• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN. yang terdiri dari kata Land dan Reform. Land artinya tanah, sedangkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN. yang terdiri dari kata Land dan Reform. Land artinya tanah, sedangkan"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka

a. Landreform

Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 merupakan Undang-Undang landefrom di Indoneisa. Landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris yang terdiri dari kata “Land” dan “Reform”. Land artinya tanah, sedangkan Reform artinya perubahan dasar atau perombakan untuk membentuk /membangun/menata kembali struktur pertanian. Jadi arti Landreform adalah perombakan struktur pertanian lama dan pembangunan struktur pertanian lama menuju struktur pertanian baru.1

Landeform mempunyai tujuan yang meliputi terciptanya masyarakat adil dan makmur, peningkatan taraf hidup rakyat jelata/petani, peningkatan taraf hidup petani dan memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat.2 Tanah-tanah yang menjadi obyek landreform yang akan diredistribusikan pada petani menurut ketentuan Pasal 1 PP No. 224 Tahun 1961, meliputi :3

a. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960,

b. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah kecamatan letak tanahnya atau karena pemilikan tanah absentee/guntai,

1

I Nyoman Budi Jaya, Tinjauan Yuridis tentang Restribusi Tanah Pertanian Dalam Rangka

Pelaksanaan Landreform, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 9 2

Sri Harini Dwiyatmi, Hukum Agraria, Edisi Juni 2013, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2013, hlm. 59

3

(2)

c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang dengan berlakunya ketentuan UUPA menjadi hapus dan beralih kepada Negara,

d. Tanah-tanah lain yang langsung dikuasai oleh Negara misalnya, tanah-tanah dengan Hak Guna Usaha yang telah berakhir waktunya, dihentikan atau dibatalkan.

Dalam landreform juga terdapat program-program yaitu :4 1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah, 2. Larangan pemilikan tanah secara absentee/guntai,

3. Redistribusi tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee/guntai, tanah-tanah-tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah-tanah Negara,

4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan,

5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian,

6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

Dalam program landrefrom dikenal larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai. Kata absentee berasal dari kata latin “absentee” atau “absentis”, yang berarti tidak hadir. Yang dimaksud dengan kepemilikan tanah pertanian secara absentee/ guntai adalah pemilikan tanah pertanian yang letaknya di luar Kecamatan tempat tinggal pemilik tanah.5 Tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena

4

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan

Pelaksanaannya Jilid I, Djambatan, Jakarta, 2008,,. 367 5

(3)

pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil.6 Pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai ini, menimbulkan penggarapan yang tidak efisien Sehingga hal itu tidak sesuai dengan tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia yaitu untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani.

b. Pengertian Tanah Pertanian

Dalam UUPA tidak diberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan tanah pertanian. dalam Undang-Undang No 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian juga tidak diberikan penjelasan mengenai pengertian tanah pertanian tersebut. Dalam Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/1/2 mengenai Pengertian Tanah atau Lahan Pertanian, diberikan penjelasan sebagai berikut:7

“Yang dimaksud dengan “tanah pertanian” ialah juga semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang, selain tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan, berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa yang merupakan tanah pertanian.”

Tanah atau lahan pertanian biasanya digunakan untuk usaha bidang pertanian dalam arti mencakup persawahan, hutan, perikanan, perkebunan, tegalan, padang, pengembalaan dan semua jenis penggunaan lain yang lazim

6

Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 385

7

(4)

dikatakan sebagai usaha pertanian.8 Jenis pertanian tersebut dibedakan menjadi dua yaitu:9

a. Pertanian Tanah Basah

Pertanian yang di kembangkan pada dataran rendah yang mmpunyai ketinggian ukuran 300 m diatas permukaan laut yg di sekitarnya terdapat banyak air dari sungai sungai atau saluran irigasi. contoh tanaman yang dibudidayakan di tanah basah adalah tanaman padi.

b. Pertanian Tanah Kering

Pertanian yang mengandalkan musim hujan karena hanya air hujan sebagai pasokan kebutuhan air bagi tanaman. Pada umumnya lahan kering berada pada ketinggin 500 - 1500 m diatas permukaan laut. Untuk usaha pertanian tanah kering dapat dibagi dalam tiga jenis penggunaan tanah, yaitu tanah kering berbasis palawija (tegalan), tanah kering berbasis sayuran (dataran tinggi) dan pekarangan.

c. Tentang Petani

Banyak teori pertanian maupun tentang petani yang diungkapkan oleh para ahli. Menurut para ahli, terdapat beberapa definisi Pertanian maupun Petani. Pendapat yang dikemukakan oleh Eric R. Wolf. mendefinisikan petani sebagai:10 “Penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses tanam. Kategori itu dengan demikian mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil maupun pemilik penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat keputusan yang

8 Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/107/1985 Tanggal 25 Maret 1985 Tentang

Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Kon Pertanian Yang Tidak Terkendalikan

9

http://hutantani.blogspot.sg/2014/04/pengertian-pertanian-lahan-basah-dan-kering.html. Diakses Minggu 13 september 2015

10

http://www.infoorganik.com/index.php?option=com_content&view=article&id=86:petan i-penggarap-hambat-aplikasi-pertanian-organik-pola-tanamsri&catid=34:padi&Itemid=62. Diakses minggu 13 September 2015

(5)

relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka.Namun itu tidak memasukkan nelayan atau buruh tani tak bertanam.”

Menurut Fadholi Hernanto, memberikan pengertian tentang petani yang mengatakan bahwa:11

“Petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan kehidupannya dibidang pertanian dalam arti luas yang meliputi usaha tani pertanian, peternakan, perikanan (termasuk penangkapan ikan), dan mengutamakan hasil laut.”

Dalam buku Pengantar Peyuluhan Pertania Dalam teori dan Praktek yang ditulis oleh Totok Mardiakanto dan Sri Sujani, memberikan pengertian petani yaitu :

“Petani adalah penduduk atau orang-orang yang untuk sementara atau secara tetap memiliki dan atau menguasai sebidang “tanah-pertanian” dan mengerjakannya sendiri, baik dengan tenaganya sendiri (beserta keluarganya) maupun dengan menggunakan tenaga orang lain atau orang-upahan: Termasuk dalam pengertian “menguasai” di sini adalah : menyewa, menggarap (penyakap), memaro (bagi-hasil). Sedang buruh-tani tak bertanah tidak termasuk dalam kategori petani.”

Pengertian petani juga termuat dalam Pasal 1e Undang- Undang No 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil yaitu:

“Petani, ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian”.

Definisi petani Dalam Pasal 1e Undang- Undang No 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil berbeda dengan definisi petani yang termuat dalam Undang-undang No 9 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Dalam Pasal 1 ayat (3), termuat pengertian petani yaitu:

“Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan Usaha Tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan.”

11

(6)

Orang yang disebut petani, atau kedudukannya sebagai petani, mempunyai fungsi yang banyak. Petani sebagai orang yang berusahatani, mendapatkan produksi pertanian dalam arti luas, karenanya petani tidak akan terlepas dari ternak, ikan dan tanaman dimanapun tumbuhnya.12 Dalam melakukan usahanya para petani cenderung membuat suatu kelompok tani yang beranggotakan para petani-petani (pemilik lahan, buruh tani, peternak, nelayan) dalam satu desa. Kelompok tani diartikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani-taruna (pemuda-pemudi), yang terikat informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pimpinan seorang kontak tani (Ketua Kelompok Tani).13

Dalam Peraturan Menteri Petanian Nomor: 273/Kpts/OT.160/4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani, pengertian kelompok tani yaitu:

“Kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.”

