BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Implementasi Kebijakan
Grindle (1980) menguraikan bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran. Jika pemahaman ini diarahkan pada lokus dan fokus (perubahan) dimana kebijakan diterapkan akan sejalan dengan pandangan Van Meter dan van Horn yang dikutip oleh Parsons (1995) dan Wibawa, dkk., (1994) bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh (organisasi) pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan.
Implementasi kebijakan menurut Pressman Wildavsky merupakan suatu kegiatan untuk menjalankan suatu kebijakan, untuk memenuhi janji-janji yang sudah tertuang didalam dokumen, untuk menghasilkan output, dan mencapai tujuan dari suatu kebijakan ini (Affrian, 2012). (Hill, M., & Hupe, 2002) memahami implementasi kebijakan sebagai apa yang terjadi antara harapan kebijakan dengan hasil kebijakan (Affrian, 2012). Sehingga menurut pengertian tersebut implementasi suatu kebijakan memiliki dua point utama yaitu si pembuat kebijakan dan implementator kebijakan.
Menurut Quade (1984), alasan perlunya implementasi kebijakan adalah untuk menunjukkan bukti bahwa dalam implementasi kebijakan terjadi aksi, interksi, dan reaksi faktor implementasi kebijakan. Quade menyatakan bahwa dalam proses
implementasi kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran, dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Melalui transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya. Quade memberikan gambaran bahwa terdapat empat variabel yang perlu diperhatikan dalam analisis implementasi kebijakan publik, yaitu: 1) Kebijakan yang diimpikan, yaitu pola interaksi yang diimpikan agar orang yang menetapkan kebijakan berusaha untuk mewujudkan; 2) kelompok target, yaitu subyek yang diharapkan dapat mengadopsi pola interaksi baru melalui kebijakan dan subyek yang harus berubah untuk memenuhi kebutuhannya; 3) organisasi yang melaksanakan, yaitu biasanya berupa unit atau satuan kerja birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan; dan 4) faktor lingkungan, yaitu elemen sistem dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Berdasarkan perspektif masalah kebijakan, sebagaimana yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984), implementasi kebijakan diperlukan karena adanya masalah kebijakan yang perlu diatasi dan dipecahkan. Edwards III memperkenalkan pendekatan masalah implementasi dengan mempertanyakan faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat keberhasilan implementasi kebijakan. Berdasarkan pertanyaan retoris tersebut dirumuskan empat faktor sebagai sumber masalah sekaligus prakondisi bagi keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana, dan struktur organisasi termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut merupakan kriteria yang perlu ada dalam implementasi suatu kebijakan.
Menurut Edward III terdapat empat faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses implementasi, yakni (R. Nugroho, 2018): (i) komunikasi, suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana, (ii) sumber daya, meliputi empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas atau tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan, (iii) sikap birokrasi atau pelaksana, komitmen pelaksana terhadap program, dan (iv) struktur organisasi, didasarkan pada prosedur operasional standar yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.
(i) Komunikasi
Komunikasi adalah kegiatan membuat orang lain menjelaskan suatu gagasan/
Ide-ide, terutama ide-ide yang dimaksudkan pembicara atau penulis melalui beberapa sistem yang biasa (umum) dengan simbol, isyarat dan tindakan (Wardhani, A. P., Hasiolan, L. B., & Minarsih, 2016). Komunikasi mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi yang buruk mungkin implementasi kebijakan. Dimensi komunikasi yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan publik meliputi: transmisi, konsistensi dan kejelasan (Winarno, 2002). Implementasi kebijakan publik yang berhasil membutuhkan pelaksana Jelas tahu apa yang harus dilakukan;
tujuan dan sasaran kebijakan harus menginformasikan kelompok sasaran, sehingga mengurangi kesenjangan antara perencanaan dan implementasi kebijakan.
(ii) Sumber daya
Implementasi kebijakan harus didukung oleh sumber daya (manusia, bahan dan metode). Implementasi kebijakan publik perlu dilakukan secara hati-hati,
jelas dan konsisten. Namun, jika pelaksana kekurangan sumber daya yang diperlukan, implementasi kebijakan seringkali tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Tanpa dukungan sumber daya, sebuah kebijakan menjadi dokumen yang tidak terpenuhi, solusi untuk masalah komunitas, atau upaya untuk melayani komunitas. Oleh karena itu, sumber daya merupakan faktor penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber daya untuk melaksanakan kebijakan publik meliputi: personel yang memadai, informasi, pendanaan, tenaga, dan fasilitas pendukung lainnya (Afandi, M. I., & Warjio,
2015).
