• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM MENGATASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM MENGATASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR SKRIPSI"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus di Desa Petung dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam dalam Ilmu Hukum Islam

Oleh :

MUHAMAD SOBIRIN

NIM. 211.05.013

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)

P E N G E S A H A N

JUDUL SKRIPSI : Peran Pegawai Pencatat Nikah Dalam Mengatasi Perkawinan Di Bawah Umur

NAMA : Muhamad Sobirin NIM : 211.05.013

Telah diuji didepan sidang Munaqosyah pada tanggal 22 Ramadhan 1430 H/ 12 September 2009 M dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam dalam Ilmu Hukum Islam.

22 Ramadhan 1430 H Salatiga,

12 September 2009M Panitia Munaqosyah

K e t u a Sekretaris

Drs. Imam Sutomo, M.Ag. Drs. H. Muh. Saerozi, M.Ag. NIP. 19580827198303 1002 NIP. 19660215199103 1001

Penguji I Penguji II

Dra. Siti Zumrotun, M.Ag Dr. Adang Kuswaya, M.Ag NIP. 19670115 1998032002 NIP. 197205311998031002

Pembimbing

Moh. Khusen, M.Ag, MA NIP.197412121999031003

(3)

Hidup adalah soal keberanian menghadapi tanda tanya tanpa kita bisa mengerti tanpa kita bisa menawar. Maka hadapilah..

PERSEMBAHAN

(4)

Warhamhuma kama rabbayani saghira

Kupersembahkan karya ini.

(5)

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi-materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan

Demikian juga skripsi ini tidak berisi tulisan ataupun pikiran-pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Apabila kemudian hari ternyata teradapat materi atau pikiran-pikiran orang lain diluar referensi yang penulis cantumkan, maka penulis sanggup mempertanggungjawabkan kembali keaslian skripsi ini dihadapan sidang Munaqosyah skripsi.

Salatiga, 12 September 2009 Penulis

(6)

NIM : 211.05.013

Tempat, Tgl. Lahir : Kab. Semarang, 19 Agustus 1986 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl.KH. Juwedi No. 10 Kaliwaru Tengaran Rt.25/5 Kab. SSemarang 50775 Riwayat Pendidikan :

1. RA Masyitoh Kaliwaru Tengaran tamat dan berijazah tahun 1990 2. MI Tengaran tamat dan berijazah tahun 1998

3. MTsN Salatiga tamat dan berijazah tahun 2000

4. SMK TELEKOMUNIKASI Salatiga tamat dan berijazah tahun 2004 5. STAIN Salatiga Jurusan Syari’ah Program AHS Angkatan2005

Salatiga, September 2009

(7)

viii

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telahmelimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahNya. Sholawat serta salam mudah-mudahan tercurahkan ke pangkuan Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarganya dan segenappengikutnya.

Selanjutnya kepada pihak-pihak yang telah turut membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya, terutama kepada yang terhormat:

1. Bapak Drs. Imam Sutomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga.

2.aBapak Moh. Khusen,M.Ag,MA., yang dengan penuh lapang dada membimbing, memberi nasihat dan arahan sejak awal hingga akhir penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Bapak dan Ibu Dosen STAIN Salatiga serta segenap civitas akademika khususnya kepadaBapak Muhtarom Effendhi, S.H. dan staf perpustakan STAIN Salatiga yang telah memberikan layanan perpustakaan dengan ramah dan baik, dan terutama membantu penulis memperoleh data dan literatur yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

4. Ayahanda Masrukhin dan Ibunda Mutiatun (Alm) yang ridla dan doa restunya senantiasa penulis harapkan.

(8)

ix

6. Kang Idin ,atas kebaikan hatinya merelakan komputernya buat ngrampungin skripsi ini.

Kepada semuanya, penulis berdoa jazakumullahu khairal jaza’.

Penulis sadar sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya dan semoga mendapatkan ridla dari Allah SWT. Amin.

Salatiga, September 2009 P e n u l i s

(9)

x

LEMBAR LOGO... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ... iv

DEKLARASI ... v

MOTTO PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah --- 1

B. Penegasan Istilah --- 4

C. Rumusan Masalah --- 5

D. Tujuan Penelitian Dan Kegunaan --- 5

E. Tinjauan Pustaka --- 6

F. Kerangka Teori --- 8

G. Metode Penelitian --- 11

H. Sistematika Pembahasan--- 13

BAB II : TINJAUAN NORMATIF PERKAWINAN DI BAWAH UMUR A. Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Fiqh dan Perundang-undangan --- 15

(10)

xi

B. KUA Pakis dan Penanggulangan perkawinan

Di Bawah Umur --- 29

BAB III : LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Desa Petung --- 36 B. Perkawinan Di Bawah Umur Di Desa Petung --- 42 C. Pelayanan Perkawinan di KUA Pakis --- 47 D. Usaha-usaha PPN Dalam Meminimalisir Praktek Perkawinan

Di Bawah Umur --- 53 BAB IV: ANALISIS

A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Perkawinan

Di Bawah Umur. --- 55 B. Analisis Terhadap Pelayanan Perkawinan

Di KUA Pakis --- 59 C. Analisis Terhadap Usaha-usaha Petugas PPN

(11)

xii

Saran-saran --- 64 DAFTAR PUSTAKA

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi sebagian masyarakat, perkawinan di bawah umur masih dipandang sebagai sesuatu yang fenomenal. Setidaknya orang masih terkejut mendengar anak seusia SMP atau SMA tiba-tiba melangsungkan akad nikah. Diakui atau tidak perkawinan di bawah umur memang masih memiliki konotasi negatif, masih banyak yang beranggapan bahwa pernikahan dini identik dengan bangunan rumah tangga yang kacau, terlalu tergesa-gesa dan dilakukan tidak dengan perencanaan yang matang.

Dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa:

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun; Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dan pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.1

Usia menurut Islam semacam standar formal untuk mengetahui perubahan fisik berkaitan dengan kemampuan biologis, bukan menjadi tema pokok dalam pernikahan. Yang menjadi tema sentral adalah soal kematangan diri (kedewasaan) dalam menjalani bahtera rumah tangga. Misalnya mengelola hubungan suami istri secara baik serta melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan peran masing-masing secara setara dan berimbang.

1

Amir Martosedono, Apa dan Bagaimana Undang-undang No.1 1974, Dahara Prize. Semarang, cet.II. hlm. 19.

(13)

Sedangkan menurut Fiqh tidak disebutkan secara jelas batasan usia untuk menikah,seseorang diperbolehkan untuk menikah jika sudah dewasa (baligh) memiliki kemampuan bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah

al-ada’al-kamilah).2

Kedewasaan memang memiliki peranan penting dalam membina rumah tangga. Sebab kecenderungan orang yang sudah dewasa adalah mampu menghadapi masalah dan menyelesaikannya dengan pandangan jauh ke depan, untuk lebih teliti dan tajam dalam mengurai masalah, serta lebih hati-hati dalam mengambil sikap.

Kedewasaan sebagai kematangan diri seseorang merupakan prasyarat untuk menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera. Dalam terminologi Islam, keluarga bahagia sejahtera yang dimaksud adalah keluarga yang sakinah

mawadah,dan rahmah. Sakinah berarti tentram yang meliputi mental (spiritual)

dan material, sedangkan mawaddah dan rahmah yang dimaksud adalah hubungan emosional antara suami istri diliputi rasa saling cinta dan kasih sayang. Dengan demikian, suatu perkawinan yang tidak didasari dengan kematangan diri, perasaan cinta dan kasih sayang antara dua insan maka untuk tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah akan sulit terwujud.

Perkawinan di bawah umur ternyata bukanlah persoalan yang fenomenal sehingga harus disikapi secara berlebihan. Perkawinan di bawah umur tidak lebih seperti perkawinan pada umumnya. Kenyataan ini sebagaimana terjadi di Desa Petung Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.

2

Aisyah Dachlan, Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peran Agama dalam Rumah

(14)

Dari hasil studi awal yang penulis lakukan berupa wawancara dengan beberapa Kadus dan sebagian masyarakat desa selama berlangsungnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) terungkap bahwa pada tahun 1990-an di Desa Petung Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang terdapat 25 pasangan suami istri yang melaksanakan perkawinan ketika usia mereka masih di bawah batas usia minimal yang telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7, yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk pihak wanita.

Dari penelusuran itu, juga ditemukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur faktor-faktor tersebut adalah rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi keluarga yang serba kekurangan dan tingkat kesadaran hukum yang masih rendah.

