• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN NILAI KOEFISIEN REGIM SUNGAI DENGAN NILAI KOEFISIEN RUNOFF DAERAH ALIRAN SUNGAI STUDI KASUS DAS JANGKOK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN NILAI KOEFISIEN REGIM SUNGAI DENGAN NILAI KOEFISIEN RUNOFF DAERAH ALIRAN SUNGAI STUDI KASUS DAS JANGKOK"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN NILAI KOEFISIEN REGIM SUNGAI DENGAN

NILAI KOEFISIEN RUNOFF DAERAH ALIRAN SUNGAI

STUDI KASUS DAS JANGKOK

CORRELATION BETWEEN COEFFICIENT OF RIVER REGIME AND RUNOFF COEFFICIENT

CASE STUDY IN JANGKOK’S CATCHMENT AREA

Tugas Akhir

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-1 Jurusan Teknik sipil

Oleh :

YOSUA DWI PUTRA K F1A012150

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MATARAM

(2)
(3)
(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala berkat, bimbingan, dan karuni-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini.

Tugas akhir ini mengambil judul “Hubungan Nilai Koefesien Regim Sungai dengan Koefisien Runoff Daerah Aliran Sungai”. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara nilai KRS dengan nilai C, mengetahui kondisi DAS Jangkok ditinjau dari nilai C dan KRS serta mengetahui pengaruh kondisi DAS Jangkok terhadap fluktuasi debit sungai.

Mengingat keterbatasan penulis, penulis membuka pintu selebar-lebarnya atas segala kritik dan saran demi kesempurnaan penelitian ini. Akhir kata semoga tidaklah terlampau berlebihan, bila penulis berharap agar karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Mataram, Nopember 2016

(5)

v UCAPAN TERIMA KASIH

Tugas Akhir ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan dorongan baik moral maupun material dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimaksih yang setulus-tulusnya terutama kepada:

1. Bapak Prof. Ir. H. Sunarpi.,Ph.D. selaku Rektor Universitas Mataram. 2. Bapak Yusron Saadi, ST., MSc., Ph.D selaku Dekan Fakultas Teknik. 3. Bapak Jauhar Fajrin, ST., MSc(Eng)., Ph.D selaku Ketua Jurusan Teknik

Sipil Fakultas Teknik.

4. Bapak Atas Pracoyo, ST., MT., Ph.D. selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan arahan serta masukan dalam penyusunan Tugas Akhir ini. 5. Ibu Ir. Lilik Hanifah, MT. selaku dosen pembimbing pendamping yang telah

memberikan arahan serta masukan dalam penyusunan Tugas Akhir ini. 6. Bapak Ir. Heri Sulistiyono, M.Eng., Ph.D. Selaku dosen penguji I,

terimakasih atas saran dan masukannya.

7. Bapak I. B Giri Putra, ST., MT. Selaku dosen penguji II, terimakasih atas saran dan masukannya.

8. Bapak Salehudin,ST., MT. Selaku dosen penguji III, terimakasih atas saran dan masukannya.

9. Ibu Tri Sulistyowati, ST., MT. Selaku dosen pembimbing akademik. 10.Ayah dan ibu tercinta, dan saudara-saudara, Candra Kusuma dan A.A Istri

Sayang Nitrawati, Fredy Pradana K dan Sarah Tri Karuniawati K yang tiada hentinya memberikan doa dan dukungan baik secara moril maupun material.

11.Teman-teman yang sudah membantu mengumpulkan data, Yunita, Rare, Kukuh, Didit, Rio, Safira, Arif, Wulan,

12.Teman-teman KKN PETA, ramli, sana’, safira, sabrina, wulan, roro, ifan, fitra, soleha, rare, reni, rahman, surya, tanu.

(6)

vi Shinta Prameswari P, Rein Hard David K, Rian Amba, Alfred, Yuyun Yunita, M. Arif Budiman, Kukuh A, Nadella, Sartika, Dinda Fardila, Achmad Kharis P, L. Fauzan Maranu, dan teman-teman 2012 serta kakak tingkat Sandra Dewi H, Handriyani Herna B, Randi Hamdani S, Jimmy M, A. Rizal H. K, Dewanti Mega R, A. Ariehlewy, Heru, dan lainnya yang sudah terlibat.

14.Rekan-rekan kontur, bicypresent, teman-teman komit dan teman-teman 2012 lainnya yang selalu mendukung.

15.Teman-teman PKM, yayak, tanu, sana’, ramli.

16.Teman-teman KMTS, Sabrina, Safira, Ihsan, Ilham, Mahli, Ros, Lina, Ilyas, dan satunya lagi.

17.Pihak–pihak lain yang juga ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung turut berperan dalam penyusunan Tugas Akhir.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang setimpal atas bantuan yang diberikan selama ini kepada penulis.

Mataram, November 2016

(7)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

1.3Tujuan Penelitian ... 3

1.4Manfaat Penelitian ... 3

1.5Batasan Masalah ... 3

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka ... 4

(8)

viii

D. Koefisien limpasan ... 14

2.2.8 Koefisien Regim Sungai ... 17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian ... 19

3.2 Pengumpulan Data ... 20

3.3 Analisis Data ... 21

3.4 Bagan Alir Penelitian ... 22

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Lokasi Penelitian ... 23

4.1.1 Data hujan ... 23

4.1.2 Uji konsistensi data ... 24

4.2 Analisis Koefisien Regim Sungai (KRS) ... 31

4.3 Analisis Koefisien Runoff ... 35

4.4 Analisis Hubungan Nilai KRS dengan Nilai C ... 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 51

5.2 Saran ... 51

(9)

ix DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai Q/√N dan R/√N ... 11

Tabel 2.2 Perhitungan jumlah air yang mengalir melalui outlet ... 16

Tabel 2.3 Sub kriteria, bobot, nilai dan klasifikasi Koefisien Regim Sungai ... 18

Tabel 4.1 Pengujian RAPS Stasiun Sesaot ... 26

Tabel 4.2 Pengujian RAPS Stasiun Santong ... 27

Tabel 4.3 Pengujian RAPS Stasiun Lingkok Lime ... 29

Tabel 4.4 Rekap nilai SK** dan |SK**| ... 30

Tabel 4.5 Nilai Q/√N dan R/√N ... 30

Tabel 4.6 Perbandingan nilai tabel dan hasil hitungan ... 30

Tabel 4.7 Data debit jam-jaman ... 31

Tabel 4.8 Jumlah hari hujan dan curah hujan tahun 2008... 32

Tabel 4.9 Prakiraan awal musim kemarau 2016 Pulau Lombok ... 33

Tabel 4.10 Hasil perhitungan debit rerata harian ... 34

Tabel 4.11 Rekap data debit rerata harian dan hasil perhitungan KRS Tiap tahun ... 35