(iii)Sikap birokrasi/pelaksana
Karakter adalah watak dan sifat-sifat yang dimiliki oleh para pelaksana kebijakan, seperti komitmen, disiplin, kejujuran, kecerdasan, dan sifat demokratis (Akib, 2010). Jika pelaksana kebijakan memiliki karakter yang baik, diduga kuat ia melaksanakan kebijakan dengan baik, sebaliknya jika sikap atau pandangan pelaksana kebijakan berbeda dengan maksud dan arah kebijakan, maka dimungkinkan proses implementasi kebijakan tidak akan efektif dan efisien. Karakter atau sikap pelaksana akan mendukung atau menghambat pelaksanaan kebijakan tergantung pada kesesuaian kemampuan dan sikap eksekusi. Oleh karena itu, pemilihan dan penetapan pelaksana kebijakan merupakan kebutuhan pribadi. Kompetensi yang sesuai dan dedikasi terhadap kebijakan yang telah ditetapkan (Afandi, M. I., & Warjio,
2015).
(iv) Struktur organisasi
Izin adalah izin/legalitas pelaksana untuk melaksanakan kebijakan yang ditentukan secara politis (Afandi, M. I., & Warjio, 2015). Izin ini melibatkan
struktur birokrasi yang terkait dengan posisi/hierarki lembaga atau individu penegak kebijakan. Ciri-ciri utama birokrasi umumnya termasuk dalam program kerja atau Standard Operating Procedure (SOP) dan desentralisasi organisasi.
Secara praksis, implementasi kebijakan diperlukan untuk melihat kesesuaian dan relevansi model deskriptif yang dibuat. Hal ini sesuai dengan pendapat Mazmanian dan Sabatier yang merekomendasikan perlunya “kerangka kerja analisis implementasi” (Herlina, 2013). Menurut perspektif ini implementasi kebijakan diperlukan untuk mengetahui keefektifan dan relevansi kerangka kerja yang ada sebagai pedoman dalam pelaksanaanya. Menurut Mazmanian dan Sabatier, peranan penting analisis implementasi kebijakan negara ialah mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi.
Variabel yang dimaksud diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu:
1) mudah atau sulitnya dikendalikan masalah yang digarap;
2) kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasinya; dan 3) pengaruh langsung variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam kebijakan. Ketiga variabel ini merupakan variabel bebas yang dibedakan dengan variabel terikat yakni implementasi yang harus dilalui.
2.2 Urban Politics
Urban politics merupakan studi politik perkotaan yang membicarakan
mengenai bagaimana distribusi kekuatan (
power
) yang ada pada daerah tersebut, hal tersebut karena didalam suatu perkotaan/wilayah terdapat politik, gerakan sosial, dan kepemimpinan yang dapat menjadi salah satu kekuatan (power) didalam menjalan kebijakan di perkotaan tersebut. Karena urban politics ini berbicara mengenaidistribusi kekuatan (power), maka hal ini membuat teori ini akan berbicara mengenai pluraris dan elitis. Bagaimana distribusi kekuatasn (power) tersebut dalam suatu perkotaan, apakah didistribusikan oleh pluralis atau elitis, bergantung dari sudut pandang yang menjalankan kebijakan tersebut (Judge, David, Gerry Stoker, 1995).