Seiring dengan perubahan zaman, pola pikir masyarakatpun ikut berkembang pada tahun 2000-an perkawinan di bawah umur mulai ditinggalkan, prosentasenya menurun 80 %3. Hal ini ternyata dipengaruhi pula oleh peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk meminimalisir pelaksanaan perkawinan di bawah umur tersebut.

Berdasarkan hal-hal di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang terjadi di Kecamatan Pakis dan bagaimanakah usaha-usaha yang dilakukan Petugas Pencatat Nikah dalam meminimalisir praktek perkawinan di bawah umur tersebut.

3

Wawancara dengan Bapak Soetrisno selaku Kadus Dusun Ngrangkah pada tanggal 06 Juni 2009

(15)

B. Penegasan Istilah

Untuk mempermudah pemahaman serta menghindari kesalahpahaman terhadap judul, maka terlebih dahulu dijelaskan maksud istilah dalam judul tersebut.

1. Peran

Tindakan yang dilakukan oleh seorang dalam suatu peristiwa.4 dalam hal ini adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh Petugas Pencatat Nikah guna meminimalisir praktek perkawinan di bawah umur.

2. Petugas Pencatat Nikah

Pegawai pada Kantor Urusan Agama yang mempunyai tugas mengawasi dan mencatat nikah dan rujuk serta menandatangani buku nikah, mendaftar cerai talak dan cerai gugat, serta melakukan bimbingan dan pelayanan kepenghuluan.5

3. Pernikahan Di Bawah Umur

Pernikahan yang dilakukan pada usia yang belum diperkenankan untuk menikah oleh Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, yaitu usia dibawah 16 tahun bagi wanita dan dibawah 19 tahun bagi pria.6

4

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 854.

5

Tim Penulis, Pedoman Penghulu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggara Haji Departemen Agama RI, Jakarta, 2005, hlm.23.

6

Ny. Soemiyati, S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undanga Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm.63.

(16)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah konsep perkawinan di bawah umur dalam Fiqh dan perundang-undangan?

2. Bagaimanakah pelaksanaan perkawinan di bawah umur di Desa Petung Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang?

3. Apakah pelayanan perkawinan di KUA Pakis sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku?

4. Bagaimanakah peran Petugas Pencatat Nikah dalam mengatasi terhadap perkawinan di bawah umur di Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang?

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui konsep perkawinan di bawah umur dalam Fiqh maupun perundang-undangan.

b. Untuk memperoleh data tentang pelaksanaan perkawinan di bawah umur di Desa Petung Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.

c. Untuk memperoleh data tentang pelayanan perkawinan di KUA Pakis. d. Untuk mengetahui usaha-usaha Petugas Pencatat Nikah mengatasi

(17)

2. Kegunaan Penelitian

a. Sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum Islam, serta menambah khasanah keilmuan Islam khususnya tentang pernikahan, dinamika dan problematikanya.

b. Sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam menentukan arah kebijakan khususnya dalam perkawinan pada masa mendatang.

c. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal al-Syakhsiyah STAIN Salatiga.

E. Telaah Pustaka

Penelitian ini tentu saja tidak berpretensi sebagai peneltian pertama tantang perkawinan di bawah umur, melainkan satu dari sekian banyak penelitian terdahulu mengenai tema ini. Pada Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal al-Syakhsiyah STAIN Salatiga sendiri sudah beberapa kali dilakukan penelitian mengenai perkawinan di bawah umur, meski tentu saja dengan fokus dan permasalahan yang berbeda.

Pada tahun 2002, Miftahussa’adah dalam penelitiannya yang berjudul

Perkawinan Dini dan Dampaknya Dalam Perspektif Hukum Islam

menjelaskan bahwa salah satu dampak yang diakibatkan oleh orang-orang yang menikah dalam usia dini adalah belum dapat menyelesaikan sendiri

(18)

permasalahan dalam keluarga, pengetahuan dalam merawat anak masih sangat minim. Dan belum bisa memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak.7 Selanjutnya pada tahun 2007, dalam peneltian yang berjudul Pernikahan

Dini Relevansinya dengan Pembentukan Keluarga Sakinah yang dilakukan

di dusun perengan, M. Khanifudin mencoba menyangkal persepsi mayoritas yang mengatakan bahwa pernikahan dini rentan dengan konflik, sarat dengan pertikaian hanya karena usia yang masih belia dan sikap serta mental yang belum matang. dalam penelitian tesebut terungkap bahwa dari 11 pasang responden yang melakukan perkawinan dini tidak ada yang berujung pada perceraian.8

Menurut penulis penelitian ini memiliki kelemahan, dikarenakan dalam penelitian itu standar yang digunakan untuk mengukur keluarga sakinah hanya berdasar pada perkawinan yang tidak berujung pada perceraian. Tentu hal ini tidak dapat dijadikan rujukan untuk membenarkan praktek perkawinan dibawah umur.

Dalam buku Problematika Hukum Islam Kontemporer, Dr.H Chuzaimah T. Yanggo dan Drs. H. Hafidz Anshori, A.Z. menerangkan bahwa masalah perkawinan dini merupakan urusan hubungan antar manusia yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk global. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia maksimal dan minimal untuk menikah, dapat dianggap suatu rahmat. Maka kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihadiyah, dalam

7

Miftahuss’adah, Perkawinan Dini dan Dampaknya Dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar S.H.I Pada Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal al Syakhsiyah STAIN Salatiga Tahun 2002, hlm.35.

8

M.Khanifudin, Pernikahan Dini Relevansinya dengan Pembentukan Keluarga Sakinah, Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar S.H.I Pada Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal al Syakhsiyah STAIN Salatiga Tahun 2007, hlm.40.

(19)

artikata diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seorang pantas menikah.9

Dengan demikian, penulis menegaskan bahwa penelitian yang akan penulis lakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang dan Desa Petung yang dalam hal ini merupakan wilayah hukumnya, berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu mengenai peran Petugas Pencatat Nikah dalam mengatasi perkawinan di bawah umur yang terjadi di Desa Petung Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.

F. Kerangka Teori

Di dalam Fiqh tidak diatur ketentuan tentang batas usia minimal dan maksimal untuk menikah, namun para ulama sepakat bahwa baligh merupakan syarat sah perkawinan.10 Tentang bagaimana batas dewasa antara laki-laki dan perempuan dapat dikemukakan disini, tanda-tanda kedewasaan (baligh) untuk laki-laki antara lain:

1. Ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya. Dalinya antara lain:

9

Dr.H Chuzaimah T. Yanggo dan Drs. H. Hafidz Anshori, Problematika Hukum Islam

Kontemporer, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, hlm.56.

10

Muhammad Baqir al-Habsyi, fiqh Praktis ( Seputar Perkawinan dan Warisan), Mizan, Bandung, 2003, hlm.71

(20)

Firman Allah SWT:

$yg•ƒr'¯»tƒ

šúïÏ%©!$#

(#qãZtB#uä

ãNä3RÉ‹ø«tGó¡uŠÏ9

tûïÏ%©!$#

ôMs3n=tB

óOä3ãZ»yJ÷ƒr&

tûïÏ%©!$#ur

óOs9

(#qäóè=ö7tƒ

zNè=çtø:$#

óOä3ZÏB

y]»n=rO

;Nº§•tB

4

`ÏiB

È@ö7s%

Ío4qn=|¹

Ì•ôfxÿø9$#

tûüÏnur

tbqãèŸÒs?

Nä3t/$u‹ÏO

z`ÏiB

ÍouŽ•Îg©à9$#

.`ÏBur

ω÷èt/

Ío4qn=|¹

Ïä!$t±Ïèø9$#

4

ß]»n=rO

;Nºu‘öqtã

öNä3©9

4

š[ø‹s9

ö/ä3ø‹n=tæ

Ÿwur

öNÎgøŠn=tæ

7y$uZã_

£`èdy‰÷èt/

4

šcqèùº§qsÛ

/ä3ø‹n=tæ

öNà6àÒ÷èt/

4’n?tã

<Ù÷èt/

4

y7Ï9ºx‹x.

ßûÎiüt7ãƒ

ª!$#

ãNä3s9

ÏM»tƒFy$#

3

ª!$#ur

íOŠÎ=tæ

ÒOŠÅ3ym

ÇÎÑÈ

#sŒÎ)ur

x÷n=t/

ã@»xÿôÛF{$#

ãNä3ZÏB

zOè=ßsø9$#

(#qçRÉ‹ø«tFó¡u‹ù=sù

$yJŸ2

tbx‹ø«tGó™$#

šúïÏ%©!$#

`ÏB

öNÎgÎ=ö6s%

4

š•Ï9ºx‹x.