Tabel 4.12 Luas pengaruh stasiun ... 36

Tabel 4.13 Data hujan jam-jaman ... 38

Tabel 4.14 Hasil perhitungan hujan rerata kawasan dan volume hujan ... 38

Tabel 4.15 Hasil perhitungan volume banjir ... 40

Tabel 4.16 Rekap nilai koefisien runoff ... 41

Tabel 4.17 Nilai rerata C tiap tahun ... 45

Tabel 4.18 Rekap nilai KRS dan C rerata tiap tahun ... 46

(10)

x DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Metode Poligon Thiessen ... 9

Gambar 2.2 Grafik hidrograf... 13

Gambar 3.1 Peta lokasi DAS Jangkok ... 19

Gambar 3.2 Peta catchment area DAS Jangkok... 20

Gambar 3.3 Bagan Alir Penelitian ... 22

Gambar 4.1 Lokasi stasiun penakar hujan ... 23

Gambar 4.2 Poligon Thiessen ... 24

Gambar 4.3 Awal prakiraan musim kemarau 2016 ... 32

Gambar 4.4 Perbandingan awal musim kemarau terhadap rata-rata ZOM 33 Gambar 4.5 Grafik nilai KRS tiap tahun ... 35

Gambar 4.6 Grafik hidrograf debit tahun 2008-2009 ... 36

Gambar 4.7 Grafik hujan jam-jaman 2008-2009 ... 37

Gambar 4.8 Grafik hidrograf 17 November 2008 ... 40

Gambar 4.9 Grafik nilai koefisien runoff tiap tahun ... 45

Gambar 4.10 Perubahan lahan dari tahun 2013-2015 ... 46

Gambar 4.11 Grafik hubungan nilai KRS dan nilai C tiap tahun ... 47

Gambar 4.12 Grafik hubungan nilai KRS dengan nilai C rerata ... 48

Gambar 4.13 Grafik hubungan nilai KRS dengan nilai C 6 jam ... 49

Gambar 4.14 Grafik hubungan nilai KRS dengan nilai C 12 jam ... 49

Gambar 4.15 Grafik hubungan nilai KRS dengan nilai C 18 jam ... 49

(11)

xi DAFTAR NOTASI

A = luas areal (km2),

Ai = luas penutup lahan dengan jenis penutup lahan i, C = koefisien runoff,

Ci = koefisien runoff dengan jenis penutup lahan i,

𝑑 = tinggi curah hujan rata-rata areal (mm),

dn = jumlah hari

Dy = standar deviasi seri data Y,

n = jumlah data Y,

n = jumlah jenis penutup lahan, P = curah hujan (mm/tahun),

p̅ = tinggi curah hujan rata-rata kawasan (mm),

P̅ = curah hujan rerata setahun di DAS yang bersangkutan (mm/th)

pn = tinggi curah hujan pada pos pengamat 1,2,…n (mm),

Peff = hujan efektif (m)

Q = nilai statistik, Q = debit aliran (m3/s),

Qn = debit rerata bulanan (m3/dt)

Qmaks = debit harian rata-rata tahunan tertinggi (m3/dt)

(12)

xii Qa = debit andalan (Qa = 0,25 x Q rerata bulanan)

R = nilai statistik,

Sk* = nilai komulatif penyimpangan terhadap nilai rata-rata, Sk** = Rescaled Adjusted Partial Sum (RAPS),

VLL = volume limpasan langsung (m3),

Yi = nilai data Y ke- i (mm),

(13)

xiii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Data Hujan Jam-jaman Lampiran 2: Data Debit Jam-jaman

(14)

xiv INTI SARI

Bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Jangkok memiliki luas 74,55 km2,

dimana wilayah ini merupakan hutan yang dilindungi. Dengan memiliki daerah tangkapan hujan yang cukup besar, DAS ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan air untuk daerah sekitarnya. Air bersih merupakan suatu hal yang selalu mendapat perhatian, hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang kian pesat setiap tahunnya, sehingga pada bagian hulu DAS Jangkok ini terdapat beberapa lahan yang dibuka untuk tempat wisata maupun perkebunan, hal tersebut dapat memengaruhi kapasitas infiltrasi lahan tersebut yang dapat membuat Koefisien Regim Sungai (KRS) maupun Koefisien Runoff (C) tiap tahunnya juga akan mengalami perubahan. Nilai KRS tiap tahun mudah untuk didapat, yaitu dengan melihat perbandingan dari debit rerata maksimum dengan minimum hariannya dalam satu tahun. Sedangkan untuk mendapatkan nilai C tiap tahunnya dibutuhkan hidrograf tunggal dan hujan jam-jaman dalam satu tahun, sehingga dalam menganalisis membutuhkan waktu yang lebih lama. Dengan mencari hubungan dari KRS dan nilai C tiap tahun akan mempermudah untuk mendapatkan nilai C pada tahun berikutnya hanya dengan menggunakan nilai KRS dan mensubtitusikannya kedalam persamaan yang didapat dari hubungan kedua parameter tersebut.

KRS dan C merupakan parameter yang dapat digunakan untuk memonitor kondisi DAS. Dimana nilai KRS didapat dengan cara mengolah data debit jam-jamnan untuk mendapatkan nilai rerata hariannya, kemudian membagi nilai debit rerata harian maksimum dengan debit rerata harian minimumnya, sehingga nilai KRS ini dapat menggambarkan fluktuasi debit pada suatu DAS, hal ini dipengaruhi juga oleh nilai C. Nilai C ini sendiri dapat memperlihatkan perbandingan antara jumlah air yang terinfiltrasi maupun yang menjadi aliran langsung yang menjadi penyebab utama banjir. Karena penyebab utama dari banjir merupakan aliran langsung maka dalam menghitung nilai C digunakan data hujan jam-jaman dan debit jam-jaman agar dapat dilihat banjir yang diakibatkan oleh hujan yang terjadi diwaktu yang bersamaan, dengan mengalikan jumlah curah hujan terhadap luas daerah tangkapannya maka didapat volume hujan, dan volume banjir didapat setelah memisahkan banjir dengan aliran dasarnya. Setelah didapat volume banjir dan volume hujan yang terjadi diwaktu yang sama, maka nilai C akan didapat dengan membagi volume banjir terhadap volume hujan.