Pluralis, meyakini kekuasaan (
power
) harus disebar dan tidak berpusat hanya pada segelintir kelompok saja. Sehingga, dalam pluralis memiliki pendapat bahwa tidak ada golongan tertentu yang dapat mendominasi didalam pengambilan keputusan maupun menjalankan suatu kebijakan. Karena dalam pluralis, praktek kekuasaan oligarki merupakan suatu hal yang menjadi musuh. Karena hal tersebut akan membuat golongan/kelompok orang yang tidak memiliki kekuasaan menjadi lemah dan terpojokkan didalam suatu kebijakan. Sehingga pluralis menganggap bahwa kekuasaan harus disebar untuk mencapai keadilan bersama tanpa ada yang tertindas atas suatu kebijakan.Berbeda dengan pandangan pluralis, elitis meyakini bahwa kekuasan (
power)
hanya dipegang oleh segelinntir orang atau kelompok orang yang mendominasi didalam pembuatan kebijakan maupun pengambilan keputusan kebijakan di perkotaan tersebut. Segelintir orang atau kelompok ini dapat mempengaruhi orang banyak dan kelompok ini memegang kekuasaan.Penataan permukiman kumuh dan liar ini sebenarnya merupakan “political choice” pemerintah lokal dan merupakan hasil sebuah perumusan yang berdomain birokrasi politik (Etty Soesilowati, 2007). Perspektif pilihan publik biasanya dilakukan dengan pola pendekatan pluralis berdasarkan asumsi dasar tentang keinginan dan kebutuhan pokok masyarakat politik yang terorganisir. Tuner dan Hulme (1997) menyebutnya : “ The public choice perspective has a kinship with the pluralist approach in its basic assumption about political society being composed of
organized interest”, sehingga memerlukan penajaman dalam hal pemilihan yang
berguna untuk masyarakat. Pendekatan dengan memperhatikan aspek ini menjadi penting karena sebuah perumusan dan implementasi kebijakan merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan secara konseptual Menurut Glen (1993), bentuk-bentuk kebijakan komunitas dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan community development base yang berurusan dengan upaya membantu komunitas untuk menolong dirinya sendiri. Pendekatan ini identik dengan konsep pemberdayaan (people centered development) yang dikemukakan Korten (1992).
Paradigma pembangunan berpusat pada masyarakat mencerminkan pergeseran peran pemerintah dari yang selama ini cenderung sebagai subyek, penyelenggara pelayanan sosial menjadi fasilitator, mediator, koordinator, mobilisator, sistem pendukung dan peran lain yang mengarah pada pelayanan tidak langsung.
Sedangkan peran organisasi lokal, sosial, LSM dan kelompok masyarakat lain ditempatkan sebagai agen pelaksana perubahan dan pelayanan sosial pada kelompok rentan atau masyarakat pada umumnya. Kedua. community service yang diarahkan untuk memperbaiki hubungan antara output penyedia layanan dengan pengguna atau kliennya (Etty Soesilowati, 2007).
2.3 Pembangunan Rusunawa
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia no. 20 tahun 2011 berkenaan dengan apartemen (pasal 1(1)), apartemen adalah bangunan 2 gedung bertingkat dibangun di lingkungan, itu dibagi orientasi di bagian struktur fungsional horizontal atau vertikal, dan setiap unit dapat dimiliki dan digunakan secara individual, terutama untuk perumahan dengan bagian publik, objek bersama dengan tanah.
Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah
kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat. Terbatasnya lahan membuat harga lahan menjadi mahal, terutama di pusat kota. Dengan keterbatasan lahan tersebut, pembangunan perumahan vertikal merupakan alternatif untuk dikembangkan karena lebih minim dalam hal penggunaan lahannya.
Rusunawa menjadi solusi di daerah perkotaan dalam mengatasi masalah permukiman, keberadaan rusunawa dapat sangat membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah karena pekerjaan yang belum mapan ataupun masih berstatus kontrak di mana mereka masih dimungkinkan untuk berpindahpindah tempat ataupun pekerjaan. Juga menjadi pemecah masalah bagi keluarga muda yang belum mampu untuk mengakses KPR/KPA. Rusunawa memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan anggaran rumah tangga, mengakomodasi masyarakat yang tidak ingin terikat masalah keuangan yang menyertai pembelian rumah atau menghadapi biaya jangka panjang untuk perbaikan dan pemeliharaan rumah sendiri, karena rumah memiliki biaya depresiasi bangunan.
Pembangunan rusunawa ini juga diarahkan pada pembangunan perkotaan yang lebih manusiawi sekaligus solusi peningkatan kualitas permukiman karena ketersediaan sarana dan prasarana dasar bagi perumahan dan permukiman.
Masyarakat dengan kriteria tertentu diprioritaskan untuk dapat menyewa rumah susun tersebut dengan membayar tiap bulan kepada pengelola rusunawa. Rumah susun harus memenuhi syarat-syarat minimum seperti rumah biasa yakni dapat menjadi tempat berlindung, memberi rasa aman, menjadi wadah sosialisasi, dan memberikan suasana harmonis. Pembangunan rumah susun diarahkan untuk mempertahankan kesatuan komunitas kampung asalnya.