Namun setelah dirumuskannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 16/Permentan/OT.140/2008 Tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), beberapa kelompok tani yang berada dalam satu kawasan desa digabungkan menjadi “GAPOKTAN” yang menjadi pelaksana PUAP tersebut. Gabungan kelompok tani (Gapoktan) dalam Peraturan Menteri

12

Fadholi Hermanto, Loc. Cit.

13

Totok Mardikanto, Dasar-Dasar Peyuluhan Dan Modernisasi Pertanian, Binacipta, Bandung, 1977, hlm.51

(7)

Petanian Nomor: 273/Kpts/OT.160/4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani merupakan kumpulan beberapa kelompok tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha.

Tujuan penggabungan kelompok menjadi Gapoktan dalam PERMENTAN Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 adalah untuk menggalang kepentingan bersama secara kooperatif agar kelompok tani lebih berdaya guna dan berhasil guna, dalam penyediaan sarana produksi pertanian, permodalan, peningkatan atau perluasan usaha tani di sektor hulu dan hilir, pemasaran serta kerjasama dalam peningkatan posisi tawar.

d. Pemilikan Tanah Pertanian

Di Indonesia pemilikan dan penguasaan tanah diberikan batasan, Pengaturan mengenai pembatasan pemilikan atas tanah diatur dalam Pasal 7 UUPA, yang menyatakan bahwa : “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.” Dalam pemilikan atau penguasaan tanah terdapat pengaturan mengenai batas maksimum pemilikan atau penguasaan tanah yang tercantum dalam Pasal 17 UUPA, namun dalam pasal tersebut tidak memberikan secara jelas mengenai pembatasan maksimum dan minimum pemilikan atau penguasaan tanah pertanian.

Sebagai pelaksanaan dari Pasal 17 UUPA yang mengatur tentang batas minimum dan maksimum penguasaan dan pemilikan atas tanah, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari

(8)

1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No.56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (LN 1960 no. 174), Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117. UU No. 56/1960 merupakan Undang-Undang landreform di Indonesia, yang mengatur tiga masalah didalamnya yaitu :14

a. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian, b. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan

untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil,

c. Soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.

(a) Penetapan Batas Maksimum Pemilikan Tanah Pertanian

Penetapan batas maksimum pemilikan atau penguasaan tanah pertanian diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang menyatakan bahwa :

(1) Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan orang lain ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini.

(2) Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor-faktor lainnya, maka luas maksimum yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan sebagai berikut :

14

(9)

Di daerah- daerah yang

Sawah (hektar) Tanah Kering (hektar)

1. Tidak padat 2. Padat : a. kurang padat b. cukup padat c. sangat padat 15 10 7,5 5 20 12 6 6

Jika tanah pertanian yang dikuasai itu merupakan sawah dan tanah kering, maka untuk menghitung luas maksimum tersebut, luas sawah dijumlah dengan luas tanahkering dengan menilai tenah-kering sama dengan sawah ditambah 30% di daerahdaerah yang tidak padat dan 20% di daerah-daerah yang padat dengan ketentuan, bahwa tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar.

Tujuan dari penetapan batas maksimum penguasaan atau pemilikan tanah pertanian, secara makro bertujuan dalam rangka mencegah penumpukan tanah pada tangan satu orang.15 Apabila ada masyarakat yang memiliki tanah pertanian melebihi batas maksimum, pemilik tersebut diwajibkan untuk memberitahukan kepada Kepala Badan Pertanahan Daerah Kabupaten/Kota seperti yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Selain itu juga terdapat larangan pemecahan (fragmentasi) bagi pemilik lahan yang melebihi batas maksimum. Larangan pemecahan tersebut tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang menyatakan:

“Orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang untuk memindahkan hak-miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut, kecuali dengan izin Kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Izin tersebut hanya dapat diberikan jika tanah yang haknya dipindahkan itu tidak

15

(10)

melebihi luas maksimum dan dengan memperhatikan pula ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2)”.

(b) Penetapan Batas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian

Mengenai penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian ini tidak dijelaskan secara rinci seperti penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian dalam Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Namun batas minimum pemilikan tanah pertanian yaitu 2 Ha, penetapan batas minimum ini terlihat dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang menyatakan “Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.”

Tujuan dengan adanya penetapan batas minimum tanah pertanian merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kelayakan hidup bagi petani baik untuk jenis tanah sawah maupun tanah kering (tegalan). Untuk mencapai pemilikan tanah pertanian 2 Ha bagi setiap petani diusahakan secara bertahap. Sarana untuk mencapainya tahap pertama adalah pencegahan atau larangan dilakukannya pemecahan (fragmentasi) tanah pertanian menjadi pemilikan di bawah 2 Ha, dengan batasan-batasan ini batas pemilikan minimum akan dapat dicapai. Persisnya pembatasan pemecahan tanah pertanian sebagai diatur pada Pasal 9 dan 10 UU No. 56 Prp. Tahun 1960 dalam rupa :16

1. Larangan pemindahan tanah pertanian kecuali karena pewarisan bila karena pemindahan itu mengakibatkan pemilikan tanah pertanian kurang dari 2 Ha. baik oleh penjual maupun oleh pembeli. Tentu saja terkecuali bagi penjual bila dengan pemindahan itu menjadi dirinya sama sekali tidak mempunyai tanah pertanian lagi (penjualan sekaligus tanah pertaniannya yang kurang dari 2 Ha)

16

(11)

2. Bila pada waktu peraturan ini berlaku terdapat dua orang atau lebih memiliki tanah pertanian kurang dari 2 Ha maka dalam waktu 1 tahun mereka wajib menunjuk salah satu dari antaranya untuk menjadi pemiliknya atau memindahkan pada pihak lain agar pemilikan 2 Ha untuk satu orang terpenuhi

3. Jika kewajiban nomor 2 di atas tidak dilaksanakan maka memperhatikan keinginan mereka menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya menunjuk salah satu dari untuk selanjutnya memiliki tanah yang bersangkutan ataupun menjual pada pihak lain

4. Bagi mereka yang memiliki tanah pertanian karena warisan yang menyebabkan pemilikan kurang dari 2 Ha / kurang dari batas minimum pemilikan tanah pertanian akan diatur oleh peraturan perundangan. Menurut penulis pengaturan lebih lanjut perhal pokok ini berdasarkan pengalaman praktek jika ada pemilikan tanah pertanian menjadi bagian kecil-kecil kurang 2 Ha maka tanah itu kemudian dimiliki secara bersama sekalipun tidak selalu demikian. Tiap ahli waris sebagai pemilik tanah pertanian tidak boleh memilikinya secara terpisah-pisah harus tetap menjadi satu. Dalam sertifikat kepemilikan tersebut disebut seluruh ahli waris sebagai pemilik bersama atas tanah pertanian yang diperoleh dari pewarisan tadi. Inilah cara yang ditempuh untuk menghindaro pemecahan tanah pertanian asal pewarisan agar tidak menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan memiliki kurang dari 2 Ha/ kurang dari batas minimum pemilikan tanah.

5. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diatas terkena pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan / atau denda serta dikategorisasikan sebagai pelanggaran.

e. Pengertian Alih Fungsi Tanah Pertanian

Alih fungsi tanah atau istilah lain disebut sebagai konversi tanah merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan tanah dari fungsinya semula menjadi fungsi lain. Alih fungsi tanah dalam artian perubahan atau penyesuaian penggunaan disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.17

Utomo dkk (1992) mendefenisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan

17 Desi Irmalia Astuti, Skripsi : “Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor”, Departemen Sumber

Daya Ekoonomi Dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 2011, hal. 8

(12)

dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.18 Alih fungsi lahan berarti perubahan/ penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Pertambahan penduduk yang semakin pesat setiap tahunnya memerlukan tanah yang semakin luas, tidak saja guna perluasan pemukiman namun juga sebagai ruang perluasan kegiatan-kegiatan perekonomian agar kebutuhan manusia terpenuhi secara lebih baik.19 Guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan tanah yang terus meningkat seiring bertambah banyaknya jumlah penduduk, para pemilik lahan pertanian melakukan alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian.

Alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian ini dapat menumbuhkan perekonomian negara karena alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian tidak hanya dipergunakan untuk perumahan atau pemukiman saja, tetapi juga dipergunakan untuk penyediaan industri, tambang, perkantoran, jalan raya maupun fasilitas umum lainnya. Perkembangan industri yang cukup pesat berakibat beralihnya fungsi tanah pertanian. selain untuk memenuhi kebutuhan industri, alih fungsi tanah pertanian juga terjadi sangat laju guna memenuhi kebutuhan perumahan/pemukiman yang jumlahnya lebih besar.20

18

https://yeniagustienhrp.wordpress.com/2011/05/25/makalah-tentang-konversi-lahan-pertanian/. Diakses minggu 13 september 2015

19 Rhina Uchyani F, Susi Wuriani, Tren Alih Fungsi Lahan Pertanian Di Kabupaten Klate,

SEPA: Vol. 8 no. 2, UNS, 2002, hlm. 52

20

http://dc281.4shared.com/doc/U3Myg0n2/preview.html, Diakses minggu 13 september 2015

(13)

Tanah pertanian menjadi salah satu sumber utama dan paling penting dalam kelangsungan hidup bagi warga negara Indonesia. Hal ini karena, sumber pangan yang dikonsumsi oleh manusia merupakan hasil dari tanah pertanian (tanah pertanian basah maupun tanah pertanian kering). Selain itu, tanah pertanian merupakan sumber penghasilan bagi para warga negara Indonesia yang bekerja sebagai petani yang sumber pendapatannya dari hasil pertanian. seiring pertumbuhan penduduk yang semakin banyak setiap tahunnya, perkembangan teknologi, dan perkembangan infrastruktur, mengakibatkan penggunaan tanah pertanian mulai beralih.

Tanah pertanian yang semula berfungsi untuk bercocok tanam, berangsur-angsur berubah menjadi perumahan atau pemukiman, industri, jalan dll., guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia. Alih fungsi tanah pertanian merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dari pembangunan. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan memperlambat dan mengendalikan kegiatan alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian.

Ada tujuh pola atau tipologi konversi tanah atau alih fungsi lahan, antara lain :21

1. Konversi gradual berpola sporadis yaitu dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/ tidak produktif dan terdesakan ekonomi pelaku konversi.

2. Konversi sistematik berpola „enclave‟ dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.

3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion) yaitu lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

21

https://yeniagustienhrp.wordpress.com/2011/05/25/makalah-tentang-konversi-lahan-pertanian/. Diakses minggu 13 september 2015

(14)

4. Konversi yang disebabkan oleh masalah social (social problem driven land conversion) yaitu disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.

5. Konversi tanpa beban yaitu dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.

6. Konversi adaptasi agraris yaitu disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.

7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk yaitu konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk pemukiman, perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.

f. Peraturan Mengenai Alih Fungsi

Dalam rangka alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian pemerintah mengeluarkan peraturan yang menjadi pegangan dalam pelaksanaanya:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan Dan alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pasal 35 :

(1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.

(2) Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka:

a. pengadaan tanah untuk kepentingan umum; atau b. terjadi bencana.

2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

a. Pasal 44 :

(1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.

(2) Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:

a. dilakukan kajian kelayakan strategis; b. disusun rencana alih fungsi lahan;

(15)

d. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan.

(4) Dalam hal terjadi bencana sehingga pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak diberlakukan.

(5) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan.

(6) Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Pasal 46 :

(1) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf d dilakukan atas dasar kesesuaian lahan, dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang

dialihfungsikan lahan beririgasi;

b. paling sedikit dua kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan

c. paling sedikit satu kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan tidak beririgasi.

(2) Penyediaan lahan pertanian pangan sebagai pengganti Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah harus dimasukkan dalam penyusunan Rencana Program Tahunan, Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Program Jangka Panjang (RPJP) instansi terkait pada saat alih fungsi direncanakan.

(3) Penyediaan lahan pertanian pangan sebagai lahan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan:

a. pembukaan lahan baru pada Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan;

b. pengalihfungsian lahan dari nonpertanian ke pertanian sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, terutama dari tanah telantar dan tanah bekas kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2); atau

c. penetapan lahan pertanian sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

(16)

(4) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan dilakukan dengan jaminan bahwa lahan pengganti akan dimanfaatkan oleh petani transmigrasi maupun nontransmigrasi dengan prioritas bagi petani yang lahannya dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Untuk keperluan penyediaan lahan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah melakukan inventarisasi lahan yang sesuai dan memelihara daftar lahan tersebut dalam suatu Pusat Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 53 Tahun 1989 Tentang Kawasan Industri.

Pasal 7 :

Pembangunan Kawasan Industri tidak mengurangi areal tanah pertanian dan tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumber daya alam dan warisan budaya.

4. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 590/11108/SJ tanggal 24 Oktober 1984 Tentang Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian.

Menginstruksi kepada semua Gubernur untuk melaksanakan koordinasi antar instansi Pemerintah Daerah untuk mencegah terjadinya alih fungsi tanah pertanian sehingga tidak mengganggu usaha peningkatan produksi pangan. Mengintruksikan kepada Bappeda untuk melaksanakan inventarisasi yang teliti tentang status penggunaan tanah yang dialih fungsi berdasarkan data dari instansi-instansi yang berkaitan. Mengeluarkan Perda sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlakuberkaitan dengan penggunaan tanah pertanian.

5. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 410-1851 tanggal 15 Juni 1994 Tentang Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis Untuk Penggunaan Non Pertanian Melalu Penyusunan Rencana Tata Ruang.

Menginstruksikan kepada semua Gubernur dan semua Bupati/Walikota untuk menghindarkan ketidakcocokan antara Rencana Tata Ruang dan larangan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk non pertanian, maka dalam menyusun Rencana Tata Ruang wilayah agar tidak memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian. apabila terpaksa harus memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis untuk kegiatan non pertanian karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, agar terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Badan

(17)

Koordinasi Tata Ruang Nasional yang diberi tugas antara lain untuk menangani masalah tat ruang yang terjadi di daerah.

6. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS Nomor 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian.

Menginstruksikan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala BPN bahwa menunjuk Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 410-1851 tanggal 15 Juni 1994 bahwa masalah pengalihan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan di luar pertanian telah dikaji secara mendalam oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional telah memutuskan ketetapanketetapan dalam menghadapi rencana perubahan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan di luar pertanian dalam kaitannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Keputusan tersebut mempertimbangkan berbagai aspek yaitu, untuk swasembada pangan secara dinamis, memelihara dan memanfaatkan jaringan irigasi, kepentingan rakyat petani serta berbagai kepentingan hidup. Selain itu dipertimbangkan pula mengenai telah keluarnya berbagai ijin lokasi bahkan telah dibebaskan dan dilakukannya pembangunan pada tanah yang semula merupakan tanah sawah beririgasi teknis berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

7. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS Nomor 5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah tingkat Kabupaten/Kota.

Menginstruksikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mencegah perubahan penggunan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan diluar pertanian. Dalam menegakkan ketentuan tersebut maka Rencana Tata Ruang Wilayah yang didalamnya tercantum rencana penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan bukan pertanian perlu disempurnakan. Selain itu Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ada dan yang sedang dipersiapkan agar sungguh-sungguh sesuai dengan kaidah-kaidah tata ruang yang benar.

8. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis Untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian Sehubungan dengan:

(a) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS Nomor 5334/MK/9/1994,

(b) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS Nomor 5335/MK/9/1994,

(18)

(c) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua BAPPENAS Nomor 5417/MK/10/1994.

Menginstruksikan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota agar dalam penanganan ijin lokasi, peninjauan Rencana Tata Ruang Wilayah tingkat Propinsi dan tingkat Kabupaten/Kota serta usaha efisiensi penggunaan tanah berpedoman pada Keputusan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional yang tertuang dalam ketiga surat tersebut adalah sebagai berikut:

A. Pemrosesan ijin lokasi yang diajukan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ada bagi penggunaan tanah sawah beririgasi teknis di luar pertanian:

1. Wilayah Perkotaan a. Sudah ada ijin lokasi

i. Tanah yang sudah dibangun dan tanah sudah dibebaskan meski belum dibangun, ijin yang sudah ada diberlakukan,

ii. Tanah yang belum dibebaskan, pemilik ijin diperingatkan untuk membebaskan tanah tersebut sampai batas waktu tertentu dan bilamana tidak dilakukan ijin tidak diperpanjang.

b. Belum ada ijin lokasi

ii. Tanah yang sudah dibangun ijin dapat diberikan setelah memenuhi kelengkapan persyaratan ijin lokasi yang ditetapkan,

iii. Tanah yang telah dibebaskan tapi belum dibangun dan telah memenuhi semua persyaratan ijin lokasi, ijin dapat diberikan,

iv. Tanah yang belum dibebaskan ijin tidak diberikan. 2. Wilayah Pedesaan

a. Sudah ada ijin lokasi

i. Tanah yang sudah dibangun ijin dapat diberlakukan terus,

ii. Tanah yang belum dibangun ijin yang sudah dikeluarkan tidak diperpanjang apabila batas waktunya habis.

b. Belum ada ijin lokasi

Ijin lokasi tidak diberikan tanpa kecuali.

B. Membantu Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam menyusun dan atau merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten/Kota:

I. Tidak memasukkan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian,

II. Merubah peruntukan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian dalam Rencana Tata Ruang

(19)

Wilayah yang ada ke dalam penggunaan tanah tetap sebagai sawah beririgasi teknis.

C. Ijin lokasi untuk perusahaan pembangunan perumahan. Agar dilakukan penyaringan yang ketat tentang pemberian ijin lokasi untuk perumahan. Jika ijin-ijin lokasi yang telah diberikan cukup untuk menopang pembangunan perumahan rakyat, sementara tidak diberikan ijin lokasi baru. Jika terpaksa harus diberikan, agar jangan di atas tanah sawah beririgasi teknis.

9. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 460-1594 tanggal 5 Juni 1996 tentang Pencegahan Konversi Tanah Sawah Irigasi Teknis Menjadi Tanah Kering.

Meningkatnya permintaan tanah untuk keperluan pembangunan perumahan, industri dan kegiatan non pertanian lainnya terutama disekitar kota-kota akan semakin mengancam tanah sawah beririgasi teknis dialihkan penggunaannya ke non pertanian. Kebijaksanaan larangan menggunakan tanah sawah beririgasi teknis ke penggunaan non pertanian telah dikeluarkan, yaitu berupa:

a. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis Untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian. b. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua

Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri Nomor 5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

c. Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Kepada para Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Nomor 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis Untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian. Untuk maksud tersebut diminta perhatian secara sungguh-sungguh Gubernur dan Bupati/Walikota guna memberikan petunjuk kepada masyarakat agar:

I. Tidak menutup saluran-saluran irigasi yang mengairi sawah beririgasi teknis,

II. Tidak mengeringkan sawah beririgasi teknis dan menjadikannya untuk penggunaan pertanian tanah kering, III. Tidak menimbun sawah beririgasi teknis untuk keperluan

bangunan.

IV. Bagi yang telah mengubah tanah sawah beririgasi teknis menjadi tanah tegalan/tanah kering tanpa izin dalam rangka menghindari larangan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan tanah non pertanian, agar

(20)

mengembalikannya menjadi tanah sawah beririgasi teknis seperti semula,

V. Sesuai Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri Nomor 5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota kiranya Gubernur dapat memberikan petunjuk-petunjuk kepada para BupatiWalikota agar dalam meninjau kembali dan merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota tidak memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis bagi penggunaan tanah non pertanian.

10. Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/107/1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang Tidak Terkendalikan.

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 24 Oktober 1984 Nomor 590/11108/SJ perihal perubahan tanah pertanian ke non pertanian, bahwa disinyalir adanya kecenderungan terjadinya alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian yang tidak terkendali sehingga dapat mengganggu usaha peningkatan produksi pangan. Berhubung dengan itu, dipandang perlu mengeluarkan instruksi untuk pencegahan terjadinya hal tersebut.

Menginstruksikan kepada semua Bupati/Walikota untuk melaksanakan upaya pencegahan terjadinya alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian yang tidak terkendali, juga menginstruksikan kepada Kepala BPN Propinsi untuk membantu Bupati/Walikota dalam melaksanakan instruksi tersebut dan mengeluarkan petunjuk teknis instruksi tersebut serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan instruksi tersebut.

Setiap perubahan tanah pertanian ke non pertanian harus dengan ijin dari Bupati/Walikota. Dalam rangka penyelesaian permohonan ijin perubahan tanah pertanian ke non pertanian, harus memperhatikan pertimbangan dari Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap terjadinya atau kemungkinan terjadinya perubahan tanah pertanian ke non pertanian di secara koordinatif dengan instansi-instansi pemerintah yang ada di daerah.

Bupati/Walikota dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota selalu memonitor dan melakukan pendataan terhadap pelaksanaan ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian.

11. Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030.

Pasal 8 huruf a

Rencana pengembangan kawasan peruntukkan pertanian meliputi :

(21)

a.Pembatasan alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan untuk kegiatan non pertanian.

12. Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 591.05/23/2002 tanggal 1 Februari 2002 tentang Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian.

Memperhatikan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 590/11108/SJ tanggal 24 Oktober 1984 tentang Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian dan Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/107/1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang Tidak Terkendali, Walikota Salatiga memutuskan Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang memiliki tugas yaitu:

a. Membantu Walikota dalam pengendalian dan penyelesaian ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian dari seseorang/badan hukum dengan menyajikan bahan-bahan pertimbangan tentang tanah yang menjadi obyek permohonan,

b. Mengadakan peninjauan lapangan dan wawancara dengan pemohon menyangkut status tanah, keadaan fisik tanah dan lingkungan hidup sekitarnya,

c. Membuat Berita Acara hasil-hasil sidang dan pemeriksaan tanah,

d. Bertanggung jawab dan melaporkan hasilnya kepada Walikota.

Susunan Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian:

a Kepala Kantor Pertanahan (Ketua merangkap Anggota), b Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda (Wakil Ketua

merangkap Anggota),

c Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda (Wakil Ketua merangkap Anggota),

d Ketua Bappeda (Anggota),

e Kepala Bagian Hukum dan Ortala Setda (Anggota), f Kepala Bagian Perekonomian Setda (Anggota tidak tetap), g Kepala Dinas Pertanian (Anggota),

h Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Anggota tidak tetap), i Camat dan Lurah di mana tanah tersebut berada (Anggota).

