• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hardiness 1. Pengertian Hardiness - PENGARUH OPTIMISME TERHADAP HARDINESS PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hardiness 1. Pengertian Hardiness - PENGARUH OPTIMISME TERHADAP HARDINESS PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO - repository perpustakaan"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hardiness

1. Pengertian Hardiness

Kobasa (dalam Schellenberg, 2005) hardiness adalah definisi konstruk sebagai "konstelasi karakteristik kepribadian yang berfungsi sebagai sumber daya tahan dalam menghadapi peristiwa kehidupan yang penuh stres". Kobasa (dalam Schellenberg, 2005) menemukan bahwa orang yang memiliki kekuatan cenderung mengalami lebih sedikit stres. Penelitian telah menunjukkan bahwa individu kuat memiliki kemampuan untuk berperilaku dengan cara yang adaptif ketika stres yang dirasakan atau dialami.

Individu yang memiliki sifat tahan dapat ditunjukkan dari dirinya, didalam perasaan dan perilaku yang ditandai dengan adanya komitmen, kontrol, dan tantangan. Kobasa (dalam Schellenberg, 2005) menemukan bahwa orang yang memiliki sifat-sifat hardiness jarang jatuh sakit dan memiliki kemampuan untuk mengubah peristiwa kehidupan yang penuh stres menjadi peluang untuk tumbuh menjadi pribadi yang berkembang.

(2)

masalah-masalah sebagai tantangan (daripada sebagai ancaman) (dalam Santrock, 2002).

Menurut Funk (dalam Schellenberg, 2005) dengan memiliki karakteristik ini individu kuat mampu tetap sehat di bawah tekanan. Individu kuat yang aktif, berorientasi pada tujuan yang berkomitmen untuk diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Mereka melihat diri mereka sendiri, bukan sebagai korban dari suatu perubahan yang mengancam, tetapi sebagai orang-orang yang merupakan penentu aktif terhadap konsekuensi yang ditimbulkan oleh perubahan (Kobasa dalam Schellenberg, 2005).

Sifat hardiness sudah dikemukakan sebagai suatu langkah yang kuat untuk menghadapi tekanan (Bonanno dalam Maddi, 2013). Sifat hardiness adalah gabungan yang terdiri dari internal locus of control (vs ketidakberdayaan), komitmen (vs keterasingan), dan tantangan (vs ancaman), dimensi kepribadian yang diyakini memberikan kekuatan terhadap efek stres psikologis (Kobasa dalam Contrada, 1989). Hardiness merefleksikan karakteristik individu yang memiliki kendali pribadi, mau menghadapi tantangan, dan memiliki komitmen. Tingkat hardiness seseorang mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap stresor potensial dan respon terhadap stresnya (Maddi dalam Dewi, 2012).

(3)

alami terhadap faktor stres. Sifat kuat atau tahan adalah kemampuan untuk memahami kondisi eksternal dan keputusan yang diinginkan dalam meningkatkan kualitan diri. Kobasa mendefinisikan tahan banting sebagai karakteristik pribadi yang kompleks yang telah dibentuk oleh tiga konstituen yaitu tantangan, kontrol dan komitmen. Komitmen, kontrol dan tantangan diasumsikan sebagai satu gabungan yang menengahi efek stres dengan mengubah persepsi situasi dan mengurangi tekanan peristiwa kehidupan yang penuh stres (dalam Hasanvand, 2013).

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hardiness suatu karakteristik kepribadian yang didalamnya terdapat kekuatan dasar yang dimiliki oleh individu untuk menghadapi tekanan dan persoalan yang menimbulkan stres. Sehingga individu dapat bertingkah laku dan berpikir positif.

2. Aspek-aspek Hardiness

Hardiness dikemukakan oleh Kobasa (dalam Vanbreda, 2001) sebagai mediasi stres dan penyakit, yang memiliki potensi untuk mengurangi efek negatif stres. Hardiness itu sendiri terdiri dari tiga aspek yaitu komitmen, kontrol dan tantangan:

a. Komitmen

(4)

dalam kehidupan seseorang, diri sendiri, hubungan seseorang.Dan yang kedua yaitu penanaman diri dalam dimensi-dimensi nilai hidup. Komitmen berhasil dalam arti tujuan,agar dapat membawa seseorang dapat melalui ketika memiliki masa-masa sulit.

b. Kontrol

Kontrol sebagai lawan ketidakberdayaan. "Di antara individu yang berada di bawah tekanan, individu yang memiliki rasa yang lebih besar terhadap kontrol mampu mengendalikan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka sehingga mereka bisa tetap sehat walaupun dibawah tekanan. Sedangkan mereka yang merasa kesulitan dalam mengendalikan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka akan merasa tidak berdaya.

Kontrol melibatkan aktifitas 'seolah-olah' seseorang memiliki kontrol atas apa yang terjadi di sekitar. Hal ini memerlukan kepercayaan (dan tindakan konsekuen) bahwa peristiwa hidup adalah sebagian akibat dari tindakan sendiri dan sikap, dan dengan demikian menerima perubahan. Orang-orangdengan kontrol "dapat mengartikan dan menggabungkan berbagai macam peristiwa dalam rencana kehidupan yang sedang berlangsung dan mengubah peristiwa ini menjadi sesuatu yang konsisten ".

c. Tantangan

(5)

sebagai tantangan akan tetap sehat daripada mereka yang melihatnya tantangan sebagai ancaman”. "Tantangan ini didasarkan pada keyakinan bahwaperubahanadalah cara untuk dapat mempertahankan hidup yang lebih baik". Dengan pandangan ini terhadap kehidupan, peristiwa kehidupan yang penuh stres dipandang tidak dengan kejutan (sejak mereka mengantisipasi) tidak dengan cemas karena mereka melihat sebagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.

