangan orang dapat berupa penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri dengan iming-iming untuk mempekerjakan seseorang dengan layak, sesuai prosedur seolah-olah resmi, dan memperoleh penghasilan yang besar. Namun pada kenyataan para pencari kerja harus menjalani proses hukum di negara lain oleh karena tidak memenuhi syarat-syarat prosedural yang resmi. Tindakan ini mengarah pada perbuatan eksploitasi seksual dan perdagangan orang.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengatakan manisnya tawaran kerja ke luar negeri dengan pola perekrutan dengan bujuk rayu oleh beberapa orang merupakan bagian dari

8

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal. 6.

9

(6)

pola tindak pidana perdagangan orang (TPPO).10Menurut hukum pidana tindakan

demikian disebut sebagai perbuatan penyertaan (deelneming).11

Seperti pada kasus-kasus yang sedang ditangani Kepolisian Daerah

Sumatera Utara (Poldasu) saat ini berjumlah 12 (dua belas) kasus perdagangan

orang, dilakukan oknum adalah orang perseorangan yang pada umumnya modus

operandinya adalah:12

1. Menjual korban dan menjadi pelayan seks komersil di Malaysia.

2. Melakukan tindak pidana perdagangan orang.

3. Membawa WNI atau perseorangan ke luar negeri.

4. Perseorangan menempatkan TKI ke luar negeri tanpa izin atau tidak

memiliki dokumen resmi dari pihak yang berwajib.

Salah satu kasus tersebut dengan nomor LP/90/III/2010/Dit Reskrim

tanggal 15 Maret 2010 atas nama tersangka Greas Diana Panggabean dan korban

Jusraini Tarihoran baru-baru ini masih dalam proses penyidikan Poldasu. Selain

itu di Pengadilan Negeri Sibolga melalui Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG

dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG diputuskan menyangkut tindak

pidana perdagangan orang yang dilakukan secara bersama-sama (penyertaan)

dengan modus untuk mempekerjakan seseorang yang bernama Merlina Hasugian

(saksi korban) ke Malaysia namun ternyata bertujuan untuk eksploitasi seksual.

10

http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/7579-kepala-bnp2tki-dukung-penghentian-penempatan-tki-ke-malaysia.html, diakses tanggal 20 Maret 2013. Ditulis dalam kolom berita BNP2TKI.

11

EY. Kanter dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,Jakarta, Storia Grafika, 2002, hal. 336.

12

(7)

Kasus ini tindak pidana perdagangan orang dalam Putusan Nomor

03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG menarik

untuk diteliti berkenaan dengan korbannya sama tetapi pelakunya berbeda yang

menurut Pasal 55 sampai dengan Pasal 60 KUH Pidana disebut delik penyertaan

yaitu turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum.

Kemudian dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan

Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG dikatakan menarik karena tindak pidana

perdagangan orang dilakukan sebagai delik percobaan. Ketentuan delik percobaan

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) KUH Pidana, maksimum pidana

pokok yang dijatuhkan kepada pelaku dikurangi dengan sepertiga.13

Tindak pidana percobaan perdagangan orang ditentukan dalam Pasal 10

UUPTPPO diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Tetapi jika diperhatikan isi kedua

putusan tersebut di atas, sama-sama diputuskan pidana penjara kepada kedua

terdakwa yakni 3 (tiga) tahun dikurangi masa tahanan dan denda sebesar

Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) ditambah 3 (tiga) bulan

kurungan.14

Menurut pengakuan saksi di persidangan, korban masih berumur 18

(delapan belas) tahun. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang

Perlindungan Anak yang dimaksud anak dalam undang-undang ini adalah

“Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

13

EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op. cit., hal. 316. 14

(8)

masih dalam kandungan”. Berarti dalam kasus di atas, korban masih tergolong

usia anak-anak.

Berdasarkan pengakuan saksi di persidangan, diketahui bahwa korban

dibawa oleh pelaku dari atau sepulang sekolah di Sipea-Pea menuju Kota Sibolga

untuk kemudian berangkat ke daerah Tanjung Balai yang akan transit ke

Malaysia. Sementara kedua orang tua korban sama sekali tidak mengetahui

keberadaan anaknya sejak sepulang sekolah.