(22)

B. Hasil Penelitian

1. Umum

a. Letak Geografis Kota Salatiga

Salatiga merupakan suatu kota kecil yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, Letak astronomi Kota Salatiga di antara 110º.27'.56,81" sampai dengan 110º.32'.4,64" Bujur Timur dan 007º.17' sampai dengan 007º.17'.23" Lintang Selatan.22 Topografi kota Salatiga berada pada ketinggian kurang lebih 450 meter sampai dengan 850 meter di atas permukaan laut (dpl). Permukaan tanahnya sebagian besar bergelombang dan banyak terdapat sungai. Kondisi topografi kota Salatiga pada masing-masing Kecamatan adalah:23

1. Kecamatan Sidorejo berada pada ketinggian ± 450 m - 712,5 mdpl. 2. Kecamatan Tingkir berada pada ketinggian ± 510 m - 700 m dpl. 3. Kecamatan Argomulyo berada pada ketinggian ± 595 m - 850 mdpl. 4. Kecamatan Sidomukti berada pada ketinggian ± 515 m - 650 mdpl.

Kondisi topografi Kota Salatiga terbagi dalam tiga bagian permukaan terdiri dari:24

a. Daerah bergelombang ± 65 % terdapat di wilayah Dukuh, Ledok, Kutowinangun, Salatiga, Sidorejo Lor, Bugel, Kumpulrejo, dan Kauman Kidul.

b. Daerah miring ± 25 % terdapat di wilayah Tegalrejo, Mangunsari, Sidorejo Lor, Sidorejo Kidul, Tingkir Lor, Pulutan, Kecandran, Randuacir, Tingkir Tengah, dan Cebongan.

22

Badan Statistik Kota Salatiga, Op.cit. hal. 7

23

Profil Daerah Kota Salatiga, Badan Perencanaan Daerah Kota Salatiga 2010, hal.3

24

(23)

c. Daerah datar ± 10 % terdapat di wilayah Kalicacing, Noborejo, Kalibening, dan Blotongan.

Secara administrasi dikelilingi dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Semarang. Beberapa desa yang termasuk dalam Wilayah Kabupaten Semarang dan menjadi batasan-batasan tersebut adalah sebagai berikut :25

 Sebelah Utara : Kecamatan Pabelan (Desa Pabelan, Desa Pejaten).

 Sebelah Timur : Kecamatan Pabelan (Desa Ujung-ujung, Desa Sukoharjo dan Desa Glawan), Kecamatan Tengaran (Desa Bener, Desa Tegal waton dan Desa Nyamat).

 Sebelah Selatan : Kecamatan Getasan (Desa Sumogawe, Desa Samirono dan desa Jetak).

 Sebelah Barat : Kecamatan Tuntang (Desa Candirejo, Desa Jombor, Desa Sraten dan Desa Gedangan) dan Kecamatan Getasan (Desa Polobogo). Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2014 tercatat sebesar 5.678,110 hektar atau 56.781 km². Luas Wilayah Kota Salatiga terbagi dalam 4 Kecamatan dan 22 Kelurahan, pembagian wilayah Kota Salatiga dengan luas masing-masing Kecamatan dan Kelurahan dengan luas tanah sebagai berikut :

25

(24)

Tabel 1

Luas Lahan Masing-Masing Kecamatan dan Kelurahan Kota Salatiga(Ha)

Sumber : Kantor Pertanahan Kota Salatiga, 11 Agustus 2015

Berdasarkan tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa, kecamatan di Kota Salatiga yang memiliki wilayah paling luas adalah Kecamatan Argomulyo dengan luas wilayah 1.852,69 Ha, dan kelurahan yang memiliki wilayah paling luas adalah Kelurahan Kumpulrejo dengan luas wilayah 629,03 Ha.

b. Tata Guna Tanah di Salatiga

Dalam penggunaan tanah diperlukan adanya penatagunaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah agar penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah

Kecamatan Kelurahan

Luas

(Ha) Kecamatan Kelurahan

Luas (Ha) Argomulyo 1.852,69 Sidomukti 1.145,85 Ledok 187,33 Kecandran 399,2 Tegalrejo 188,43 Dukuh 377,15 Noborejo 332,2 Mangunsari 290,77 Cebongan 138,1 Kalicacing 78,73 Kumpulrejo 629,03 Sidorejo 1.624,72 Randuacir 377,6 Pulutan 237,1 Tingkir 1.054,85 Blotongan 423,8

Tingkir Tengah 137,8 Sidorejo Lor 271,6

Tingkir Lor 177,3 Salatiga 202

Kalibening 99,6 Bugel 294,37 Sidorejo Kidul 277,5 Kauman Kidul 195,85 Kutowinangun 293,75 Gendongan 68,9

(25)

sesuai kebutuhan kegiatan pembangunan dan arahan fungsi Rencana Tata Ruang Wilayah. Pengertian Penatagunaan tanah yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah adalah pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.26 Penataagunaan tanah dilakukan bertujuan untuk sebagai berikut :27

1. Mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah,

2. Mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang wilayah,

3. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah,

4. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan.

Penggunaan tanah merupakan proses yang selalu dinamis dan dapat mencerminkan aktivitas penduduk suatu wilayah atau daerah tertentu. Selain itu penggunaan tanah merupakan salah satu faktor utama aktivitas ekonomi penduduk untuk menunjang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari luas lahan Kota Salatiga 56.781 km², penggunaan tanah di Salatiga per tahun 2013-2014 dilaksanakan untuk perumahan, jasa, perusahaan, perindustrian, pertanian

26 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004

tentang Penatagunaan Tanah

27

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah

(26)

meliputi sawah, tegalan, perkebunan dan lain-lain sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut :

Tabel 2

Penggunaan Lahan Kota Salatiga Tahun 2014 (Ha) Lahan Luas (Ha) 2013 2014 1 2 3 Daerah Terbangun 2.174,20 2.182,59 a. Perumahan 1.793,5400 1.800,8063 b. Jasa 225,7854 225,9736 c. Perdagangan 86,5400 87,4645 d. Perindustrian 68,3430 68,3430 Lahan Pertanian 3.503,91 3.495,52 a. Sawah 715,4194 713,8808 b. Tegalan 2.496,3400 2.489,4918 c. Perkebunan 180,9800 180,9800 d. Lainnya 111,1700 111,1700 JUMLAH 5.678,1100 5.678,1100

Sumber : Kantor Pertanahan Kota Salatiga, 11 Agustus 2015

Dari tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa, penggunaan lahan di Kota Salatiga hingga 2014 sebagian besar digunakan untuk perumahan, lahan yang digunakan sebesar 1.800,81 Ha. Pada tahun 2014 yang naik jumlah penggunaan lahannya seluas 7,27 Ha dari tahun sebelumnya yang penggunaannya hanya seluas 1.793,54 Ha. Sedangkan, penggunaan lahan Kota Salatiga yang paling kecil penggunaannya adalah penggunaan tanah untuk Perindustrian yang jumlahnya relatif sama dari tahun 2013 sampai dengan 2014 seluas 68,343 Ha.

Penggunaan lahan untuk perumahan lebih besar karena dipengaruhi pertumbuhan penduduk Kota Salatiga yang terus bertambah. Pada tahun 2013 tercatat jumlah penduduk Kota Salatiga berjumlah 178.594 jiwa, dan pada tahun

(27)

2014 jumlah penduduk meningkat menjadi 181.193 jiwa.28 Pertambahan jumlah penduduk tersebut memungkinkan permintaan akan tanah untuk perumahan meningkat. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk pembangunan perumahan tersebut adalah dengan alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian.

