DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Pernyataan Judul ... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi ... iv
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... ix
Daftar Gambar ... xi
Daftar Tabel ... .xii
Glosarium ... xiii Abstrak ... .xvi Abstract ... .xvii BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1.Latar Belakang ... 1 1.2.Rumusan Masalah ... 10 1.3.Tujuan ... 11 1. Tujuan Umum ... 11 2. Tujuan Khusus ... 11 1.4.Manfaat Penelitian ... 11 1.4.1. Manfaat Teoritis ... 11 1.4.2. Manfaat Praktis ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1.Kajian Pustaka ... 13 2.2.Kerangka Konsep ... 15 2.2.1. Dilematika ... 15 2.2.2. Perkawinan ... 15 2.2.3. Tungku ... 16 2.2.4. Perkawinan Tungku ... 16 2.2.5. Aturan Perkawinan ... 17
2.2.6. Aturan Perkawinan Gereja Katolik ... 18
2.3.Kerangka Teori ... 19
2.4.Kerangka Pemikiran ... 24
BAB III METODE PENELITIAN ... 28
3.1. Jenis Penelitian ... 28
3.2. Lokasi Penelitian ... 28
3.3. Penentuan Informan ... 29
3.4. Jenis Dan Sumber Data ... 29
3.5. Instrumen Penelitian ... 30
3.5.1. Observasi ... 30
3.5.2. Wawancara Mendalam... 31
3.5.3. Dokumentasi ... 31
3.6. Teknik Analisis Data... 31
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33
4.1. Gambaran Umum ... 33
4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 33
4.1.2. Gambaran Umum Masalah Penelitian ... 36
4.2. Bentuk Dan Proses Perkawinan Tungku Serta Aturan Perkawinan Gereja Katolik Roma ... 43
4.2.1. Bentuk Perkawinan Tungku ... 46
4.2.1.1. Tungku Cu ... 46
4.2.1.2. Tungku Neteng Nara ... 48
4.2.1.3. Tungku Anak Rona Musi ... 49
4.2.2. Proses Terjadinya Perkawinan Tungku ... 49
4.2.3. Aturan Perkawinan Gereja Katolik Roma ... 55
4.3. Akibat Perkawinan Tungku Pada Masyarakat Desa Nekang ... 68
4.3.1. Akibat Positif Perkawinan Tungku ... 68
4.3.2. Akibat Negatif Perkawinan Tungku ... 74
4.3.3. Upaya Yang Dilakukan Masyarakat Desa Nekang Dalam Memperjuangkan Legalitas Perkawinan Tungku Seturut Tata Cara Katolik .. 81
4.4. Analisis Dilematika Antara Perkawinan Tungku Dengan Aturan Perkawinan Katolik Roma Di Manggarai ... 85
BAB V PENUTUP ... 88
5.1. Kesimpulan ... 88
5.2. Saran ... 90
5.2.1. Saran Bagi Masyarakat Desa Nekang ... 90
5.2.2. Saran Bagi Pihak Gereja ... 91
5.2.3. Saran Bagi Pemerintah Manggarai ... 91 Daftar Pustaka
Pedoman Wawancara Daftar Informan Foto Penelitian
ABSTRAK
Topik yang dibahas pada skripsi ini bercerita tentang fenomena perkawinan sedarah yang terjadi pada masyarakat desa Nekang, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Perkawinan sedarah pada masyarakat desa Nekang ini dikenal dengan sebutan kawing tungku. Kawing tungku yang ada pada masyarakat desa Nekang merupakan budaya perkawinan yang sudah diwariskan secara turun temurun. Perkawina tungku masyarakat desa Nekang terdiri atas tiga,yaitu: tungku cu, tungku neteng nara, tungku anak rona musi. Sebagai masyarakat yang mayoritas memeluk ajaran agama Katolik Roma, perkawinan tungku masyarakat desa Nekang sangat dilarang oleh pihak gereja. Aturan ini sudah dimuat dalam Kanonik gereja. Fenomena ini menyebabkan dilema bagi masyarakat desa Nekang. Skripsi ini terbagi atas lima bab, dimana bab pertama berisi latar belakang pemilihan masalah dan beberapa fokus masalah yang diteliti. Teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian beserta panduan dari hasil penelitian terdahulu termuat dalam bab dua. Pada bab tiga dibicarakan tentang metode serta pendekatan yang dipakai selama penelitian berlangsung. Pembahasan secara keseluruhan dari hasil penelitian akan dipaparkan dalam bab empat. Sebagai bagian akhir, bab lima menyajikan kesimpulan dan saran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini sangat cocok digunakan dalam mendeskripsikan fenomena perkawinan tungku pada masyarakat desa Nekang. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara, pengamatan dan dokumentasi di lapangan, serta data sekunder yang diperoleh dari beberapa buku referensi terkait topik yang diangkat. Dalam wawancara, informan dibatasi pada individu yang dianggap mengetahui secara pasti fenomena perkawinan tungku ini. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa masyarakat desa Nekang yang melakukan perkawinan tungku mengalami dilema karena harus dibatasi haknya oleh pihak gereja. Disini gereja tidak mengizinkan pernikahan tungku terjadi. Karena pihak gereja tidak bias meresmikan perkawinan tungku, maka oleh Negara pernikahan ini dianggap tidak sah. Dari permasalahan ini diharapkan agar antara pihak adat dan gereja mencari jalan tengah untuk menyelesaikan masalah ini.