ßûÎiüt7ãƒ

ª!$#

öNà6s9

¾ÏmÏG»tƒ#uä

3

ª!$#ur

íOŠÎ=tæ

ÒOŠÅ6ym

ÇÎÒÈ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan Pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu Telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”11

Hadist yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib:

,

.

12

11

Depag RI, Al Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung, 2006, hlm.87.

12

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. I, 1992 M/ 1412 H, hlm. 571., hadis no. 4403. shahih

(21)

2. Tumbuhnya rambut kemaluan

Tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak, baik menyangkut hak Allah atau hak anak Adam. Adapun dalil yang dijadikan hujjah antara lain adalah:

a) Dari ‘Athiyah, ia berkata:

.

13

b) Dari Samurah bin Jundub berkata:

.

14

3. Mencapai usia tertentu.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Diantara pendapat-pendapat tersebut antara lain:

:

.

15

Menurut ulama madzhab Hanafiyah anak laki-laki yang belum berusia delapan belas tahun belum bisa dikatakan baligh. Sedangkan menurut mereka pertumbuhan anak perempuan bisa dikatakan dewasa ketika sudah mencapai

13

At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, t.t, hlm. 675., hadis no. 1583. Dla’if

14

At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, t.t, hlm. 675., hadis no. 1583. Dla’if

15

Muhammad Ali As-Shoubuni, Rowai al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min Al Qur’an, jilid II, Dar alfikri, Beirut, t.t. hlm. 212.

(22)

tujuh belas tahun. Mereka beralasan bahwa ketentuan dewasa menurut syara’ adalah ihtilam (mimpi basah) dan menurut mereka ihtilam tidak diharapkan lagi datangnya jika umur sudah mencapai delapan belas tahun dan karena itu mereka menetapkan bahwa usia dewasa itu setelah umur delapan belas tahun.

:

16

.

Ulama Syafi’iah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai umur 15 tahun. Tetapi ketika umur belum sampai 15 tahun anak laki-laki ataupun perempuan sudah ihtilam, maka sudah dikatakan dewasa. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadi taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.

Adapun tanda-tanda baligh anak perempuan bisa seperti laki-laki, namun ditambah dengan keempatnya, yaitu haidh, berkembangnya alat-alat untuk berketurunan, serta membesarnya buah dada. Para ulama telah sepakat bahwa haidh merupakan tanda baligh bagi seorang wanita. Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata:

.

17 16 Ibid., hlm. 212 17

(23)

Selanjutnya teori yang penulis gunakan adalah pasal-pasal baik dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974, maupun Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, adalah sebagai berikut:

Pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-undang No.1 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun dan dalam penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua pihak pria atau pihak wanita.18

Kemudian dalam pasal 6 ayat 2 (c) PP No.9 tahun 1975 menerangkan bahwa izin tertulis / izin pengadilan sebagai maksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.19

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat 1 juga disebutkan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.20

Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 Pasal 1 Butir 1 disebutkan bahwa Kantor Urusan Agama Kecamatan yang

18

Amir, op. cit, hlm. 119. 19

Ibid., hlm.143.

20

Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1997, hlm.18.

(24)

selanjutya disebut KUA Kecamatan adalah instansi Departemen Agama yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah Kecamatan. Adapun tugas-tugas pokok KUA Kecamatan tercantum pada pasal 2 diantaranya memberikan pelayanan terhadap peristiwa perkawinan dan rujuk serta melakukan pembinaan keluarga sakinah, ibadah sosial, pangan halal, zakat, wakaf dan ibadah haji.21

Kemudian teori yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah uraian tugas kepala Kantor Urusan Agama yang dalam hal ini bertindak selaku Pegawai Pencatat Nikah yang diatur dalam KMA No. 73 Tahun 1996 tentang Nama dan Uraian Jabatan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan:

a. Memimpin Kantor Urusan Agama Kecamatan.

b. Menyusun rincian kegiatan Kantor Urusan Agama Kecamatan. c. Membagi tugas dan menentukan penanggung jawab kegiatan. d. Menggerakkan dan mengarahkan pelaksanaan tugas.

e. Memantau pelaksanaan tugas bawahan.

f. Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dan lembaga-lembaga keagamaan.

g. Meneliti keabsahan berkas calon pengantin dan proses pelaksanaan nikah, serta menanda tangani akte nikah.

21

(25)

h. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan perkawinan , kemasjidan, zakat, wakaf dan ibadah sosial. .22

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Field Research, yaitu terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas.23 Penelitian ini juga menggunakan pendekatan Fenomenologi yang berusaha memahami fenomena terjadinya perkawinan di bawah umur. Fakta-fakta yang ditemukan dilapangan sewaktu melakukan penelitian akan dikaji dan dianalisis. kemudian fakta-fakta itu dicari titik kaitnya sehingga bisa menjadi kesimpulan umum. Penelitian dengan model seperti ini menuntut peneliti untuk terjun langsung mencermati fenomena perkawinan di bawah umur yang telah terjadi sejak lama di Desa Petung Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.

2. Metode Pengumpulan Data

Sebagai upaya untuk memperoleh data yang valid tentang fenomena perkawinan di bawah umur dan usaha-usaha yang dilakukan Petugas Pencatat Nikah dalam meminimalisir perkawinan di bawah umur tersebut, penulis menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara penulis lakukan kepada Petugas Pencatat Nikah, Kepala Desa, 12 pasang responden, dan tokoh masyarakat sebagai data primer.

22

Ibid.,hlm.45.

23

Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Reseach I, Yayasan Penelitian Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1981, hlm. 4.

(26)

Sedangkan data skundernya adalah sumber-sumber kepustakaan sebagai referensi keilmuan sesuai dengan masalah penelitian. Sedangkan observasi yang penulis lakukan adalah observasi terlibat dimana penulis mengamati keadaan pelaku pelaku perkawinan di bawah umur serta keadaan masyarakat di Desa Petung selama kurang lebih 2 bulan penulis tinggal bersama mereka (participant observation). Penulis juga menggunakan metode dokumentasi untuk melengkapi dan menguatkan hasil wawancara dan observasi sehingga validitas kajian betul-betul teruji. Dokumentasi ini meliputi arsip-arsip kependudukan, dan data monografi desa tempat penelitian.

3. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis data dengan menggunakan metode deskriprif, yaitu penulis melakukan penyelidikan yang menuturkan, menggambarkan, menganalisa dan mengklarifikasikan penyelidikan dengan teknik survey, interview dan observasi. 24Proses analisis data dimulai dari menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari wawancara, pengamatan yang dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi dan tulisan dalam media massa. Langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi, menyusunnya dalam satuan-satuan, kemudian dikategorisasikan. Tahap akhir dari analisis adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, cek dan recek untuk mengahasilkan kerangka

24

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1991, hlm. 280.

(27)

analisis yang memiliki bingkai makna sambil menfsirkan data untuk memperoleh kesimpulan.

H. Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam penelitian tentang peran Petugas Pencatat Nikah dalam mengatasi perkawinan dibawah umur ini menggunakan sistematika penelitian yang dapat digambarkan sebagai berikut: Bagian muka terdiri dari halaman sampul, lembar logo, lembarpersetujuan pembimbing, lembar persetujuan dan pengesahan, pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar dan daftar isi.

Bagian isi terdiri dari: Bab I : Pendahuluan

Bab ini memuat latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah tujuan penelitian dan kegunaan, tinjauan pustaka, kerangaka teoritik metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat empat sub bab yaitu: Sejarah berdirinya Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakis, struktur kepegawian Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakis, perkawinan di bawah umur menurut perspektif Fiqh, perkawinan di bawah umur menurut perspektif perundang-undangan.

Bab III : Laporan Hasil Penelitian

Bab ini memuat tentang kondisi masyarakat Desa Petung yang meliputi kondisi Geografi, Demografi, kondisi ekonomi

(28)

masyarakat, kondisi sosial budaya masyarakat,dan kondisi agama masyarakat. Pelaksanaan perkawinan di bawah umur di Desa Petung, Pelayanan Perkawinan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakis dan Usaha-usaha PPN dalam Meminimalisir praktek perkawinan di bawah umur .