Menurut Kobasa (dalam Schellenberg, 2005), Aspek-aspek yang dibangun meliputi:

a. Komitmen

Komitmen adalah kecenderungan individu untuk melibatkan dirinya dalam berbagai aktivitas, kejadian, dan orang-orang dalam kehidupannya. Komitmen terhadap nilai-nilai kehidupan dan kegiatan yang unik untuk masing-masing sebagai individu, yang memungkinkan mereka untuk melibatkan diri secara penuh dalam berbagai situasi yang membahayakan keberadaan mereka. Komitmen, bukan semata-mata dari segi individu, juga mengacu pada rasa kebersamaan individu di suatu tempat. Komitmen sebagai suatu hal yang penting untuk mengatasi peristiwa stres karena pemahaman dan keamanan mengenai individu di suatu tempat, seperti komunitas yang memberikan kontribusi sumber dukungan dalam situasi stres.

(6)

peristiwa bermakna, hal, dan orang-orang di lingkungan mereka. Mereka diinvestasikan dalam diri mereka dan hubungan mereka dengan konteks sosial. Orang berkomitmen tidak mudah menyerah di bawah tekanan dan keterlibatan mereka mengambil pendekatan aktif bukan pasif dan penghindaran (Kobasa dalam Schellenberg, 2005). b. Kontrol

Kontrol adalah kecenderungan untuk menerima dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol dan mempengaruhi suatu kejadian dengan pengalamannya ketika berhadapan dengan hal-hal yang tidak terduga. Kontrol melibatkan pencarian makna, serta tanggung jawab atas hasil, termasuk pengakuan tentang bagaimana perilaku telah memberi kontribusi pada pencapaian tujuan atau penyelesaian masalah. Menurut Averill (dalam Bartone, 2009) seseorang yang memiliki kontrol dinyatakan sebagai kecenderungan untuk merasa dan bertindak seolah-olah berpengaruh (bukan tak berdaya) dalam menghadapi berbagai macam persoalan dari kehidupan, memberikan rasa otonomi dan efek di masa depan.

(7)

perbendaharaan luas dan beragam tanggapan terhadap stres, bahkan yang paling mengancam keadaan. Dalam hal mengatasi, rasa kontrol mengarah ke tindakan yang ditunjukan untuk mengubah cara menjadi sesuatu yang konsisten dengan rencana hidup yang berkelanjutan. c. Tantangan

Tantangan adalah kecenderungan untuk melihat masalah bukan sebagai ancaman atau hambatan yang tidak dapat diatasi, tetapi sebagai kesempatan untuk pertumbuhan dan prestasi. Tantangan memerlukan cara dalam memandang dunia yang memungkinkan untuk mencari dan mengejar pengalaman baru yang dirasakan tidak menakutkan, melainkan untuk memperluas pengetahuan dalam mencapai masa depan dan pengalaman.

Dari beberapa penjabaran diatas mengenai aspek hardiness maka dapat disimpulkan bahwa secara umum hardiness itu muncul jika individu yakin bahwa individu ikut serta dalam melakukan aktivitas yang dihadapinya, bahwa kehidupan itu bermakna dan memiliki tujuan. Individu juga dapat mengendalikan apapun yang terjadi dalam kehidupannya. Dimana individu memandang suatu perubahan sebagai kesempatan untuk mengembangkan menjadi lebih baik bukan merupakan suatu ancaman.

3. Faktoryang Mempengaruhi Hardiness

(8)

menyediakan perawatan dan dukungan, cinta dan kepercayaan, dan memberikan dorongan, baik di dalam maupun di luar keluarga. Faktor tambahan lain yang juga terkait dengan hardiness, seperti:

a. Kemampuan untuk membuat rencana yang realistis, dengan kemampuan individu merencanakan hal yang realistis maka saat individu menemukan suatu masalah maka individu akan mengetahui apa cara terbaik yang dapat dilakukan individu dalam keadaan tersebut.

b. Memiliki rasa percaya diri dan positif terhadap citra diri, individu akan lebih tenang dan optimis, jika individu memiliki rasa percaya diri yang tingi dan citra diri yang positif maka individu akan terhindar dari stres. c. Mengembangkan keterampilan komunikasi, dan kapasitas untuk

mengelola perasaan yang kuat.

Selain faktor diatas juga ditemukan bahwa menurut Sweetman (dalam Hersen, 2006) disis lain, optimisme adalah faktor pelindung yang berfungsi untuk meningkatkan dan sebagai sumber dasar bagi hardiness yang dimiliki individu, yang merupakan kapasitas untuk bertahan dan bangkit dalam menghadapi tantangan.

(9)

4. Fungsi Hardiness

Menurut Florian (dalam Heriyanto, 2011) fungsi hardiness adalah:

a. Membantu individu dalam proses adaptasi dan lebih memiliki toleransi terhadap stres.

b. Mengurangi akibat buruk dari stres kemungkinan terjadinya burnout dan penilaian negatif terhadap suatu kejadian yang mengancam dan meningkatkan pengharapan untuk melakukan coping yang berhasil. c. Membuat individu tidak mudah jatuh sakit.

d. Membantu individu mengambil keputusan yang baik dalam keadaan stres.

Berdasarkan pada penjabaran diatas mengenai fungsi hardiness maka dapat disimpulkan bahwa hardiness dapat membantu individu dalam proses adaptasi sehingga dapat mengurangi efek stres. Membuat individu menjadi lebih positif dalam menghadapi suatu persoalan sehingga mempermudah individu dalam pengambilan keputusan.

B. Optimisme

1. Pengertian Optimisme

(10)

kejadian buruk yang terjadi pada dirinya bersifat eksternal (bersumber dari luar), sementara dan spesifik. Optimisme bermanfaat dalam memberikan daya tahan terhadap depresi.

Optimisme baik untuk kesehatan, laboratorium di seluruh dunia telah menghasilkan berbagai bukti ilmiah bahwa sifat-sifat psikologis, terutama optimisme, dapat menghasilkan kesehatan yang baik (dalam Seligman, 2006). Menurut Seligman(dalam Chang, 2000) optimisme adalah cara berpikir individu dalam menghadapi keadaan yang baik (good situation) maupun keadaan yang buruk (bad situation).

