• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. peradilan anak, perburuhan anak, kekerasan pada anak, pelecehan seksual pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. peradilan anak, perburuhan anak, kekerasan pada anak, pelecehan seksual pada"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab satu akan membahas latar belakang masalah yakni untuk mengetahui sebab-sebab masalah, merumuskan masalah dan menentukan pokok. Setelah merumuskan masalah maka menentukan tujuan, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

1.1. Latar Belakang Masalah

Dasawarsa terakhir ini isu kesejahteraan anak terus mendapat perhatian masyarakat dunia, tidak terkecuali pemerintah Indonesia. Mulai dari permasalahan peradilan anak, perburuhan anak, kekerasan pada anak, pelecehan seksual pada anak, hingga anak jalanan (anjal). Salah satu isu kesejahteraan anak yang terus berkembang adalah masalah anak jalanan (Aryadi, 2006). Di Indonesia sendiri, sebagaimana laporan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia pada tahun (2010) memberitakan fenomena anak jalanan semakin meningkat dari segi kuantitas dan kualitas.

Berdasarkan hasil survei dan pemetaan sosial anak jalanan yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial Republik Indonesia dengan dukungan Asia Development Bank , yang tersebar di 12 kota besar tahun 1996 terdapat sekitar 36.000 anak jalanan, dan terus meningkat dari tahun ke tahunnya

(2)

yaitu pada tahun 1999 jumlah anak jalanan sekitar 39.861 orang, di tahun 2002 sebanyak 94,674 dan pada tahun 2004, menurut Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, jumlah anak jalanan yang tersebar di 30 provinsi yang sebesar 98.113 orang, pada tahun 2008 berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak di DKI Jakarta, ada 15.000 anak jalanan sedangkan pada tahun 2009 di Daerah Khusus Ibukota Jakarta berjumlah 8.000 orang (Data Dinas Sosial DKI Jakarta, 2006) dan di Jabodetabek di taksir mencapai 12.000 orang dan di perkirakan sekarang jumlah anak jalanan lebih dari 100.000 orang ( Sekretariat Jenderal Kementerian Sosial, Situmorang dalam Kompas 2010).

Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan anak jalanan merupakan fenomena gunung es, yang dari tahun ke tahun terjadi peningkatan baik dalam jumlah maupun wilayah penyebarannya(Sugiharto, 2010).

Hidup di jalanan tentu tidak ingin dialami siapa pun, namun itulah kenyataan yang harus dihadapi para anak jalanan melawan kerasnya hidup. Keberadaan anak jalanan didorong oleh kondisi-kondisi keluarga dan ekonomi, seperti: mencari pekerjaan, terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, kondisi psikologis seperti ditolak orang tua, salah asuh, dan kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga, berpetualang, lari dari kewajiban keluarga ( Aryadi, 2006).

Ketua Program Studi Doktoral Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Prof. Dr. Hamdi Muluk mengatakan, “akar dari adanya anak jalanan adalah kemiskinan. Apabila sebuah keluarga cukup secara ekonomi, sekolah anak pasti di

(3)

perhatikan. Namun, jika orangtua nya susah makan, tidak ada pekerjaan, pendidikan rendah, nasib anak jelas terlantar. Nilai-nilai kebaikan ideal dalam keluarga tidak akan di dapat anak-anak itu” (Kompas, 2010). Kehidupan jalanan terlalu keras bagi anak-anak, apalagi bagi mereka yang terbelenggu kemiskinan/ yang sudah kehilangan orangtua (Kompas, 2010).

Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa keluarga adalah unit kecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami dan istri/ suami, istri dan anaknya/ ayah dan anaknya/ ibu dan anaknya/ keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas/ ke bawah sampai dengan derajat ketiga (dalam Hariyanto, 2008).

Hal ini diperkuat oleh hasil survei yang dilakukan oleh UNICEF menunjukan bahwa selain kemiskinan, alasan lain yang diidentifikasi sebagai alasan bagi anak untuk meninggalkan rumahnya atau lebih suka hidup di jalanan (mencari kehidupan di jalan), adalah kekerasan dalam keluarga yang menyebabkan lingkungan keluarga tidak stabil. Perlakuan yang salah dan penelantaran terhadap anak perlakuan seksual yang menyimpang dari anggota keluarga, beban pekerjaan rumah tangga yang berat yang menyebabkan anak putus sekolah. Adanya jurang pemisah dan komunikasi antara orang tua dan anak merupakan awal terjadinya tindak kekerasan di lingkungan keluarga dan membuat anak memilih berada di jalanan. (Jurnal Psikologi Sosial no 2/ th I/ Maret/ 1989 dalam Garliah, 2010).

