commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu terkait program Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) sudah pernah dilakukan. Salah satunya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Turkar, et.al (2011) dengan judul
Various Methods Involved in Waste Water Treatment to Control Water Pollution. Penelitian ini dilakukan di sekitar pemukiman padat penduduk
di India. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa air limbah hasil
industri dan limbah rumah tangga sudah sangat mencemari lingkungan.
Untuk itu diperlukan teknik-teknik dalam mengelola air limbah, mulai
dari metode alami yang bersifat biologis hingga metode baru yang
dikembangkan dengan bantuan media lain untuk mengurangi beban
pencemar lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penelitian terkait metode yang digunakan dalam pengolahan air
limbah juga telah dilakukan oleh Samina, et.al (2013) yang berjudul
Efektivitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Domestik di Kota Cirebon terhadap Penurunan Pencemar Organik dan E-coli. Hasil
menunjukkan bahwa pembangunan IPAL domestik telah berhasil
dilaksanakan tetapi operasional IPAL belum maksimal. Hal ini
menyebabkan kerusakan alat dan pendangkalan sehingga kapasitas kolam
tidak terpakai secara efektif.
Penelitian terakhir tentang pengelolaan limbah dilakukan oleh
Prasojo et.al (2014) dengan judul Pengelolaan Limbah Cair di Rumah
Sakit Dirgahayu Kota Samarinda. Lokasi penelitian adalah sebuah rumah
sakit yang berada ditengah pemukiman warga. Banyaknya limbah medis
yang dibuang mencetuskan sebuah konflik pelik yang terjadi antara pihak
rumah sakit dengan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, demi menjaga
kesehatan lingkungan, pihak rumah sakit bekeja sama dengan Badan
Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur untuk mengelola limbah
tersebut sebelum dibuang ke pemukiman. Hasil penelitian menyebutkan,
limbah cair yang telah diolah menghasilkan cairan bening, tidak berbau
dan memenuhi baku mutu limbah cair yang telah ditentukan.
Keberhasilan ini tidak lepas dari adanya pengawasan yang rutin serta
perawatan alat-alat penunjang yang dilakukan oleh pihak rumah sakit
dengan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur.
Penelitian lain tentang manajemen pengelolaan air limbah juga
pernah dilakukan oleh Yousef, et.al (2015). Penelitian yang berjudul
Management, Treatment and Disposal of Waste Water (Sewage) Plan at Kuwait Oil Company (KOC) ini menjelaskan tentang rencana pengolahan
air limbah di perusahaan minyak Kuwait. Adanya isu pencemaran
lingkungan akibat limbah dari pengolahan minyak membuat pihak
commit to user
treatment khusus terhadap air limbah sebelum dibuang. Pengolahan
limbah yang dimaksud adalah proses menghilangkan kontaminan dari
limbah untuk menghasilkan limbah cair dan padat yang cocok untuk
dibuang ke lingkungan atau untuk digunakan kembali.
Tabel 2.1. Matriks Penelitian Terdahulu
No. Penulis/Tahun/ Judul
Metode
Penelitian Hasil Relevansi
1. Turkar (2011) “Various Method Involved in Waste Water Treatment to Control Water Pollution” Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di sekitar pemukiman padat penduduk di India. - Hasil penelitian menunjukkan bahwa air limbah hasil industri dan limbah rumah tangga dan industri sudah sangat men-cemari lingkungan. - Diperlukan teknik-teknik dalam mengelola air lim-bah untuk mengu-rangi beban pence-mar dalam air, baik secara langsung maupun tidak langsung. Persamaannya adalah mengkaji mengenai pengelolaan air limbah dan pencemaran lingkungan yang terjadi di pemukiman penduduk. Perbedaannya terletak pada pokok pembahasan yaitu mengenai teknik-teknik yang digunakan dalam mengelola air limbah. 2. Samina (2013) “Efektivitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Domestik di Kota Cirebon terhadap Penurunan Pencemar Organik dan E-coli”
Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan komparatif. Lokasi penelitian berada di kawasan IPAL Kesenden dan IPAL Perumnas Selatan. - Hasil menunjukkan bahwa pembangun-an IPAL telah berhasil tetapi operasional IPAL belum maksimal. - Operasional IPAL
yang belum optimal disebabkan adanya kerusakan pompa, serta kurangnya pengamanan terhadap IPAL, dan masih sedikitnya pelanggan atau pipa sambungan air limbah rumah
Persamaannya adalah mengkaji operasional IPAL yang belum maksimal akibat adanya kerusakan. Perbedaannya terletak pada pokok pembahasan yaitu mengenai penggu-naan IPAL Domestik dengan berfokus pada parameter BOD, COD dan Bakteri
3. Prasojo (2014)
“Pengelolaan Limbah Cair di Rumah Sakit Dirgahayu Kota Samarinda”
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan metode pendekatan yuridis empiris. Lokasi penelitian berada di dalam area Rumah Sakit Dirgahayu, Kota Samarinda.
