• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan

Hutan adalah suatu wilayah yang ditumbuhi pepohonan, juga termasuk tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. Pohon merupakan bagian yang dominan diantara tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan. Berbeda letak dan kondisi suatu hutan, berbeda pula jenis dan komposisi pohon yang terdapat pada hutan tersebut. Sebagai contoh adalah hutan di daerah tropis memiliki jenis dan komposisi pohon yang berbeda dibandingkan dengan hutan pada daerah temprate (Rahman, 1992).

Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di bumi ini. Hutan juga merupakan suatu asosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian besar terdiri atas pohon-pohon atau vegetasi berkayu yang menempati areal luas. Hutan juga sebagai masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan berbeda dengan keadaan di luar hutan. Di dalam hutan juga akan terjadi persaingan antar anggota-anggota yang hidup saling berdekatan, misalnya persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari, ataupun tempat tumbuh. Persaingan ini tidak hanya terjadi pada tumbuhan saja, tetapi juga pada binatang (Arief, 2001).

Irwan (1992), mengatakan hutan hujan tropis sangat menarik, merupakan ekosistem yang klimaks. Tumbuh-tumbuhan yang ada dalam hutan ini tidak pernah menggugurkan daunnya secara serentak, kondisinya sangat bervariasi seperti ada yang sedang berbunga, ada yang sedang berbuah, ada yang ada dalam

(2)

perkecambahan atau berada dalam tingkatan kehidupan sesuai dengan sifat atau kelakuan masing-masing jenis tumbuh-tumbuhan tersebut. Hutan hujan tropis memiliki vegetasi yang khas daerah dan menutupi semua permukaan daratan yang memiliki iklim panas, curah hujan cukup tersebar merata.

Hutan memiliki manfaat bagi manusia berupa manfaat langsung dirasakan maupun manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin ekosistemnya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin ekosistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Manfaat hutan secara tidak langsung meliputi fungsi fungsi ekologi seperti membantu memperbaiki atmosfer dengan penyediaan oksigen, memperbaiki lingkungan hidup dalam berbagai bentuk misalnya mencegah terjadinya tanah longsor dengan menahan air hujan, serta menjadi tempat tinggal beberapa jenis tanaman dan binatang tertentu yang tidak bisa hidup di tempat lainnya. Manfaat hutan secara langsung dapat berupa fungsi ekonomi dan sosial dari hutan yang akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumber daya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan (Zain, 1992).

Daniel et al. (1992), menyatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain : (1) pengembangan dan penyediaan atmosfer yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batubara), (3) pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan habitat dan makanan untuk binatang, serangga, ikan, dan burung, (6) penyediaan materil bangunan, bahan bakar dan hasil hutan, (7) manfaat penting lainnya seperti nilai

(3)

estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil , berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Hutan alam di indonesia sebagian besar menempati tipe hutan tropis basah yang didominasi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae (Marsono, 1991). Dataran yang ditempati oleh hutan ini adalah rata dan juga bergelombang, meskipun hutan ini dapat meluas ke bagian bawah lereng-lereng gunung sampai ketinggian kira-kira 100 meter diatas permukaan laut (3.218 kaki) atau bahkan lebih (Polunin, 1990).

Hutan Hujan Tropis

Hutan hujan tropis merupakan jenis vegetasi yang paling subur. Hutan jenis ini terdapat di wilayah baru tropika atau didekat wilayah tropika di bumi yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 – 4000 mm setahunnya. Suhunya tinggi (sekitar 250 – 260 C) dan seragam, dengan kelembaban rata-rata sekitar 80%. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan tinggi maksimun rata-rata 30 m. Tajuk pepohonan dengan tumbuhan terna, perambat, epifit, pencekik, saprofit dan parasit (Ewusie, 1980).

Hutan hujan tropik (tropical rain forest) terdapat di daerah tropis basah dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun, seperti di Amerika Tengah dan selatan, Afrika, Asia Tenggara Timur Laut. Dalam kawasan ini pohon-pohonnya tinggi, pada umumnya berdaun lebar, hijau dan jenisnya besar (Syahbuddin, 1987).

Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis, yang merupakan masyarakat yang kompleks, tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya, cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan

(4)

temperatur lebih rendah. Pohon pohon kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di dalam lingkungan pohon-pohon dengan iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di dalam lingkungan pohon-pohon dengan iklim mikro dari kanopi berkembang juga tumbuhan yang lain seperti pemanjat, epifit, tumbuhan pencekik, parasit dan saprofit (Irwanto, 2006).