Optimisme adalah keyakinan dalam menyikapi sebuah peristiwa baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, menempatkan penyebab kegagalan pada keadaan di luar diri, memiliki harapan dan ekspektasi menyeluruh bahwa akan ada lebih banyak hal baik daripada hal buruk yang akan terjadi pada masa yang akan datang yang diukur dengan skala oprimisme, yang disusun berdasarkan aspek-aspek ekplanatory style yang dikemukakan oleh Seligman (2008).

(11)

Definisi yang lebih luas dari optimisme, istilah optimisme dan pesimisme baru-baru ini diterapkan pada cara-cara di mana orang secara rutin menjelaskan peristiwa-peristiwa dalam hidup mereka (Seligman, dalam Chang, 2000). Menurut Seligman (2008) mendeskripsikan bahwa individu-idividu yang memiliki sifat optimis akan terlihat pada aspek-aspek optimisme yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Menurut Chang (2000) optimisme didefinisikan sebagai kecenderungan stabil untuk "percaya bahwa hal-hal yang baik akan terjadi daripada yang buruk".

Menurut Peterson (dalam Chang, 2000) menemukan bahwa gaya penjelasan optimis dikaitkan dengan berbagai praktek "sehat": berolahraga, minum secukupnya, menghindari makanan berlemak, dan sejenisnya. Menurut Seligman (dalam Chang, 2000) mengemukakan bahwa optimisme berhubungan dengan pola pikir tentang suatu kejadian yang menimpa seseorang, khusunya kejadian buruk. Optimisme merupakan kemampuan seseorang untuk menginterpretasi secara positif segala kejadian dan pengalaman dalam kehidupannya. Segala sesuatu dimulai dari pikiran seseorang, yang kemudian diwujudkan dalam perilaku.

(12)

orang mengharapkan peristiwa positif, semakin sedikit mereka mengharapkan kejadian negatif terjadi. Chang (2011) menyarankan menggunakan istilah pesimisme untuk merujuk pada harapan hasil negatif dan optimisme untuk merujuk harapan hasil positif. Dengan demikian, individu bisa tinggi atau rendah pada optimisme dan tinggi atau rendah pada pesimisme. Strategi optimisme mungkin berhubungan erat dengan jenis "ilusi positif" dijelaskan oleh Taylor (dalam Chang,2011).

Peterson(dalam Chang, 2000) menemukan bahwa orang dengan gaya penjelasan optimis lebih mungkin dibandingkan dengan gaya penjelasan pesimis untuk merespon sakit dengan tindakan yang tepat: istirahat dan mengkonsumsi lebih dari sup. Menurut Seligman (dalam Chang, 2000) telah menunjukkan bahwa normal, optimis bahagia kurangrealistis dalam harapan mereka daripada pesimis depresi. Namun, jika mereka bertahan cukup lama, "optimis" yang dilakukan mendapatkan kekuatan, tidak seperti mereka pesimis yang mencoba apa-apa dan karena itu kehilangan banyak penghargaan.

(13)

baik terjadi pada mereka, sedangkan individu yang pesimis cenderung mengharapkan hal-hal buruk terjadi kepada mereka.

Seligman (2008), mengatakan bahwa optimisme berpengaruh terhadap kesuksesan di dalam pekerjaan, sekolah, kesehatan, dan relasi sosial. Dalam studinya, Seligman membuktikan bahwa sikap optimis bermanfaat untuk memotivasi seseorang di segala bidang kehidupan. Dalam penelitiannya selama dua puluh tahun, yang meliputi lebih dari seribu penelitian, dan melibatkan lebih dari lima ratus ribu orang dewasa dan anak-anak, didapatkan hasil bahwa orang pesimis memiliki prestasi yang rendah atau kurang di sekolah maupun di pekerjaan, daripada orang yang optimis.

Optimisme lebih ditujukan pada bagaimana seseorang menjelaskan mengenai sebab terjadinya suatu keadaan baik atau keadaan buruk (Seligman,2008).Menurut Corsini (dalam Waruwu, 2006) mengemukakan bahwa optimisme adalah sikap positif yang memdanang bahwa segala sesuatu merupakan hal yang terbaik. Menurut Seligman (2008) istilah optimisme dan pesimisme diterapkan pada cara berpikir individu dalam menyikapi penyebab kejadian dalam kehidupan mereka sehari-hari. Carver (2004) optimisme adalah anggapan individu bahwa hal yang baik akan terjadi dan pesimis merupakan anggapan bahwa hal buruk yang akan terjadi padanya (dalam Limono, 2013)

(14)

Individu yang optimis akan lebih percaya diri, nyaman, ekspresif dan memandang dunia lebih positif. Ada beberapa hal yang mempengaruhi cara berfikir optimis dalam diri seseorang, diantaranya dari dalam dirinya sendiri dan dari luar dirinya. Individu yang memiliki sikap optimis memiliki harapan kuat terhadap segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan akan mampu teratasi dengan baik, walaupun ditimpa banyak masalah dan frustasi.

Menurut Scheier (dalam Nurtjahjanti, 2011) optimis dalam jangka panjang juga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kesehatan fisik dan mental, karena membuat individu lebih dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial, mengurangi masalah-masalah psikologis dan lebih dapat menikmati kepuasan hidup serta merasa bahagia. Menurut Seligman (2006), beberapa ciri individu yang optimis yaitu memiliki ciri-ciri sikap yang khas, salah satu diantaranya menghentikan pemikiran yang negatif. Hal tersebut sejalan dengan salah satu sikap yang terkandung dalam kepribadian hardiness, yaitu menemukan makna positif dalam hidup (dalam Nurtjahjanti, 2011).

(15)

2. Faktor- faktor Optimisme

Menurut Vinacle (dalam Nurtahdjanti, 2011) menjelaskan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi pola pikir pesimis-optimis, yaitu: a. Faktor etnosentris, yaitu sifat-sifat yang dimiliki oleh suatu kelompok

atau orang lain yang menjadi ciri khas dari kelompok atau jenis lain. Faktor etnosentris ini berupa keluarga, status sosial, jenis kelamin, agama dan kebudayaan.

b. Faktor egosentris, yaitu sifat-sifat yang dimiliki tiap individu yang didasarkan pada fakta bahwa tiap pribadi adalah unik dan berbeda dengan pribadi lain. Faktor egosentris ini berupa aspek-aspek kepribadian yang memiliki keunikan sendiri dan berbeda antara pribadi yang satu dengan yang lain.