Pengelolaan limbah cair yang dilakukan oleh pihak RS Dirgahayu Kota Samarinda telah dilaksanakan dengan cara yang baik dan dengan menggunakan teknologi yang modern sehingga menghasilkan kualitas hasil air olahan yang baik dan sesuai dengan baku mutu limbah cair yang dipersyaratkan.
Persamaannya yaitu mengkaji mengenai efektivitas pengelo-laan limbah cair agar sesuai dengan baku
mutu yang
dipersyaratkan. Perbedaannya terletak pada hasil dari keluaran limbah cair yang digunakan kembali sebagai sumber air di Rumah Sakit tersebut. 4. Yousef (2015)
“Management,
Treatment and Disposal of Waste water (Sawage) Plan at Kuwait Oil Company (KOC)” Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di sebuah perusahaan minyak di Kuwait Hasil penelitian menjelaskan tentang rencana pengolahan air limbah di perusahaan minyak Kuwait dengan merancang tindakan preventif yakni dengan melakukan
treatment terhadap air
limbah sebelum di-buang. Pengolahan limbah merupakan proses menghilang-kan kontaminan untuk menghasilkan limbah cair dan padat yang cocok untuk dibuang ke ling-kungan atau untuk digunakan kembali. Persamaannya yaitu mengkaji tentang manajemen dalam pengelolaan limbah cair. Perbedaannya adalah dalam pengelolaan limbah cair di Kuwait Oil Company tidak melibatkan bantuan dari pemerintah setempat dan telah menggunakan teknologi modern dengan bantuan mesin-mesin berkapasitas besar. 2. Efektivitas
Suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, biasanya
dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi dalam
pencapaian tujuan tersebut seringkali tidak sesuai dengan apa yang
karena itu, diperlukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana tingkat
keberhasilan dari kebijakan tersebut. Salah satu kriteria dasar dalam
menilai suatu program adalah dengan efektivitas.
Efektivitas berasal dari kata efektif, yang mempunyai arti berhasil
atau tepat guna. Menurut Effendy (1989), efektivitas dapat didefinisikan sebagai berikut: “Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang
ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan” (Effendy, 1989:14). Dikutip dari Ensiklopedi Administrasi, The Liang Gie (1981:36)
pemahaman tentang efektivitas dijelaskan sebagai berikut:
“Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki.”
Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau
sasaran yang telah ditentukan dalam sebuah program atau kegiatan. Suatu
hasil dapat disebut efektif apabila tujuan dan sasaran yang telah
ditentukan dapat tercapai.
Menurut Casley dan Kumar (dalam Wibawa, 1994:17), efektivitas
implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh perilaku birokrasi
pelaksananya. Perilaku ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebijakan.
Lingkungan sendiri dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti lingkungan
Sedangkan menurut Siagian (2001:24), definisi dari efektivitas
dapat dijabarkan sebagai berikut:
“Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankan. Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya.”
Handoko (2003:65), mengemukakan bahwa efektivitas
merupakan kemampuan untuk memilih peralatan, metode atau cara yang
tepat dalam proses pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Drucker
(dalam Handoko, 2003:103), menyebutkan bahwa efektivitas adalah
melakukan pekerjaan yang benar (doing the right things). Dengan kata
lain, efektivitas adalah hasil yang dicapai dibandingkan jumlah hasil
produksi lain dengan jangka waktu tertentu.
Kata kunci dari kata efektif adalah bahwa suatu keberhasilan
pemimpin dan instansi atau organisasi yang dipimpinnya dapat diukur
dengan konsep efektivitas itu sendiri. Efektivitas seringkali berarti
kuantitas atau kualitas keluaran barang atau jasa.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat
dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki.
Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan
dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas
dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah
apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Apabila
tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses
pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam melaksanakan
program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi
tersebut.
Berdasakan pendapat Sujud (1990:151), aspek-aspek yang
mempengaruhi efektivitas suatu program dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. Aspek tugas atau fungsi
Suatu instansi atau organisasi dapat dikatakan efektif apabila
dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Begitu pula
suatu program akan dianggap efektif apabila tugas dan fungsinya
dapat dilaksanakan dengan baik, dan pelanggan atau konsumen
mendapatkan tingkat kepuasan yang tinggi atas pelayanan yang
diberikan.
b. Aspek rencana program
Yang dimaksud dengan rencana program adalah bentuk
rancangan kegiatan yang telah terprogram. Apabila seluruh
rancangan kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka
program tersebut dikatakan sebagai program yang efektif.
