68
BAB IV
ANALISIS
A. Gejala Karismatik yang Dimiliki Tukang Sangiang 1. Tukang Sangiang Penerima Wahyu
Meskipun di dalam kehidupannya sehari-hari Tukang Sangiang sama seperti masyarakat pada umumnya, namun perlakuan masyarakat di sekitarnya menganggap Tukang Sangiang adalah seseorang yang memiliki wahyu dan dianggap sebagai orang yang berbeda karena memiliki hubungan yang spesial dengan Sangiang. Seperti halnya dalam pandangan
Jarmanto1 mengenai kharisma yang dimiliki oleh seseorang, bahwa kharisma menunjukkan
suatu kualitas tertentu yang berbeda dengan orang lain dan diperlakukan sebagai seseorang yang memiliki kekuatan atau sifat-sifat supranatural atau setidak-tidaknya sifat dan kekuatan khusus. Tidak bisa kita lepaskan bahwa suatu yang sulit untuk dipahami secara rasional ketika seseorang seperti Tukang Sangiang menggunakan media yaitu dirinya sendiri untuk dirasuki
oleh Sangiang. Kemampuan inilah yang tidak dimiliki oleh orang lain.2
Wahyu dari Ilahi ini dapat kita sama artikan dengan Jamba atau Jamba Sangiang. Seseorang yang memiliki Jamba Sangiang merupakan orang yang terpilih dan dianggap sebagai penerima wahyu dari Sangiang pada diri seseorang tersebut. Jamba Sangiang atau bisa dikatakan ikatan khusus yang dimilikinya membuatnya menjadi yang berbeda itu. Hal ini menunjukkan bahwa Tukang Sangiang memiliki anugerah dari Sang Ilahi dan atas dasar
1 Jarmanto, Kepemimpinan sebagai Ilmu dan Seni, (Jogyakarta: Liberty, 1983), 122. 2 Lih, BAB II bagian B.1. halaman 17.
69 tersebut ia diperlakukan sebagai seorang pemimpin. Meskipun dalam kelompok tertentu, seperti dalam ritual Manyangiang. Akan tetapi, tidak semua orang yang memiliki Jamba Sangiang bisa menjadi Tukang Sangiang. Selain Jamba Sangiang, seseorang juga harus memiliki hambaruan yang kuat dan jiwa yang menerima kehadiran dari kuasa Jamba Sangiang. Dengan kata lain, seseorang bisa memiliki Jamba Sangiang, namun jika hambaruan dan jiwanya menolak maka ia tidak mampu menerima kuasa Jamba Sangiang, sehingga Jamba Sangiang akan hilang dari dirinya jika diambil dari dalam dirinya oleh Tukang Sangiang. Sebagai contoh, Indu Yelli pernah mengalami hal mistis mengenai pengalamannya tentang Jamba Sangiang yang tidak jadi masuk dalam tubuhnya karena hambaruannya
dianggap lemah.3 Cerita bermula pada saat itu ia mengangkat anak dari seorang ibu yang
bernama Ici dari desa Tumbang Kahayan. Anak it uterus menerus mengalami sakit, ke dokter tidak kunjung sembuh. Akhirnya, orang tua nak tersebut bermimpi bahwa anaknya akan sembuh jika Indu Yulli mengangkatnya menjadi anak. Maka proses pengangkatan anak ini pun dilaksanakan melalui proses Manyangiang, supaya mnencari hambaruan anak ini yang dianggap hilang untuk dihubungkan dengan Indu Yulli. Pada saat proses penghubung dengan digunakan benang, tiba-tiba Indu Yulli mengalami sakit yang luar biasa di perutnya, sehingga ia merasakan dirinya ingin buang air besar. Selain itu ia merasa bahwa penglihatannya menjadi gelap, lalu ia kemudian melepaskan benang yang dipegangnya dan berlari ke arah dapur untuk pergi ke jamban yang berada di belakang rumah. Melihat hal tersebut salah satu keluarganya mengikutinya. Tiba-tiba, Indu Yulli langsung lompat dari dapur ke tanah tanpa melalui tangga, saudaranya yang mengikuti tidak sempat menangkap Indu Yulli pada saat
70 jatuh. Indu Yulli kemudian berlari ke jamban, namun pada saat kakinya terkena air maka semua yang dirasakannya itu tiba-tiba hilang dan ia pun kembali ke rumah.