Dari beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor dari optimisme yaitu terdiri dari faktor-faktor etnosentris dan faktor-faktor egosentris. Faktor etnosentris yaitu sifat yang dimiliki oleh suatu kelompok. Dan faktor egosentris yaitu sifat yang dimiliki tiap individu. 3. Dimensi-dimensi Optimisme

Menurut Seligman (2008) terdapat dimensi-dimensi optimisme diantaranya yaitu:

a. Permanen

(16)

peristiwa permanen atau menetap. Hal ini ditandai dalam cara menghadapi masalah atau peristiwa yang tidak menyenangkan dengan menggunakan kata-kata “selalu” atau ‘tidak pernah”. Sebaliknya orang-orang yang optimis akan melihat peristiwa yang tidak menyenangkan secara temporer atau tidak menetap, biasanya ditandai dengan kata-kata “kadang-kadang” atau “akhir-akhir ini”.

Gaya penjelasan untuk peristiwa yang menyenangkan orang yang pesimis melihatnya sebagai sesuatu yang temporer, dan sebaliknya oarang yang optimismemandang peristiwa yang menyenangkan sebagai sesuatu yang permanen.

b. Pervasive

Pervasiveness adalah gaya penjelasan yang berkaitan dengan ruang lingkup, dibedakan menjadi spesifik dan universal. Orang yang pesimis menjelaskan peristiwa yang tidak menyenangkan dengan cara yang universal, sedangkan orang yang optimis menjelaskan sesuatu yang tidak menyenangkan dengan cara yang spesifik. Untuk peristiwa yang menyenangkan orang pesimis menjelaskannya dengan cara spesifik dan sebaliknya orang yang optimis dengan cara yang universal.

c. Personalization

Personalization adalah gaya penjelasan yang berkaitan dengan

(17)

menyenangkan bersumber dari dalam diri (intenal) dan peristiwa yang menyenangkan bersumber dari luar dirinya (eksternal). Bagi orang yang optimis memandang masalah yang tidak menyenangkan sebagai sesuatu yang bersumber dari luar dirinya (eksternal) dan peristiwa yang menyenagkan sebagai hasil dari usahanya sendiri (internal).

Adapun elemen optimisme bisa dilihat dari cara individu menjelaskan kejadian, baik kejadian buruk atau baik yang menimpa diri kita (Seligman, 2006). Tipe penjelasan yang pertama adalah: permanence. Orang yang pesimis selalu menjelaskan peristiwa buruk yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang cenderung permanen dan tidak dapat diubah. Sebaliknya orang optimis akan memandang kejadian buruk yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang bersifat temporer/ sementara dan bisa dihindari di masa mendatang.

(18)

Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari optimisme yaitu individu mempunyai sikap hidup kearah kematangan dalam jangka waktu yang lama. Individu berpandangan secara umum terhadap suatu kejadian sehingga individu mampu menjelaskan penyebabnya baik dari dalam maupun dari luar.

4. Ciri-ciri Individu yang Optimis

Menurut Robinson (dalam Ghufron, 2014) menyatakan individu yang memiliki sikap optimis jarang menderita depresi dan lebih mudah mencapai kesuksesan dalam hidup, memiliki kepercayaan, dapat berubah kearah yang lebih baik, adanya pemikiran dan kepercayaan mencapai sesuatu yang lebih dan selalu berjuang dengan kesadaran penuh. Sedangkan menurut McGinnis (dalam Ghufron, 2014) menyatakan orang-orang optimis jarang merasa terkejut oleh kesulitan. Mereka merasa yakin memiliki kekuatan untuk menghilangkan pemikiran negatif, berusaha meningkatkan kekuatan diri, menggunakan pemikiran yang inovatif untuk menggapai kesuksesan dan berusaha gembira meskipun tidak dalam kondisi bahagia.

(19)

bahwa individu yang optimis memiliki impian untuk mencapai tujuan, berjuang dengan sekuat tenaga, dan tidak ingin duduk berdiam diri menanti keberhasilan yang akan diberikan oleh orang lain. Individu optimis ingin melakukan sendiri segala sesuatunya dan tidak ingin memikirkan ketidakberhasilan sebelum mencobanya. Individu yang optimis berpikir yang terbaik, tetapi juga memahami untuk memilih bagian masa yang memang dibutuhkan sebagai ukuran untuk mecari jalan.

Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki optimisme yaitu memiliki keyakinan, mampu berubah ke arah yang lebih baik. Tidak mudah putus asa atau menyerah ketika dihadapkan pada suatu persoalan. Dan memiliki pemikiran yang positif dalam menghadapi tantangan

C. Penyakit Jantung Koroner

1. Pengertian Penyakit Jantung Koroner

Didalam kehidupan dewasa ini, penyakit pembulu darah inisudah umum. Biasanya disebut penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koronerpenyebabnya beragam, kebanyakan orang pada umumnya yang tinggal di negara-negara barat yang sudah maju cenderung mengalami kerusakan nadi koronernya secara berangsur-angsur (Knight, 1996).

(20)

Poerjoto, 1992). Penyakit jantung iskemi (IHD) dan penyakit jantung koroner (CHD) ialah pengertian umum untuk empat bentuk penyakit jantung yang terjadi karena ketidakseimbangan antara keperluan oksigen pada miokardium dan pembekalannya (Robbins,1995). Pada kebanyakan penderita ketidakseimbangan disebabkan aliran darah yang tidak memadai sebagai akibat menyempitnya arteri koroner, biasanya sering digunakan istilah “penyakit jantung koroner” (Robbins, 1995).