Terbongkarnya kasus perdagangan anak ini terungkap ketika supir yang

membawa korban dan beberapa orang pelaku (Adanin Marbun dan Tamba Tua

Pasaribu alias Janggual) meminta ongkos bus yang ditumpangi. Tetapi kedua

pelaku yang sudah terpidana ini tidak memiliki uang melainkan uang atau ongkos

bus tersebut nantinya akan dibayar oleh yang bernama Indah (masih dalam DPO

Polisi) dan Indah tidak mau membayar ongkos bus tersebut setelah tiba di

Tanjung Balai. Terjadilah pertengkaran mulut hingga supir bus tersebut

menghubungi Polsek Datuk Banjar di Tanjung Balai. Tersangka yang bernama

Indah melarikan diri seketika supir bus menghubungi pihak Polsek Datuk Banjar

di Tanjung Balai hingga kini masih dalam DPO Polisi.

Tindak pidana perdagangan manusia dalam kasus ini merupakan delik

percobaan. Syarat dikatakan delik percobaan dalam Pasal 53 ayat (1) KUH Pidana

adalah: dilakukan dengan niat (means rea), adanya permulaan pelaksanaan

tindakan, tindakannya belum selesai, terhalanginya tindakan tersebut karena di

(9)

melainkan tertangkap tangan atau karena pihak lain mengetahui kejadian tersebut

lalu dilakukan pencegahan.

Dalam kasus perdagangan anak tersebut di atas, ketentuan sanksi yang

ditentukan dalam kedua Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan

Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG merupakan bentuk pemberian perlindungan

terhadap anak melalui proses peradilan pidana. Pada prinsipnya perlindungan

anak tidak hanya mesti dilakukan melalui upaya proses hukum sebab proses

hukum pidana merupakan langkah refresif atau sebagai upaya pemberantasan.

Tetapi yang lebih penting dari itu adalah upaya yang dilakukan melalui

pencegahan baik pencegahan melalui preemtif maupun preventif.

Tanggung jawab perlindungan anak bukan hanya menjadi kewajiban

negara tetapi menjadi tanggung jawab bersama baik diri sendiri (individual),

keluarga, masyarakat, maupaun Pemerintah/Negara. Perlindungan anak dalam

pelaksanaannya diperlukan dukungan positif dan partisipasi aktif dari semua pihak

dalam segala aspek kehidupan, termasuk dari budaya dan agama. Betapapun

canggihnya aturan dan perundangan dan mantapnya aktivitas penegak hukum, jika

tidak ditopang dengan nilai-nilai budaya dan agama, tujuan pembinaan dan

perlindungan terhadap anak akan sulit dicapai.15

Berdasarkan uraian-uraian peristiwa-peristiwa penting dalam hubungannya

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan tindak pidana

perdagangan manusia khususnya perdagangan anak sebagaimana diuraikan di

atas, menarik untuk dilakukan penelitian tentang, “Perlindungan Anak Sebagai

15

(10)

Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Trafficking) (Analisis Hukum

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor 03/Pid.B/2012/PN.Sbg dan

Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.Sbg)” sebagai judul dalam skripsi ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan

permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap perlindungan anak sebagai

korban tindak pidana perdagangan manusia?

2. Bagaimanakah penerapan perlindungan hukum terhadap anak sebagai

korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor

03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG?

3. Apa upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak

sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor

03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilakukan penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum terhadap

perlindungan anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia.

2. Untuk mengetahui penerapan perlindungan hukum terhadap anak sebagai

korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor

(11)

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan

terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia dalam

Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor

04/Pid.B/2012/PN.SBG.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini secara teoritis dan praktis sebagai

berikut:

1. Secara teoritis bermanfaat bagi akademisi sebagai bahan kajian penelitian

dan pengkajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat umum

khususnya dalam memahami perlindungan terhadap anak sebagai korban

tindak pidana perdagangan manusia.

2. Secara praktis bermanfaat bagi aparatur penegak hukum antara lain: pihak

Kepolisian, pihak Kejaksaan, pihak Kehakiman, para Advokat/Pengacara,

Lembaga Pemasyarakatan, serta pihak Keimigrasian, dan lain-lain.

D. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan

masalah yang sama dalam skripsi ini, maka peneliti melakukan pemeriksaan judul

skripsi yang sama dengan, ”Analisis Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak

Pidana Perdagangan Manusia (Trafficking)”.

Ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tidak ditemukan judul dan

permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Sebab penelitian dalam skripsi ini

memfokuskan kajiannya berdasarkan Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan

(12)

Terhadap kedua putusan tersebut belum belum pernah dilakukan penelitian

oleh peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian,

maka penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian dan jauh dari unsur plagiat

serta sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yakni

kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta sesuai dengan prosedur menemukan

kebenaran ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara

ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Perlindungan Anak

Pengertian perlindungan anak, menurut Eugen Ehrlich, merupakan

perlindungan dalam bentuk hukum tertulis maupun tidak tertulis yang menjamin

hak-hak terhadap anak benar-benar dapat diberikan hak dan kewajibannya sebagai

anak.16 Menurut Bismar Siregar, perlindungan anak lebih dipusatkan pada

pemberian hak-hak anak yang diatur oleh hukum dan bukan kewajiban, mengingat

secara hukum bahwa anak belum bisa dibebani kewajiban.17

Perlindungan anak dapat diartikan secara luas dan sempit. Secara luas

diartikan segala aturan hidup yang memberi perlindungan kepada anak atau yang

belum dewasa untuk berkembang. Sedangkan dalam pengertian sempit diartikan

sebagai perlindungan yang dimaksud dalam ketentuan yuridis saja.

Pengertian perlindungan anak dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang

Perlindungan Anak sesungguhnya dapat diartikan secara sempit dan secara luas,

16

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta, Akademika, 1985, hal. 53. 17

(13)

sebab Undang-undang Perlindungan Anak di samping menentukan perlindungan

secara yuridis juga menentukan upaya lain di luar ketentuan yuridis. Perlindungan

anak diartikan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan Anak

menentukan: “Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan

hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Negara atau Pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk bertanggung

jawab memberikan dukungan, sarana, dan prasarana dalam penyelenggaraan

perlindungan anak. Tujuannya adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak

agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.18

Hal ini berarti setiap anak selama dalam pengasuhan orang tuanya, wali,

atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab hak keperdataan anak di bidang

pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan dari bentuk:

diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,

kekerasan, dan penganiayaan, dan ketidakadilan serta perlakuan salah lainnya.19

Termasuk hak dalam memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan, penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, dan lain-lain.

Konsep perlindungan terhadap hak-hak anak suatu bentuk penghormatan

terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak setiap anak tanpa membedakan

18

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta, Kompas Gramedia, 2010, hal. 42-45.

19

(14)

suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status anak,

urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik atau mental, memberikan dukungan

sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.20

Undang-undang Perlindungan Anak menjamin perlindungan,

pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban

orang tua, wali atau orang lain secara hukum bertanggung jawab terhadap anak

dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Menjamin anak untuk

memepergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan

tingkat kecerdasan anak.

2. Pengertian Batasan Usia Anak

Secara umum pengertian anak adalah anak yang masih belum mencapai

usia dewasa. Ketentuan mengenai usia dewasa alam berbagai peraturan

perundang-undangan berbeda-beda batasannya. Menurut Pasal 330 KUH Perdata,

orang yang dikategorikan belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai

umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

Pengertian anak dalam Pasal 47 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, menegaskan pengertian anak yakni belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, dan ada di

bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.21

Dalam Convention on the rights of the child tahun 1989 yang telah

diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres No.39 Tahun 1990

ditegaskan usia anak adalah orang yang berusia 18 (delapan belas) tahun ke

20

Muladi, Demokrasi HAM dan Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo, 2002, hal. 39-41.

21

(15)

bawah. Sama seperti batasan yang diberikan oleh United Nation Childern’s Fund

(UNICEF) yang membatasai usia sebagai penduduk yang berusia antara 0 (nol)

sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.22

Batasan usia disebut sebagai anak pada Pasal 47 ayat (1) UU No.1 Tahun

1974 tentang Perkawinan sama dengan batasan usia yang disebut dalam Pasal 1

angka 5 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, ditegaskan usia anak adalah setiap

manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian dalam Pasal 1 angka 1

UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga disebutkan batasan yang

sama yakni seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dikemukakan di atas,

ternyata batas umur anak yang belum dewasa itu ada dua batasan yaitu 18

(delapan belas) tahun dan 21 (dua puluh satu) tahun. Hal itu tergantung kepada

tindakan/perbuatan hukum yang terjadi pada diri anak. Batas usia anak pada

hakekatnya mempunyai berbagai macam bentuk dan spesifikasi tertentu dengan

melakukan pengelompokan batas usia seorang anak tergantung dari sudut

kepentingan seorang anak.