(4)

Dampak krisis ekonomi yang tak kunjung usai, salah satunya adalah masalah sosial yang membutuhkan pemecahan secepatnya adalah banyaknya anak-anak jalanan yang belakangan ini mencemaskan. Anak-anak jalanan adalah anak-anak yang berusia antara 6-18 tahun yang menghabiskan semua waktu mereka untuk bekerja di jalanan, pusat keramaian (mall, restoran, dan lain-lain) baik sebagai pedagang atau pengasong, pemulung, pengemis, pengamen, penyemir sepatu, parkir mobil, pekerja seks, kuli atau buruh pasar, ojek payung, jasa penumpang jalan three in one, berkeliaran tidak menentu, atau lainnya. Anak-anak jalanan ini perlu memperoleh perhatian khusus karena selain rawan terhadap perlakuan buruk (kasar) dari pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab (preman atau oknum, yang ingin mengambil manfaat dari kehadiran anak jalanan), juga yang tak kalah memprihatinkan adalah ancaman terhadap kelangsungan pendidikan anak-anak jalanan di masa depan, karena mereka merupakan generasi penerus bangsa ini di masa yang akan datang (dalam kompas, 2010).

Jumlah anak jalanan di berbagai kota besar dengan mudah dapat diperhatikan dengan jelas, sebab terus tumbuh dan berkembang. Meskipun sebenarnya sudah cukup banyak upaya di lakukan, baik oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mengurangi jumlah anak jalanan,(Jurnal Perlindungan Anak, Volume 1 No 2/ November 1999).

Suatu survei mengenal anak jalanan oleh Universitas Atmajaya pada tahun 2000 yang berjudul “situasi anak jalanan di Indonesia”: hasil pemetaan dan survei sosial di 12 kota menemukan bahwa hampir setengah dari anak-anak yang di survei baru terjun ke jalanan pada awal krisis ekonomi (dalam Fitriani, 2001).

(5)

Menurut aktifis Urban Poor Concertium (UPC) Edi saidi, anak jalanan terjun ke jalanan karena keinginan sendiri, namun ada juga karena di dorongan-dorongan orangtua/ di eksploitasi. Bukan rahasia lagi bila anak jalanan adalah korban kemiskinan dan eksploitasi orangtuanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga, anak-anak itu terpaksa berkeliaran di prempatan jalan, lampu merah, pusat perbelanjaan, stasiun kereta, terminal, jembatan penyebrangan orang untuk mendapatkan rezeki (berita kota. Minggu, 4 november 2007)

Perkiraan jumlah anak jalanan di Indonesia sangat bervariasi. Proses estimasi HIV Nasional yang di lakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2002 memperkirakan bahwa jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia adalah 70.900 jiwa (Republik Indonesia, 2003). Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK) pada tahun 2000 mengajukan perkiraan yang jauh lebih besar yaitu 1,7 juta anak jalanan di seluruh Indonesia dengan 40.000 di Jakarta saja (Dursin dalam Rosenberg 2003).

Ada sejumlah indikasi bahwa jumlah anak jalanan melonjak tajam akibat semakin parahnya krisis ekonomi yang sudah berlangsung sejak tahun 1997. Contoh nya Komisi Nasional Perlindungan Anak percaya bahwa Jakarta hanya memiliki 15.000 anak jalanan sebelum tahun 1997 (Dursin dalam Rosenberg 2003).

Sanistuti dan Suyanto (dalam Prasadja dan Agustian, 2000), anak jalanan adalah istilah yang dipakai oleh masyarakat terhadap seseorang / sekelompok

(6)

orang yang cenderung memiliki warna kehidupan status dan kadang terorganisirny oleh tokoh yang mempunyai karisma di lingkungan nya serta perilaku sehari-hari yang cenderung menyimpang dan aturan/ ketentuan yang berlaku.

Usia anak jalanan berkisar antara 6 sampai dengan 18 tahun. Rentang usia ini dianggap rawan karena mereka belum mampu berdiri sendiri, labil mudah terpengaruh dan belum mempunyai bekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup. Di jalanan memang ada anak usia 5 tahun ke bawah, tetapi mereka biasanya dibawa orang tua atau disewakan untuk mengemis. Memasuki usia 6 tahun biasanya dilepas atau mengikuti temannya. Anak-anak yang berusia 18 sampai dengan 21 tahun dianggap sudah mampu bekerja atau mengontrak rumah sendiri bersama temantemannya. Anak jalanan dikelompokkan menjadi 3 tipologi yaitu anak yang mempunyai resiko tinggi (children at high risk), anak yang bekerja di jalan untuk membantu keluarganya (children on the street) dan anak yang hidup kesehariannya di jalan (children of the street),( Setiawan, 2010).