Penyakit jantung koroner/CHD (coronary heart disease) disebabkan oleh mengerasnya arteri (dikenal dengan nama arterosklerosis), akibat banyaknya tumpukan lemak (dikenal dengan nama

plaque) di dinding arteri, secara khusus mempengaruhi arteri yang

langsung memasok darah ke jantung (Albery, 2011). Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan keadaan dimana terjadi penimbunan plak pembuluh darah koroner. Hal ini menyebabkan arteri koroner menyempit atau tersumbat. Arteri koroner merupakan arteri yang menyuplai darah ke otot jantung dengan membawa oksigen yang banyak. Terdapat beberapa faktor pemicu penyakit ini yaitu gaya hidup, faktor genetik, usia dan penyakit penyerta yang lain. (Norhasimah dalam Salim, 2013).

(21)

aterosklerosis (Rokhaeni dalam Anggraeni, 2014). Penyakit jantung

koroner adalah penyakit yang menyebabkan otot jantung kekurangan oksigen, memar dan kematian akibat adanya gangguan pasokan oksigen dari pembulu darah koroner (Majid dalam Heriyanto, 2011).

Penyakit jantung koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh penyempitan atau penghambatan pembulu arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. Mengerasnya dan menyempitnya pembuluh darah oleh pengendapan kalsium dan endapan lemak berwarna kuning dikenal sebagai aterosklerosis, bila terdapat kekurangan aliran darah ke otot jantung, kondisi ini dikenal sebagai iskemik. Penyakit jantung iskemik biasanya mulai nampak pada umur setengah tua ketika urat nadi koroner mulai tersumbat, sehingga suplai darah tidak cukup untung memenuhi keperluan otot jantung (Soeharto, 2000).

Seseorang yang meninggal secara mendadak sudah sering kita dengar atau bahkan melihatnya sendiri secara nyata, dan setelah diperiksa, Dokter menyimpulkan akibat serangan jantung, dan sekaligus menakutkan, bahwa seseorang yang nampaknya sehat-sehat saja secara tiba-tiba langsung meninggal. Demikianlah kenyataannya serangan penyakit jantung koroner (Margatan, 1996).

(22)

lemak yang biasa disebut plak pada dinding arteri sehingga menghambat saluran oksigen ke otot jantung, akibatnya jantung menjadi melemah karena tidak dapat memompa darah ke seluruh tubuh.

2. Faktor-faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

Menurut Djohan (2004) menyebutkan beberapa faktor penyakit jantung koroner, yaitu:

a. Faktor Utama 1) Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor resiko yang sangat penting terhadap penyakit jantung koroner. Tekanan darah sering dipengaruhi oleh beberapa keadaan misalnya postur tubuh, latihan atau kegiatan fisik, emosi atau stres, suhu dan waktu sehingga dapat berubah setiap saat. Apabila seorang yang menderita hipertensi mengalami stres akan lebih mudah terkena serangan jantung karena tingginya tekanan darah yang menyebabkan jantung sulit menyuplai darah yang datang secara terus menerus. Studi Framingham didalam buku Poerjoto (1992) mendapatkan, bahwa tekanan darah lebih dari 160/95 mmHg mepunyai risiko PJK dua kali lipat daripada tekanan darah kurang dari 140/90 mmHG.

2) Hiperkolesterolemia

(23)

yang kurang diperhatikan kesehatannya akan membuat kadar kolesterol darah meningkat. Selain itu keturunan, umur, jenis kelamin, obesitas, alkohol dan stress dapat mempengaruhi juga kadar kolesterol darah. Apabila individu memiliki kadar kolesterol tinggi, yang menyebabkan tekan darah meningkat akibat emosi, maka aliran darah dalam arteri yang menyuplai darah menjadi terhambat, hal ini yang membuat seseorang terkena penyakit jantung koroner.

3) Merokok

(24)

b. Faktor Resiko Lainnya 1) Umur

Seiring bertambahnya usia maka akan menghadapi berbagai macam persoalan dan gaya hidup yang kurang sehat. Hal tersebut membuat individu semakin bertambah umur maka individu semakin rentan terkena penyakit jantung koroner. Apabila individu dengan kadar kolesterol pada laki-laki dan pada perempuan meningkat di umur 20 tahun. Pada laki-laki meningkat sampai umur 50 tahun. Pada perempuan sebelum menopause 45 sampai 0 tahun lebih rendah daripada laki-laki, namun pada perempuan setelah menopause akan meningkat kadar kolesterolnya jauh lebih tinggi daripada laki-laki.

2) Jenis kelamin

Gejala penyakit jantung koroner sebelum umur 60 tahun didapatkan pada 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 17 perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai resiko penyakit jantung koroner 2-3 kali lebih besar dari perempuan.

3) Geografis

(25)

menunjukkan bahwa faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya daripada genetik.

4) Ras

Perbedaan resiko penyakit jantung koroner antara ras didapatkan sangat menyolok, walaupun bercampur baur dengan faktor geografis, sosial dan ekonomi. Karena adanya perbedaan dari faktor sosial yang berbeda menyebabkan pola perilaku dan kebiasaan dari individu setiap ras berbeda pula, termasuk dalam menghadapi masalah dan tekanan. Tidak hanya itu setiap ras memiliki kepribadian dan tingkat emosi yang berbeda-beda.

5) Diet

Didapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah lemak di dalam susunan makanan sehari-hari (diet). Makanan orang indonesia rata-rata mengandung lemak dan kolesterol tinggi sehingga dapat memicu meningkatnya kadar kolesterol darah. Namun pada orang jepang umumnya berupa nasi, sayur-sayuran dan ikan sehingga orang jepang rata-rata kadar kolesterolnya rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa makanan yang mengandung lemak dan kolesterol tinggi akan lebih rentan terkena penyakit jantung koroner.

6) Obesitas

(26)

kolesterol dalam darah. Apabila individu yang memiliki obesitas ketika mengalami tekanan dan stres akan cenderung lebih mudah mengalami hipertensi yang akan membuat individu menjadi lebih rentan terkena penyakit jantung koroner.

7) Perilaku dan kebiasaan lainnya

Dua macam perilaku seseorang telah dijelaskan sejak tahun 1950 yaitu : Tipe A dan Tipe B. Tipe A umumnya berupaya kuat untuk berhasil, gemar berkompetisi, agresif, ambisi, ingin cepat dapat menyelesaikan pekerjaan dan tidak sabar.Sedangkan tipe B lebih santai dan tidak terikat waktu. Resiko PJK pada tipe A lebih besar daripada tipe B.