Usia yang dikategorikan sebagai anak sehubungan dengan pemberian

perlindungan terhadap anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.23 Ruth Rosenberg

mendefenisikan usia anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan

22

Hadi Supeno, OP. Cit., hal. 40. 23

(16)

belas) tahun.24 Dengan demikian, anak adalah setiap manusia yang berusia di

bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih

dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Batasan usia anak yang terpenting dalam Undang-undang Perlindungan

Anak adalah seseorang dalam usia anak dalam batas usia seorang anak, yaitu 0

(nol) tahun sampai dengan batas atas 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah

kawin. Hak-hak anak adalah untuk dilindungi mulai sejak berada dalam

kandungan, sampai dewasa. Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang

mengadakan kondisi setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.25

Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah dideklarasikan melalui

Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan Pemerintah Indonesia telah

mengesahkannya melalui Keppres No.36 Tahun 1990 menetapkan bagi semua

anak tanpa pengecualian apapun memiliki hak yang tercantum dalam deklarasi,

tanpa perbedaan atau diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin,

bangsa, agama, paham politik lainnya, asal kebangsaan atau asal sosial, kekayaan,

kelahiran dan status dari dirinya sendiri atau dari keluarganya.

Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut juga diberikan batasan usia

anak adalah semua orang yang di bawah umur 18 (delapan belas) tahun keduali

undang-undang menetapkan kedewasaan ditetapkan lebih awal.26 Dari pengertian

basatan anak seperti ini dapat dipahami bahwa usia anak tidak hanya berfokus

24

Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta, USAID, 2003, hal. 14-15.

25

Iman Jauhari, Op. cit, hal. 54.

26

(17)

pada satu undang-undang saja tetapi tergantung pada undang-undang apa yang

memberi batasan usia anak sesuai dengan tingkat kasus yang dihadapi anak.

Perlindungan anak melingkupi segenap hak yang secara tradisional

melekat dan dimiliki anak sebagai manusia di mana hak-hak anak sebagai hak

anak memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus. Hak-hak tersebut antara

lain: mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami konflik dengan

hukum; hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami

eksploitasi sebagai pekerja anak; hak untuk mendapatkan perlindungan khusus

jika anak mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan; hak untuk

mendapatkan perlindungan hukum jika anak mengalami eksploitasi seksual dan

penyalahgunaan seksual; hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari

penculikan, penjualan, dan perdagangan anak-anak.27

3. Pengertian Anak Sebagai Korban

Pengertian anak sebagai korban adalah anak-anak sebagai korban tindak

pidana perdagangan orang dari tindakan yang bertentangan dengan harkat dan

martabat manusia serta melanggar HAM, sesuai dengan berlakunya UUPTPPO.

Merupakan suatu kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum

terhadap anak sebagai korban tindak pidana khususnya perdagangan orang.28

Anak sebagai korban dalam kasus tindak pidana berkenaan dengan tindak

pidana perdagangan manusia, dapat dipastikan bahwa kondisi anak sebagai

27

Irwanto, Fentiny Nugroho, dan Johanna Debora Imelda, Perdagangan Anak di Indonesia, Jakarta, Kantor Perburuhan Internasional bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UI, 2001, hal. 29-40.

28

(18)

korban tersebut dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak

dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi

dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban

penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),

anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik

fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan

salah dan penelantaran.

Anak harus dilindungi juga karena sudah fitrahnya anak-anak memperoleh

perlindungan khusus dalam posisinya sebagai korban tindak pidana. Korban anak

perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan khusus terutama penderitaan dan

kedukaan yang harus dialami korban karena kerentanannya anak jadi korban baik

fisik, maupun psikis.

Dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Anak menentukan

kepada setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang

berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Kemudian Pasal 18

Undang-undang Perlindungan Anak menentukan setiap anak yang menjadi korban atau

pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung

jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat,

anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan

terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang

diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,

(19)

dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang

menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Anak

sebagai korban dalam hal ini menurut ketentuan Pasal 59 Undang-undang

Perlindungan Anak wajib diberikan perlindungan khusus.

Khusus anak sebagai korban tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 64 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Anak wajib diberikan

perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak tersebut yang

dilaksanakan melalui:

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental,

fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana

perdagangan orang. Dengan demikian korban juga termasuk semua orang

khususnya anak-anak.29Anak sebagai korban diberikan hak dalam hal penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban

anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak

dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas.30

Hak bagi anak sebagai korban dalam sidang tindak pidana perdagangan

orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang

tertutup. Saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua

29

Pasal 1 angka 3 UUPTPPO. 30

(20)

asuh, advokat, atau pendamping lainnya.31 Pemeriksaaan terhadap saksi dan/atau

korban anak dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.

4. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Manusia

Pengertian dalam Pasal 1 angka 1 UUPTPPO didefenisikan tentang

perdagangan orang yaitu:

Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.32

Tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian

tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam

UUPTPPO.33 Menjual atau menculik untuk diri sendiri atau untuk dijual kepada

orang lain masuk dalam pengertian perdagangan manusia.34

Unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang yang ditentukan dalam

UUPTPPO antara lain:

a. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 2

UUPTPPO adalah setiap orang yang melakukan perekrutan,

pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan

seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,

penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi

31

Pasal 39 UUPTPPO. 32

Bandingkan dengan Farhana, Op. cit., hal. 20. Farhana mendasarkan pengertian tindak pidana perdagangan manusia pada pengertian menurut Protokol PBB.

33

Ruth Rosenberg, Op. cit, hal. 25. 34

(21)

rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun

memperoleh persetuujuan dari orang yang memegang kendali atas orang

lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara

Republik Indonesia.

b. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 3

UUPTPPO adalah setiap orang yang memasukan orang ke wilayah negara

Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilyah negara

Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain.

c. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 4

UUPTPPO adalah setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke

luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk

dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.

d. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 5

UUPTPPO adalah setiap orang yang melakukan pengangkatan anak

dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud

untuk dieksploitasi.

e. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 6

UUPTPPO adalah setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam

atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut

tereksploitasi.

f. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 8

UUPTPPO adalah setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan

(22)

orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, pasal 4, pasal 5, dan

Pasal 6 UUPTPPO.

g. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 9

UUPTPPO adalah setiap orang yang berusaha menggerakan orang lain

supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu

telah tidak terjadi.

h. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 10

UUPTPPO adalah setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan

untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang.

i. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 11

UUPTPPO adalah setiap orang yang merencanakan atau melakukan

permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang.

j. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 12

UUPTPPO adalah setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan

korban tindak pidana perdagangan orang, dengan cara melakukan

persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana

perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan

orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan

dari hasil tindak pidana perdagangan orang.

k. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 13

UUPTPPO adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh

orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk

(23)

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri

maupun bersama-sama.

Korban tindak pidana perdagangan orang adalah seseorang yang

mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial,

yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Chairul Bariah Mozasa

mengatakan tindak pidan perdagangan manusia mengandung unsur-unsur:

rekrutmen dan atau transportasi manusia, diperuntukkan bekerja jasmani dan atau

rohani, dan untuk keuntungan bagi pihak yang memperdagangkan.35

Tindak pidana perdagangan orang dilakukan dengan tujuan eksploitasi

yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak

terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik

serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ

reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi

organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan

seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun

immateriil.36

Termasuk untuk ekspolitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan

organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan

keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan

percabulan. Rangkaian tindak pidana perdagangan orang dilakukan melalui

perekrutan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan

35

Chairul Bariah Mozasa, Op. cit., hal. 10. 36

(24)

seseorang dari keluarga atau komunitasnya. Pengiriman melalui tindakan

memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.37

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu

penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yaitu dengan menggambarkan

pelaksanaan berdasarkan putusan pengadilan secara analisis terhadap

norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam UU No.39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia, UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan UU

No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Diuraikan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan

antara pasal-pasal terkait yang menyangkut masalah perlindungan anak sebagai

korban tindak pidana perdagangan manusia.