c. Aspek ketentuan dan aturan
Efektivitas suatu program juga dapat dilihat dari berfungsi
ketertiban ketika suatu program berlangsung. Aspek ini mencakup
aturan-aturan baik yang berhubungan dengan cara pelaksanaan
maupun yang berhubungan dengan respon masyarakat. Apabila
aturan ini dilaksanakan dan dipatuhi dengan baik, maka ketentuan
atau aturan tersebut telah berlaku secara efektif.
d. Aspek tujuan atau kondisi ideal
Suatu program kegiatan dapat dikatakan efektif dari sudut
hasil apabila tujuan atau kondisi ideal program tersebut dapat
terlaksana dengan baik. Hal ini berarti sebuah tujuan yang menjadi
cita-cita organisasi telah tercapai dengan baik.
Untuk menilai berhasil atau tidaknya suatu kebijakan, maka
diperlukan beberapa pedoman atau acuan dasar untuk menilainya.
Melalui pedoman tersebut maka dapat diketahui apakah suatu program
dapat mencapai tujuannya atau belum. Henry, Brian dan White (dalam
Wibawa, 1994:65) mengemukakan beberapa indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur efektivitas program, yaitu:
a. Waktu pencapaian,
b. Tingkat pengaruh yang diinginkan,
c. Perubahan perilaku masyarakat,
d. Pelajaran yang diperoleh,
e. Tingkat kesadaran masyarakat akan kemampuan dirinya.
Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan
diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang
dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai, maka
hal itu dikatakan tidak efektif.
Berikut adalah ukuran mengenai efektif atau tidaknya pencapaian
tujuan, sebagaimana dikemukakan oleh Siagian (1978:77), yaitu:
a. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksudkan supaya
upaya pencapaian tujuan menjadi terarah dan tepat sasaran.
b. Kejelasan strategi pencapaian tujuan, hal ini berarti dalam mencapai
sasaran, implementor harus mengikuti aturan-aturan yang telah
disusun dalam pencapaian tujuan.
c. Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan
dengan strategi apa yang ditetapkan untuk menjembatani usaha –
usaha pemerintah dalam mencapai tujuan.
d. Perencanaan yang matang, pada hakekatnya berarti memutuskan apa
yang harus dikerjakan di masa mendatang.
e. Penyusunan program yang tepat, perlu dilakukannya penjabaran
terhadap program-program yang tepat untuk menjadi pedoman bagi
implementor dalam bertindak dan bekerja.
f. Tersedianya sarana dan prasarana kerja, menjadi salah satu indikator
dalam meningkatkan produktivitas dalam bekerja.
g. Pelaksanaan yang efektif dan efisien
h. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik
Manurut Campbell (1989:121), pengukuran efektivitas yang
paling menonjol terletak pada unsur keberhasilan program dan sasaran,
kepuasan terhadap program, tingkat input dan output serta pencapaian
tujuan secara menyeluruh. Sehingga dalam hal ini, efektivitas program
dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan
semua tugas dan kewajiban pokoknya sesuai dengan target yang telah
ditentukan sebelumnya.
Budiani dalam Jurnal Ekonomi Sosial (2007:53) menyatakan
bahwa untuk mengukur efektivitas suatu program dapat dilakukan
dengan menggunakan variabel-variabel sebegai berikut:
a. Ketepatan sasaran program, yaitu sejauh mana peserta program tepat
dengan sasaran yang sudah ditentukan sebelumnya.
b. Sosialisasi program, yaitu kemampuan penyelenggara program
dalam melakukan sosialisasi mengenai program yang dijalankan
sehingga informasi penting mengenai pelaksanaan program dan
tujuan yang telah ditetapkan dapat tersampaikan kepada masyarakat
pada umumnya dan tepat pada sasaran peserta program pada
khususnya.
c. Tujuan program, yaitu sejauh mana peserta program mendapatkan
kesesuaian antara hasil pelaksanaan program dan output yang
dihasilkan dengan tujuan-tujuan program yang telah ditetapkan
d. Pemantauan program, yaitu sejauh mana pengawasan yang
dilakukan setelah dilaksanakannya program sebagai bentuk perhatian
kepada peserta program.