8) Perubahan Keadaan Sosial dan Stres.

Perubahan sosial menyebabkan perubahan angka kematian yang menyolok terjadi di Inggris dan Wallas. Korban serangan jantung terutama terjadi pada pusat kesibukan yang banyak mendapat stress.

(27)

3. Gejala Penyakit Jantung Koroner

Menurut Margatan (1996) menyebutkan gejala penyakit jantunh koroner sebagai berikut:

a. Nyeri dada (Angina Pectoris)

Rasa sakit yang dibiasanya disebut sebagai angina, biasanya dipicu oleh tekanan fisik dan emosional. Nyeri dada yang berlangsung antara 1 sampai 10 menit akan menghilang setelah berisitrahat. Itulah yang disebut sebagai angina pectoris.

b. Serangan jantung (Infark myokard akut)

Serangan jantung merupakan akibat penyakit jantung koroner. Munculnya serangan jantung disebabkan oleh gangguan pada pembuluh darah koroner (arterosklerosis).

Gejala yang timbul seperti pada nyeri (angina), bisa disertai rasa lemah, sesak nafas, berkeringat, mual, muntah. Rasa nyerinya bisa berlangsung setelah hilang beberapa jam, bisa tiba-tiba tanpa pencetus atau didahului kerja fisik, emosional, makan terlalu banyak, cuaca dingin, kekurangan darah, atau alergi.

c. Mati Secara Mendadak

Mati secara mendadak merupakan kematian yang datang tidak diduga-duga. Faktor pencetus kematian mendadak juga bermacam-macam, antara lain emosi, stres, ketegangan jiwa.

(28)

kanan berlangsung 1-10 menit nyeri tersebut hilang ketika individu berhenti atau istirahat dari aktivitasnya. Selanjutnya terdapat infark myokard atau biasa disebut dengan serangan jantung. Dan terakhir yaitu kematian mendadak muncul dari berbagai macam faktor seperti individu yang mempunyai penyakit jantung koroner karena stres, emosi, pekerjaan fisik yang berat dengan berbagai macam keluhan sebelumnya.

4. Penyebab Penyakit Jantung Koroner dari Pandangan Psikologi

Riset multi budaya telah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan didalam setiap kejadian penyakit jantung koroner di negara-negara tertentu, dan khususnya angka kematian akibat penyakit jantung koroner. Sebagai contoh, individu di Rusia memiliki angka kematian sangat tinggi karena penyakit jantung koroner, sedangkan mereka yang tinggal di Prancis dan Rusia memiliki angka kematian yang sangat rendah. Di seluruh wilayah Eropa sendiri, negara-negara di utara memiliki kejadian kematian akibat penyakit jantung koroner lebih tinggi sedangkan di negara-negara di selatan menunjukkan kejadian kematian yang lebih rendah. Temuan ini menunjukkan peran penting faktor gaya hidup, khususnya pola makan, pada kasus kematian akibat penykait jantung koroner (Albery, 2011).

(29)

dan hasilnya dari penyakit jantung koroner. Faktor-faktor yang paling penting adalah depresi, kecemasan dan stres (Nekouei, 2013).

Menurut Taylor (dalam Pratiwi, 2009) mengemukakan reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh individu yang menderita penyakit kronis seperti penyakit jantung koroner, yaitu:

1. Shock

Shockmerupakan reaksi pertama individu saat mengalami

diagnosa fisik mengenai masalah kesehatan yang kronis.Rasa terkejut dan bingung atau perilaku yang muncul secara otomatis. Shock terjadi sebenarnya akan berlanjut beberapa minggu, shock terjadi untuk beberapa tingkat situasi krisis yang dialami oleh seseorang, dan ketegasan itu muncul tanpa peringatan.

2. Denail

Denail merupakan mekanisme pertahanan diri seseorang dimana seseorang menghindari kenyataan bahwa individu menderita suatu penyakit. Individu akan menolah kenyataan bahwa individu menderita suatu penyakit.

3. Anxiety

Anxiety merupakan rasa kecemasan akan segera muncul setelah

(30)

fungsi-fungsi yang baik. Kecemasan juga tinggi saat seseorang mengharapkan perubahan gaya hidup yang muncul dari penyakit ataupun treatmen, saat mereka tergantung dengan profesional kesehatan, saat mereka mengalami kejadian berulang-ulang.

4. Depression

Depression yaitu kemungkinan akan terjadi setelah proses denail dan anxiety muncul. Depresi merupakan reaksi terakhir terhadap penyakit kronis, karena sering menghabiskan waktu pasien untuk memahami kenyataan kondisi mereka. Depresi tidak hanya akan menghasilkan distress tetapi juga disebabkan oleh gejala-gejala yang dialami dan bagaimana masa depan seseorang dengan penyakitnya. Depresi yang muncul karena penyakit dan treatmen juga dapat dihubungkan dengan bunuh diri dan lansia.

Sudah diketahui dalam beberapa waktu kedepan faktor-faktor gaya hidup sangat mempengaruhi resiko penyakit jantung koroner. Hal ini meliputi sejarah keluarga tentang penyakit jantung koroner, merokok, naiknya tekanan darah, terkait dengan meningkatnya kolesterol, kurangnya olah raga, diabetes, obesitas dan stres (Albery, 2011).Perubahan angka kematian yang terjadi di Inggris dan Wallas. Korban serangan jantung terutama terjadi pada pusat kesibukan yang banyak mendapat stress (dalam Djohan, 2004).

(31)

psikoneuroimunologi dalam memahami pengalaman subjektif tentang stres

dan pengaruhnya bagi kesehatan. Meskipun stresor lingkungan sudah terbukti meningkatkan resiko penyakit jantung koroner, namun sebenarnya ini lebih banyak dipengaruhi persepsi subjektif pelaku terhadap stresor-stresor ini. Khusunya, kurangya kontrol yang dirasakan terhadap stresor-stresor lingkungan (contohnya akibat tuntutan kerja seseorang) nampaknya menjadi faktor resiko yang penting bagi penyakit jantung koroner (Albery, 2011).