Dari hasil perhitungan didapat hubungan nilai KRS dengan nilai C pada DAS Jangkok dengan persamaan y = 0,0019x + 0,0195 dengan koefisien determinasi R2 = 0,6707. Nilai KRS berturut-turut sebesar 28,9; 14,5; 37,7; 32; 12,1; 21; 12,2 dan nilai C berturut-turut sebesar 0,093; 0,062; 0,091; 0,071; 0,050; 0,045; 0,028. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa setiap tahunnya kondisi DAS menjadi lebih baik berdasarkan nilai KRS dan C.

(15)

xv ABSTRACT

Upstream of the Jangkok’s catchment area has an area of 74,55 km2and it’s

a protection forest. With a large of catchment area, this catchment area is expected

to fill the water needs for surrounding area. Clean water always gets attention, it’s

caused by the growth of population growing rapidly, so that there are some land in the upstream of this catchment area opened for tourist attraction and plantations, it will affect the capacity of infiltration that can influence the value of coefficient of river regime and runoff coefficient. By looking at the ratio of average of daily discharge maximum to the minimum in one year will be found coefficient of river regime. Meanwhile, to get the runoff coefficient annually required single hydrograph and hourly rain in a year, so that in the analysis takes longer. From the relationship between the coefficient of river regime and runoff coefficient will produce the correlation in a linear equation. So, to get the value of runoff coefficient in the next year simply by substitute the value of coefficient of river regime to the linear equation.

Coefficient of river regime and runoff coefficient is a parameter can be used to monitor the catchment area. Coefficient of river regime will be found by analysis data of hourly discharge to get average of daily discharge, then dividing the average of daily discharge maximum to minimum, so that the coefficient of river regime can show the fluctuation of discharge in a catchment area. Coefficient of river regime affected by runoff coefficient. The value of runoff coefficient can show the comparison of the rainfall that infiltrated and which became a runoff that cause the flooding. Runoff is the main cause of flooding, in analysis runoff coefficient used data hourly of rainfall and discharge to be seen the flooding that caused by rains that occurred in the same time. By multiplying the amount of rainfall to the catchment area, then volume rainfall obtained. Volume of flood obtained after separating flooded with a base flow. Having obtained the volume of flood and rain, the value of runoff coefficient can be analysis by dividing the volume of flood to volume of rain.

From the calculation results obtained relationship Coefficient of River Regime value with the value of Runoff Coefficient in the Jangkok’s Catchment area is proportional with the equation y = 0,0019x + 0.0195 with a determination coefficient R2 = 0.6707. Coefficient of River Regime value respectively 28.9; 14.5;

37.7; 32; 12.1; 21; 12.2 and Runoff Coefficient grades respectively for 0.093; 0,062; 0.091; 0,071; 0,050; 0.045; 0.028. From these data we can see that every year getting better catchment area conditions based on the value of Coefficient of River Regime and Runoff Coefficient.

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pulau Lombok memiliki beberapa Sub Satuan Wilayah Sungai (SWS) Salah satunya Sub SWS Dodokan, dalam Sub SWS Dodokan ini terdapat Daerah Aliran Sungai (DAS) Jangkok. Sungai Jangkok merupakan salah satu sungai besar yang merupakan bagian dari DAS Jangkok dan melewati beberapa wilayah administratif, yaitu Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. Dengan memiliki daerah tangkapan hujan yang cukup luas dan bagian hulu DAS ini merupakan kawasan hutan yang dilindungi, sehingga sudah seharusnya kelestarian hutan ini masih terjaga. Hal ini membuat Sungai Jangkok menjadi salah satu sungai yang penting dan diharapkan mampu mencukupi kebutuhan air untuk wilayah sekitarnya. Dewasa ini ketersediaan air menjadi hal yang sangat diperhatikan, karena semakin bertambahnya penduduk maka makin meningkat pula kebutuhan air, serta mengakibatkan perubahan tataguna lahan di wilayah tersebut. Pertumbuhan penduduk, kebutuhan air bersih, sungai dan kondisi DAS menjadi sesuatu yang saling berkaitan. Sehingga selain membuat bangunan-bangunan air untuk memenuhi kebutuhan air bersih, perlu juga dilakukan konservasi terhadap kondisi DAS tersebut untuk menjaga kelestarian DAS dan juga ketersediaan airnya. Penelitian sebelumnya (Itratip, 2012) melakukan analisa terhadap sub DAS Jangkok sampai tahun 2010, menyimpulkan bahwa perubahan tata guna lahan tidak berimplikasi signifikan terhadap fluktuasi debit sungai. Hal tersebut diukur dengan parameter Koefisien Regim Sungai (KRS) dan Deviasi Rata-Rata (MD) debit sungai tahunan. Kondisi iklim yang tiap tahunnya semakin terasa perubahannya secara langsung menjadikan pentingnya juga untuk mengetahui hubungan dari kondisi DAS dengan KRS tiap tahunnya.

(17)

2 pada tabel yang merupakan hasil dari penelitian terdahulu karena dapat memudahkan dalam perhitungan dimana kondisi tataguna lahannya cukup teratur. Namun untuk melihat nilai C dalam lingkup DAS yang cukup luas hal ini akan menjadi lebih rumit, karena yang berpengaruh dalam perhitungan nilai C adalah jenis lahan dan luasan jenis lahan tersebut, sehingga tiap perubahan lahan dapat mempengaruhi nilai C. Untuk membantu dalam melihat nilai C juga dapat menggunakan prinsip water balance, sehingga hal ini akan membantu untuk melihat nilai C pada lingkup yang cukup luas, dengan kondisi lahan yang beragam. DAS Jangkok memiliki stasiun pencatatan tinggi muka air (AWLR) dan pencatatan data hujan (ARR) sehingga dengan kedua data itu akan didapatkan nilai C yang sebenarnya untuk DAS yang ditinjau.

Selain Nilai C, kondisi DAS dapat diketahui juga dengan menggunakan nilai Koefisien Regim Sungai (KRS), dimana nilai KRS ini merupakan perbandingan dari debit rerata maksimum harian dengan debit rerata harian minimum dalam satu tahun hidrologi (musim hujan-musim kemarau), dengan diketahuinya fluktusi debit sungai maka akan terlihat juga kondisi DAS pada wilayah tersebut. Dari pembahasan mengenai parameter C dan KRS, dapat dilakukan penelitian mengenai “Hubungan Nilai Koefisien Regim Sungai dengan Nilai Koefisien Runoff

DAS”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan antara nilai Koefisien Regim Sungai (KRS) dengan nilai Koefisien Runoff (C) pada DAS Jangkok?

2. Bagaimana kondisi DAS Jangkok tiap tahunnya bila dilihat dengan parameter C dan KRS?

(18)

3 1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui hubungan antara nilai KRS dengan nilai C.