Bab IV : Analisis

Bab ini memuat tiga sub bab yaitu: analisis terhadap praktek pelaksanaan perkawinan di bawah umur di Desa Petung, analisis terhadap pelayanan perkawinan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakis dan analisis terhadap usaha-usaha PPN dalam meminimalisir praktek perkawinan di bawah umur. Bab V : Penutup

(29)

BAB II

TINJAUAN NORMATIF PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

A. Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Fiqh dan Perundang-undangan 1. Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Perspektif Fiqh

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-Nikah yang bermakna al-wathi’, al-dammu wa al-tadakhul, al-dammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat an al-wath wa al-aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.1 Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fiqh mendefinisikan perkawainan dalam konteks hubungan biologis. Menurut Wahbah al-Zuhaily nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wath’, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.2

Menurut Ulama Hanafiah, nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.3

1

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Juz VII, Dar al-Fikr, Beirut, 1989, hlm. 29.

2

Ibid.

3

Amiur Nuruddin, Hukum Peerdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm.39.

(30)

Menurut Hanabilah nikah adalah akad yang menggunakan lafaz

inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk

bersenang-senang.4

Imam Taqiyuddin di dalam kitabnya Kifayat al-Akhyar

mendefinisikan nikah sebagai, Ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah

al-wath’ (bersetubuh).5

Ahmad Azhar Basyir, didalam bukunya Hukum Perkawinan

Islam mendefinisikan nikah sebagai perjanjian untuk mengikatkan diri

antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagian hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.6

Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang merupakan suatu perjanajian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan perjanjian seperti perjanjian jual-beli atau sewa menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah adalah merupak perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara

laki-4

Ibid.

5

Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Iktiyar, Al-Ma’arif, Bandung, t.t, Juz II, hlm. 36

6

Ahmad Azhar Basyir, Hukim Perkawinan Islam, Bagian Penerbitan Fakultas Hukum Indonesia, Yogyakarta, 1977, hlm.10.

(31)

laki dan seorang wanita. Suci disini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan.

Undang-Undang Perkawinan merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut: ” Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.7 Kalau kita bandingkan rumusan menurut hukum Islam di atas dengan rumusan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan mengenai pengertian dari perkawinan tidak ada perbedaan yang prinsipiil.

Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Antara rukun dan syarat perkawinan itu ada perbedaan dalam pengertiannya. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedang yang dimaksud dengan syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat dari perkawinan itu sendiri. Kalau salah satu syarat-syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah.8 Adapun yang termasuk rukun perkawinan, yaitu hakekat dari perkawinan, supaya perkawinan dapat dilaksanakan ialah:

7

Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1976, hlm.12.

8

Mahmud Junus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Pustaka Mahmudiyah, Jakarta, 1964, hlm.64.

(32)

a. Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah yaitu mempelai pria dan wanita

b. Wali c. Saksi d. Akad nikah.

Tidak adanya ketentuan Fiqh tentang batas usia minimal dan maksimal untuk menikah, kiranya sesuai dengan pandangan umat ketika itu tentang hakikat perkawinan. Menurut mereka perkawinan itu tidak dilihat dari segi hubungan kelamin saja, tetapi dari segi pengaruhnya dalam menciptakan hubungan kekeluargaan..9

Dalam salah satu definisi perkawinan disebutkan bahwa perkawinan itu akan menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik antara suami dan istri, Adanya hak dan kewajiban atas suami dan istri mengandung arti bahwa pemegang tanggung jawab dan hak kewajiban itu sudah dewasa, memiliki kemampuan bertindak hukum secara sempurna. Sehingga perkawinan harus dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (baligh).Tanda-tanda kedewasaan (baligh) untuk laki-laki antara lain:

a..Ihtilam, yaitu keluarnya mani karena mimpi dalinya antara lain:

9

Muhammad Baqir al-Habsyi, fiqh Praktis (Seputar Perkawinan dan Warisan), Mizan, Bandung, 2003, hlm.56.

(33)

Firman Allah SWT:

$yg•ƒr'¯»tƒ

šúïÏ%©!$#

(#qãZtB#uä

ãNä3RÉ‹ø«tGó¡uŠÏ9

tûïÏ%©!$#

ôMs3n=tB

óOä3ãZ»yJ÷ƒr&

tûïÏ%©!$#ur

óOs9

(#qäóè=ö7tƒ

zNè=çtø:$#

óOä3ZÏB

y]»n=rO

;Nº§•tB

4

`ÏiB

È@ö7s%

Ío4qn=|¹

Ì•ôfxÿø9$#

tûüÏnur

tbqãèŸÒs?

Nä3t/$u‹ÏO

z`ÏiB

ÍouŽ•Îg©à9$#

.`ÏBur

ω÷èt/

Ío4qn=|¹

Ïä!$t±Ïèø9$#

4

ß]»n=rO

;Nºu‘öqtã

öNä3©9

4

š[ø‹s9

ö/ä3ø‹n=tæ

Ÿwur

öNÎgøŠn=tæ

7y$uZã_

£`èdy‰÷èt/

4

šcqèùº§qsÛ

/ä3ø‹n=tæ

öNà6àÒ÷èt/

4’n?tã

<Ù÷èt/

4

y7Ï9ºx‹x.

ßûÎiüt7ãƒ

ª!$#

ãNä3s9

ÏM»tƒFy$#

3

ª!$#ur

íOŠÎ=tæ

ÒOŠÅ3ym

ÇÎÑÈ

#sŒÎ)ur

x÷n=t/

ã@»xÿôÛF{$#

ãNä3ZÏB

zOè=ßsø9$#

(#qçRÉ‹ø«tFó¡u‹ù=sù

$yJŸ2

tbx‹ø«tGó™$#

šúïÏ%©!$#

`ÏB

öNÎgÎ=ö6s%

4

š•Ï9ºx‹x.

ßûÎiüt7ãƒ

ª!$#

öNà6s9

¾ÏmÏG»tƒ#uä

3

ª!$#ur

íOŠÎ=tæ

ÒOŠÅ6ym

ÇÎÒÈ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan Pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu Telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS.An Nur/24:54)10

10

Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung, 2006, hlm.87.

(34)

Pengambilan dalil dari ayat ini adalah bahwa hulm (ihtilam) dijadikan batas kewajiban bagi seorang anak untuk meminta ijin disemua waktu ketika ia hendak memasuki kamar orang tuanya. Ini adalah asal hukum dalam meminta ijin (yaitu meminta ijin sebelum masuk).

Berbeda halnya ketika ia belum mencapai hulm, maka ia hanya

dibebankan meminta ijin pada tiga waktu saja, dan tidak mengapa baginya jika ia masuk tanpa ijin di luar tiga waktu tersebut.

Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudriy:

.

11

Hadist yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib:

,

.

12

Hadist yang diriwayatkan oleh Mu’adz:

.

13

11

Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. I, 1992 M/ 1412 H, hlm. 263., hadis no. 880.

12

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. I, 1992 M/ 1412 H, hlm. 571., hadis no. 4403.

13

Al-Baihaqi, Al-Kubra, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. I, 1990 M/ 1410 H, hlm.675., hadis no. 1915.

(35)

Para ulama telah sepakat bahwa ihtilaam merupkan tanda kedewasaan bagi anak laki-laki dan perempuan. Al- Hafidh Ibnu Hajar berkata:

.

14

Para ulama telah sepakat bahwa ihtilaam pada laki-laki dan perempuan mewajibkan dengannya (untuk diberlakukannya) ibadah, huduud, dan seluruh perkara hukum.

b. Tumbuhnya rambut kemaluan

Tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak, baik menyangkut hak Allah atau hak anak Adam. Adapun dalil yang dijadikan hujjah antara lain adalah:

Dari ‘Athiyah, ia berkata:

.

15

Dari Samurah bin Jundub berkata:

14

Ibnu Hajar, Fathul Baary, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, t.t,,juz 5, hlm. 277.

15

At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, t.t, hlm. 675., hadis no. 1583.

(36)

.

16

c. Mencapai usia tertentu.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Diantara pendapat-pendapat tersebut antara lain:

:

.

17

Menurut ulama madzhab hanafiyah anak laki-laki yang belum berusia delapan belas tahun belum bisa dikatakan baligh. Sedangkan menurut mereka pertumbuhan anak perempuan bisa dikatakan dewasa ketika sudah mencapai tujuh belas tahun. Mereka beralasan bahwa ketentuan dewasa menurut syara’ adalah ihtilam (mimpi basah) dan menurut mereka ihtilam tidak diharapkan lagi datangnya jika umur sudah mencapai delapan belas tahun dan karena itu mereka menetapkan bahwa usia dewasa itu setelah umur delapan belas tahun.

:

18

.