Lalu, ia kemudian menceritakan hal itu kepada Tukang Sangiang, dan setelah diperiksa ternyata Indu Yulli memiliki Jamba Sangiang, namun ia memiliki hambaruan yang lemah. Setelah peristiwa itu, maka ia meminta tolong supaya Jamba Sangiang diambiln dari dirinya. Sebelum kejadian tersebut, Indu Yulli sudah beberapa kali mengalami hal serupa, tapi tidak seperti kejadian di Tumbang Kahayan itu, perasaan yang ia alami hanyalah pemandangannya gelap dan jantungnya berdetak dengan kencang. Melalui pengalaman Indu Yulli ini, dapat disimpulkan bahwa Jamba Sangiang bisa dimiliki, namun tanpa hambaruan yang kuat dan tubuh mau menerima kehadirin dari Jamba Sangiang maka seseorang tersebut tidak bisa menjadi Tukang Sangiang.
2. Kemampuan Luar Biasa atau Supranatural Tukang Sangiang
Di dalam hal ini, kemampuan yang dimiliki oleh Tukang Sangiang adalah Jamba Sangiang yang ia miliki untuk menjadi penghubung antara manusia dan Sangiang. Untuk berkomunikasi dengan Sangiang, Tukang Sangiang memerlukan ritual Manyangiang untuk mengundang Sangiang merasuk ke tubuhnya dan menyampaikan segala macam jawaban atas persoalan. Weber mendefinisikan kharisma yakni sebagai kualitas tertentu dari seorang individu yang membuatnya berbeda dan dianggap memiliki kekuatan atau sifat supernatural,
71 manusia super, atau setidaknya luar biasa. Kualitas ini dianggap tidak bisa dimiliki oleh orang
biasa, tetapi dianggap sesuatu yang bersumber dari Tuhan.4
Dengan memiliki kemampuan supernatural ini, Tukang Sangiang menjadi seseorang yang dipercaya mampu menolong dan menyembuhkan penyakit. Kemampuan seperti ini menjadikan Tukang Sangiang dikenal sebagai seorang yang memiliki kuasa dari sang dewa yaitu Sangiang sebagai seorang yang diberkahi wahyu. Meskipun tidak ada yang pernah melihat Sangiang, dengan melihat Tukang Sangiang, orang-orang yang percaya akan keberadaan Tukang Sangiang ini menjadikannya teladan, penyembuh, pemberi nasehat, dan bahkan pemimpin dalam suatu ritual tertentu. Jadi, kekuatan supernatural yang dimiliki oleh Tukang Sangiang menjadikannya sebagai sosok yang istimewa dan mampu mempengaruhi orang yang percaya dengan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.
B. Pengaruh Peran Tukang Sangiang
Menjadi Tukang Sangiang tidak hanya sekedar menjadi seroang ibu rumah tangga atau seorang penyembuh saja, melainkan tugas yang diemban yakni sebagai Tukang Sangiang
memiliki tanggung jawab yang besar. Seperti yang diungkapkan oleh Indu Nari,5 perannya
menjadi Tukang Sangiang didasarkan atas rasa terpanggil oleh kewajiban. Indu Nari menjelaskan bahwa, mengemban Tugas sebagai Tukang Sangiang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban ini menuntutnya untuk tidak memilih sesuai kehendak sendiri
4 Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Falcon’s Wings
Press, 1947), 358-359.
72 orang-orang yang membutuh pertolongannya. Melainkan, kewajiban ini yang memunculkan rasa tanggung jawab bahwa dia harus menolong semua orang yang membutuhkan pertolongan
tanpa memandang status seseorang.6 Sama halnya dengan kepemimpinan kharismatik, peran
yang dimiliki tidak berdasarkan pengakuan dari pengikutnya melainkan dari rasa terpanggil oleh kewajiban yang dibebankan pada dirinya sebagai karunia Tuhan.
Rasa tanggung jawab atas tugas yang dimiliki sebagai Tukang Sangiang inilah, maka berpengaruh terhadap peran mereka sebagai Tukang Sangiang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena dari rasa tanggung jawab muncul suatu tindakan untuk menolong orang lain, sehingga dari tindakan itu membuat orang yang berada di sekitarnya mengakui akan keberadaan Tukang Sangiang. Beberapa analisa sumber pengaruh dari Tukang Sangiang kemudian diurai sebagai berikut:
1. Jamba Sangiang, seperti dalam bagian A dalam Bab ini Jamba Sangiang merupakan sumber utama yang bisa disama artikan dengan wahyu yang diterima oleh Tukang Sangiang. Meskipun demikian, Jamba Sangiang harus disertai dengan hambaruan yang kuat dan juga kesiapan jiwa untuk menerima Jamba Sangiang tersebut. Bagi Tukang Sangiang yang menerima Jamba Sangiang ini, mereka akan dianggap sebagai orang istimewa yang mampu berkomunikasi dengan Sangiang.