Sedangkan Nakamura (dalam Wahab, 1997:43), mengemukakan
bahwa beberapa kriteria keberhasilan dari implementasi program
kebijakan adalah sebagai berikut:
a. Pencapaian tujuan dan hasil
Suatu kebijakan atau program dibuat untuk memperoleh hasil
yang diinginkan. Meskipun kebijakan telah dirumuskan dan
diimplementasikan tetapi hasil yang dicapai tidak dapat diukur,
dirasakan, maupun diamati dan dinikmati secara langsung oleh
warga masyarakat, maka program tersebut dianggap tidak berhasil
atau gagal.
b. Efisiensi
Efisiensi merupakan suatu ukuran keberhasilan yang dinilai
dari segi besarnya sumber atau biaya untuk kinerja yang telah
dilakukan. Efisiensi pelaksanaan program bukan saja berkaitan
dengan jumlah biaya yang dikeluarkan, tetapi juga berkaitan dengan
kualitas pelaksanaan program, waktu pelaksanaan dan sumber daya
yang digunakan. Dengan demikian, suatu program dapat dikatakan
telah diimplementasikan dengan baik apabila terdapat perbandingan
yang baik antara kualitas program dengan biaya, waktu dan tenaga
c. Kepuasan kelompok sasaran
Kriteria kepuasan kelompok sasaran sangat menentukan bagi
keikutsertaan maupun respon masyarakat dalam
mengimplementasikan program dan mengelola hasil-hasil program
tersebut. Tanpa adanya kepuasan kelompok sasaran kebijakan maka
program tidak mempunyai arti penting bagi kelompok sasaran
tersebut.
d. Daya tanggap klien
Dengan adanya daya tanggap klien yang positif, maka dapat
dipastikan peran serta mereka akan meningkat. Masyarakat akan
mempunyai perasaan ikut memiliki dan bertanggungjawab terhadap
kebijakan dan keberhasilan pelaksanaannya. Hal ini berarti kebijakan
tersebut akan lebih mudah untuk diimplementasikan.
e. Sistem pemeliharaan
Artinya dilakukan pemeliharaan terhadap hasil-hasil yang
dicapai. Tanpa adanya sistem pemeliharaan yang memadai dan
kontinyu maka betapapun baiknya suatu program atau hasil yang
didapat, program tersebut dapat berhenti seiring dengan berjalannya
waktu.
Suatu program yang tidak mengarah pada kriteria-kriteria tersebut
dipandang tidak efektif. Melalui beberapa kriteria yang telah disebutkan
tadi, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pelaksanaan suatu
itu, proses pelaksanaan program yang akan dilakukan oleh pemerintah
semestinya mengarah pada peningkatan kemampuan masyarakat dan juga
dipandang sebagai usaha penyadaran masyarakat.
3. Implementasi
Mengenai konsep implementasi, Ripley dan Franklin (dalam
Winarno, 2007:145), mengatakan bahwa definisi dari implementasi
adalah sebagai berikut:
“Apa yang terjadi setelah undang-undang yang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan atau suatu jenis keluaran yang nyata. Pengertian implementasi dalam hal ini adalah menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan/maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.”
Sementara itu konsep implementasi menurut Nugroho (2011:618)
merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak
lebih dan tidak kurang. Dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan
publik dapat melalui 2 (dua) langkah, yaitu dengan langsung
mengimplementasikannya dalm bentuk program kerja maupun kegiatan,
atau dengan melakukan formulasi kebijakan turunan.
Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan
publik. Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan
dirumuskan dengan tujuan yang jelas. Implementasi adalah suatu
rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada
Untuk melihat sejauh mana keberhasilan implementasi dari suatu
kebijakan, ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menilai
keberhasilan implementasi tersebut. Adapun beberapa teori implementasi
kebijakan yang dikemukakan oleh para ahli adalah sebagai berikut:
a. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)
Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi kebijakan
berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja
kebijakan publik. Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005)
menjelaskan bahwa ada 6 variabel yang mempengaruhi kinerja
implementasi, yaitu:
1) Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur,
sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang dapat
menyebabkan terjadinya konflik di antara para implementor.
2) Sumber daya
Kebijakan perlu didukung oleh sumber daya, baik itu
sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.
3) Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas
Dalam berbagai kasus, implementasi sebuah program
terkadang perlu didukung dan dikoordinasikan dengan instansi
lain agar tercapai keberhasilan yang diinginkan.
Sejauh mana kelompok kepentingan memberikan
dukungan bagi implementasi kebijakan. Termasuk didalamnya
karateristik para partisipan yakni mendukung atau menolak,
kemudian juga bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan dan apakah elite politik mendukung kebijakan.
5) Kondisi sosial, ekonomi dan politik
Kondisi sosial, ekonomi dan politik mencakup sumber
daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan.
6) Disposisi implementor
Disposisi implementor mencakup tiga hal penting, yaitu:
a) Respons implementor terhadap kebijakan, yang akan
mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan;
b) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan;
c) Intensitas disposisi implementor yakni preferensi nilai yang
dimiliki oleh implementasi.
b. Teori George C. Edwards III (1980)
Menurut pandangan Edwards (dalam Nugroho, 2011:636),
ada empat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu:
1) Komunikasi
Komunikasi berkaitan dengan bagaimana kebijakan di
daya, sikap dan tanggapan dari para pihak yang terkait, struktur
organisasi dan pelaksanaan kebijakan.