Arief (1986) dalam Indriyanto (2006), menjelaskan bahwa di hutan hujan tropik terdapat stratifikasi tajuk dari berbagai spesies pohon yang berbeda ketinggiannya. Tajuk pohon yang bersatu dan rapat dtambah dengan adanya tumbuh-tumbuhan pemanjat yang menggantung dan menempel pada dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal itu, menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus sampai ke lantai hutan. Hal itu juga menyebabkan tidak memungkinkan semak-semak tumbuh dan berkembang, kecuali jenis cendawan yang suka hidup di tempat yang kurang cahaya. Ciri-ciri khas tersebut dimiliki oleh hutan hujan tropik. Di indonesia, hutan hujan tropik terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Hutan tersebut mempunyai lebih kurang 3000 jenis pohon besar dan termasuk ke dalam 450 marga atau genus.

Longman & Jenik (2008), mendefinisikan hutan hujan tropik sebagai hutan yang selalu hijau, bersifat higrofilus, tinggi pohon paling rendah 30 m, kaya akan liana berbatang tebal dan memiliki epifit bersifat herba dalam jumlah yang besar. Meyers (1976) dalam Mabberly (1983), memberi definisi hutan hujan tropik dengan sebutan hutan evergreen, memiliki curah hujan tidak kurang dari 100 mm setiap bulan dengan suhu rata-rata tahunan lebih dari 240C serta bebas beku.

(5)

Posisi hutan hujan tropik di daerah ekuator menjadikannya lebih banyak mendapat radiasi matahari daripada hutan-hutan yang ada di luar ekuator serta tidak adanya periode musim yang mengurangi lamanya hari terang. Sekalipun demikian, daerah tropik tidak termasuk daerah yang memiliki iklim seragam, arah angin dan arus laut kontinental membuatnya memiliki variasi curah hujan, kelembaban relatif, temperatur dan angin (Longman & Jenik 1987).

Pohon

Pohon-pohon menjadi organisme dominan di hutan tropis, bentuk kehidupan pohon berpengaruh pada psiognomi umum, produksi dasar dan lingkaran keseluruhan dari komunitas. Banyak ciri-ciri pohon tropis berbeda dengan daerah lain mengingat terdapat ciri-ciri tertentu dan kebiasaan bercabang buah-buahan dan sistem akar yang jarang dan tidak pernah dijumpai di bagian bumi lain (Longman & Jenik, 1987).

Menurut Sutarno & Soedarsono (1997), pohon hutan merupakan tumbuhan yang berperawakan pohon, batangnya tunggal berkayu, tegak biasanya beberapa meter dari tanah tidak bercabang, mempunyai tajuk dengan percabangan dan daun yang berbentuk seperi kelapa. Menurut Whitmore (1986) dalam Tamin (1991), pohon tumbuh serta alami di hutan dalam bentukyang dominan dalam hutan hujan, bahkan tumbuhan bawah sebagian besarnya terdiri daripada tumbuhan berkayu yang mempunyai bentuk pohon. Untuk keperluan inventarisasi, pohon dibedakan menjadi stadium seedling, sapling, pole, dan pohon dewasa. Wyatt-Smith (1963) dalam Soerianegara & Indrawan (1978), membedakan sebagai berikut :

(6)

b) Sapling (pancang, sapihan) yaitu permudaan yang tingginya 1,5 m lebih sampai pohon-pohon muda berdiameter kurang dari 10 cm.

c) Pole (tiang) yaitu pohon-pohon muda yang berdiameter 10-35 cm.

d) Tree (pohon dewasa) yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 35 cm yang diukur 1,3 m dari permukaan tanah.

Vegetasi

Vegetasi merupakan kumpulan dari beberapa jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh bersama-sama pada satu tempat dimana antara individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik di antara tumbuh-tumbuhan maupun dengan hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan tersebut. Dengan kata lain, vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan dimana individu-individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai suatu komunitas yumbuh-tumbuhan (Ruslan, 1986).

Analisis Vegetasi

Menurut Soerianegara & Indrawan (1978) yang dimaksud analisis vegetasi atau studi komunitas adalah suatu cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Cain & Castro (1959) dalam Soerianegara & Indrawan (1978) mengatakan bahwa penelitian yang mengarah pada analisis vegetasi, titik berat penganalisisan terletak pada komposisi jenis atau jenis. Struktur masyarakat hutan dapat dipelajari dengan mengetahui sejumlah karakteristik tertentu diantaranya, kepadatan, frekuensi, dominansi, dan nilai penting.

(7)

Struktur dan Komposisi Hutan

Struktur merupakan lapisan vertikal dari suatu komunitas hutan. Dalam komunitas selalu terjadi kehidupan bersama saling menguntungkan sehingga dikenal adanya lapisan-lapisan bentuk kehidupan (Syahbudin, 1987). Selanjutnya Daniel et al. (1992), menyatakan struktur tegakan atau hutan menunjukkan sebaran umur atau kelas diameter dan kelas tajuk. Soerianegara & Indrawan (1978) dalam Indriyanto (2005), menguraikan stratifikasi hutan hujan tropis menjadi lima stratum yaitu :

1. Stratum A (A-storey), yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m.

2. Stratum B (B-storey), yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m.

3. Stratum C (C-storey), yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4-20 m.

4. Stratum D (D-storey), yaitu lapisan tajuk keempat dari atas yang dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m.