2. Mengetahui kondisi DAS Jangkok ditinjau dari nilai C dan KRS.

3. Mengetahui pengaruh kondisi DAS Jangkok terhadap fluktuasi debit sungai.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah hubungan antara nilai KRS dengan nilai C pada DAS Jangkok dalam bentuk grafik, sehingga dengan memiliki nilai KRS kita akan mendapatkan nilai C DAS tersebut, dapat dilihat juga kondisi DAS serta hubungannya dengan fluktuasi debitnya.

1.5Batasan Masalah

Agar penelitian berjalan dengan sistematis dan tidak menyimpang dari rumusan maslah, maka diperlukan batasan masalah . Adapun batasan masalah dalam penulisan tugas akhir ini adalah :

1. Lokasi penelitian dilakukan pada bagian hulu dari DAS Jangkok.

2. Analisis hanya difokuskan untuk melihat nilai Koefisien Runoff dan Koefisien Regim Sungai dan hubungannya.

3. Menganalisa situasi lahan dengan menggunakan data yang tersedia pada BAPPEDA dan googleearth.

(19)

4

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Itratip, (2012) melakukan penelitian mengenai Studi Penilaian Kondisi DAS dan Implikasinya Terhadap Fluktuasi Debit Sungai (Studi Kasus Pada Sub DAS Jangkok Pulau Lombok). Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui pada periode tahun 1997-2003 menunjukkan nilai KRS (2.47) dan MD (0.35 m3/det), sedangkan pada tahun 2004-2010 menunjukkan nilai KRS (2.0) dan MD

(0.25 m3/det). Namun dari data yang ada menunjukkan bahwa tiap tahunnya terjadi

penurunan debit sungai sebesar 0.03 m3/det, curah hujan sebesar 14.64 mm/thn, dan

dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi penurunan jumlah hari hujan sebanyak 10 hari.

Ratuaini, (2011) melakukan penelitian mengenai Analisa Dampak Perubahan Tataguna Lahan Terhadap Debit Banjir Rancangan Sungai Padolo. Penelitian dilakukan pada Sungai Padolo, Kota Bima. Dengan hasil analisa akhir didapatkan bahwa perubahan debit banjir yang cukup signifikan akibat dari perubahan tataguna lahan yang terjadi di Kota Bima. Hal ini dapat dilihat dari perubahan nilai koefisien pengaliran yang sebelum perubahan tataguna lahan 0.51 menjadi 0.62. Debit banjir rancangan metode Nakayatsu untuk kala ulang 2, 5, 10, 20, 25, 50, dan 100 tahun sebelum perubahan tataguna lahan yaitu; 96.257 m3/dt, 126.017 m3/dt, 147.348 m3/dt, 155.357 m3/dt, 159.528 m3/dt, 199.082 m3/dt, 223.241 m3/dt. Sedangkan setelah perubahan tataguna lahan yaitu; 139.085 m3/dt, 182.735 m3/dt, 214.024 m3/dt, 225.770 m3/dt, 231.888 m3/dt, 289.905 m3/dt, 325.339 m3/dt.

(20)

5 hujan yang berlebih (durasi yang lama/hari hujan besar, curah hujan tinggi) yang menyebabkan tanah menjadi jenuh air. (2) Peran hutan di sub-sub DAS Ngatabaru sebagai pengatur tata air telah menghasilkan debit yang kontinu. Walaupun debit yang mengalir tidak besar, tetapi kontinuitasnya telah memberikan manfaat suplai air minum bagi penduduk sekitar. (3) Debit sedimen sangat dipengaruhi oleh debit sungai, dimana semakin tinggi debit sungai akan semakin tinggi pula debit sedimennya. Namun, pada kejadian hujan yang sangat tinggi lonjakan debit sedimen lebih mengikuti lonjakan curah hujan yang terjadi. Hal ini terjadi karena hujan menghasilkan material erosi yang dapat secara langsung terangkut ke sungai.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Daerah aliran sungai

(21)

6 Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1993), tipe corak dan karakteristik daerah pengaliran yaitu :

1. Daerah pengaliran berbentuk bulu burung, bila jalur daerah di kiri kanan sungai utama dimana anak-anak sungai mengalir ke sungai utama.

2. Daerah pengaliran radial, bila anak-anak sungainya mengkonsentrasi ke suatu titik secara radial.

3. Daerah pengaliran paralel, bila dua jalur daerah pengaliran yang bersatu di bagian hilir.

4. Daerah pengaliran yang komplek. Hanya beberapa buah daerah pengaliran yang mempunyai bentuk-bentuk ini dan disebut daerah pengaliran yang komplek.

Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan air. Termasuk dalam pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air (Asdak, 2002 dalam Wisnu 2014). Secara hidrologi, pengelolaan DAS berupaya untuk mengelola kondisi biofisik permukaan bumi, sedemikian rupa sehingga didapatkan suatu hasil air (water yield, total streamflow) secara maksimum, serta memiliki regim aliran (flow regime) yang optimum, yaitu terdistribusi merata sepanjang tahun (Purwanto, 1992 dalam Wisnu 2014).

2.2.2 Hujan

(22)

7 Atmosfer bumi mengandung uap air. Meskipun jumlah uap air di atmosfer sangat kecil dibanding dengan gas-gas lain, tetapi merupakan sumber air tawar yang sangat penting bagi kehidupan di bumi. Air berada di udara dalam bentuk gas (uap air), zat cair (butir-butir air) dan kristal-kristal es. Kumpulan butir-butir air dan kristal-kristal es tersebut, yang mempunyai ukuran sangat halus (diameter 2-40 mikron), membentuk awan yang melayang di udara. Awan terbentuk sebagai hasil pendinginan (kondensasi dan sublimasi) dari udara basah (yang mengandung uap air) yang bergerak ke atas. Proses pendinginan terjadi karena menurunnya suhu udara tersebut secara adiabatis dengan bertambahnya ketinggian. Partikel debu, kristal garam dan kristal es yang melayang di udara dapat berfungsi sebagai inti kondensasi yang dapat mempercepat proses pendinginan. Dengan demikian ada dua syarat penting terjadinya hujan yaitu massa udara harus mengandung cukup uap air, dan massa udara harus naik ke atas sedemikian sehingga menjadi dingin. Proses terjadinya hujan banyak dipelajari oleh ahli meteorologi dan klimatologi. Ahli hidrologi lebih banyak mempelajari jumlah dan distribusi hujan baik dalam ruangan maupun waktu.

Jumlah air yang jatuh di permukaan bumi dapat diukur dengan menggunakan alat penakar hujan. Distribusi hujan dalam ruangan dapat diketahui dengan mengukur hujan di beberapa lokasi pada daerah yang ditinjau; sedang distribusi waktu dapat diketahui dengan mengukur hujan sepanjang waktu.