2. Rasa tanggung jawab, wahyu yang diterima oleh Tukang Stangiang menjadikannya istimewa dari masyarakat lain. Tentu saja rasa tanggung jawab ini harus dimiliki oleh setiap Tukang Sangiang supaya dalam kegiatan yang mereka lakukan terutama dalam hal menolong orang lain tidak memunculkan rasa pilih kasih.
73 3. Kejujuran. Jerry White menyatakan bahwa kejujuran merupakan hasil dari jawaban yang pragmatis menyangkut benar atau salah. Namun, yang menjadi acuan adalah
kebenaran yang terkandung di dalam kejujuran tersebut.7 Dalam wawancara dengan
Lia, kejujuran dari Tukang Sangiang sangat penting. Seskipun ia tidak menyebutkan bahwa Tukang Sangiang yang berada di Kecamatan Rungan tidak ada yang tidak jujur. Melalui pengalamannya, ia menyebutkan bahwa ada Tukang Sangiang yang ‘abal-abal’ untuk mengambil keuntungan dari perannya sebagai Tukang Sangiang. Menurutnya, ia pernah melihat seorang Tukang Sangiang yang pura-pura kerasukan dan sengaja menggetarkan tubuhnya sehingga kelihatan ia seperti kerasukan. Setelah ia melakukan ritual manyangiang, ia mematok harga yang cukup tinggi, karena orang yang meminta pertolongan tersebut termasuk dalam keluarga yang memiliki perekonomian yang cukup. Menurutnya, orang yang benar-benar menjadi Tukang Sangiang adalah orang yang jujur dalam melakukan tugasnya. Seorang Tukang Sangiang, meskipun ia menginjakkan kakinya dibara api pada saat kerasukan maka kakinya tersebut tidak apa-apa bahkan melepuh pun tidak. Disamping itu, jika seseorang Tukang Sangiang selesai melaksanakan tugasnya untuk menyembuhkan seseorang, ia tidak pernah menyebutkan nominal rupiah untuk setiap bantuan yang ia lakukan. Lia kemudian menjelaskan bahwa selama ia mengikuti ritual manyangiang di wilayah Kecamatan Rungan ini, dia belum pernah mlihat Tukang Sangiang yang tidak jujur. Sehingga ia percaya bahwa Tukang Sangiang yang berada di Kecamatan Rungan merupakan seorang yang memiliki kualitas yakni kualitas sebagai Tukang Sangiang.
74 4. Rendah Hati. Di dalam kesehariannya Tukang Sangiang seperti masyarakat pada umumnya, mereka melakukan pekerjaan rumah tangga dan berusaha menjadi seorang isteri yang baik bagi suaminya. Selain hal itu, apa yang mereka lakukan terhadap orang lainpun patut dicontoh. Dalam pengamatan penulis, setiap kali Penulis ke rumah Tukang Sangiang, di depan rumah banyak masyarakat yang duduk santai seraya bercerita menikmati sore hari. Mereka bercerita bersama-sama Tukang Sangiang sambil manyipa tanpa memandang agama atau status sosial. Dalam hal lain, seperti
yang dilakukan oleh Indu Tabuk ketika ada tatangganya yang sedang manggetem8 atau
menuai padi yang sudah matang di ladang, ia akan ikut serta untuk menolong tanpa meminta imbalan. Untuk manggetem, ia biasanya berangkat pagi bersama-sama dengan pemilik ladang dan pulang pada sore harinya. Rasa rendah hati inilah yang kemudian membuat banyak masyarakat di sekitar merasa nyaman dengan keberadaan Tukang Sangiang, dan mereka tidak sungkan untuk bercanda meskipun mereka tahu bahwa Tukang Sangiang berbeda dalam hal lain dari mereka.
8 Di Kecamatan Rungan, manggetem masih dilakukan dengan cara gotong royong, masyarakat saling
membant7u untuk menuai padi di ladang yang cukup jauh dari desa. Ada yang monolong supaya di hari yang akan dating orang lain juga menolongnya untuk berladang, namun ada juga yang ikut menuai padi untuk mendapatkan upah. Namun berbeda dengan Tukang Sangiang, bagi Indu Tabuk ikut manggetem merupakan cara hidup gotong royong semenjak dahulu dan tidak diperlukan upah. Ia hanya menerima makanan ketika beristirahat atau kadang-kadang pemilik ladang bisa memberinya sayur secukupnya.