2) Sumberdaya
Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi
kebijakan agar efektif. Implementasi tidak akan berjalan efektif
tanpa adanya sumberdaya untuk melaksanakannya, khususnya
sumber daya manusia.
3) Disposisi
Disposisi berkenaan dengan kesediaan para implementor
untuk melaksanakan kebijakan. Disposisi berupa watak dan
karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti: komitmen,
kejujuran dan sifat demokratis.
4) Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi berkaitan dengan bagaimana kesesuaian
organisasi dalam melaksanakan kebijakan. Struktur birokrasi
yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
c. Teori Merilee S. Grindle (1980)
Keberhasilan implementasi menurut Grindle dalam
Soebarsono (2005) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi
kebijkan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of
implementation).
a) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran termuat dalam
isi kebijakan;
b) Jenis Manfaat yang diterima oleh kelompok sasaran;
c) Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah
kebijakan;
d) Apakah letak sebuah program sudah tepat;
e) Apakah sebuah program telah menyebutkan
implementornya dengan rinci;
f) Apakah sumber dayanya telah memadai.
2) Sedangkan variabel lingkungan implementasi (context of
implementation) mencakup:
a) Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang
dimiliki oleh aktor yang terlibat implementasi kebijakan;
b) Karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa;
c) Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
d. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)
Mazmanian dan Sabatier dalam Nugroho (2011),
menjelaskan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah
(tractability of the problems); (2) karakteristik
kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation); (3) variabel
lingkungan (nonstatutory variables affecting implementations).
a) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan.
b) Tingkat kemajemukan kelompok sasaran.
c) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi.
d) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.
2) Karakteristik kebijakan:
a) Kejelasan isi kebijakan.
b) Seberapa jauh kebijakan memiliki dukungan teoritis.
c) Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan.
d) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar
berbagai institusi pelaksana.
e) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan
pelaksana.
f) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.
g) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk
berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.
3) Lingkungan kebijakan:
a) Kondisi sosial ekonomi dan tingkat kemajuan teknologi.
b) Dukungan publik terhadap suatu kebijakan.
c) Sikap kelompok pemilih (constituency groups). Kelompok
pemilih yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi
(1) Kelompok pemilih dapat melakukan intervensi
terhadap keputusan yang dibuat melalui berbagai
komentar dengan maksud mengubah keputusan;
(2) Kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak
langsung melalui kritik yang dipublikasikan terhadap
kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat
pernyataan yang ditujukan kepada badan legislatif.
d) Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan
implementor.
4. Program Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) a. Definisi Program
Program dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mengandung pengertian “Rancangan mengenai asas-asas serta usaha-usaha (dalam ketatanegaraan, perekonomian dan sebagainya)
yang akan dijalankan”.
Pendapat lain dikemukakan oleh Arikunto dan Jabar
(2004:5), yang menyebutkan bahwa “Program terdiri dari
komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling memanjang dalam rangka mencapai tujuan”.
Ada tiga pengertian penting dan perlu ditekankan dalam
1) Realisasi atau implementasi suatu kebijakan.
2) Terjadi dalam waktu yang relatif lama, karena bukan merupakan
kegiatan tunggal tetapi kegiatan jamak yang berkesinambungan
satu sama lainnya.
3) Terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
(dalam Arikunto dan Jabar, 2004: 3)
Dalam PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
dijelaskan bahwa Program adalah instrumen kebijakan yang berisi
satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah,
lembaga atau organisasi untuk mencapai sasaran dan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya serta memperoleh alokasi anggaran,
atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi
pemerintah. Program kerja juga digunakan sebagai sarana untuk
mewujudkan cita-cita dan tujuan instansi atau organisasi. Ada dua
alasan pokok mengapa program kerja perlu disusun oleh suatu
instansi:
1) Fungsi Efisiensi
Efisiensi menunjukkan kemampuan suatu organisasi
dalam menggunakan sumber daya dengan tepat guna dan tepat
sasaran sehingga tidak ada pemborosan baik secara material
maupun non-material.
Efektivitas menunjukkan kemampuan suatu organisasi
dalam usahanya untuk mencapai tujuan dan sasaran-sasaran atau
hasil akhir yang telah ditetapkan sebelumnya secara tepat dan
jelas.
Program juga dapat dibedakan melalui jenis-jenisnya. Berikut
adalah pengelompokan program kerja menurut jenisnya:
1) Menurut rentang perencanaan waktu
a) Program kerja untuk satu periode kepengurusan. Karena
dibuat untuk satu kali periode kepengurusan, maka rapat
kerja (raker) hanya dilakukan sekali dan selanjutnya
diadakan evaluasi dan koordinasi dari program kerja yang
telah ditentukan.
b) Program kerja untuk waktu tertentu. Dibuat dalam jangka
waktu tertentu, seperti triwulan, caturwulan, semester dan
lain-lain, sehingga rapat kerja (raker) dalam organisasi
biasanya dilakukan lebih dari sekali dalam satu periode
kepengurusan.