ABSTRACT
Topics covered in this research tells about the phenomenon of marriage agreement that occurs in rural communities Nekang, Manggarai, East Nusa Tenggara. Marriage agreement in rural communities is known as the Nekang kawing tungku. Kawing tungku that exist in rural communities Nekang a marriage culture that has been passed down from generation to generation. Tungku mariagge in Nekang village community consists of three, namely: tungku cu, tungku neteng nara, tungku anak rona musi. As the majority of people who embraced the teachings of the Roman Catholic religion, marital furnace villagers Nekang strictly forbidden by the church. This rule is already contained in the canonical church. This phenomenon causes a dilemma for rural communities Nekang. This thesis is divided into five chapters, of which the first chapter provides the background of the election issues and some focus problems examined. The theory used as a reference in the study as well as instructions on previous research results contained in chapter two. In chapter three talked about the methods and approaches used during the study. Overall discussion of the research results will be presented in chapter four. As a final, chapter five presents conclusions and suggestions. The method used in this research is qualitative method. This method is suitable for use in describing the phenomenon of marriage Nekang tungku for the village community. The data used in this study are primary data obtained from interviews, observation and documentation in the field, as well as secondary data obtained from several reference books related to the topic. In the interview, the informant limited to individuals who are considered to know for sure this tungku marriage phenomenon. Based on this research, it is known that the villagers Nekang the mating tungku in a dilemma because they have their rights restricted by the church. Here the church does not allow marriage tungku occurs. Because the church is not biased formalize marriage tungku, then by state marriage is considered invalid. Of this problem is expected to be between the indigenous and the church find a middle ground to resolve this problem.
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial, dimana dalam kehidupanya individu akan selalu membutuhkan individu lain. Ini menunjukkan bahwa dalam setiap interaksi, individu selalu membutuhkan individu lain untuk mendengarkan dan membantu, karena manusia tidak mungkin hidup sendirian dan memenuhi segala kebutuhan dirinya sendirian.
Dengan melekatnya predikat pada manusia sebagai mahkluk sosial maka dengan sendirinya manusia masuk ke dalam kelompok-kelompok sosial. Di dalam kelompok ini manusia akan menjalani hubungan antara satu dengan yang lain dimana hubungan ini dikenal dengan sebutan hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan erat kaitannya dengan perkawinan. Berbagai macam jenis hubungan kekerabatan bisa lahir dari adanya satu ikatan perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan sangat terkait dengan kekerabatan seseorang.
Perkawinan selalu berhubungan dengan agama dan adat, karena agama dan adat telah dijadikan pengikat perkawinan satu pasangan. Meskipun agama dan adat merupakan pengikat dalam hubungan perkawinan, tetapi keduanya memiliki tata cara yang berbeda dalam mengesahkan perkawinan satu pasangan. Agama yang dianut akan menerapkan aturan perkawinan, sedangkan adat menerapkan aturan perkawinan yang sudah diatur dan diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang pasangan yang bersangkutan (Toda, 1999: 43).
Perkawinan menurut Haviland (dalam Atmaja, 2008: 21) merupakan suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seorang wanita dan pria yang mengukuhkan hak mereka untuk berhubungan seksual satu sama lain, dan menegaskan bahwa wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahirkan keturunan.