16 Ibid., hlm. 675., 17

Muhammad Ali As-Shoubuni, Rowai al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min Al Qur’an, jilid II, Dar alfikri, Beirut, t.t. hlm. 212.

18

(37)

Ulama Syafi’iah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai umur 15 tahun. Tetapi ketika umur belum sampai 15 tahun anak laki-laki ataupun perempuan sudah ihtilam, maka sudah dikatakan dewasa. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadi taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.

Dalil yang dianggap paling shahih dan sharih oleh Ulama Syafi’iah yang memberikan batasan usia 15 tahun dalam permasalahan ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, beliau berkata:

.

19

Namun hadis ini tidak menunjukan secara sharih bahwa usia 15 tahun adalah batas usia baligh. Hadis ini masih mengandung kemungkinan bahwa pelarangan Nabi bukan karena faktor baligh, namun karena masih kecilnya Ibnu ‘Umar sehingga tidak dipandang mempunyai kemampuan/kecakapan untuk berperang.

Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini adalah tidak ada batasan usia tertentu untuk baligh. Ibnul-Qoyyim berkata:

19

Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. I, 1992 M/ 1412 H, hlm. 345, hadis no. 2664. shahih

(38)

.

20

Kemudian beliau melanjutkan:

.

21

Adapun tanda-tanda baligh anak perempuan bisa seperti laki-laki, namun ditambah dengan keempatnya, yaitu haidh, berkembangnya alat-alat untuk berketurunan, serta membesarnya buah dada. Para ulama telah sepakat bahwa haidh merupakan tanda baligh bagi seorang wanita. Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata:

.

22

Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu rohmat. Artinya kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihadi, sehingga siapapun boleh berijtihad pada usia berapa seseorang pantas menikah.

2. Perkawinan Di Bawah Umur Perspektif Perundang-undangan

Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 terkandung beberapa prinsip untuk menjamin cita-cita luhur perkawinan, yaitu asas sukarela,

20

Ibnul-Qoyyim, Tuhfatul – Maudud, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, 1992 M/ 1412 H. hlm.208

21

Ibid. hlm. 209.

22

(39)

partisipasi keluarga, poligami dibatasi secara ketat, dan kematangan fisik dan mental calon mempelai.

Sebagai realisasi dari pada asas prinsip kematangan fisik dan mental calon mempelai. Oleh karena itu dalam Undang-undang Perkawinan pasal 7 ayat (1), (2), (3) disebutkan:

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dipensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).23

Menurut Undang-undang perkawinan, bagi calon mempelai yang usianya belum mencapai 21 tahun baik pria maupun wanita diperlukan izin orang tua, yang ditunjukan dengan formulir model N5. Dalam keadaan orang tua tidak ada, maka izin diperoleh dari wali; orang yang mengasuh atau keluarga ayah dalam garis keturunan ke atas. Akhirnya izin dapat diperoleh dari Pengadilan apabila izin tidak dapat diperoleh dari wali.

Undang-undang ini menganut prisip bahwa calon suami istri harus matang jiwa raganya, untuk dapat langsung melakukan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan yang masih di bawah

23

(40)

umur. Namun demikian dalam keadaan yang sangat memaksa (darurat), perkawinan di bawah batas umur minimum sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan tersebut dimungkinkan, setelah memperoleh dispensasi dari Pengadilan atas permintaan orang tua.

Dalam Kompilasi Hukum Islam ketentuan mengenai calon mempelai hampir sama dengan apa yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan yaitu:

a. Batas usia kawin, yaitu 19 tahun untuk calon suami dan 16 tahun untuk calon istri, hanya saja dalam KHI tidak disebutkan secara rinci kemungkinan dispensasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974.

b. Masalah peranan wali bagi mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, ini sesuai dengan ketentuan pasal (6) ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974.

c. Persetujuan calon mempelai adalah sejalan dengan ketentuan pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974. namun dalam KHI diatur secara lebih lengkap dan lebih terinci. Dengan demikian, apa yang banyak diperbincangkan dalam kitab Fiqh mengenai kewenangan

Wali Mujbir untuk mengawinkan seorang perempuan tanpa

persetujuan yang bersangkutan tidak dikenal dalam perundang-undangan di Indonesia.24

24

Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis dari Undang-undang

(41)

Batasan umur yang termuat dalam UU Perkawinan sebenarnya masih belum terlalu tinggi dibanding dengan beberapa negara lainya di dunia ini. Aljazair misalnya membatasi umur untuk melangsungkan pernikahan itu, laki-lakinya 21 tahun dan perempuan 18 tahun. Demikian juga dengan Bangladesh 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan.25

Batasan umur yang ditetapkan oleh UUP masih lebih tinggi jika dibanding dengan ketentuan yang terdapat di dalam Orodonansi Perkawinan Kristen maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Pembuat rancangan UUP mungkin menganggap umur 19 tahun dan 16 tahun bagi seseorang lebih matang fisik dan kejiwaanya daripada 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun perempuan seperti yang ditetapkan oleh Hukum Perdata.

Dengan dicantumkannya secara eksplisit batasan umur, menunjukan apa yang disebut oleh Yahya Harahap expressip verbis atau langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Di dalam masyarakat adat Jawa misalnya seringakali dijumpai perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum

25

(42)

diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut dengan kawin gantung.26

Dengan adanya batasan umur ini, maka kekaburan terhadap penafsiran batas usia baik yang terdapat di dalam adat maupun hukum Islam sendiri dapat dihindari. Jika dianalisis lebih jauh, peraturan batas usia perkawinan ini memiliki kaitan yang cukup erat dengan masalah kependudukan. Dengan batasan umur, UUP bermaksud merekayasa atau menahan laju perkawinan yang membawa akibat pada laju pertambahan penduduk.Ternyata batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Dan berakibat pula pada kematian ibu hamil yang cukup tinggi pula. Pengaruh buruk lainya adalah kesehatan reproduksi wanita menjadi terganggu.27

Dengan demikian pengaturan tentang tentang usia dini sebenarnya sesuai dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan istri harus telah masak jiwa dan raganya. Tujuannya adalah agar tujuan perkawinan untuk mnciptakan keluarga yang kekal dan bahagia secara baik tanpa berakhir dengan perceraian da mendapat keturunan yang baik dan sehat dapat diwujudkan. Kebalikannya perkawinan di bawah umur seperti yang telah ditetapkan oleh undang-undang haruslah dihindari

26

R. Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1960, hlm.41.

27

Wila Chandrawila Supriadi, Perempuan dan Kekerasan dalam Perkawinan, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.75.

(43)

karena membawa efek yang kurang baik, baik terutama bagi pribadi yang melaksanakannya.

B. KUA Pakis dan Penanggulangan Perkawinan Di Bawah Umur

1. Sejarah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakis

Kantor Urusan Agama Pakis terletak di Jl. Kopeng-Magelang No. 114, Pakis, berada di sebelah barat Kantor Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. Menurut sejarahnya, Kantor KUA Kecamatan Pakis, sebelum menempati lokasi yang sekarang ini berkedudukan di sebelah timur Kantor DPU, namun pada sekitar tahun 2000 lahan tersebut oleh pemerintah dialih fungsikan menjadi kawasan perkebunan. Sebagai kompensasinya disediakan lahan disebelah barat Kantor Kecamatan Pakis guna pembangunan gedung KUA yang baru.

Dengan status hak guna bangunan, Kantor KUA Pakis memiliki satu ruang kerja Kepala KUA, ruang tamu, ruang kerja staf, balai nikah, ruang penghulu, ruang arsip, dapur dan mushola. Terdapat beberapa rak buku yang difungsikan sebagai perpustakaan mini.

Kantor Urusan Agama Pakis, dalam menjalankan fungsinya sebagai badan administrasi Departemen Agama, dipimpin oleh seorang kepala. Dalam perkembangannya Kepala KUA Pakis telah mengalami beberapa pergantian, sebagai berikut:

a. Subandi, BA (20002-2002) b. Drs. Muh Ismoyo Zuhri (2003-2005) c. Drs. Muslimin (2006-2008)

(44)

d. Drs. Romadhon (2008 - sekarang)

Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakis saat ini dikepalai Bapak Drs. Romadhon. Beliau dibantu oleh, 1 orang penyuluh dan 2 staf lainnya, selengkapnya sebagaimana bagan berikut.