2) Menurut sifat program kerja
a) Program kerja yang bersifat terus menerus (continue).
Program kerja ini dilakukan secara berkesinambungan
dalam beberapa periode kepengurusan. Kesulitan
implementasi umumnya dihadapi saat pertama kali
b) Program kerja yang bersifat insidental. Program kerja ini
umumnya hanya dilakukan pada suatu waktu, mengambil
momentum-momentum waktu yang penting atau darurat.
c) Program kerja yang bersifat tentatif. Program kerja ini
dilakukan sesuai dengan kondisi yang akan terjadi di masa
mendatang, karena adanya faktor yang kurang terjamin
ketika direncanakannya duatu program.
3) Menurut target dari instansi
a) Program kerja jangka panjang. Program kerja ini harus
sesuai dengan tujuan serta visi dan misi instansi.
b) Program kerja jangka pendek. Program kerja ini merupakan
program kerja yang dirancang untuk memenuhi berbagai
kebutuhan instansi dalam suatu periode kepengurusan.
b. Program Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal
Menurut Sugiharto (dalam Junaidi, 2006), limbah cair adalah
cairan yang berasal dari sisa proses kegiatan dan usaha lainnya yang
tidak dimanfaatkan kembali. Sebelum dibuang, limbah cair harus
diolah dahulu untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan zat
berbahaya didalamnya, sehingga tidak membahayakan kesehatan
manusia dan tidak mengganggu ekosistem hewan dan tumbuhan
dalam air.
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal,
yang digunakan dalam pengolahan limbah, agar kadar pencemaran
limbah berada tepat atau dibawah baku mutu limbah yang
dipersyaratkan pemerintah.
IPAL Komunal juga dikenal sebagai sistem pengolahan
limbah cair secara terdesentralisasi untuk pengolahan air limbah
organik dan sanitasi yang berbasis masyarakat. Teknologi IPAL
banyak diaplikasikan sebagai pengolahan limbah peternakan,
industri pengolahan makanan, limbah domestik (sanimas), serta
limbah rumah sakit dan hotel.
IPAL Komunal secara garis besar mengolah limbah domestik
yang memiliki karakteristik sama, dengan tujuan menghemat biaya
pembangunan IPAL Individual, dan mempermudah perawatan dalam
skala besar. Misalnya limbah di suatu kawasan yang terdiri dari
banyak usaha atau industri kecil dan menengah. Pertimbangannya
adalah bahwa IPAL Komunal memiliki efisiensi pengolahan yang
tinggi dengan catatan debit limbah yang diolah dalam jumlah yang
besar. Jika limbah yang diolah tidak terlalu besar, maka akan boros
energi (suplai udara) dan biaya perawatan. Selain itu, kondisi
bentang alam dan posisi penghasil limbah pun perlu diperhitungkan
agar tetap efisien.
Bagaimanapun juga, pembangunan IPAL Komunal perlu
mempertimbangkan asas kelayakan (feasibility) sebagai upaya dalam
lebih baik bagi keberlanjutan daya dukung lingkungan. Tujuan dari
pembangunan IPAL Komunal adalah sebagai berikut:
1) Mengurangi beban pencemaran akibat pembuangan limbah cair.
2) Mencegah pencemaran pada tanah permukaan dan sumber air
rumah tangga.
3) Melindungi hewan dan tumbuhan yang hidup dalam air.
4) Menghilangkan tempat berkembangbiaknya bibit penyakit.
Program pembangunan IPAL Komunal bagi usaha atau
industri kecil menegah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Sragen Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengendalian Lingkungan
Hidup. Perda ini merupakan acuan bagi pemerintah dalam
mengusahakan sarana dan prasarana pembuangan atau pengolahan
limbah untuk industri rumah tangga dan industri kecil, serta dalam
upaya menurunkan kadar pencemar dalam limbah, agar diperoleh
limbah cair dengan kualitas baik dan memenuhi baku mutu yang
dipersyaratkan. Prinsip-prinsip pengolahan air limbah secara garis
besar dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
1) Pengolahan secara fisika, yaitu pengolahan yang ditujukan untuk
air limbah yang tidak larut (bersifat tersuspensi), atau dengan kata
lain buangan cair yang mengandung padatan, sehingga
menggunakan metode ini digunakan untuk proses pemisahan.
Pada umumnya sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air
berukuran besar dan mudah mengendap atau bahan-bahan yang
mudah mengapung harus disisihkan terlebih dahulu. Proses flotasi
banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan sisa yang
mengapung seperti minyak dan lemak, agar tidak mengganggu
pada proses berikutnya.