Departemen Sosial Republik Indonesia, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah, berkeliaran di jalanan/ tempat umum (dalam Prasadja dan Agustian 2000).

ILO-IPEC melaporkan bahwa banyak anak jalanan bekerja rata-rata 10 jam/ hari. Mereka yang masih bersekolah kebanyakan menghabiskan waktu 5 jam/ hari untuk bekerja di jalanan (ILO IPEC, 2001). Walaupun banyak dari anak-anak ini yang telah meninggalkan rumah karena mengalami kekerasan atau ditelantarkan, mayoritas masih tinggal dengan orangtua mereka/ secara teratur

(7)

berhubungan dengan mereka. Dari 39.861 anak jalanan yang di survey di 12 kota di Indonesia oleh Universitas Atmajaya pada tahun 2000, 80% mengatakan masih berhubungan dengan keluarga mereka (Darsin dalam Rosenberg, 2003).

Tiap tahun jumlah anak jalanan tidak pernah berkurang, bahkan cenderung bertambah. Tahun 2007, menurut Dinas Bina Mental dan Kesejahteraan Sosial (disbin talkessos) mencatat di 53 titik lampu merah di Jakarta yang merupakan kawasan rawan anak jalanan terdapat sekitar 8.000 anak (berita kota, minggu 4 november 2007). Berdasarkan pada informasi survei dari unit penelitian dan pengabdian masyarakat sekolah tinggi ilmu statistik (UPPM-STIS) pada triwulan I 2001 di DKI Jakarta (dalam Fitriani, 2001) memperlihatkan bahwa factor penyebab menjadi anak jalanan yang paling banyak adalah akibat korban eksploitasi kerja (37,47%), tidak punya tempat tinggal (20,07%), keluarga tidak harmonis, (18,35%). Bial dilihat dari aktivitas anak jalanan, hasil survey menunjukan yang paling dominan adalah mengamen (54,61%), mengasong (29,05%), mengamen (6,24%). Usman dan Nachrani (2004) menyebutkan bahwa anak-anak cepat masuk ke pasar tenaga kerja di pengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: Faktor ekonomi, sosial, budaya dan psikososial, seperti perilaku orangtua yang buruh, peceraian, suasana rumah tangga yang tidak baik.

Anak remaja jalanan juga tak lepas dari masalah percintaan, sama hal nya dengan anak-anak remaja lainnya yang tidak hidup di jalanan. Masa remaja adalah masa yang menyenangkan, meski bukan berarti tanpa masalah. Banyak proses yang harus dilalui seseorang dimasa transisi kanak-kanak menjadi dewasa.

(8)

Perubahan fisik yang cepat dan aktivitas hormon seksual kemudian menimbulkan perubahan perubahan psikis maupun sosial.

Seks dikalangan remaja kini sudah menjadi rahasia umum. Faktanya, 15% remaja Indonesia telah melakukan hubungan seks sebelum menikah (sumber lain menyatakan lebih dari 63%). Kebanyakan dilakukan bersama pacar atau teman. Ada beragam alasan yang menjerumuskan remaja kedalam hubungan seks pranikah. Selain rasa penasaran atau suka sama suka, hal yang paling penting adalah kurangnya pemahaman remaja terhadap isu seksual. Remaja Indonesia masih minim mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi, karena untuk penyampaian informasi mengenai hal itu masih dianggap tabu. Selain itu, lebih dari 80% remaja merasa lebih nyaman membicarakan masalah seksual dengan teman. Sehingga tidak menutup kemungkinan informasi yang mereka terima masih simpang siur. Padahal jika mereka tahu resiko dari berhubungan seksual pranikah, angka-angka tersebut seharusnya bisa lebih ditekan(dalam Zahra, 2010).

Sebagian besar anak jalanan berpendidikan rendah (SD-SLTP), bahkan ada yang putus sekolah. Setiap hari mereka sibuk mencari nafkah atau berada di jalanan. Sebagian besar mereka di jalanan antara 3-5 jam atau bahkan 6-8 jam per hari, sehingga tidak ada kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan kesehatan reproduksi yang benar. Hal ini di dukung hasil penelitian yang menunjukan bahwa pengetahuan mengenai seksualitas yang termasuk pengetahuan kesehatan reproduksi masih rendah (Salim, 2000).