2. Pemilikan Lahan Pertanian Sawah Oleh Petani Terkait Pasal 8 Undang-Undang No.56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

a. Lahan Pertanian Sawah Kota Salatiga

Pemerintah Kota Salatiga melalui Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) telah melakukan pemetaaan tanah pertanian sawah di sejumlah kelurahan yang tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga tahun 2010-2030. Pemetaan pertanian sawah tersebut dilakukan untuk melindungi lahan pertanian sawah demi ketahanan pangan yang ada agar tidak dialih fungsikan. Sawah yang tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga tahun 2010-2030 yang dipetakan oleh BAPPEDA meliputi:

1. Sawah Lestari adalah lahan pertanian berupa sawah yang tidak boleh dikonversi dengan kegiatan non pertanian dalam rangka mencegah dan mengendalikan konversi (alih fungsi) lahan pertanian ke penggunaan non pertanian untuk mewujudkan stabilitas ketahanan pangan dan menyangga produksi pangan secara nasional.29

28

Badan Statistik Kota Salatiga, Salatiga Dalam Angka 2015, Hal. 48

29

(28)

2. Sawah Dipertahankan Dengan Syarat adalah lahan pertanian berupa sawah yang dibolehkan dikonversi dengan kegiatan non pertanian dengan syarat apabila alih fungsi yang dilakukan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

3. Sawah dapat dialih fungsikan yaitu lahan pertanian berupa sawah yang dibolehkan dilakukan konversi ke non pertanian.

(29)

Gambar 1

Peta Sawah Kota Salatiga

Keterangan :

1. Warna Hijau Tua : Sawah Lestari

2. Warna Hijau Muda : Sawah Dipertahankan Dengan Syarat 3. Warna Titik Hijau Muda : Sawah dapat dialih fungsikan

(30)

Dari gambar pemetaan lahan pertanian sawah di atas dapat dilihat bahwa Pemerintah Kota Salatiga memang memperbolehkan untuk dilakukannya alihfungsi lahan pertanian sawah ke non pertanian. lahan yang dapat dialih fungsikan terdapat pada Kelurahan Ledok, Kelurahan Noborejo dan Kelurahan Pulutan. Dari gambar pemetaan diatas dapat dilihat bahwa lahan pertanian yang sawah yang dapat dialih fungsikan paling besar berada di Kelurahan Pulutan. Sedangkan lahan pertanian yang sawah yang dapat dialih fungsikan paling sedikit berada di Kelurahan Noborejo.

Lahan pertanian di Salatiga seluas 3.495,52 Ha,30 yang terdiri dari lahan pertanian sawah seluas 713,8808 Ha, lahan tegalan seluas 2.489,4918 Ha, lahan perkebunan seluas 180,9800 Ha dan lainnya seluas 111,1700 Ha, yang tersebar diseluruh wilayah Kecamatan Kota Salatiga. Berikut adalah tabel luasan lahan pertanian sawah yang tersebar di seluruh Kecamatan Kota Salatiga:

30

(31)

Tabel 3

Pendataan Luas Lahan Sawah Kota Salatiga Tahun 2014(Ha)

Sumber : Kantor Pertanahan Kota Salatiga, 11 Agustus 2015 No Kecamatan Luas Lahan (BPS) Luas Lahan (Kelurahan) Luas Lahan (Kel. Tani) Luas Lahan (BAPPEDA) Luas Lahan (BPN) Sawah (Ha) Sawah (Ha) Sawah (Ha) Sawah (Ha) Sawah (Ha)

I Argomulyo 29.671 13.135 10 13.64 155.410 Noborejo 2.635 2.635 - - - Cebongan 14.604 0.5 - - - Randuacir - - - - - Ledok 12.432 10 10 13.64 - Tegalrejo - - - - - Kumpulrejo - - - - - II Tingkir 311.577 324.651 309 235.99 277.054 Tingkir Tengah 51.201 49.4 50 42.50 - Tingkir Lor 75.992 75.9 75 65.83 - Kalibening 56.078 69.69 54 34.83 - Sidorejo Kidul 83.491 83.661 84 55.42 - Kutowinangun 44.815 46 46 37.41 - Gendongan - - - - - III Sidomukti 61.799 40.27 50 48.84 597.497 Kecandran 30.899 - 28 30.64 Dukuh 2.279 2.34 - - Mangunsari 28.621 37.93 22 18.20 Kalicacing - - - - IV Sidorejo 381.737 255.255 307.07 325.75 321,4923 Pulutan 130.543 67.2 102 113 - Blotongan 75.989 50 55 57.65 - Sidorejo Lor 31.762 10 31.76 15.22 - Salatiga 20.675 18.76 18.5 15.76 - Bugel 48.442 48.44 28.81 35.82 - Kauman Kidul 74.326 60.855 71 87.49 - Jumlah 784,784 337,786 319 624,22 673,3870

(32)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa di Kota Salatiga ada 5 penetapan luas lahan pertanian sawah, namun kelima penetapan tersebut tidak ada yang sama jumlah luasannya. Hal ini dapat dimungkinkan kesemua penetapan tersebut tidak sama dengan luasan lahan pertanian sawah yang ada sekarang ini.

b. Jumlah Petani Kota Salatiga

Dengan adanya lahan pertanian di Kota Salatiga, maka tentu saja ada petani yang mengerjakan atau menggarap lahan pertanian tersebut sesuai dengan fungsinya. Dari jumlah 178.594 penduduk, di Kota Salatiga terdapat 8.180 Petani.31 Jumlah petani tersebut terbagi menjadi 2 golongan, yaitu Petani Pemilik Lahan dan Buruh Tani. Yang dimaksud dengan petani Pemilik Lahan yaitu petani yang memiliki lahan usaha sendiri serta lahan tersebut diusahakan atau digarap sendiri dan status lahannya milik sendiri. Sedangkan, Buruh Tani adalah petani pemilik lahan atau tidak memiliki lahan usaha tani sendiri yang biasa bekerja di lahan usaha tani petani pemilik atau penyewa dengan mendapat upah, berupa uang atau barang hasil usaha tani, seperti beras atau makanan lainnya. Hubungan kerja di dalam usaha tani tidak diatur oleh suatu perundang-undangan perburuhan sehingga sifat hubungannya bebas sehingga kontinyuitas kerja bagi buruh tani yang bersangkutan tidak terjamin.32 Jumlah masing-masing antara petani pemilik lahan dan buruh tani yang tersebar di wilayah Kota Salatiga sebagaimana yang tersebut dalam tabel berikut.

31

Badan Statistik Kota Salatiga, Op.cit. hal.54

32

(33)

Tabel 4

Jumlah Petani Salatiga 2013

Status Kecamatan Jumlah

Argomulyo Tingkir Sidomukti Sidorejo

1 2 3 4 5

Petani Pemilik

Lahan 1.578 197 731 1.078 3.584

Buruh Tani 480 304 1.602 2.210 4.596

Jumlah Petani 2058 501 2333 3298 8180

Sumber : Salatiga Dalam Angka 2014, Badan Pusat Statistik

Dalam tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa, persebaran jumlah petani sebagai pemilik lahan terbanyak berada di Kecamatan Argomulyo sebanyak 1.578 Orang dan untuk jumlah petani pemilik lahan paling sedikit berada di Kecamatan Tingkir yaitu 197 Orang. Sedangkan untuk buruh tani terbanyak berada di Kecamatan Sidorejo sebanyak 2.210 Orang dan untuk jumlah petani berstatus pemilik lahan paling sedikit berada di Kecamatan Tingkir yaitu 304 Orang.