2) Pengolahan secara kimia yaitu proses pengolahan yang
menggunakan bahan kimia untuk mengurangi konsentrasi zat
pencemar dalam air limbah. Proses ini menggunakan reaksi
kimia untuk mengubah air limbah yang berbahaya menjadi
kurang berbahaya. Proses yang termasuk dalam pengolahan
secara kimia adalah netralisasi, presipitasi, khlorinasi, koagulasi
dan flokulasi. Pengolahan air buangan secara kimia biasanya
dilakukan untuk menghilangkan pertikel-partikel yang tidak
mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa
phospor dan zat organik beracun, dengan membubuhkan bahan
kimia tertentu yang diperlukan. Pengolahan secara kimia dapat
memperoleh efisiensi yang tinggi akan tetapi biaya menjadi
mahal karena memerlukan bahan kimia.
3) Pengolahan secara biologis yaitu pengolahan air limbah dengan
menggunakan mikroorganisme seperti ganggang, bakteri,
protozoa, untuk mengurai senyum organik dalam air limbah
menjadi senyawa yang sederhana. Pengolahan tersebut mempunyai
commit to user
Pengolahan air limbah secara biologis, antara lain bertujuan untuk
menghilangkan zat organik, anorganik, amonia dan posphat dengan
bantuan mikroorganisme.
Konsep teknologi IPAL Komunal memanfaatkan energi
gravitasi secara bejana berhubungan dengan proses biologis,
sehingga tidak diperlukan input energi listrik dan bahan kimia.
Penggunaan teknologi IPAL memiliki beberapa keuntungan, antara
lain mudah dalam operasional dan perawatan, serta estimasi biaya
yang murah (low costs).
Bekerjanya seluruh komponen atau sub sistem tersebut akan
menjamin keberlangsungan dan keberhasilan dalam mengatasi
permasalahan limbah batik, yang secara singkat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2.1
Berikut adalah penjelasan secara ringkas dari gambar diatas:
Limbah cair batik ditampung di bak penampungan air limbah di
masing-masing pabrik, kemudian dialirkan ke dalam saluran jaringan
air limbah. Dalam jarak tertentu, dibangun bak kontrol (A) yang
berfungsi untuk memeriksa aliran air limbah apabila terjai
kemacetan dalam sistem jaringan.
Setelah melewati bak kontrol, air limbah ditampung pada bak
pengurai aerob (B). Di dalam bak B sudah mulai terjadi proses
pengendapan (sedimentasi) awal, netralisasi dan proses homogenitas
dari limbah yang berasal dari beberapa pabrik. Dari bak B, air
limbah kemudian disalurkan melalui pipa dan masuk ke bak
pengolahan lanjut.
Air limbah masuk ke bal stabilisasi anaerob (C) dan berlanjut
ke bak anaerob filter (D) untuk di diabsorb. Air yang keluar dari
pengolahan ini dilairkan ke kolam kontrol akhir (E) untuk kemudian
dibuang ke aliran sungai.
Untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu
air, pengelolaan air limbah harus dilakukan secara terpadu dengan
pendekatan ekosistem sehingga dapat meningkatkan kualitas
lingkungan. Pengelolaan air limbah harus dilakukan dengan cermat,
dimulai dengan perencanaan yang teliti, pelaksanaan pembangunan
pemeliharaan serta adanya pemantauan berkala terhadap hasil
pengolahan tersebut.
5. Efektivitas Pelaksanaan Program IPAL Komunal
Dalam penelitian ini, aspek yang dikaji adalah mengenai
efektivitas dari program IPAL Komunal di Sentra Batik Kliwonan.
Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan yang telah
ditentukan. Tujuan yang ingin dicapai dalam program IPAL Komunal ini
adalah untuk mengurangi beban pencemaran akibat pembuangan limbah
cair pembatikan pada aliran sungai Bengawan Solo. Sedangkan sasaran
program adalah para pemilik usaha batik yang ada di Kawasan Sentra
Batik Kliwonan, yakni Desa Kliwonan dan Desa Pilang, Kecamatan
Masaran, Kabupaten Sragen.
Berdasarkan beberapa teori untuk mengukur efektivitas program
yang dikemukakan diatas, maka penulis akan menggunakan salah satu
pedoman untuk mengukur efektivitas program, yaitu pencapaian tujuan
dan hasil. Suatu program dapat dikatakan efektif apabila bisa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas dari suatu program
menunjukkan keberhasilan apabila hasil yang dicapai sesuai dengan
tujuan dari program tersebut. Efektivitas juga dianggap berhasil apabila
dampak positif yang dihasilkan jauh lebih besar dari dampak negatifnya.
Sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh Nakamura, penelitian
keberhasilan dan efektivitas program, yaitu: a) Pencapaian tujuan, b)
Kepuasan kelompok sasaran, c) Daya tanggap klien, dan d) Sistem
pemeliharaan.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas program
IPAL di Kawasan Sentra Batik Kliwonan adalah sebagai berikut:
a. Sikap Positif Pelaksana
Sikap positif pelaksana timbul sejalan dengan pemahaman
terhadap tujuan program, yang didukung dengan ketersediaan
sumber daya dan lancarnya komunikasi. Kreativitas dalam
pelaksanaan program akan muncul dari sikap pelaksana yang
mendukung program. Sikap ini ditentukan oleh tingkat pemahaman
pelaksanaan terhadap tujuan program yang terlihat dalam sikap
penerimaan aparat pelaksana guna mensukseskan program dan
kepatuhan aparat pelaksana dalam memenuhi prosedur/ketentuan
yang telah ditetapkan.
b. Komunikasi dan Koordinasi
Program atau kebijakan akan berjalan efektif bila ukuran dan
tujuan dapat dipahami oleh individu-individu yang bertanggung
jawab dalam kinerja program atau kebijakan. Dengan begitu,
ketepatan komunikasi antar pelaksana dan konsistensi dari tujuan
yang dikomunikasikan menjadi sangat penting. Komunikasi dan
koordinasi di dalam dan diantara organisasi-organisasi merupakan
pesan-pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu organisai ke
organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpangkannya atau
menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja.
c. Sumber Daya yang Memadai
Tersedianya sumber daya yang memadai akan mendukung
dalam pelaksanaan suatu program untuk dapat mencapai tujuan yang
diinginkan. Sumber daya tersebut dapat berupa materi/bahan pokok,
sumber dana/anggaran, perlengkapan, sarana dan prasarana yang
dibutuhkan maupun sumber daya manusia.
d. Dukungan dan Partisipasi Masyarakat
Daya dukung masyarakat bisa meliputi kepatuhan dan
partisipasi kelompok sasaran dalam pelaksanaan program. Untuk
keberhasilan program, mutlak diperlukan sikap patuh dan daya
dukung dari kelompok sasaran sebagai bentuk partisipasi yang
mendukung setiap kegiatan program.
Penulis menggunakan kriteria dari Nakamura dan
menyimpulkan faktor yang mempengaruhi implementasi dari beberapa
ahli untuk mendapatkan informasi guna menentukan tingkat keberhasilan
dan efektivitas program, serta untuk membandingkan desa mana yang
lebih efektif dalam menjalankan program tersebut. Setiap poin dianggap
B. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir diterapkan sebagai dasar dalam pengembangan
konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Kerangka berpikir ini
akan menjelaskan alur pemikiran dari penulis dalam melakukan penelitian.
Kerangka berpikir ini diawali dengan adanya Peraturan Daerah yang
dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Sragen mengenai pengendalian
lingkungan hidup. PERDA Nomor 6 Tahun 2008 ini merupakan acuan bagi
pemerintah dalam mengusahakan sarana dan prasarana pembuangan atau
pengolahan limbah untuk industri rumah tangga dan industri kecil, serta
dalam upaya menurunkan kadar pencemar dalam agar diperoleh limbah
dengan kualitas baik dan memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan.
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sragen sebagai perpanjangan
tangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dalam pelaksanaan program
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal. Kawasan Sentra Batik
Kliwonan sendiri merupakan gabungan antara dua desa penghasil batik di
Kabupaten Sragen, yaitu Desa Kliwonan dan Desa Pilang. Industri ini
menjadi salah satu komuditas ekonomi utama yang berkembang pesat di
Kabupaten Sragen.
Pada tahap implementasi program, beberapa faktor dianggap
mempunyai pengaruh kuat untuk menentukan program tersebut akan berjalan
baik atau tidak. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sikap positif
pelaksana, komunikasi dan koordinasi, sumber daya yang memadai, serta
efektivitas yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pencapaian tujuan,
kepuasan kelompok sasaran, daya tanggap klien, dan sistem pemeliharaan.
Berikut adalah gambar kerangka berpikir dalam penelitian ini:
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Pencemaran Lingkungan pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
akibat Pembuangan Limbah Cair Sisa Bahan Kimia Batik
Indikator Efektivitas Program: 1. Pencapaian Tujuan 2. Kepuasan Kelompok
Sasaran
3. Daya Tanggap Klien 4. Sistem Pemeliharaan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi: 1. Sikap Positif Pelaksana 2. Komunikasi dan Koordinasi 3. Sumber Daya yang Memadai 4. Dukungan dan Partisipasi
Masyarakat PERDA Nomor 6 Tahun 2008
tentang Pengendalian Lingkungan Hidup
IMPLEMENTASI Program Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal
di Kawasan Sentra Batik Kliwonan