Dalam sosiologi, perkawinan merupakan salah satu bentuk kelompok sosial yang diklasifikasikan ke dalam kelompok primer. Cooley (dalam Soekanto dan Sulistyowati, 2014: 108) mengatakan bahwa kelompok primer adalah kelompok yang ditandai denga ciri-ciri saling mengenal antara anggotanya serta kerja sama yang memiliki hubungan pribadi. Hasil dari saling mengenal dan memiliki hubungan pribadi antara anggota kelompok ini diwujudkan ke dalam satu bentuk ikatan yang disebut sebagai ikatan perkawinan.
Perkawinan digolongkan ke dalam kelompok primer karena individu yang terlibat dalam perkawinan akan membentuk kelompok kecil yang didasari oleh hubungan pribadi antara kedua belah pihak. Selain memiliki hubungan pribadi, kedua belah pihak memiliki sebuah tujuan yang hendak dicapai oleh keduanya.
Menarik jika kita melihat fenomena perkawinan di Indonesia. Koentjaraningrat (Atmaja, 2008: 1) mengungkapkan bahwa kajian mengenai organisasi dan susunan sistem-sistem kekerabatan atau keluarga orang Indonesia sangat beraneka ragam. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari adat istiadat dan budaya yang menjadi faktor utama yang menyebabkan keragaman dalam sistem kekerabatan ini. Adat istiadat akan mempengaruhi setiap prosesi yang ada dalam sistem kekerabatan orang
Indonesia akan tetapi tetap tujuan akhirnya ialah menyatukan dua belah pihak yang ingin membangun kekerabatan.
Keragaman adat dalam sebuah hubungan kekerabatan dapat memberikan sedikit kesulitan bagi pasangan yang akan melakukan pernikahan lintas budaya. Kesulitan yang dihadapi tidak lain adalah mencari titik temu dari dua kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda. Akan tetapi, bagi para pengamat kebudayaan keadaan seperti ini merupakan sebuah hal yang wajar sebagai konsekuensi dari negara yang memiliki keragaman dalam kebudayaan dan adat istiadatnya. Bagi mereka ini merupakan sebuah kekayaan yang tidak dimiliki oleh negara lain. Oleh karena itu, budaya dan adat istiadat harus selalu dijaga keberadaanya (Dagur, 2004: 135).
Selain menjadi faktor utama dalam penyebab keragaman sistem kekerabatan di Indonesia, adat istiadat dan budaya juga dapat melahirkan dasar bagaimana suatu perkawinan itu terjadi. Seperti misalnya di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Janggur (2010: 49) menjelaskan bahwa dasar perkawinan orang Manggarai selain atas dasar cinta dari pria dan wanita tetapi didasari juga atas cinta dan pengakuan mereka terhadap Tuhan Sang Pencipta. Pandangan ini muncul karena orang Manggarai percaya bahwa Tuhan yang menciptakan manusia. Jika Tuhan tidak menciptakan pria dan wanita, maka pria dan wanita tidak akan saling mengenal dan mencintai satu sama lain. Oleh karena itu, dalam menyatukan cinta sebagai suami-istri, perlu juga memiliki ikatan yang melibatkan nilai-nilai yang diajarkan Tuhan melalui agama. Selain atas dasar cinta, pada zaman dahulu pernikahan orang Manggarai sering dilakukan atas dasar utang-piutang. Dimana masyarakat kecil yang
memiliki utang pada orang-orang kaya dan tidak dapat dibayar akan menikahkan anak gadisnya kepada anak atau si orang kaya tersebut. Pernikahan semacam ini masih ada hingga saat ini akan tetapi jumlahnya sudah tidak banyak lagi.
Lebih jauh dijelaskan bahwa bentuk perkawinan adat masyarakat Manggarai ada tiga, yaitu: perkawinan cangkang (perkawinan antar suku) yang bertujuan membentuk kekerabatan baru, perkawinan tungku (perkawinan sedarah) yang bertujuan untuk melestarikan hubungan kekeluargaan yang sudah terbentuk sejak lama agar tidak terputus, dan perkawinan cako (perkawinan sesama suku) (Janggur, 2010: 51-52).
Adapun tujuan dari pernikahan adat masyarakat Manggarai, pertama, untuk mendapat keturunan. Anak atau keturunan dalam tradisi Manggarai merupakan berkat yang kelihatan dari Tuhan Sang Pencipta. Kedua, menambah eratnya jalinan keluarga besar. Ketiga, perkawinan bertujuan untuk membahagiakan pria dan wanita yang saling mencintai (Janggur, 2010: 53-54).