Tujuan membangun apartemen termasuk dalam UU no. 3 (1). 20 tahun 2011 termasuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang, dan lahan, serta penyediaan ruang terbuka hijau di perkotaan ciptakan ruang hidup yang lengkap, serasi, dan seimbang dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan, memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang mendukung kehidupan warga dan masyarakat, dengan tetap mengutamakan pemenuhan perumahan dan permukiman yang layak sangat dibutuhkan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Membangun apartemen adalah pilihan mengatasi kebutuhan perumahan dan permukiman, terutama di perkotaan yang penduduknya terus meningkat, karena mengembangkan kondominium dapat mengurangi penggunaan lahan, membuat ruang terbuka kota yang lebih luas, yang dapat berfungsi sebagai salah satu sebuah cara regenerasi perkotaan.
Pemerintah melakukan kebijakan menggalakkan pembangunan rusunawa karena adanya permasalahan perkotaan dengan jumlah penduduk yang setiap tahun semakin meningkat. Tindakan pemerintah ini tepat dikarenakan luas lahan di kawasan perkotaan yang seiring berjalannya waktu semakin terbatas jumlahnya dan tidak memungkinkan untuk membangun permukiman secara horizontal.
Pembangunan yang ada kini lebih difokuskan ke arah pembangunan secara vertikal (bersusun). Mengingat pembangunan rusunawa merupakan salah satu program pemerintah yang sangat penting dalam rangka memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan dibiayai melalui dana APBN atau APBD, maka pemanfaatannya harus sesuai dengan tujuan pembangunannya dan bangunan rusunawa diharapkan dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik dan berkelanjutan.
Terdapat beberapa bangunan dengan tipe dan fungsi sejenis dengan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), oleh karena itu perlu dijelaskan mengenai batasan pemahaman antara rusunawa dengan bangunan lain yang memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai bangunan hunian (Subagijo, 1995:18). Dikumpulkan dari berbagai sumber, yang menjadi batasan tersendiri dalam pemahaman rumah susun sederhana sekaligus yang membedakannya dengan bangunan-bangunan lain dengan fungsi yang sama adalah :
a. Rumah susun sederhana adalah proyek yang dibangun oleh pemerintah, dikelola oleh pemerintah, melibatkan dana dari pemerintah.
b.
Konsep kepemilikan rusunawa adalah properti milik pemerintah, yakni melalui BUMN atau BUMD kepada masyarakat, unit bangunan ini disewakan dan tidak boleh diperjualbelikan.c. Biaya sewa murah, berkisar antara Rp 100.000- Rp 800.000 per bulan.
d.
Yang boleh menjadi penghuni adalah kelompok masyarakat tertentu, yakni masyarakat berpenghasilan rendah dan harus dilengkapi dengan berbagai surat kependudukan yang sah.e. Ketika penghuni menyewa unit rusun, maka penghuni hanya mendapat kamar kosong, sehingga calon penghuni harus membawa perlengkapan rumah tangga sendiri. Dikarenakan masih banyaknya rusunawa yang belum dihuni karena tidak adanya meubeleir, maka sejak tahun 2015 Kementerian PUPR membuat kebijakan pembangunan rusunawa dilengkapi dengan meubeleir.
f.
Karakteristik penghuni rumah rumah susun sangat beragam.g.
Tampilan bangunan dan kualitas bahan bangunan rumah susun adalah kelas menengah, tidak ada tampilan yang mewah.Sementara itu, sebab-sebab mengapa bangunan seperti ini disebut rumah susun sederhana sewa sekaligus juga membedakannya dari fasilitas rumah susun lainnya, seperti tertuang dalam UU No. 20 tahun 2011, tentang Rumah Susun dan Permen PU Nomor 05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi adalah :
a. Rumah susun disebut sederhana karena biaya pembangunan, pengelolaan dan pemeliharaannya bersumber dari dana APBN/APBD, sehingga mengakibatkan biaya sewa menjadi murah karena disubsidi oleh, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
b.
Disebut rumah susun sederhana sewa karena berdiri di atas lahan pemerintah, bukan di atas lahan masyarakat secara personal /kelompok maupun swasta, oleh karena itu, status kepemilikan adalah milik pemerintah pusat/daerah dan status yang bisa digunakan bagi penghuni adalah sewa.c. Disebut rumah susun sederhana sewa karena biaya sewa yang dibebankan kepada masyarakat sangat murah, dikarenakan masyarakat yang dijadikan sasaran calon penghuni adalah masyarakat berpenghasilan rendah.
d.