Hujan merupakan sumber dari semua air yang mengalir di sungai dan di dalam tampungan baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Jumlah dan variasi debit sungai tergantung pada jumlah, intensitas dan distribusi hujan. Terdapat hubungan antara debit sungai dan curah hujan yang jatuh di DAS yang bersangkutan. Apabila data pencatatan debit tidak ada, data pencatatan hujan dapat digunakan untuk memperkirakan debit aliran (Triatmodjo, 2008).

2.2.3 Curah hujan rerata daerah

(23)

8 pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-masing stasiun tidak sama. Analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut. Adapun cara yang digunakan dalam menentukan tinggi curah hujan rata-rata di atas areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos penakar atau pencatat (Triatmodjo, 2008), yaitu dengan metode poligon Thiessen.

Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tesebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun.

Langkah pembentukan poligon Thiessen adalah sebagai berikut:

a. Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau, termasuk stasiun hujan di luar DAS yang berdekatan, seperti ditunjukan dalam Gambar 2.1.

b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus) sehingga membentuk segitiga-segitiga.

c. Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga seperti ditunjukkan dengan garis penuh pada Gambar 2.1.

d. Garis-garis berat tersebut membentuk poligon yang mengelilingi tiap stasiun. Tiap stasiun mewakili luasan yang dibentuk oleh poligon. Untuk stasiun yang berada di dekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas tertutup dari poligon.

e. Luas tiap poligon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan di stasiun yang berada di dalam poligon.

(24)

9

p̅ =

A1p1+ A2p2+…+Anpn

A1+A2+…+An (2-1)

dengan :

p̅ = tinggi curah hujan rata-rata kawasan (mm), A = luas areal (km2),

p1, p2,…,pn = tinggi curah hujan pada pos pengamat 1,2,…n (mm).

Gambar 2.1 Metode poligon Thiessen

(Harto, 1993)

2.2.4 Uji konsistensi data

Selain kehilangan atau rusaknya data, masih terdapat lagi kesalahan yang berupa ketidakpanggahan data (inconsistency). Sifat data ini perlu mendapatkan perhatian untuk memperoleh hasil analisis yang baik. Data hujan yang tidak panggah (inconsistent) dapat terjadi karena beberapa hal (Harto, 1993) :

a. Alat diganti dengan alat yang berspesifikasi lain b. Perubahan lingkungan yang mendadak

c. Lokasi dipindahkan

(25)

10 Adjusted Partial Sums). Metode RAPS digunakan untuk menguji ketidakpanggahan antar data dalam stasiun itu sendiri dengan mendeteksi pergeseran nilai rata-rata (mean) .

Dalam metode RAPS, konsistensi data hujan ditunjukkan dengan nilai kumulatif penyimpangannya terhadap nilai rata-rata berdasarkan persamaan berikut: Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS) atau dirumuskan sebagai berikut:

Sk** = SDk*

Sk* = nilai kumulatif penyimpangannya terhadap nilai rata-rata,

Yi = nilai data Y ke-i, Y̅ = nilai Y rata-rata, n = jumlah data Y,

Sk** = Rescaled Ajusted Partial Sums (RAPS),

Dy = standar deviasi seri data Y.

Setelah nilai Sk** diperoleh untuk setiap k, maka nilai Q dan R dapat dihitung

dengar rumus:

Q = | Sk**| maks ; R = Sk** maks – Sk** min (2-6) Kemudian melakukan perbandingan, untuk jumlah data (n) dan derajat kepercayaan

(26)

11 a. Q/n hitungan dengan Qtabel

b. R/n terhitung dengan R tabel

Nilai Qtabel dan Rtabel disajikan pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Nilai Q/√n dan R/√n

(Sumber : Harto, 1993)

2.2.5 Hujan efektif

(27)

12 Bila hujan yang menghasilkan hidrograf dapat dipisahkan menjadi dua unsur yaitu limpasan langsung (direct runoff) dan aliran dasar (base flow) maka besaran ini

dikenal dengan Φ indeks, Φ indeks ini dapat dicari dengan cara coba-coba sedemikian rupa sehingga jumlah hujan efektif sama dengan volume limpasan langsung dibagi luas DAS.

2.2.6 Hidrograf A. Hidrograf

Hidrograf dapat didefinisikan sebagai penyajian grafis antara salah satu unsur aliran dengan waktu. Hidrograf ini menunjukkan tanggapan menyeluruh DAS tertentu. Sesuai dengan sifat dan prilaku DAS yang bersangkutan, hidrograf aliran selalu berubah sesuai dengan besaran dan waktu terjadinya masukan.

Ada tiga macam hidrograf (Harto, 1993), yaitu :

1. Hidrograf tinggi muka air (stage hydrograph), yaitu hubungan antara perubahan tinggi muka air dengan waktu. Hidrograf ini merupakan hasil rekaman AWLR (Automatic Water Level Recorder).

2. Hidrograf debit (discharge hydrograph), hubungan antara debit dengan waktu. Hidrograf ini dapat diperoleh dari hidrograf muka air dengan lengkung debit.

3. Hidrograf sedimen (sediment hydrograph), yaitu hubungan antara kandungan sedimen dengan waktu.

Hidrograf terdiri dari tiga bagian, yaitu sisi naik (rising limb), puncak (crest) dan sisi resesi (recession limb). Bentuk hidrograf ditandai dengan tiga sifat pokok (Harto, 1993), yaitu :

1. Waktu naik (time of rise), yaitu waktu yang diukur dari saat hidrograf mulai naik sampai waktu terjadinya debit puncak.

(28)

13 3. Waktu dasar (base time), yaitu waktu yang diukur dari saat hidrograf mulai naik sampai waktu dimana debit kembali pada suatu besaran yang ditetapkan.

Gambar 2.2 Grafik hidrograf (Harto, 1993)

Ada dua macam hidrograf banjir, yaitu hidrograf banjir satuan observasi/terukur dan hidrograf satuan sintetik. Untuk mendapatkan hidrograf satuan banjir terukur maka harus tersedia data pengukuran debit banjir yang cukup panjang. Tetapi umumnya sangat sulit mendapatkan data tersebut sehingga kemudian digunakan data hujan pada daerah aliran itu, yang dengan perantaraan model hidrologi dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya banjir.

B. Hidrograf aliran langsung

Aliran langsung atau aliran permukaan adalah bagian dari air hujan yang jatuh di suatu DAS yang kemudian berubah menjadi aliran di sungai (Triatmodjo, 2008). Kemudian hidrograf aliran langsung diartikan sebagai penyajian grafis antara aliran air di sungai tejrhadap waktu. Hidrograf aliran langsung dapat diperoleh dengan cara mengurangkan limpasan langsung di sungai dengan aliran dasar (baseflow).