Pernikahan adat Manggarai juga memiliki sifat luhur dan sejati, dimana perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita sifatnya monogami dan tidak dapat terpisahkan kecuali dipisahkan oleh maut. Pada dasarnya orang Manggarai akan memiliki pasangan lebih dari satu apabila pasangan yang sebelumnya sudah tiada atau meninggal dunia. Salah satu faktor yang menjadikan perkawinan adat Manggarai memiliki sifat monogami adalah belis atau mas kawin (paca). Belis (paca) yang berlaku pada masyarakat Manggarai tergolong sangat tinggi dan sangat menyulitkan pihak mempelai pria. Apabila pria mencintai wanita maka ia akan
bersungguh-sungguh untuk memenuhi segala syarat yang diberikan oleh pihak keluarga wanita yang dituangkan dalam belis (paca) (Janggur, 2010: 63).
Pada masyarakat Manggarai dikenal tiga jenis perkawinan adat dan salah satunya yaitu perkawinan sedarah (kawing tungku). Kawing tungku adalah perkawinan antara anak saudara dan anak saudari, baik dari saudara atau dari saudari kandung maupun dari saudara atau saudari sepupu. Intinya dalam kawing tungku yaitu adanya hubungan darah dari kedua belah pihak yang akan menikah. Dengan kata lain, kawing tungku merupakan perkawinan yang terjadi dalam keluarga yang sudah ada sejak lama yang bertujuan untuk memperpanjang atau mempererat lagi hubungan kekeluargaan tersebut (Nggoro, 2013: 99).
Fenomena yang berkembang pada masyarakat Manggarai terkait perkawinan tungku dewasa ini sudah sedikit melenceng dari hakikat perkawinan tungku yang sebenarnya, yaitu untuk mempererat hubungan kekeluargaan yang sudah ada sebelumnya. Perkawinan tungku oleh sebagian orang dijadikan sebagai jalan untuk menyelamatkan harta bendanya agar tidak sepenuhnya jatuh ke tangan orang lain terutama harta warisan. Hal semacam ini sering terjadi pada keluarga yang memiliki keturunan yang didominasi oleh salah satu jenis kelamin, misalnya laki-laki saja atau perempuan saja.
Perkawinan tungku terdiri atas tiga bentuk, yaitu : tungku cu, tungku neteng nara, dan tungku anak rona musi (Nggoro, 2013: 99). Tungku cu ialah perkawinan antara anak saudari kandung (mempelai pria) dan anak saudara kandung (mempelai wanita). Perkawinan tungku cu sebenarnya merupakan pemahaman awal dari pengertian
perkawinan tungku. Perkawinan tungku neteng nara merupakan perkawinan yang terjadi antara anak dari saudari sepupu (mempelai pria) dan anak dari saudara sepupu (mempelai wanita). Ada hal yang harus diperhatikan dalam perkawinan tungku neteng nara ini, dimana anak wina (pihak pria) melakukan pendekatan terhadap keluarga saudara kandung pada anak rona (pihak wanita). Inti dari pendekatan ini adalah untuk memohon doa restu. Perkawinan tungku anak rona musi adalah perkawinan hubungan darah dengan keluarga kerabat pemberi istri dalam hal ini dari pihak keluarga mertua laki-laki. Perkawinan tungku jenis ini dinilai melangkahi pihak anak rona (pihak pemberi istri) karena mempersunting keluarga dari pihak mertua laki-laki, akan tetapi perkawinan tungku jenis ini bukanlah perkawinan tabu (perkawinan jurak) (Nggoro, 2013: 101-103).
Menurut tradisi orang Manggarai mengenai kawing tungku bahwa anak laki-laki dari keluarga kerabat anak wina (pihak saudari), sedangkan anak perempuan dari pihak keluarga anak rona (pihak saudara). Apabila dalam tradisi ini terjadi perkawinan terbalik dari ketentuan yang ada, maka perkawinan ini akan disebut kawing jurak (perkawinan tabu). Perkawinan seperti itu tidak dikehendaki dalam adat Manggarai. Jika perkawinan terbalik ini terjadi, maka akan dianggap sebagai suatu kesialan bagi kedua belah pihak. Agar hal ini tidak terjadi lagi maka keluarga akan mengadakan upacara kepu munak (potong batang pisang). Makna dari upacara ini sebagai penghapus kesialan yang terjadi dalam keluarga yang bersangkutan. Kendati sudah melakukan ritual kepu munak, pasangan yang melakukan kawing jurak akan mendapat sangsi sosial dimana mereka diwajibkan untuk merantau dan tidak
menetap di kampung tersebut. Dan apabila mereka tidak merantau, maka tempat bermukim mereka ditempatkan di sisi luar kampung yang berbatasan langsung dengan hutan. Sangsi sosial semacam ini sangat menyudutkan kedua belah pihak (Nggoro, 2013: 100).