(9)

Dengan perkembangan kognisi dan emosi-emosi yang menyertai perkembangan fisikseksual, secara psikologis remaja mulai merasakan individualitasnya, menyadari perbedaannya dari jenis kelamin yang lain, merasakan keterpisahan-keterasingan dari dunia kanak-kanak yang baru saja dilaluinya, namun juga masih asing dengan dunianya. Pendidikan seks sejak dini diperlukan agar kita memiliki kemampuan dalam hal ini berfikir dan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk untuk kebutuhan kita. Anak jalanan kebanyakan adalah remaja-remaja yang tanggung. Kebersihan diri terutama organ-organ reproduksi menjadi terabaikan. Informasi-informasi yang mereka dapatkan tidak secara komperehensif mereka pelajari makna yang terkandung di dalam nya. Seringkali merteka memahami seks hanya sebatas apa yang mereka liat di media yang seringklai tampil tidak sesuai porsi nya, cenderung pornografi. Parah nya lagi banyak di antara mereka kemudian mencoba untuk menyalurkan apa yang mereka pahami tersebut bersama teman sebaya, sesama anak jalanan. Bahkan belakangan ini, banyak pula di antara mereka yang di eksploitasi oleh orang-orang yang mengalami kelainan seksual seperti phedofilia. Prilaku dan pemahaman yang salah akan pemaknaan terhadap seks ini berpotensi menimbulkan banyak masalah. Anak jalanan menjadi rawan terhadap berbagai jenis penyakit yang di timbulkan, (Rahayu.T.I, 2004).

Di lain pihak, informasi yang akurat mengenai seksualitas sulit mereka dapatkan. Sebagai anak atau sebagai seorang remaja, mereka memahami bahwa seks itu terlarang bagi mereka,tetapi di sisi lain seks juga terlihat sebagai hal yang menyenangkan. Di tengah budaya jalanan yang serba permisif, mereka lalu

(10)

memiliki peluang yang besar untuk memuaskan rasa ingin tahunya tentang seks. Pada kenyataannya banyak anak jalanan terlibat dengan aktivitas seksual di usia yang sangat muda.

Awalnya mungkin karena alasan romantisme (Rajani & Kudrati, 1996) namun pada akhirnya banyak yang terseret ke dalam dunia pelacuran anak (Harahap, 2000). Seperti yang pernah dilaporkan dari Lombok, Bali, dan Jakarta, anak termuda yang memasuki dunia pelacuran berusia 10 tahun (Tiras, Forum Keadilan, Jakarta Post dalam Irwanto, 1999). Penelitian yang dilakukan Yayasan Duta Awam juga mengungkapkan bahwa 12.9% dari anak jalanan yang diteliti di Semarang, mengaku pertama kali melakukan hubungan seksual karena dipaksa oleh pekerja seks atau orang lain yang lebih tua, pada saat mereka berusia 9 tahun (Suara Karya, 10 Juni, 1997). Bagi mereka kehilangan keperawanan pada usia 13 tahun bukanlah hal yang mengagetkan (Simanjuntak, 2000). Anak-anak jalanan perempuan menjadi sangat rentan untuk hamil di usia yang sangat muda, sehingga sebagian dari mereka memberanikan diri untuk menikah dan mempunyai anak.

Sebagai Bangsa Indonesia yang sama-sama di lindungi oleh UUD 1945, kita harus sangat peduli memperhatinkan anak jalanan secara detail, secara menyeluruh termasuk pula tentang pemahaman seks yang dapat menunjang pada peningkatan pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi. Peningkatan kesehatan mereka dapat membantu program peningkatan derajat kesehatan secara menyeluruh. Hal ini dapat meningkatkan kualitas SDM negara kita karena mereka juga adalah generasi penerus yang berhak mempunyai harapan, mempunyai kehidupan yang layak baik suatu saat nanti.

(11)

1.1. Rumusan Masalah

Prasadja dan Agustian (2000) mengatakan bahwa anak jalanan adalah

sebagian anak yang berusia 18 tahun yang sebagian besar waktunya di pergunakan menjalankan berbagai aktivitas di jalanan/ di tempat umum lainnya. Aktivitas anak jalanan bukan hanya yang bertujuan mencari uang/mencari nafkah tetapi juga aktivitas lain seperti bermain dan beristirahat.