C. Limpasan (runoff)

(29)

14 Apabila intensitas hujan yang jatuh di suatu DAS melebihi kapasitas infiltrasi, setelah laju infiltrasi terpenuhi, air akan mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah cekungan-cekungan tersebut penuh, selanjutnya air akan melimpas (mengalir) diatas permukaan tanah. Limpasan permukaan (surface runoff) yang merupakan air hujan yang mengalir dalam bentuk lapisan tipis diatas permukaan lahan akan masuk ke parit/selokan yang kemudian bergabung menjadi anak sungai dan akhirnya menjadi aliran sungai. Di daerah pegunungan (hulu DAS) limpasan permukaan dapat masuk ke sungai dengan cepat, yang dapat menyebabkan debit sungai meningkat. Apabila debit sungai lebih besar dari kapasitas sungai untuk mengalirkan debit maka akan terjadi luapan pada tebing sungai sehingga terjadi banjir. Di DAS bagian hulu dimana kemiringan lahan dan kemiringan sungai besar, atau di suatu DAS kecil kenaikan debit banjir dapat terjadi dengan cepat, sementara pada sungai-sungai besar kenaikan debit terjadi lebih lambat untuk mencapai debit puncak (Triatmodjo, 2008).

Perubahan tataguna lahan merupakan berubahnya fungsi penggunaan dari suatu wilayah yang sesuai kegunaannya pada awalnya berubah alih menjadi fungsi lain dalam kurun waktu yang berbeda. Jika suatu DAS terdiri dari berbagai macam penggunaan lahan, maka nilai koefisien aliran permukaan (C) akan beragam. Untuk menggambarkan nilai C tersebut pada suatu DAS maka dapat digunakan persamaan (Suripin, 2004):

𝐶 =𝐴1. 𝐶1 + 𝐴2. 𝐶2+. . . … … . +𝐴𝑛. 𝐶𝑛𝐴1 + 𝐴2+. . … … + 𝐴𝑛 (2-8)

dengan:

C = koefisien runoff,

Ci = koefisien runoff dengan jenis penutup lahan i, Ai = luas penutup lahan dengan jenis penutup lahan i,

n = jumlah jenis penutup lahan.

(30)

15 Koefisien limpasan (runoff) yang sering disingkat C adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,10, artinya 10 persen dari total curah hujan akan menjadi air larian. Secara matematis, koefisien air larian dapat dijabarkan sebagai berikut (Asdak,2014):

Koefisien 𝑟𝑢𝑛𝑜𝑓𝑓 (C) =curah hujan (mm)𝑟𝑢𝑛𝑜𝑓𝑓 (mm) (2-9)

Angka koefisien air larian ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik). Nilai C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air larian. Hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang. Kerugian lainnya adalah dengan semakin besarnya jumlah air hujan yang menjadi air larian maka ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar. Angka C berkisar antara 0 hingga 1. Angka 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terdistribusi menjadi air intersepsi dan terutama infiltrasi. Sedang angka C=1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai air larian. Di lapangan, angka koefisien air larian biasanya lebih besar dari 0 dan lebih kecil dari 1.

Koefisien air larian (C) adalah koefisien yang memperlihatkan nilai limpasan yang terjadi saat hujan melampaui batas infiltrasi tanah. Pada persamaan (2-9) akan memperlihatkan nilai C pada saat terjadinya banjir akibat aliran langsung (surface runoff) yang dipengaruhi oleh hujan yang terjadi disaat yang bersamaan.

Berikut ini adalah cara lain dalam menentukan besarnya koefisien air larian

a) Hitung curah hujan rata-rata di suatu DAS pada tahun tertentu (t), misalnya P=mm/tahun.

(31)

16 Tabel 2.2 Perhitungan jumlah air yang mengalir melalui outlet

Bulan Debit rata-rata, Q (m3/dt)

Jumlah hari (d) Total debit d x 86400 x Q hujan dengan luas areal DAS (A), yaitu:

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃 =1000 𝑥 𝐴𝑃 (2-11)

dengan:

P = curah hujan (mm/tahun), A = luas areal (km2).

e) Koefisien air larian (C) kemudian dapat dihitung, yaitu:

(32)

17 dn = jumlah hari,

P̅ = curah hujan rerata setahun di DAS yang bersangkutan (mm/th), A = luas DAS (m2).

Koefisien air larian (C) adalah koefisien yang memperlihatkan nilai limpasan yang terjadi saat hujan melampaui batas infiltrasi tanah. Pada persamaan (2-9) akan memperlihatkan nilai C pada saat terjadinya banjir akibat aliran langsung (surface runoff) yang dipengaruhi oleh hujan yang terjadi. Pada persamaan (2-12) menggunakan debit aliran (stormflow), sehingga saat tidak terjadi hujan, limpasan yang dihitung merupakan air tanah yang merupakan pengisi baseflow pada sungai tersebut. Persamaan (2-12) ini digunakan untuk melihat kondisi DAS.

2.2.7 Koefisien regim sungai (KRS)

KRS menjadi salah satu parameter yang digunakan untuk memonitoring debit sungai untuk mengetahui kuantitas aliran sungai dari waktu ke waktu, khususnya debit tertinggi (maksimum) pada musim hujan dan debit terendah (minimum) pada musim kemarau (Asdak, 2014).

Data debit sungai diperoleh dari data primer atau sekunder hasil pengamatan stasiun aliran sungai yang dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan/Kementerian Pekerjaan Umum dan pendekatan dari perhitungan dengan rumus KRS adalah perbandingan antara debit maksimum (Qmaks) dengan debit minimum (Qmin) dalam suatu DAS. Nilai KRS adalah perbandingan antara nilai Qmaks dengan Qmin, yang merupakan debit (Q) absolut dari hasil pengamatan Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) atau perhitungan rumus. Sedangkan untuk daerah dimana pada masa kemarau tidak ada air di sungai maka nilai KRS adalah perbandingan Qmaks dengan Qa. Qmaks adalah debit maksimum absolut dan Qa adalah debit andalan (Qa = 0,25 x Q rerata bulanan).