Dampak dari stres dapat menimbulkan gangguan detak jantung, gangguan aliran darah koroner secara langsung maupun tidak langsung sebagai akibat spasme pembulu darah koroner, karena stres memicu pelepasan zat katekolamin. Stres juga lebih mudah menyerang mereka yang berkepribadian tipe A. Stres juga erat kaitannya dengan faktor resiko lain seperti hipertensi, merokok dan dislipidemisa (Margatan, 1996).

Serangan jantung memang memberikan efek psikologis yang besar. Menurut Robert R. Kowalski dalam bukunya “8 Step to Health Heart” yang paling terkena dampak penyakit jantung koroner bukanlah jantung atau bagian lain dari sistem kardiovaskular. Organ yang paling terpengaruh dan menentukan proses penyembuhan itu terletak dalam otak yang muncul dalam bentuk sikap mental atau kejiwaan seseorang (dalam Mangoenprasodjo, 2005).

(32)
(33)

Gambar 1: Skema depresi dengan penyakit jantung koroner dimodifikasikan Wulsin. L. R 2007 sebuah pembaharuan untuk depresi, stres dan penyakit jantung (Vanderbilt University Press) (dalam Wulsin, 2012).

Model skema diatas menunjukkan bahwa penyakit jantung koroner bisa ditimbulkan oleh faktor psikologis berupa depresi. Depresi akan memunculkan gejala berupa faktor perilaku seperti merokok dan aktifitas fisik yang berlebihan mempengaruhi faktor biologis, yang nantinya akan menimbulkan obesitas dan tingginya kolestrol. Obesitas dapat menimbulkan

Peradangan pembuluh darah tinggi Tekanan darah tinggi depresi Stres kronik: Kemiskinan, rasa benci, tekanan pekerjaan, tekanan perkawinan, kecemasan Merokok. Aktifitas fisik: diet kalori tinggi, diet kolesterol tinggi, rendahnya dukungan sosial, ketidak patuhan terhadap pengobatan gen Meningkatnya stres

Ketidak seimbangan otonom Bahaya stres

akut

obesitas

Tinggi kolesterol

Diabetes

Penyakit jantung koroner

(34)

gejala awal penyakit jantung koroner yaitu diabetes resiesen insulin.Sehingga apabila tidak diatasi maka akan muncul jantung koroner. Begitu juga pada tingginya kolesterol apabila tidak diperhatikan maka akan menimbulkan penyakit jantung koroner (dalam Wulsin, 2012).

Selain itu faktor psikologis dari penyakit jantung koroner dari depresi yangjuga akan memunculkan gejala dari faktor biologis yaitu meningkatnya stres dan ketidak seimbangan otonom. Meningkatnya stres dan ketidakseimbangan otonom dapat mengakibatkan munculnya awal dari suatu penyakit berupa peradangan pembuluh darah tinggi dan tekanan darah tinggi. Apabila tidak diatasi maka akan muncul penyakit jantung koroner (dalam Wulsin, 2012).

Penyakit jantung koroner bisa ditimbulkan oleh faktor psikologis berupa depresi. Depresi akan memunculkan gejala stres kronik biologis berupa ketidakseimbangan otonomi, ketidakseimbangan ini bisa menimbulkan gejala awal penyakit jantung koroner berupa tekanan darah tinggi, sehingga apabila tidak dapat diatasi terus menerus akan muncul jantung koroner (dalam Wulsin, 2012).

(35)

ketidakseimbangan otonom. Dari munculnya faktor biologis ini dapat memicu terjadinya awal penyakit seperti tekanan darah tinggi. Sehingga apabila tidak ditangani dengan tepat maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner (dalam Wulsin, 2012).

D. Pengaruh Optimisme terhadap Hardiness pada Pasien Penyakit Jantung Koroner

Jantung merupakan tempat untuk memompa aliran darah keseluruh tubuh. Darah yang mengalir keseluruh tubuh melalui pembulu darah arteri. Apabila pembulu darah arteri mengalami penyumbatan akibat tumpukan lemak atau plak sehingga oksigen sulit masuk kejantung yang menyebabkan aliran darah keseluruh tubuh terhambat dan akhirnya timbul penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner yang juga merupakan penyakit jantung iskemik disebabkan oleh mengerasnya arteri akibat adanya tumpukan lemak didinding arteri sehingga menghambat aliran darah ke jantung. Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang mematikan. Dulu penyakit ini hanya menyerang pada orang-orang berusia lanjut. Namun seiring kemajuan zaman dan perubahan gaya hidup, penyakit jantung koroner dapat menyerang siapa saja.

(36)

kehidupan pasien selanjutnya merupakan sebuah tantangan dan hal baru yang harus dijalani setelah terkena penyakit jantung koroner. Individu yang memiliki penyakit jantung koroner ada yang mudah melakukan perubahan pola hidup dan perilaku yang lebih sehat, namun ada juga pasien penyakit jantung koroner yang kesulitan.

Kondisi pasien penyakit jantung koroner berbeda-beda ada yang masih bekerja dan ada yang sudah tidak bekerja. Pasien yang masih bekerja terkadang merasa putus asa karena pasien sudah tidak bisa semaksimal dulu dalam bekerja.Kemudian adanya tuntutan dalam pekerjaan dan kehidupan yang menjadikan tekanan tersendiri bagi pasien. Pasien terkadang sulit untuk menerima kondisi setelah terkena penyakit jantung koroner. Namun ada juga pasien yang berusaha untuk menerima kondisi setelah terkena penyakit jantung koroner. Aktivitas pasien menjadi terbatas, sebagai contoh ketika pasien berjalan kaki pasien merasa nafasnya sesak dan sakit.