Disebut rumah susun sederhana karena, baik kualitas bahan bangunan maupun tampilan bangunan sangat sederhana, bukan kualitas bahan bangunan kelas I dan bukan tampilan bangunan yang mewah dan banyak ornamen.2.3.1 Rusunawa sebagai Strategi Penataan Permukiman Kumuh
Permukiman kumuh bisa diatasi dengan perencanaan kawasan dan implementasi yang terintegrasi dengan hunian vertikal sebagai salah satu solusinya. Kelangkaan
lahan serta tingginya harga lahan di perkotaan telah mengisyaratkan pemangku kepentingan khususnya pemerintah, masyarakat dan swasta untuk mulai mempertimbangkan konsepsi hunian vertikal sebagai upaya efisiensi lahan yang juga akan berdampak pada penurunan biaya hidup masyarakat serta penghematan energi terutama dikaitkan dengan pembelanjaan di bidang transportasi. Rusunawa sebagai salah satu strategi penataan permukiman kumuh perkotaan membawa beberapa implikasi positif antara lain :
a. Membantu mengatasi permasalahan permukiman kumuh perkotaan dengan penerapan urban renewal atau peremajaan kota.
b.
Sebagai bentuk keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang belum atau tidak mampu menghuni rumah milik.c. Menjamin kepastian dan keamanan tinggal (secure tenure) terutama bagi komunitas yang semula menghuni lingkungan dan atau kawasan ilegal.
d.
Penggunaan lahan yang efisien akan berdampak pada pelestarian lingkungan karena memperluas daerah resapan air dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta memberikan ruang/lahan untuk fungsi-fungsi sosial yang bermanfaat bagi kehidupan dan kesejahteraan komunitas yang tinggal dilingkungan tersebut.e. Teknik pembangunan fisik rusunawa telah dikembangkan (diantaranya dengan sistem prototype dan sistem terkini) yang mempercepat proses konstruksi yang dapat diandalkan dalam efisiensi waktu, pengatasan permasalahan runtuh dan tahan gempa.
f.
Bentuk bangunan vertikal menekankan pada efisiensi pemanfaatan lahan.g.
Konsentrasi hunian yang terpusat menciptakan efisiensi dalam investasi dan pemeliharaan infrastruktur perkotaan.h.
Radius pencapaian yang relatif dekat dengan pusat kota akan mengurangi pemborosan biaya hidup keluarga dan penghematan energi berkaitan dengan transportasi.2.4 Kampung Kota
Beranjak dari paradigma perencanaan kota, kampung kota sebenarnya dapat menjadi awal dimulainya paradigma baru perencanaan kota dalam mewujudkan kota yang lebih baik (A. C. Nugroho, 2009). Kampung dengan segala aktivitasnya, sedikit banyak dapat memberi gambaran bagaimana kehidupan urban yang terjadi. Kepadatan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh hampir seluruh kota. Perilaku padat dapat dilihat pada kampung-kampung di perkotaan, dengan perbandingan kebutuhan ruang-ruang terbuka yang minim, derajat ketertutupan ruang dan keterdekatan antar bangunan. Disadari atau tidak, kepadatan dan keterbatasan memberikan kreativitas bagi manusia penghuninya untuk bertindak dan berprilaku. Hampir dapat dipastikan bahwa tidak akan ada ruang-ruang sisa di dalam kampung kota. Semua ruang harus dapat dioptimalkan pemanfaatannya, sehingga memberi dampak yang lebih baik bagi kehidupan, dan keberlanjutan. Ruang-ruang sirkulasi yang kecil membentuk prilaku yang spesifik bagi masyarakat penghuni.
Kampung kota adalah suatu bentuk permukiman di wilayah perkotaan yang khas Indonesia dengan ciri yang masih membawa sifat dan perilaku kehidupan perdesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan yang masih kurang baik dan tidak beraturan (Makhmud et al., 2017).
Jumlah penduduk yang padat dan hidup dalam kerapatan bangunan. Selain itu,
sarana pelayanan seperti air bersih yang masih kurang atau susah didapat, saluran air limbah yang buruk, dan pembuangan sampah yang tidak beraturan.