Gambar 2.1 Bagan Organisasi KUA Kecamatan Pakis Tahun 2009

Sebagai Kantor Urusan Agama yang memiliki wilayah hukum yang cukup luas, menjadi sangat penting bagi Kantor Urusan Agama Pakis untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini karena keberadaannya merupakan representasi/citra pelayanan pemerintah dibidang pelayanan agama terdepan, yang bersentuhan dengan msyarakat pengguna (stake holder). Untuk itu, Kantor Urusan Agama

KEPALA KUA Drs. Romadhon SEKRETARIS Enda Rahayu N BENDAHARA Putut Anisa N PENYULUH Sugiyarto

(45)

Pakis memantapkan visi yakni terwujudnya pelayanan profesional pada KUA Pakis yang berkualitas dan partisipatif.28

Dalam rangka mewujudkannya, beberapa butir misi telah ditetapkan, yaitu:

a. Meningkatkan kualitas pelayanan dibidang urusan kepenghuluan (Nikah Rujuk).

b. Meningkatkan kualitas pelayanan pembinaan di bidang urusan tempat ibadat.

c. Meningkatkan kualitas pelayanan di bidang urusan perwakafan dan ibadah sosial.

d. Meningkatkan pelayanan pembinaan bidang urusan Zakat dan Baitul Mal.

e. Meningkatkan pelayanan pembinaan bidang urusan Kelurga Sakinah.

f. Meningkatkan pelayanan informasi tentang haji dan umroh.

g. Meningkatkan pelayanan bimbingan tentang bidang urusan Produk Pangan Halal.

h. .Meningkatkan pelayanan bimbingan urusan Pengembangan Kemitraan Umat Islam.

Jika dicermati, misi-misi ini ternyata merupakan rincian lingkup kerja Kantor Urusan Agama, sebagaimana diamanatkan KMA No. 373 tahun 2002. Dalam Keputusan Menteri Agama tersebut disebutkan

28

Wawancara dengan bapak Romadhon selaku Kepala KUA Pakis pada tanggal 16 juli 2009

(46)

uraian tugas dan wewenang personel KUA. Tugas dan wewenang Kepala KUA:

a. Memimpin Kantor Urusan Agama.

b. Menyusun rincian kegiatan Kantor Urusan Agama.

c. Membagi tugas dan menentukan penanggung jawab kegiatan. d. Menggerakkan dan mengarahkan pelaksanaan tugas.

e. Memantau pelaksanaan tugas bawahan.

f. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, kemasjidan, zakat, wakaf, ibsos, dan haji.

g. Menanggapi dan menyelesaikan persoalan yang muncul dibidang urusan agama Islam.

h. Melaksanakan tugas khusus yang diberikan atasan.

i. Mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan tugas Kantor Urusan Agama.

Tugas dan wewenang sekretaris KUA:

a. Menerima dan mencatat surat masuk dan keluar. b. Mendistribusikan surat sesuai dengan disposisi atasan. c. Menata arsip Kantor Urusan Agama (KUA)

d. Menyusun file pegawai.

e. Mencatat jadwal kegiatan kepala Kantor Urusan Agama (KUA). f. Mengatur dan menyalurkan tamu-tamu Kantor Urusan Agama

(KUA).

(47)

h. Membuatkan rekomendasi nikah. i. Menata buku-buku perpustakaan kerja.

j. Melaksanakan tugas khusus yang diberikan oleh atasan.

k. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Kepala Kantor Urusan Agama.

Tugas dan wewenang bendahara KUA:

a. Menyiapkan rencana anggaran pembiayaan Kantor Urusan Agama b. Menerima biaya nikah

c. Membukukan dan meyetorkan uang NR ke bank. d. Menyusun pertanggung jawaban keuangan NR e. Menyalurkan dana bantuan NR

f. Melaksanakan tugas khusus yang diberikan oleh atasan.

g. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Kepala Kantor Urusan Agama.

Tugas dan wewenang penyuluh Agama

a. Membantu melakukan penyuluhan dan penasehat perkawinan, zawaibsos, dan haji.

b. Membantu melaksanakan pendataan masjid dan waqaf. c. Melaksanakan penyuluhan keagamaan.

d. Melaksanakan pembinaan dan bimbingan kelompok binaan keluarga.

(48)

f. Menginventarisasikan jumlah dan pembangunan masjid dan mushola

g. Melaksanakan tugas khusus yang diberikan oleh atasan.

h. Melaporkan pelaksanakan tugas kepada kepala Kantor Urusan Agama

Diantara berbagai tugas tersebut, pencatatan perkawinan merupakan tugas utama yang pada prakteknya diselenggarakan oleh PPN. Hal itu dinyatakan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 Pasal 2 Ayat (2) bahwa penghulu atau PPN mempunyai tugas mengawasi dan mencatat peristiwa nikah dan rujuk serta melakukan bimbingan dan pelayanan kepenghuluan.29

Jika merujuk kepada Keputusan Menteri Agama tersebut, Pegawai Pencatat Nikah memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa calon suami-istri dan wali yang bersangkutan tentang kemungkinan adanya larangan atau halangan dilangsungkannya nikah. Larangan itu baik berupa pelanggaran atas hukum perkawinan Islam atau karena melanggar peraturan negara yang berhubungan dengan pernikahan.

29

Moch Zarkasyi, et.al., Pedoman Penghulu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggara Haji Departemen Agama RI, Jakarta, 2005, hlm.23

(49)

Apabila Pegawai Pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap suatu perkawinan ada larangan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 maka ia berwenang untuk menolak melangsungkan perkawinan. Dalam hal penolakan Pegawai akan memberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.30

30

(50)

BAB III

FENOMENA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN GERAK KANTOR URUSAN AGAMA PAKIS

A. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Desa Petung

Desa petung Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang adalah desa yang terletak di lereng Gunung Merbabu, jarak Desa Petung dengan ibukota Kecamatan sejauh 4 km sedangkan jarak dengan ibukota Kabupaten sejauh 47 km.1 Desa Petung memiliki hawa dingin dan lembab. Ini berpengaruh pada corak tanaman yang tumbuh disana. Tanaman muda seperti tembakau dan sayur-sayuran dapat dengan mudah ditemukan di Desa Petung. Karena kondisi geografi yang berbukit-bukit maka tidak semua dusun di Desa Petung terpasang instalasi listrik oleh. Dari 12 dusun terdapat 2 dusun yang belum terpasang instalasi listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yaitu Dusun Gandul dan Dusun Polobogo, sehingga masyarakat kedua dusun ini untuk mencukupi kebutuhan listriknya mengambil aliran listrik dari kerabat atau tetangga mereka dari dusun yang telah terpasang instalasi listrik

Keadaan aksesibilitas trasnsportasi di Desa Petung cukup memadai. Hal ini terlihat dari sarana dan prasarana yang tersedia, berupa jalan aspal yang menghubungkan desa ini dengan desa lain maupun dengan ibu kota kecamatan, meskipun terdapat wilayah yang sulit dijangkau oleh kendaraan roda empat. Terdapat sungai yang mengalir dari Lereng Gunung Merbabu oleh penduduk

1

(51)

sekitar sungai tersebut dijadikan batas antara Desa Petung dengan Desa Sabrang. Sungai itu juga digunakan oleh masyarakat untuk keperluan sehari-hari seperti, mandi dan mencuci.

Secara administratif Desa Petung masuk dalam wilayah Kabupaten Magelang. Untuk memudahkan distribusi informasi, Desa Petung dibagi menjadi dua belas dusun diantaranya: Dusun Petung Kidul, Petung Lor, Ngrangkah, Gandul, Polobogo, Seno, Petung, Kidangan, Wonokoso, Ngaliyan, Candran dan Suringgono. Masing-masing Dusun dipimpin oleh seorang Kadus yang dibantu oleh para Ketua RT.

Berdasarkan laporan kependudukan Desa Petung, jumlah penduduk Desa Petung tercatat 3893 jiwa. dengan rincian 1792 jiwa penduduk laki-laki dan 2101 jiwa penduduk perempuan.

Tabel 3.1 Penduduk Menurut Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki Laki 1792 jiwa

2 Perempuan 2101 jiwa

Jumlah 3893 jiwa

Sumber: Monografi Desa Petung Kecamatan Pakis

Dalam hal kesejahteraan, dapat dikatakan bahwa ada tanda-tanda kemiskinan dan ketimpangan di desa ini. Dari hasil penelitian di temukan lebih banyak rumah non permanen dibanding rumah permanen. Rumah non permanen ini rata-rata berbentuk rumah tradisional jawa, yaitu rumah joglo yang hanya berlantai tanah. Bahkan tidak sedikit pula jumlahnya yang sudah reot. Sementara sisi lain ada beberapa rumah permanen yang cukup megah

(52)

untuk ukuran desa. Beberapa orang terlihat lalu lalang dengan kendaraan bermotor, namun jumlahnya banyak.