(37)

Permasalahan-permasalahan yang dialami pasien penyakit jantung koroner menyebabkan pasien merasa tidak berguna, khawatir dan putus asa dalam menjalani kehidupan. Adapun usaha yang harus dilakukan agar pasien bisa kuat dalam menjalani kehidupan setelah terkena penyakit jantung koroner adalah dengan adanya hardiness. Menurut Kobasa (dalam Schellenberg, 2005) hardiness adalah definisi konstruk sebagai "konstelasi karakteristik kepribadian yang berfungsi sebagai sumber daya tahan dalam menghadapi peristiwa kehidupan yang penuh stres".

Schultz (dalam Utami, 2010)menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkat hardiness yang tinggi memiliki sikap yang membuat mereka lebih mampu dalam melawan stres. Individu dengan hardy personality percaya bahwa mereka dapat mengontrol atau mempengaruhi kejadian-kejadian dalam hidupnya. Mereka secara mendalam berkomitmen terhadap pekerjaannya dan aktivitas-aktivitas yang mereka senangi, dan mereka memandang perubahan sebagai sesuatu yang menarik dan menantang lebih daripada sebagai sesuatu yang mengancam. Sebaliknya, kurangnya hardiness dalam diri individu dapat dihubungkan dengan tingkat stres yang tinggi (Riggiodalam Utami, 2010).

(38)

koroner.Individu yang memiliki hardiness dalam dirinya akan mampu bertahan menghadapi semua tuntutan dan tantangan setelah terkena penyakit jantung koroner. Kobasa (dalam Schellenberg, 2005) hardiness adalah definisi konstruk sebagai "konstelasi karakteristik kepribadian yang berfungsi sebagai sumber daya tahan dalam menghadapi peristiwa kehidupan yang penuh stres".

Setiap pasien memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menghadapi berbagai macam persoalan setelah terkena penyakit jantung koroner. Menurut Seligman (2006), beberapa ciri individu yang optimis yaitu memiliki ciri-ciri sikap yang khas, salah satu diantaranya menghentikan pemikiran yang negatif. Hal tersebut sejalan dengan salah satu sikap yang terkandung dalam kepribadian hardiness, yaitu menemukan makna positif dalam hidup (dalam Nurtjahjanti, 2011).

Individu dikatakan optimis jika individu memiliki ciri-ciri kehidupannya didominasi oleh pikirannya yang positif, berani mengambil resiko, setiap mengambil keputusan penuh dengan keyakinana dan kepercayaan diri yang mantap (Achmad, 2013). Pasien penyakit jantung koroner dengan adanya sikap yang optimis dapat membantu pasien untuk mampu dalam menghadapi persoalan setelah terkena penyakit jantung koroner, sehingga pasien dapat bertahan dengan kondisinya saat ini.

E. Kerangka Pemikiran

(39)

jantung koroner yang disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti makanan yang berkolestrol, merokok, usia, jenis kelamin, tekanan psikologis, dan penyakit penyerta lainnya. Pasien setelah terkena penyakit jantung koroner ini akan memunculkan berbagai macam permasalahan seperti mengalami rasa sakit yang diakibatkan oleh kondisi penyakitnya. Rasa sakit yang dialami tentu juga akan berpengaruh terhadap kondisi psikisnya, seperti mucul merasa tidak berguna, putus asa, dan stres karena penyakitnya tidak sembuh-sembuh.

Selain itu juga aktivitas pasien menjadi terbatas seperti tidak dapat melakukan pekerjaan yang berat bahkan ketika berjalan saja, pasien merasa nafasnya sesak dan muncul nyeri. Kemudian pasien harus merubahpola hidup dan perilaku lebih sehat.Pasien ada yang mudah melakukan perubahan pola hidup dan perilaku lebih sehat, namun ada juga yang kesulitan, sehingga memperburuk kondisi penyakitnya. Tuntutan pekerjaan yang menambah beban bagi pasien yang terkadang membuat pasien menjadi khawatir akan keadaannya karena pasien sudah tidak bisa bekerja semaksimal dulu.Adanya perasaan takut meninggal ketika sedang bekerja. Selain tuntutan pekerjaan, ada juga tuntutan kehidupan dimana pasien harus bekerja untuk keluarga.

(40)

asa dalam menghadapi berbagai macam persoalan hidupnya kedepan setelah terkena penyakit jantung koroner, sehingga harapannya pasien dapat mencari solusi dengan berfikir positif dalam menghadapi setiap persoalan yang dihadapi.

F. Hipotesis

(41)

Gambar 2 Kerangka Berpikir

Pasien Penyakit Jantung Koroner

1. Rasa sakit

2. Keterbatasan aktifitas 3. Perubahan pola hidup

4. Tuntutan pekerjaan dan kehidupan

Optimisme: 1. Permanen 2. Pervasif 3. Personalisasi

Hardiness:

1. Kontrol 2. Komitmen 3. Tantangan

Optimis Pesimis Hardiness Non hardiness 1. Cemas

2. Khawatir 3. Tidak berguna 4. stres

Gambar

Gambar 1:  Skema
Gambar 2 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Rappelant que l'objectif final que la Conférence générale de l'Organisation des Nations Unies pour l'éducation, la science et la culture s'est fixé, consiste

 static : keyword ini berfungsi untuk memberi tahu kompiler bahwa method main bisa langsung digunakan dalam contex class yang bersangkutan.

Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah menentukan prevalensi Zoothamnium penaei, menganalisis respon imun (THC dan DHC) dan menentukan tingkat

Tujuan: Mengetahui efektifitas teknik aromaterapi lemon dan lavender terhadap tingkat nyeri pada saat pemasangan infus di IGD RSUD Prof.. Margono

Hal juga ini menandakan bahwa hipotesis awal penelitian, yaitu ada hubungan positif dan signifikan antara harga diri dan motivasi berprestasi pada pemusik secara group (band)

Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah “Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara iklim organisasi dengan motivasi kerja karyawan”. Sumbangan efektif

ke Kota Makassar untuk mencari pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang batu dan kuli bangunan. Istri-istri nelayan yang masih muda banyak yang bekerja di kota

Mata kuliah ini membahas tentang berbagai teknologi pengolahan hasil perairan, baik bahan baku maupun limbahnya, dengan memanfaatkan teknologi suhu rendah, suhu