(33)

18 ke sungai dan terbuang ke laut sehingga ketersediaan air di DAS saat musim kemarau sedikit. Dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan (P.61/Menhut-II/2014), Koefisien Regim Sungai disebut Koefisien Regim Aliran (KRA). Perhitungan KRS menggunakan klasifikasi nilai sebagaimana Tabel 2.3:

Tabel 2.3 Sub Kriteria, bobot, nilai dan klasifikasi koefisien regim sungai SUB Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan, 2014

dengan:

Qmaks = debit harian rata-rata tahunan tertinggi (m3/dt),

Qmin = debit harian rata-rata tahunan terendah (m3/dt),

(34)

19

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak pada catchment area AWLR (Automatic Water Level Recorder) Aiknyet yang terletak pada DAS Jangkok (nomor DAS 178) bagian hulu. Catchment area AWLR Aiknyet memiliki luas 74,55 km2 dengan sungai utama adalah Sungai Jangkok yang secara administratif berada di Kabupaten Lombok Tengah. Secara geografis letak Stasiun AWLR Aiknyet berada pada 8o32’

06” LS dan 116o14’ 21” BT.

(35)

20 Gambar 3.2 Peta catchment area DAS Jangkok

3.2 Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini diperlukan data sekunder yang diperoleh dari instansi-instansi terkait. Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diantaranya:

a. Peta topografi DAS

Data karakteristik DAS untuk mengetahui daerah tangkapan (catchment area) dan panjang sungai utama. Penetapan daerah tangkapan dilakukan berdasarkan peta topografi yang dikelola oleh Balai Informasi Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

b. Data debit AWLR

Data debit AWLR yang digunakan adalah data AWLR jam-jaman dari Stasiun AWLR Aiknyet pada DAS Jangkok. Data ini dikelola oleh Balai Informasi Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). c. Data curah hujan

(36)

21 Lingkok Lime. Data ini dikelola oleh Balai Informasi Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

3.3 Analisis Data

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis data curah hujan

1) Uji konsistensi data curah hujan dengan menggunakan metode RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums).

2) Analisis volume hujan rerata kawasan. b. Analisis data debit AWLR

1) Analisis volume banjir.

2) Analisis Koefisien Regim Sungai (KRS).

3) Analisis nilai koefisien runoff (C) dengan menggunakan data banjir yang terjadi akibat terjadinya hujan diwaktu yang bersamaan.

(37)

22 3.4 Bagan Alir Penelitian

Gambar 3.3 Bagan alir penelitian Ya

Hubungan Antara Nilai KRS dengan Nilai C

(38)

23

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hidrologi 4.1.1 Data hujan

Data hujan yang dianalisis adalah data curah hujan dari stasiun hujan yang berpengaruh terhadap bagian hulu DAS Jangkok. Stasiun penakar hujan yang terdekat pada hulu DAS Jangkok ini ada lah Stasiun Sesaot, Stasiun Santong, Stasiun Lingkok Lime dan Stasiun Keru. Dari keempat stasiun ini perlu diketahui luas pengaruh tiap stasiun pada lokasi yang ditinjau. Lokasi masing-masing pos penakaran hujan seperti pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Lokasi stasiun penakar hujan

(39)

24 Dalam analisis luas stasiun dilakukan dengan menggunakan metode Poligon Thiessen seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2. Dari analisis ini maka didapat stasiun hujan yang berpengaruh yaitu Stasiun Sesaot, Stasiun Santong dan Stasiun Lingkok Lime.

Gambar 4.2 Poligon Thiessen

4.1.2 Uji konsistensi data

Setelah didapatkan stasiun hujan yang berpengaruh pada hulu DAS Jangkok maka selanjutnya dapat dilakukan pengujian konsistensi data hujan tiap stasiun. Pengujian data curah hujan pada penelitian ini menggunakan metode RAPS

(Rescaled Adjusted Partial Sum). Analisis uji konsistensi data hujan dengan metode RAPS pada Stasiun Sesaot adalah sebagai berikut :

(40)

25

(41)

26 Tabel 4.1 Pengujian RAPS Stasiun Sesaot

No. Tahun Curah Hujan

Total curah hujan (mm) 61436,20

Rata-rata curah hujan (mm) 2362,93

Total DY² 235159,32

Akar DY² 484,93

Luas pengaruh Stasiun Sesaot (km²) 61,41

(42)

27 Tabel 4.2 Pengujian RAPS Stasiun Santong

(43)

28 Tabel 4.2 Pengujian RAPS Stasiun Santong (lanjutan)

No. Tahun Curah Hujan (mm) SK* DY2 SK** | SK** |

35 2015 2293,30 0,00 4246,64 0,00 0,00

Total curah hujan (mm) 66772,00

Rata-rata curah hujan (mm) 1907,77

Total DY² 249323,48

Akar DY² 499,32

Luas pengaruh Stasiun Santong (km²) 7,75

(44)

29 Tabel 4.3 Pengujian RAPS Stasiun Lingkok Lime

No. Tahun Curah

Total Curah Hujan (mm) 60519,80

Rata-rata Curah Hujan (mm) 2327,68

Total DY² 446210,44

Akar DY² 667,99

(45)

30 Sumber : Hasil Perhitungan.

Tabel 4.5 Nilai Q/√n dan R/√n Sumber : Harto.1993.

Tabel 4.6 Perbandingan nilai tabel dan hasil hitungan

Stasiun Tabel Hitungan Keterangan

Q/√n R/√n Q/√n R/√n

Sesaot 1,44 1,66 1,23 1,48 konsisten Santong 1,48 1,75 0,83 1,52 konsisten Lingkok Lime 1,44 1,66 0,71 0,92 konsisten Sumber : Hasil Perhitungan.

(46)

31 4.2 Analisis Koefisien Regim Sungai (KRS)

KRS adalah perbandingan antara debit maksimum (Qmaks) dengan debit minimum (Qmin) dalam suatu DAS. Nilai KRS ini dapat menunjukkan fluktuasi antara musim hujan dan musim kemarau dalam beberapa tahun mengamatan. Sehingga dilakukan analisis KRS pada 1 periode tahun hidrologi yaitu dari awal musim hujan hingga akhir musim kemarau. Sebagai contoh, berikut data yang digunakan untuk perhitungan nilai KRS pada periode tahun yaitu awal musim hujan ditahun 2008 hingga akhir musim kemarau ditahun 2009, pada Tabel 4.7 dapat dilihat data debit jam-jaman untuk tanggal 1 Oktober 2008.