Pada masyarakat Desa Nekang di Manggarai umumnya perkawinan tungku sangat lazim terjadi. Hal ini dikarenakan banyak kerabat sedarah masyarakat Desa Nekang yang berdomisili di desa-desa lain dan untuk bertemu dengan keluarga di Desa Nekang hampir tidak pernah sama sekali. Hal ini akan mengakibatkan suatu keadaan dimana antara anak dari kedua belah pihak ini tidak saling mengenal walaupun sebenarnya mereka adalah keluarga. Ketika ada satu momen dimana mereka bertemu maka munculah perasaan cinta dan memutuskan untuk menikah. Maka terjadilah kawing tungku. Selain itu alasan lain dari masyarakat Desa Nekang melakukan perkawinan tungku adalah untuk menyelamatkan harta warisan agar tidak sepenuhnya jatuh ke tangan orang lain.
Perkawinan tungku pada masyarakat Desa Nekang pada dasarnya memiliki jenis dan aturan yang sama dengan perkawinan tungku di Manggarai pada umumnya, hanya saja ada beberapa ritual yang agak berbeda (Janggur, 2008: 135). Perbedaan ritual ini dinilai memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Desa Nekang itu sendiri, karena masyarakat Desa Nekang sendiri memiliki cikal bakal nenek moyang yang juga melakukan perkawinan incest atau perkawinan tungku. (Janggur, 2008: 137).
Perkawinan incest tidak hanya terjadi pada masyarakat Desa Nekang atau masyarakat Manggarai pada umumnya saja, akan tetapi masyarakat luar juga
melakukan pernikahan semacam ini, salah satunya di Bali pada pemerintahan raja-raja kuno. Atmaja ( 2008: 91-92) menjelaskan bahwa pada naskah “Hikayat Bali” diceritakan seorang penguasa Gelgel yang bernama Dalem Dewa Agung mengadakan perkawinan incest dengan saudari kandungnya yang baru datang dari Jawa, bernama Dewa Agung Istri. Akan tetapi bedanya incest raja Bali kuno dengan masyarakat Desa Nekang adalah jika raja Bali melakukan perkawinan dengan saudara atu saudari kandung sementara masyarakat Desa Nekang melakuakn incest bukan dengan saudara atau saudari kandung melainkan sepupu.
Ketika masyarakat Desa Nekang ada pihak yang ingin melaksanakan perkawinan tungku, maka segala gejolak sosial di masyarakat akan mulai bermunculan. Gejolak sosial yang dimaksud adalah berbagai macam tanggapan atau respon yang muncul dari tetangga sekitar maupun dari kerabat-kerabat lain. Secara tidak langsung respon atau tanggapan tersebut akan berdampak pada kehidupan rumah tangga dari pasangan tungku tersebut. Hal semacam ini yang membuat pasangan tungku di Desa Nekang banyak yang pergi merantau ke luar daerah. Selain itu pasangan tungku seolah-olah merasa terusir dari kampungnnya sementara si laki-laki memiliki hak atas tanah warisan di kampungnya tapi karena perkawinan tungku mengharuskan mereka untuk pergi merantau (Dagur, 1996: 19).
Fenomena yang terjadi di Desa Nekang seolah-olah menggambarkan bahwa antara masyarakat dan budaya saling bertolak belakang. Pada dasarnya, perkawinan tungku merupakan produk dari budaya Manggarai termasuk Desa Nekang yang harus diakui oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya sangat tidak pantas bagi
pasangan yang melakukan perkawinan tungku di Desa Nekang mendapat cibiran dan pengucilan dari masyarakat lain. Malah sebaliknya pasangan yang menikah secara tungku harus diberi apresiasi secara khusus karena hingga saat ini, ditengah perkembangan dunia modern mereka masih melestarikan salah satu bentuk kekayaan budaya Manggarai.