Para petani Kota Salatiga sebagian besar menjadi anggota maupun pengurus dalam Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN). Dari jumlah petani yang ada di Kota Salatiga yaitu 8.180 orang, yang tergabung menjadi anggota maupun pengurus GAPOKTAN hanya 4163 petani.33 GAPOKTAN yang terbentuk di Kota Salatiga berjumlah 22 kelompok, yang tersebar di seluruh kelurahan-kelurahan Kota Salatiga. Jumlah petani yang tergabung dalam GAPOKTAN masing-masing kelurahan sebagaimana terebut dalam tabel berikut ini :

33

(34)

Tabel 5

Angka Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Kota Salatiga

Kecamatan Kelurahan

Nama Gapoktan

Jumlah Anggota Total Anggota KD KW KP 1 2 3 4 5 6 7 8 1 . Sidorejo Pulutan 1. Sumber Makmur 212 - 24 236

Bugel 2. Makaryo Tani 93 30 - 123

Kauman Kidul 3. Prima Agung 188 - - 188

Blotongan 4. Ngudi Tani 193 - - 193

Sidorejo Lor 5. Tani Makmur 62 - - 62

Salatiga

6. Salatiga

Makmur 47 - - 47

2

. Tingkir Tingkir Lor

1. Ngudi

Raharjo 188 37 - 225

Tingkir Tengah 2. Margo Rukun 189 60 40 289 Sidorejo Kidul 3. Sari Mulyo 202 81 35 318 Kutowinangun

4. Ngudi

Makmur 120 63 - 183

Kalibening 5. Berkah Hasil 69 20 - 89

Gendongan 6. Sidodadi 38 13 - 51

3

. Argomulyo Randuacir 1. Ngudi Mulyo 200 56 - 256 Kumpulrejo 2. Sedyo Makmur 431 30 21 482 Noborejo 3. Jatayu 318 103 51 472 Cebongan 4. Bina Bumi Pertiwi 111 58 - 169

Ledok 5. Jogo Tani 88 14 - 102

Tegalrejo 6. Wargo Mulyo 92 - - 92

4

. Sidomukti Dukuh 1. Sedyo Mulyo 88 - - 88

Mangunsari 2. Dadi Makmur 187 30 - 217

Kecandran 3. Tani Makmur 144 55 15 214

Kalicacing

4. Kalicacing

Berkarya 67 - - 67

Jumlah Gapoktan Kelurahan 22 Jumlah Keseluruhan 4163

Sumber : Dinas Pertanian Kota Salatiga 2015

Keterangan : KD: Kelompok Dewasa, KW : Kelompok Wanita, KP : Kelompok

(35)

Dari tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa, Gapoktan dengan anggota terbanyak berada di Kelurahan Kumpulrejo dengan jumlah anggota sebanyak 482 Petani, Gapoktan terbanyak kedua jumlah anggotanya berada di Kelurahan Noborejo dengan jumlah anggota sebanyak 472 Petani dan Gapoktan yang paling sedikit memiliki anggota berada di Kelurahan Gendongan yang hanya beranggotakan 51 Petani. Untuk Kecamatan yang memiliki jumlah terbanyak petani menjadi anggota maupun pengurus Gapoktan yaitu Kecamatan Argomulyo sebanyak 1547 Petani, terbanyak kedua yaitu Kecamatan Tingkir yang berjumlah 1155 Petani dan Kecamatan yang paling sedikit jumlah petani yang tergabung menjadi anggota maupun pengurus Gapoktan yaitu Kecamatan Sidomukti yang hanya berjumlah 586 Petani.

c. Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Non Pertanian Kota Salatiga

Salatiga merupakan kota yang tumbuh dan berkembang cukup pesat. Alih fungsi lahan pertanian menyebabkan penyusutan lahan pertanian. Berdasarkan tabel 2 diatas, penyusutan lahan pertanian di Salatiga mencapai 8,39 Ha yang mana pada tahun 2013 tercatat jumlah lahan pertanian mencapai 3.503,91 Ha, berkurang menjadi 3.495,52 Ha pada tahun 2014.34 Tanah pertanian yang dialih fungsikan terdiri dari lahan pertanian sawah dan lahan pertanian tegalan. Alih fungsi lahan pertanian yang sawah maupun yang tegalan di Kota Salatiga pada tahun 2014 tersebar di 4 Kecamatan Kota Salatiga sebagaimana tersebut dalam tabel berikut.

34

(36)

Tabel 6

Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah Kota Salatiga Tahun 2014 (Ha)

No Kecamatan dan Kelurahan Luas Lahan Sawah Tahun 2013 Luas Lahan Sawah Yang Dialih Fungsikan Tahun 2013 Luas Lahan Sawah Tahun 2014 Luas Lahan Sawah Yang Dialih Fungsikan Tahun 2014 1 2 3 4 5 6 I Argomulyo - 1,031 1. Randuacir - 1,031 II Tingkir 2,948 1. Tingkir Tengah - 2,338 2. Kalibening - 0,610 III Sidomukti 0,616 - 1. Dukuh 0,616 - IV Sidorejo 1,182 16,362 1. Pulutan 1,182 0,830 2. Blotongan - 3,517 3. Sidorejo Lor - 4,078 4. Salatiga - 3,859 5. Kauman Kidul - 4,078 Jumlah 715,4194 1,798 713,3214 20,341

Sumber : Kantor Pertanahan Kota Salatiga, 11 Agustus 2015

Dari tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa, jumlah alih fungsi lahan pertanian sawah pada tahun 2013 di Kota Salatiga mencapai 1,798 Ha yang meningkat jumlahnya pada tahun 2014 menjadi 20,341 Ha. Pada tahun 2013, alih fungsi lahan pertanian sawah terbesar terjadi di Kecamatan Sidorejo yang mencapai seluas 1,182 Ha, dan paling sedikit terjadi di Kecamatan Sidomukti seluas 0,616 Ha. Pada tahun 2014 jumlah alih fungsi lahan pertanian sawah ke non pertanian di

(37)

Kota Salatiga tersebut meningkat menjadi seluas 20,341 Ha. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi terbesar di Kecamatan Sidorejo mencapai seluas 16,362 Ha, terbesar kedua terjadi di Kecamatan Tingkir yang mencapai seluas 2,948 Ha dan paling sedikit alih fungsi terjadi di Kecamatan Argomulyo hanya seluas 1,031 Ha. Selain lahan pertanian yang sawah, terdapat pula tanah pertanian tegal yang dialihfungsikan sebagaimana disebutkan dalam tabel berikut :

(38)

Tabel 7

Alih Fungsi Lahan Pertanian Tegal Kota Salatiga Tahun 2014 (Ha)

Kecamatan dan Kelurahan Luas Lahan Tegal Tahun 2013 Luas Tanah Tegal Yang Dialih Fungsikan Tahun 2013 Luas Lahan Tegal Tahun 2014 Luas Tanah TegalYang Dialih Fungsikan Tahun 2014 1 2 3 4 5 6 I Argomulyo 14,433 31,453 1. Noborejo - 0,748 2. Cebongan - 12,98 3. Randuacir 1,449 1,5 4. Ledok - 8,7 5. Tegalrejo 5,086 6,615 6. Kumpurejo 7,898 0,91 II Tingkir 9,483 15,524 1. Tingkir Tengah 4,355 - 2. Kalibening 1,985 0,12 3. Sidorejo kidul 2,343 1,863 4.Kutowinangun 0,8 13,541 III Sidomukti 24,449 26,798 1. Kecandran - 0,947 2. Dukuh 20,884 14,59 3. Mangunsari 3,565 11,171 IV Sidorejo 28,827 22,6 1. Pulutan 5,291 3,764 2. Blotongan 8,579 6,509 3. Sidorejo Lor 9,075 3,789 4. Salatiga 1,293 6,88 5. Bugel 0,901 0,675 6. Kauman Kidul 3,688 1,016 Jumlah 2.496,34 77,192 2.429,15 96,303

Sumber : Kantor Pertanahan Kota Salatiga, 11 Agustus 2015

Dari tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa, pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 alih fungsi lahan pertanian tegal meningkat pesat. Alih fungsi lahan pertanian tegal pada tahun 2013 seluas 77,192 Ha. Alih fungsi lahan pertanian tegal terbesar pada tahun 2013 terjadi di Kecamatan Sidorejo mencapai seluas

(39)

28,827 Ha, terbesar kedua alih fungsi lahan pertanian tegal terjadi di Kecamatan Sidomukti mencapai seluas 24,449 Ha, terbesar ketiga alih fungsi lahan pertanian tegal terjadi di Kecamatan Argomulyo mencapai seluas 14,433 Ha, dan paling sedikit terjadi alih fungsi tersebut di Kecamatan Tingkir yang hanya seluas 9,843 Ha.