Dari segi penghidupan, maka masyarakat Desa Petung menggantungkan mata pencaharian mereka pada beberapa sumber. Pertama pada sektor pertanian, sebagian masyarakat desa bekerja pada sektor ini, akan dengan mudah ditemui penduduk yang sedang beraktifitas di kebun, tanaman muda sejenis tomat, sawi, wortel dan tembakau juga akan dengan mudah ditemui. Menurut penuturan kepala Desa Petung hampir 60% dari total penduduk yang mencapai jumlah 3.893 bekerja pada sektor ini.

Kedua adalah pertukangan, dari data monograf Desa Petung terdapat 156 orang tukang. Namun kalau dilihat jumlah rumah permanen yang baru dibangun selama tiga tahun belakangan ini agaknya jumlahnya tidak mencapai 10 rumah, artinya para tukang ini sebagian bekerja diluar desa. Ketiga adalah Pedagang, secara nominal jumlahnya tidak banyak yaitu 142 orang, mata pencaharian lainnya adalah Pegawai Negeri Sipil, terdapat 81orang yang bekerja pada sektor ini, mata pencaharian lainya adalah TNI 27 orang, jasa 12 orang dan pensiunan 8 orang

Tabel 3.2 Penduduk Menurut Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Jumlah

1 Petani 2142 jiwa

2 Tukang 156 jiwa

3 Pedagang 142 jiwa

4 Pegawai Negeri Sipil 81 jiwa

5 TNI 27 jiwa

6 Jasa 12 jiwa

7 Pensiunan 8 jiwa

Jumlah 2568 jiwa

(53)

Penduduk Desa Petung sebagian besar adalah masyarakat suku Jawa yang menganut nilai-nilai sosial budaya khas suku Jawa. Nilai sosial ini berkaitan dengan adat istiadat dan sistem sosial kekerabatan masyarakatnya. Masyarakat setempat secara umum memiliki lembaga kontrol yang bersumber pada ajaran agama Islam sehingga nilai-nilai yang dianut masyarakat pada umumnya juga mengacu pada ajaran Islam.

Dengan demikian segala bentuk aktivitas yang dilakukan selalu dinilai dari konteks hubungan-hubungan keagamaan yang telah dibangun di bawah sistem sosial Islam. Dalam sistem tersebut figur Ulama menjadi dominan, sebagai orang yang mendalami pengetahuan agama sekaligus memiliki kemapuan memberikan penjelasan keagamaan. Hal ini pada gilirannya menempatkan Ulama, Kiai, dan Ustadz sebagai pimpinan sekaligus panutan.

Masyarakat setempat juga masih melestarikan budaya kerukunan dalam bidang sosial kemasyarakatan. Budaya tersebut tampak dalam solidaritas mereka ketika salah satu warga memiliki hajat, baik hajatan perkawinan, kematian maupun hajatan yang lain. Warga juga masih menjaga entitas nilai budaya leluhur, sepeti budaya merti deso, nyekar, nyadran dan bedah bumi, meskipun dalam praktiknya budaya tersebut sudah mengalami proses modifikasi dengan nilai Islam.2

Nilai-nilai budaya yang dipegangi oleh masyarakat Desa Petung pada hakikatnya adalah nilai-nilai budaya jawa. Nilai-nilai harmoni, rendah hati,

2

Wawancara dengan Bapak Ning selaku Kadus Gandul dan Observasi pada tanggal 5 Juni 2009

(54)

andap asor, sopan santun, dan tidak menonjolkan diri adalah unsur-unsur nilai

budaya yang dijunjung tinggi dalam masyarakat.

Tingkat pendidikan masyarakat Desa Petung masih tergolong rendah hal ini terlihat karena penduduk yang mengenyam pendidikan sampai tingkat akademik dan perguruan tinggi tercatat hanya 28 jiwa, kemudian yang menyelesaikan jenjang pendidikan menengah atas sebanyak 368 jiwa, pendidikan menengah pertama 847 jiwa dan sekolah dasar sebanyak 1435 jiwa.

Tabel 3. 3 Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Universitas/ Akademik 28 jiwa

2 SMA /Sederajat 368 jiwa

3 SMP/ Sederajat 847 jiwa

4 SD 1435 jiwa

Jumlah 2678 jiwa

Sumber: Monograf Desa Petung Kecamatan Pakis

Sebagaimana diketahui bahwa agama Islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Desa Petung. Yang mencapai hampir 97.07% dari total keseluruhan jumlah penduduk. Penduduk asli Desa Petung yang beragama Islam seluruhnya berjumlah 3818 jiwa. Kemudian untuk agama selain Islam adalah penduduk yang beragama Katholik 75 jiwa, yang beragama Budha 6 jiwa dan yang beragama Hindu terdapat 4 jiwa.

(55)

Tabel 3.4 Penduduk Menurut Agama

No Agama Jumlah Pemeluk

1 Islam 3818 jiwa

2 Katholik 75 jiwa

3 Budha 6 jiwa

4 Hindu 4 jiwa

Jumlah 3903 jiwa

Sumber: Monografi Kantor Urusan Agama Pakis

Tentu saja sarana peribadatan yang tersedia seimbang dengan jumlah pemeluknya. Bagi umat Islam tersedia masjid yang berjumlah 8 unit, Mushlola 9 unit sehingga total seluruh tempat ibadah umat Islam mencapai 17 unit. Bagi umat non Muslim tersedia Gereja Katholik sebanyak1 unit, sedangkan Pura dan Vihara tidak tersedia mengingat minimnya jumlah pemeluk agama Hindu dan Budha.

Umat Muslim di Desa Petung dikenal sebagai umat yang taat dalam menjalankan ajaran agama Islam. Sebagai penganut agama Islam yang taat penduduk biasa melakukan berbagai kegaiatan keagamaan, baik yang rutin maupun saat menyambut hari besar yang selalu diperingati dengan berbagai kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan yang rutin seperti Sholat wajib banyak yang dilakukan dengan berjamaah di Masjid namun tidak sedikit yang juga dikerjakan dirumah masing-masing.

(56)

Jumlah jama’ah Sholat berjamaah di masjid pada waktu Dzuhur dan Ashar bias mencapai hampir 3 shaf. Sementara saat Sholat Maghrib, Isya dan Subuh cukup banyak jama’ahnya yaitu bisa mencapai 6 shaf. Seusai Sholat berjamaah biasanya dilanjutkan dengan membaca wirid dan diakhiri dengan do’a yang dipimpin oleh imam masjid. Kebiasaan lain adalah setelah Sholat berjamaah para jamaah berdiri melingkar untuk bersalam-salaman

B. Perkawinan Di Bawah Umur Di Desa Petung

Fenomena perkawinan di bawah umur di Desa Petung merupakan suatu problematika bagi pemerintah dan menjadi dilemma bagi para orang tua. Bagi pemerintah perkawinan di bawah umur akan berpengaruh terhadap penentuan kebijakan dan pelaksanaan program kependudukan terutama dalam hal pengembangan program peningkatan kualitas keluarga dan perencanaan keluarga, karena perkawinan di bawah umur erat kaitannya dengan laju pertumbuhan penduduk.3 Sedangkan bagi orang tua ada rasa takut dan khawatir kalau-kalau anaknya akan terjerumus ke jurang maksiat mengingat laju arus informasi yang kian pesat, disamping itu perkawinan di bawah umur dirasa dapat mengurangi beban perekonomian.4 Sehingga pernikahan di bawah umur dianggap suatu jalan terbaik, walaupun sebenarnya anak mereka belum mencapai batas minimal umur yang ditetapakan pemerintah.