Menurut Kusumanegara (dalam Prsadja dan Agustian, 2000), ada dua kelompok anak jalanan:

1. Anak yang melakukan kegiatan di jalan, pasar, terminal, dan tempat-tempat umum lainnya guna memenuhi kebutuhan pribadi maupun untuk membantu keluarga.

2. Anak yang melakukan kegiatan di jalan, tidak memiliki tujuan yang jelas dan mengganggu ketertiban umum.

Anwar (dalam Prasadja dan Agustian, 2000), menyatakan dua kategori anak jalanan:

1. Anak yang hidup di jalanan yang meghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya, namun hanya sedikit waktu yang mereka gunakan untuk bekerja

2. Anak yang bekerja di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya untuk bekerja dan penghasilannya dipergunakan untuk membantu keluarga.

(12)

Hal yang menyebabkan anak berpotensi menjadi anak jalanan yaitu karena kemiskinan. Kemiskinan adalah hal yang sangat berperan yang menjadikan banyak nya anak jalanan. Anak jalanan juga tak luput dari berbagai perilaku/gaya hidup nya, salah satu nya adalah dalam pendidikan seksual nya. Pendidikan yang kurang, menyebabkan anak-anak jalanan tidak mengetahui apa arti dari seksual itu sendiri, kebanyakan anak jalanan mengetahui hanya dari teman-teman nya saja yang juga tidak mengetahui arti dari seksual itu sendir dan dampak nya. Rumusan masalah berdasarkan uraian di atas adalah “Bagaimana perilaku seksual pada remaja jalanan??”

1.2. Tujuan penelitian

Tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang perilaku seksual remaja jalanan dan selain dari itu untuk mengetahui pemahaman remaja jalanan tentang penyimpangan perilaku seksual dan dari mana mereka mengetahui tentang penyimpangan perilaku seksual tersebut.

1.3. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini di harapkan dapat menyelesaikan penggunaan teori, menambah informasi dan pengertahuan dalm bidang psikologi, terutama psikologi sosial dan psikologi perilaku seksual , mengenai gambaran perilaku seksual remaja pada anak jalanan.

(13)

Sebagai informasi untuk mengetahui lebih jauh gambaran perilaku seksual remaja pada anak jalanan.

1.4. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI

Untuk mengetahui gambaran dari skripsi ini maka disusun sistematika penelitian sebagai berikut:

Bab I merupakan Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian.

Bab II merupakan Tinjauan Kepustakaan yang meliputi berbagai dasar

teori mengenai konsep-konsep penelitian mencakup anak jalanan, teori perkembangan remaja, dan teori seksual.

Bab III merupakan Metode Penelitian yang digunakan oleh peneliti,

dimana pembahasannya meliputi jenis penelitian, sample, instrumen penelitian, serta analisis dan interpretasinya.

Bab IV merupakan Analisis dan Interpretasi Data yang mengungkapkan

hasil dari penelitian yang diperoleh.

Bab V yaitu mengenai Kesimpulan, Diskusi dan Saran dari keseluruhan

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Jumat Tanggal Lima Belas Bulan Juli Tahun Dua Ribu Sebelas bertempat di Kantor Stasiun Geofisika Klas I Kupang pada pukul 09.00 Wita, Panitia

(5) Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah pemberian layanan perizinan IMB menggunakan indeks berdasarkan fungsi, klasifikasi,

Saya bertugas di SMPN 5 Satu Atap Medang Deras ini sudah hampir 4 tahun. Perilaku membolos yang sering terjadi di sekolah ini yaitu siswa atau siswi yang

Kecamatan Luas Mina Padi (Ha.) Karper Produksi (Kw.) Nilai (Ribu Rp) 257 Temanggung Dalam Angka Tahun

Pembuatan dengan teknik tangan dapat terlihat dari adanya bekas jari-jari pada permukaan gerabah serta ketebalan yang tidak merata, teknik pijit dipadukan dengan tatap

Statistik inferensial juga digunakan untuk menguji hipotesis penelitian untuk mengumpulkan data tentang pengaruh penyesuaian sosial terhadap hasil belajar peserta

Sifat larut air ini menunjukkan bahwa dinding sel bakteri Gram positif bersifat lebih polar, sehingga senyawa bioaktif yang bersifat polar dengan mudah masuk

Adapun penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan judul penelitian yang saya lakukan adalah dari Afifah 23 dengan judul Analisis Perbandingan tingkat Kualitas