Pada tahun 2014 tidak hanya alih fungsi lahan pertanian sawah ke non pertanian di Kota Salatiga yang meningkat, alih fungsi lahan pertanian tegal ke non pertanian juga meningkat cukup banyak. Jumlah alih fungsi lahan pertanian tegal pada tahun ini mencapai 96,303 Ha. Pada tahun 2014 alih fungsi lahan pertanian tegal terbesar terjadi di Kecamatan Argomulyo yang mencapai seluas 31,453 Ha, terbesar kedua alih fungsi lahan pertanian tegal terjadi di Kecamatan Sidomukti yang mencapai seluas 26,798 Ha, terbesar ketiga alih fungsi lahan pertanian tegal tejadi di Kecamatan Sidorejo yang mencapai seluas 22 Ha dan paling sedikit jumlah alih fungsinya terjadi di Kecamatan Tingkir yang hanya seluas 15,524 Ha.

d. Prosedur Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Non Pertanian Kota Salatiga

Sejak tahun 2011 Kota Salatiga mengalami kegiatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Dalam pelaksanaan alih fungsi pertanian menjadi non pertanian tersebut harus memperhatikan beberapa hal antara lain adalah peraturan perundang-undangan, prosedur, dan pihak-pihak yang berwenang. Salah satu peraturan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan alih fungsi tanah pertanian adalah peraturan mengenai

(40)

tata ruang wilayah. Kota Salatiga pada tanggal 8 Agustus 2011 mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030.

Pemberian ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian diatur dalam Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/107/1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang Tidak Terkendalikan. Tata cara pemberian ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian Kota Salatiga adalah:35

1. Pemohon mengajukan permohonan ijin perubahan lahan pertanian ke non pertanian kepada Walikota Salatiga lewat Kantor Pertanahan Kota Salatiga.

2. Setelah menerima permohonan dan telah membayar biaya, Panitia melakukan sidang dan pemeriksaan tanah ke lapang.

3. Setelah dilakukan peninjauan lapang, Berita Acara Hasil Pemeriksaan lapang diajukan kepada Walikota Salatiga.

4. Berdasarkan Berita Acara Sidang Pemeriksaaan Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian, Kepala Kantor Pertanahan Kota Salatiga mengeluarkan Surat Keputusan tentang diterima atau tidaknya permohonan tersebut.

5. Surat Keputusan tersebut diterbitkan 10 hari setelah Berita Acara diterima oleh Walikota Salatiga.

6. Penyerahan keputusan permohonan ijin perubahan lahan pertanian ke non pertanian kepada pemohon.

35

(41)

Dalam prosedur tata cara diatas terdapat Panitia Pertimbangan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian, panitia tersebut dibentuk oleh Walikota.36 Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian Kota Salatiga menurut Keputusan Walikota Salatiga Nomor 591.05/23/2002 tentang Panitia Pertimbangan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian, adalah :

a. Kepala Kantor Pertanahan selaku Ketua merangkap Anggota.

b. Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda selaku Wakil Ketua merangkap Anggota.

c. Kepala Seksi Penataagunaan Tanah Kantor Pertanahan selaku Sekretaris bukan Anggota.

d. Ketua Bappeda selaku Anggota.

e. Kepala Bagian Hukum dan Organisasi Tata Laksana Setda selaku Anggota. f. Kepala Bagian Perekonomian Setda selaku Anggota Tidak Tetap.

g. Kepala Dinas Pertanian selaku Anggota.

h. Kepala Dinas Pekerjaan Umum selaku Anggota Tidak Tetap i. Camat setempat selaku Anggota.

j. Lurah setempat selaku Anggota.

Prosedur seperti diatas yang sudah terjadi adalah kegiatan alih fungsi lahan pertanian sawah dalam kategori yang dapat di alih fungsikan sebagai nampak pada halaman 41 gambar 1.

36

Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/107/1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian yang TidakTerkendalikan

(42)

3. Upaya Pemerintah Kota Salatiga

a. Kebijakan Alih Fungsi Lahan Pertanian Kota Salatiga

Kebijakan Pemerintah Kota Salatiga terkait Alih fungsi lahan pertanian mengacu pada Peraturan Daerah Kota Salatiga No 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dapat dilakukan, apabila lahan yang akan dialih fungsi tersebut bukan merupakan lahan pertanian sawah lestari dan lokasi lahan yang dialih fungsikan sesuai dengan penetapan lokasi RTRW Kota Salatiga.37

b. Larangan Alih Fungsi

Mengenai larangan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian,diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan Dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang menyatakan bahwa “Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialih fungsikan”. Di Kota Salatiga, kebijakan Pemerintah setempat hanya membatasi alih fungsi lahan pertanian, hal ini tertuang dalam Pasal 55 Ayat (8) huruf a Peraturan Daerah Kota Salatiga No 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030, yang berbunyi “Rencana pengembangan kawasan peruntukan pertanian meliputi : a. Pembatasan alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan untuk kegiatan non pertanian”. Pelarangan alih fungsi lahan pertanian di Kota Salatiga hanya meliputi alih fungsi lahan pertanian sawah lestari. Hal ini dikarenakan sawah lestari merupakan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dilindungi oleh Pemerintah guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian,

37

Referensi

Dokumen terkait

Kota Malang diidentikkan dengan kuliner khas berupa bakso, terbukti industri kecil pengolah bakso berkembang dengan pesat karena daya terima konsumen terhadap

Berdasarkan hasil yang tersaji pada tabel di atas, diketahui bahwa orientasi etika, komitmen profesi serta intensitas moral memiliki koefisien regresi yang

Penegakan hukum terkait kedua bentuk pelanggaran tersebut termuat dalam Pasal 113 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang

Pariwisata adalah aktifitas manusia yang dilakukan secara sadar, yang mengadakan pelayanan secara bergantian diantara orang-orang dalam suatu negara itu sendiri atau di luar

Untuk menyelesaikan masalah yang ada pada KWT Dusun Pulo, solusi yang dilakukan oleh tim pengabdi antara lain metode penyuluhan yaitu berupa penyuluhan tentang

Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan tentang (1) Pemerintahan Daerah dan Otonomi Daerah; (2) Peraturan yang mencakup

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya yang telah memberikan kekuatan dan pikiran yang jernih sehingga dapat menyelesaikan

Walaupun pengobatan bersama dengan HAART dan terapi TB dinyatakan aman, satu penelitian menemukan bahwa dosis obat anti- TB rifabutin yang lebih rendah tidak mencapai tingkat