2. Sumber Data

Data pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu: UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU

Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang, UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

37Ibid

(25)

Saksi dan Korban, serta Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang

Pencegahan Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak

Sumatera Utara, serta Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan

Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-makalah

seminar, artikel, jurnal, surat kabar, makalah lepas di internet maupun

karya-karya tulisan yang relevan dengan permasalahan.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberi penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder misalnya Kamus Bahasa Indonesia dan

Kamus Bahasa Inggris.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research) dan

studi terhadap dokumen terhadap putusan di Kantor Pengadilan Negeri Sibolga

dan melakukan identifikasi terhadap data. Sehingga data yang dikumpulkan

melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna

memperoleh pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang berhubungan

dengan masalah perlindungan anak sebagai korban tindak pidana perdagangan

manusia. Kemudian dilakukan sistematisasi sehingga menghasilkan klasifikasi

yang selaras dengan permasalahan tersebut.

3. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yakni memilih

(26)

perundang-undangan dimaksud di atas, kemudian menjelaskannya, menguraikannya,

memaparkannya dalam bentuk uraian yang sistematis dari data tersebut sehingga

akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

Masing-masing data dijelaskan hubungannya antara satu sama lainnya, sehingga

selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat

memberikan solusi terhadap permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini, dibagi dalam 5 (lima) bab

yaitu:

Bab pertama tentang Pendahuluan, di mana bahwa dalam bab ini yang

dibahas adalah mengenai hal-hal berkaitan dengan latar belakang, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua mengenai Pengaturan Tentang Perlindungan Anak Sebagai

Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia. Dalam bab ini dibahas sehubungan

dengan: pengaturan perlindungan anak menurut UU Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, pengaturan perlindungan anak menurut UU Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengaturan perlindungan anak

menurut UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang, dan pengaturan menurut Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang

Pencegahan Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak

(27)

Bab ketiga tentang penerapan perlindungan hukum terhadap anak sebagai

korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor

03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG. Dalam bab

ini dibahas sehubungan dengan: prinsip-prinsip yang melandasi perlindungan

terhadap korban, penerapan perlindungan anak sebagai korban tindak pidana

perdagangan orang menurut Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan

Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG dengan menggambarkan: kasus posisi, kronologis

kasus, dan sanksinya, serta dilakukan analisis terhadap kasus berdasarkan UU

Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang

dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bab keempat tentang upaya yang dilakukan untuk memberikan

perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia

dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor

04/Pid.B/2012/PN.SBG. Dalam bab ini dibahas sehubungan dengan: faktor-faktor

yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan upaya yang

dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak

pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan

Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG.

Bab kelima kesimpulan dan saran sesuai dengan permasalahan yang

diteliti. Kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan sedangkan saran sebagai

Referensi

Dokumen terkait

 Intisari mitos Plato: Kebanyakan orang dapat disamakan dengan orang tahanan yang terbelenggu. Mereka mengandaikan begitu saja bahwa pengenalan indera menyodorkan realitas

“ klo menurut saya sudah sesuai, karena ada banyak koleksi untuk wanita misalnya rahasia diet, resep memasak, bikin kue, wanita hamil, bahkan tips- tips untuk

Thomas Engel has taught chemistry for more than 20 years at the University of Washington, where he is currently Professor of Chemistry and Associate Chair for the Undergraduate

Usaha peningkatan effisiensi operasi ini dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan cara meningkatkan PLTG (Open Cycle) menjadi PLTGU (Combined

Hasil dari penelitian ini adalah untuk mengetahui formulasi resep pasta berbasis tepung biji durian dengan menyortir, mencuci, mengupas, merebus, merendam dengan kapur sirih,

Pemberian motivasi dan penegakan disiplin oleh atasan berarti telah memberikan kesempatan terhadap karyawan yang menjadi bawahannya, sehingga karyawan bisa dan mampu

Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup penting karena termasuk faktor resiko utama penyakit jantung koroner disamping hipertensi dan merokok. Kebiasaan makan individu..

Dari hasil perhitungan di atas diketahui bahwa keberadaan tanaman serealia lahan kering di daerah penyangga masih memiliki status ekologi lestari, namun demikian tanaman