Melihat perkawinan tungku masyarakat Desa Nekang dari kacamata medis nampaknya akan mengalami resiko bagi keturunannya. Sejatinya, perkawinan tungku merupakan perkawinan yang memiliki hubungan darah. dengan kedua individu dalam pasangan ini yang memiliki hubungan darah, maka secara medis kedua orang ini memiliki gen yang sama. Ketika dua gen yang sama bertemu untuk bereproduksi, maka akan mengakibatkan perubahan gen resesif yang dapat mengakibatkan keturunan yang dihasilkan mengalami cacat fisik dan mental (Falichati, 2015). Bertolak belakang dengan pandangan medis ini seolah masyarakat Desa Nekang tidak menghiraukan akibat perkawinan tungku bagi keturunanya nanti. Masyarakat Desa Nekang lebih mengutamakan adat istiadat dan budayanya yang sudah secara turun temurun mereka laksanakan.
Sangsi sosial ini juga terlegitimasi dari agama Katolik yang dianut mayoritas masyarakat Manggarai. Gereja Katolik sangat tidak membenarkan yang namanya perkawinan sedarah atau tungku ini. Oleh karena itu, bagi pasangan yang ingin memutuskan nikah tungku harus melalui beberapa proses panjang agar pernikahan mereka bisa disahkan secara gereja Katolik (Janggur, 2008, 230).
Meskipun gereja Katolik tidak membenarkan perkawinan tungku ini, akan tetapi dari pihak gereja sendiri tidak pernah membatasi masyarakat Desa Nekang untuk melakukan perkawinan tungku. Kondisi ini menjadi dilematis bagi gereja dan masyarakat Desa Nekang. Gereja yang dihadapkan pada fenomena sosial seperti perkawinan tungku yang bertolak belakang dengan ajaranya memposisikan dirinya di tengah-tengah, dimana dalam hal ini meskipun kawin tungku dalam ajaran gereka Katolik tidak dibenarkan bukan berarti gereja mengucilkan pasangan tersebut. Disini gereja bersama dengan pemuka adat biasanya mencari solusi atau jalan keluar untuk pasangan yang melakukan perkawinan tungku minimal untuk mengurusi prosesi pembaptisan anak mereka.
Dari permasalahan yang dipaparkan diatas muncul keinginan dari penulis untuk meneliti masalah ini karena di satu sisi perkawinan tungku disahkan secara adat akan tetapi dari sisi agama Katolik tidak dianjurkan. Selain itu perkawinan tungku juga menimbulkan perubahan kehidupan sosial masyarakat bagi yang melakukannya. 1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas mengenai sistem kekerabatan orang Manggarai, maka yang menjadi fokus penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana bentuk-bentuk dan proses perkawinan tungku pada masyarakat Manggarai serta aturan perkawinan gereja Katolik Roma?
1.3.Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui dinamika perkawian tungku di Manggarai yang hingga saat ini masih sering terjadi. Selain ingin mengetahui dinamika perkawinan tungku, penelitian ini juga bertujuan memberikan gambaran terkait dilema antara perkawinan tungku dengan aturan perkawinan gereja Katolik di Manggarai sehingga dapat dicari solusi terkait permasalahan ini.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk dan proses perkawinan tungku pada masyarakat Manggarai
2. Mengulas bagaimana dampak perkawinan tungku pada masyarakat Manggarai. 1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat teoritis :
1. Menambah referensi pengetahuan baru terhadap perkawinan tungku di Manggarai.
2. Memunculkan peneliti baru yang ingin melengkapi atau mengulas kembali tentang perkawinan tungku di Manggarai.
1.4.2. Manfaat praktis :
1. Bagi pasangan yang melakukan perkawinan tungku
Pasangan yang melakukan perkawinan tungku bisa menemukan solusi dan mencari jalan tengah terhadap permasalahan yang mereka hadapi terkait mensahkan hubungan perkawinan mereka melalui tata cara gereja Katolik.
2. Bagi masyarakat
Menambah pengetahuan masyarakat terkait perkawinan tungku dan aturan perkawinan gereja Katolik. Masyarakat diharapkan bisa merubah pemikiran mereka dalam melihat pasangan yang melakukan perkawinan tungku, sehingga tercipta situasi dan kondisi yang kondusif antara pasangan yang menikah secara tungku dengan masyarakat. Masyarakat juga harus bisa mengimbangi prilaku mereka sebagai masyarakat yang berbudaya dan masyarakat yang beragama.
3. Bagi Gereja Katolik
Gereja hendaknya bisa meninjau kembali aturan yang dibuat terkait mensahkan hubungan pasangan yang menikah secara tungku. Dengan pertimbangan adat istiadat dan budaya yang berlaku hendaknya gereja Katolik sebagai pemandu kehidupan masyarakat memberikan sedikit keringanan bagi para pasangan yang menikah secara tungku.