3

kKumaidi.2009,iKegunaaniIndikatoriPerkawinani,(http://www.datastatistik_Indonesia.c om/content/view/500.html, diakses pada 28 Agustus 2009

4

Wawancara dengan Ibu Sumirah selaku orang tua Siyami pelaku perkawinan di bawah umur pada tanggal 5 Juni 2009

(57)

Praktek perkawinan di bawah umur yang terjadi di masyarakat Desa Petung tidak diketahui awal mula terjadinya, namun yang pasti pelaksanaan perkawinan dibawah umur tersebut masih dapat ditemui hingga sekarang meski dalam jumlah yang lebih kecil. Masyarakat Desa Petung pada umumnya tidak menganggap penting masalah usia anak yang dinikahkan. Bagi mereka umur seorang bukanlah suatu jaminan untuk mencapai kebahagian, yang penting anak sudah baligh. Hasil penelitian ini menjelaskan fenomena diatas: penulis melakukan wawancara dengan seorang responden dan menanyakan pada usia berapa ia menikah, kemudian ibu dari reponden yang kebetulan tinggal satu rumah mengatakan aku dadi nganten umur enom yo iso nduwe anak mas”.5

Masyarakat Desa Petung dalam menentukan apakah seorang anak sudah pantas untuk menikah atau belum adalah dengan cara menandai, untuk anak laki-laki ketika suaranya sudah berubah dan untuk anak perempuan ketika sudah datang bulan. Jika orang tua sudah mendapati tanda-tanda tersebut dalam diri si anak, maka orang tua akan segera mencarikan jodoh untuk anaknya, terutama orang tua pihak perempuan.

Dari hasil wawancara terhadap 12 pasang responden ditemukan beberapa alasan yang menjadi latar belakang mereka melakukan perkawinan dibawah umur. Dari ke 12 pasang responden, 9 responden mengaku melakukan perkawinan untuk memperoleh kemapanan dan meringankan beban orang tua, selengkapnya pada tabel 3.5.

5

Wawancara dengan Ibu Tukini selaku Ibu dari Trimah pelaku perkawinan di bawah umur pada tanggal 5 Juni 2009

(58)

Tabel 3.5 Pelaku Perkawinan Di Bawah Umur Dengan Motivasi Ekonomi

No Nama Reponden Keterangan

1 Trimah Agar lebih mapan dan meringankan beban

orang tua

2 Siyami Agar lebih mapan

3 Juleihi Agar lebih mapan dan meringankan beban

orang tua

4 Suminah Agar lebih mapan dan meringankan beban

orang tua

5 Ratini Agar lebih mapan dan meringankan beban

orang tua

6 Sumidah Agar lebih mapan dan meringankan beban

orang tua

7 Jumi Agar lebih mapan dan meringankan beban

orang tua

8 Sarni Agar lebih mapan

9 Prihati Agar lebih mapan dan meringankan beban

orang tua

Sumber: Wawancara dengan para reponden pada tanggal 5 juni 2009 Faktor lain yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk menikah pada usia di bawah umur adalah tingkat pendidikan yang rendah dari 12 pasang responden hanya 6 orang yang berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat menengah pertama (SMP). Selebihnya yaitu 18 orang responden menyelesaikan pendidikannya hanya sampai tingkat dasar (SD)

Tabel 3.6 Pelaku Perkawinan Dan Tingkat Pendidikannya

No. Nama Pasangan Usia Menikah Pendidikan 1 Jumar Trimah 22 Tahun 15 Tahun SD SD 2 Sumari Siyami 21 Tahun 15 Tahun SMP SD

(59)

3 Sarno Juleihi 20 Tahun 15 Tahun SD SD 4 Seno Suminah 20 Tahun 15 Tahun SMP SD 5 Jumari Ratini 20 Tahun 15 Tahun SMP SD 6 Siswanto Suharti 19 Tahun 25 Tahun SD SD 7 Riyadi Supriyanti 21 Tahun 14 Tahun SD SD 8 Haryoto Sumirah 25 Tahun 15 Tahun SMP SD 9 Paring Jumi 21 Tahun 15 Tahun SD SD 10 Supikir Sumidah 23 Tahun 15 Tahun SMP SD 11 Suyono Sarni 21 Tahun 14 Tahun SD SD 12 Slamet S Prihati 23 Tahun 15 Tahun SMP SD

Sumber: Wawancara dengan para reponden pada tanggal 5 juni 2009 Dari hasil wawancara terhadap 12 pasang responden terdapat 3 orang responden yang mengaku melakukan perkawinan di bawah umur untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.

Tabel 3.7 Pelaku Perkawinan Di Bawah Umur Dengan Motivasi Memenuhi Kebutuhan Biologis

No Nama Motivasi

1 Suminah Untuk memenuhi kebutuhan biologis

2 Siswanto Untuk memenuhi kebutuhan biologis

(60)

Sumber: Wawancara dengan para reponden pada tanggal 5 juni 2009 Dari hasil wawancara terhadap para informan, ditemukan hasil bahwa kebanyakan para pelaku perkawinan di bawah umur adalah perempuan, dari 12 pasang reponden 11 pelaku perkawinan di bawah umur adalah perempuan dan 1 orang laki-laki, 8 dari mereka mengaku tidak mengetahui tentang batas umur yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 19746. Hal ini disebabkan minimnya sosialisasi tentang Undang-Undang tersebut. Fakta ini diakui oleh Kepala KUA Pakis, beliau mengatakan minimnya sosialisasi UUP No.1 Tahun 1974 dikarenakan terbatasnya sumber daya manusi yang ada di KUA, sedangkan wilayah yang harus ditangani sangat luas.7

Dalam melakukan perkawinannya para pelaku perkawinan dibawah umur tidak mengurus persyaratan administrasi sendiri, biasanya orang tua mereka meminta tolong kepada aparat desa setempat untuk mengurus persyaratan hingga proses akad nikah. Berkaitan dengan umur yang belum memenuhi persyaratan seperti yang diatur dalam UUP No.1 Tahun 1974, orang tua melakukan pemanipulasian data umur dan tanggal lahir, strategi ini mereka pilih karena dirasa lebih mudah dibanding jika harus meminta ijin dispensasi dari Pengadilan Agama.8

6

Wawancara dengan pelaku perkawinan di bawah umur pada tanggal 5 juni 2009 7

Wawancara dengan Kepala KUA pada tanggal 15 Juli 2009 8

(61)

C. Pelayanan Perkawinan di KUA Pakis 1. Alur Nikah di KUA Pakis

Pada Bab 31 Rencana Pembangunan Jangka Menegah (RPJMN) 2004-2009 dijelaskan dua arah kebijakan pembangunan bidang agama. Pertama, peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama serta kehidupan beragama.9 Kedua, Peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama. Salah satu pelayanan keagamaan adalah pelayanan pencatat Nikah. Bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam pencatatan perkawinan dilaksanakan oleh petugas dari Kantor Urusan Agama. Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana proses pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama Pakis.

Proses pencatatan nikah di KUA Pakis adalah calon pengantin datang ke KUA mendaftarkan diri kemudian melengkapi persyaratan administrasi diantaranya:

1. Mengisi formulir keterangan untuk nikah (N1) 2. Mengisi formulir keterangan asal-usul(N2) 3. Mengisi formulir keterangan orang tua(N4) 4. Menyerahkan Pas Photo ukuran 2x3, 3 lembar 5. Menyerahkan Photocopy KTP dan Kartu Keluarga 6. Membayar biaya pecatatan sebesar Rp. 30.000

9

Imam Syaukani, Optimalisasi Peran KUA dalam Pelayanan Keagamaan Kepada

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Organisasi KUA Kecamatan Pakis Tahun 2009
Tabel 3.1 Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Tabel 3.2 Penduduk Menurut Pekerjaan
Tabel 3. 3 Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No  Tingkat  Pendidikan Jumlah
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mengkaji histokimia senyawa metabolit sekunder (flavonoid, tannin, alkaloid, saponin, terpen), sel-sel sekretori dan anatomi organ vegetatif (akar, batang,

Salah satu usaha untuk mengobati penyakit kanker dengan menggunakan obat tradisional banyak dilakukan karena alasan biayanya yang lebih murah dan efek samping yang ditimbulkan

Lalu, diluar Sentul City, daya tarik utama BKSL adalah kepemilikannya atas PT Bukit Jonggol Asri (BJA), perusahaan patungan yang dimiliki bersama-sama dengan ELTY, dimana BJA

Dengan tidak dicatatnya perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mengakibatkan akibat hukum yang diantaranya yaitu ; 1) Perkawinan dianggap tidak sah meski

Sebagai media penunjang pembinaan yang memiliki peranan dan fungsi penting, sekolah bagi penyandang cacat di Panti Tunanetra dan Tunarungu Wicara Distrarastra Pemalang

Berdasarkan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara power otot tungkai dan power otot lengan dengan hasil belajar tiger sprong pada

Untuk dapat menanggulangi perkawinan di bawah umur tersebut Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sangat di butuhkan karena dalam menanggulangi perkawinan dibawah umur bisa

Latar belakang: Hiperkolesterolemia merupakan suatu kondisi dimana kadar kolesterol LDL dalam darah meningkat dan kadar kolesterol HDL menurun di bawah batas normal. Rendahnya