5. Stratum E (E-storey), yaitu lapisan tajuk paling bawah (lapisan kelima dari atas) yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang tingginya 0-1 m.

Mengapa C Tersimpan Perlu Diukur

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan

(8)

tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O) yang lebih

dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Konsentrasi GRK di atmosfir meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan

China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2

pertahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia

(Hairiah dan Rahayu, 2007).

Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang

diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintasis, CO2 di udara diserap oleh

tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (Csequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan

(9)

dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfir yang diserap oleh tanaman

(Hairiah dan Rahayu, 2007).

Lebih lanjut Hairiah dan Rahayu (2007) mengatakan, tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi

(pelapukan) seresah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar.

Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan

dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin

dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jadi,

mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO2 yang berlebihan di udara. Jumlah “C tersimpan” dalam setiap penggunaan

lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai “cadangan C”. Penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas-permukaan

(10)

(above-ground carbon stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan karbon bawah-permukaan (below-ground carbon stocks) (Murdiyarso et al, 2004). Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang mampu diserap

oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilannya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi bangunan- bangunan dari aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Meskipun laju fotosintesis pada lahan pertanian dapat menyamai laju fotosintesis pada hutan, namun jumlah cadangan karbon yang terserap lahan pertanian jauh lebih kecil. Selain itu, karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segara dilepaskan kembali ke atmosfir melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen maupun pengangkutan hasil panen. Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg ha-1 C. Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang

(11)

dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomassa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi (Rahayu, S et al, 2007).

Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan: (a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Kondisi Umum Hutan Pendidikan USU

Taman Hutan Raya Bukit Barisan Sumatera Utara ditetapkan dalam satu unit pengelolaan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi. Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 48 Tahun l988 tanggal 19 November 1988 Kawasan Hutan Sibolangit telah ditetapkan menjadi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan dengan luas areal seluruhnya 51.600 Ha. Yang meliputi 4 (empat) wilayah kabupaten. Kawasan tersebut, sebagian besar merupakan hutan lindung, yaitu hutan lindung Sibayak I, hutan lindung Simacik, hutan lindung Sibayak II, hutan lindung Simacik II, hutan lindung Sinabung dan Suaka Margasatwa Langkat Selatan.

Wilayah kerja pengembangan meliputi seluruh kawasan Taman Hutan Raya Bukit Barisan yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun.

(12)

Luas keseluruhan areal Taman Hutan Raya Bukit Barisan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 48 tahun 1988 seluas 51.600 Ha, dan terletak di empat Kabupaten, yaitu :

- Kabupaten Langkat seluas 13.000 Ha - Kabupaten Deli Serdang seluas 17.150 Ha - Kabupaten Simalungun seluas 1.645 Ha - Kabupaten Tanah Karo seluas 19.805 Ha Perincian letak per-kawasan hutan adalah sebagai berikut :

- Lindung Sinabung seluas 13.448 Ha

- Hutan Lindung Sibayak 1 seluas 7.030 Ha - Hutan Lindung Sibayak II seluas 6.350 Ha - Hutan Lindung Simacik 1 seluas 9.800 Ha - Hutan Lindung Simacik II seluas 1.645 Ha - Taman Wisata Alam Lau Debuk-debuk seluas 7 Ha - Bumi Perkemahan Pramuka Sibolangit seluas 200 Ha - Cagar Alam/Taman Wisata Alam Sibolangit seluas 120 Ha - Suaka Margasatwa Langkat Selatan seluas 13.000 Ha (Dinas Kehutanan, 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel 1 dan gambar 3 dapat dilihat bahwa pada pengenceran larutan pasta gigi yang mengandung xylitol dengan konsentrasi 0,001%, 0,01% dan 0,1% tidak terbentuk

dikuasai dengan baik, maka peserta didik diharapkan dapat menjelaskan tentang:  Menyajikan data dan fakta tentang kebenaran kandungan kitab suci Al-Qur’an  Menyampaikan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Perencanaan Pembinaan dan Pengawasan

The objective of the study are to characterize soil properties formed from young volcanic materials of the strato-volcanoes landforms, and to determine land suitability for annual

Chalkboard Asia sebagai perusahaan jasa pemegang digital marketing Extra Joss blend dalam membangun brand image dari perusahaan tersebut sebagai minuman berenergi, digital

BTS (Base Transceiver Station) menangani interface radio ke mobile station (Handphone) yang digunakan oleh pelanggan BTS adalah merupakan perangkat radio yang terdiri atas

Hasil akhir nilai kinerja guru dengan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah (kepala sekolah/madrasah, wakil kepala sekolah/madrasah,

Sensor 1 dan 2 adalah rotary encoder yang digunakan untuk mengetahui posisi sudut Pusat pengendalian sistem menggunakan Digital Signal Processor TMS320F2812 yang