Tabel 4.7 Data debit jam-jaman

Waktu (jam) Debit (m3) Waktu (jam) Debit (m3)

01/10/2008 00.00 0,32 01/10/2008 12.00 0,40

01/10/2008 01.00 0,32 01/10/2008 13.00 0,38

01/10/2008 02.00 0,32 01/10/2008 14.00 0,38

01/10/2008 03.00 0,32 01/10/2008 15.00 0,38

01/10/2008 04.00 0,32 01/10/2008 16.00 0,38

01/10/2008 05.00 0,32 01/10/2008 17.00 0,38

01/10/2008 06.00 0,43 01/10/2008 18.00 0,38

01/10/2008 07.00 0,43 01/10/2008 19.00 0,38

01/10/2008 08.00 0,42 01/10/2008 20.00 0,38

01/10/2008 09.00 0,42 01/10/2008 21.00 0,37

01/10/2008 10.00 0,40 01/10/2008 22.00 0,37

01/10/2008 11.00 0,40 01/10/2008 23.00 0,35

Sumber: Balai Informasi Sumber Daya Air Provinsi NTB

(47)

32 terjadi di bulan Oktober. Data pemilihan awal musim hujan untuk periode 2008-2008 dapat dilihat pada Tabel 4.8 - Tabel 4.9, Gambar 4.3 – Gambar 4.4. Data BPS dan BMKG lainnya terlampir.

Tabel 4.8 Jumlah hari hujan dan curah hujan tahun 2008

Bulan

Kab. Lombok Tengah Kab. Lombok Barat Kota Mataram

Hari Hujan

Sumber: Badan Pusat Statistik

(48)

33 Gambar 4.4 Perbandingan awal musim kemarau terhadap rata-rata ZOM

Tabel 4.9 Prakiraan awal musim kemarau 2016 Pulau Lombok

No.

ZOM Daerah/Kabupaten

Awal Musim Kemarau Antara

Perbandingan Terhadap Rata-rata

(Dasarian)

Sifat Hujan

1 2 3 4*) 5

220 Lombok Barat/Lombok Tengah bagian selatan April I - April II 0 N

221 Lombok Tengah April II - Mei I (+2) N

222 Kota Mataram, Lombok

Barat bagian barat April II - Mei I (-1) AN

223 Lombok Utara bagian barat Maret III - April II 0 N

224 Lombok Utara bagian utara Maret III - April II 0 AN

225 Lombok Timur bagian utara April II - Mei I 0 N

226

Lombok Barat bagian tengah, Lombok Tengah bagian utara

April I - April III (-1) AN

227 Lombok Tengah bagian

timur April I - April III 0 N

228 Lombok Timur bagian timur Maret III - April II (+1) N

229 Lombok Timur bagian selatan Maret III - April II (+1) N

(49)

34 4*) Keterangan:

0 : Awal Musim Kemarau sama dengan rata-ratanya

-1 : Awal Musim Kemarau maju 1 dasarian (10 hari) dari rata-ratanya +1 : Awal Musim Kemarau mundur 1 dasarian (10 hari) dari rata-ratanya +2 : Awal Musim Kemarau mundur 2 dasarian (10 hari) dari rata-ratanya +3 : Awal Musim Kemarau mundur 3 dasarian (10 hari) dari rata-ratanya

Debit rerata harian maksimum dan minimum didapat dengan mengolah data debit jam-jaman seperti pada Tabel 4.7, sehingga didapat nilai debit rerata untuk setiap harinya seperti pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Hasil perhitungan debit rerata harian

Waktu (jam) Debit (m3) Waktu (jam) Debit (m3)

01/10/2008 00.00 0,32 01/10/2008 12.00 0,40

01/10/2008 01.00 0,32 01/10/2008 13.00 0,38

01/10/2008 02.00 0,32 01/10/2008 14.00 0,38

01/10/2008 03.00 0,32 01/10/2008 15.00 0,38

01/10/2008 04.00 0,32 01/10/2008 16.00 0,38

01/10/2008 05.00 0,32 01/10/2008 17.00 0,38

01/10/2008 06.00 0,43 01/10/2008 18.00 0,38

01/10/2008 07.00 0,43 01/10/2008 19.00 0,38

01/10/2008 08.00 0,42 01/10/2008 20.00 0,38

01/10/2008 09.00 0,42 01/10/2008 21.00 0,37

01/10/2008 10.00 0,40 01/10/2008 22.00 0,37

01/10/2008 11.00 0,40 01/10/2008 23.00 0,35

Rerata 0,37

Sumber: Hasil Perhitungan.

Hasil perhitungan debit rerata harian terlampir.

Dari perhitungan debit rerata harian, didapat Q maks terjadi pada 16 Januari 2009 dan Q min terjadi pada 4 Oktober 2008.

𝐾𝑅𝑆 =

𝑄̅ 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑄̅ 𝑚𝑖𝑛

𝐾𝑅𝑆 =

8,880,31

(50)

35 Perhitungan selanjutnya untuk nilai KRS tiap tahun dapat dilihat pada Tabel 4.11 dan perubahan nilai KRS disajikan pada Gambar 4.5.

Tabel 4.11 Rekap data debit rerata harian dan hasil perhitungan KRS tiap tahun

Tahun Harian Maksimum Harian Minimum KRS Kategori Debit rerata Tanggal Debit rerata Tanggal

2008-2009 8,88 16/01/2009 0,31 04/10/2008 28,87 Rendah 2009-2010 5,12 21/09/2010 0,35 30/10/2009 14,49 Sangat Rendah 2010-2011 16,19 17/12/2010 0,43 26/09/2011 37,70 Rendah 2011-2012 11,68 10/03/2012 0,37 28/09/2012 31,95 Rendah 2012-2013 4,43 07/11/2012 0,37 01/10/2012 12,14 Sangat Rendah 2013-2014 7,03 21/01/2014 0,34 21/09/2014 20,95 Rendah 2014-2015 3,37 11/03/2015 0,28 04/11/2014 12,21 Sangat Rendah

Sumber: Hasil Perhitungan.

Gambar 4.5 Grafik nilai KRS tiap tahun.

Dari hasil analisa data KRS didapatkan bahwa kondisi DAS masih dalam keadaan baik setiap tahunnya, yang dapat dilihat pada Tabel 4.9 dan Gambar 4.3. Hal tersebut dilihat dari kategori yang berada dalam kisaran sangat rendah (KRS<20) sampai rendah (20<KRS<50), sehingga dapat diketahui bahwa fluktuasi debit sungainya tidak terlalu besar disaat musim hujan maupun kemarau.

4.3 Analisis Koefisien Runoff

Untuk mendapatkan nilai koefisien runoff (C), diperlukan beberapa perhitungan yaitu:

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

KRS

(51)

36 1. Analisis luas DAS dan luas pengaruh stasiun

Untuk mengetahui luas DAS maupun luas pengaruh tiap stasiun, digunakan metode Poligon Thiessen. Berdasarkan Gambar 4.2 didapatkan luas pengaruh tiap stasiun hujan pada hulu DAS Jangkok. Luas tiap stasiun hujan dapat dilihat pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12 Luas pengaruh stasiun hujan Luas pengaruh Stasiun Sesaot 61,41 km2

Luas pengaruh Stasiun Santong 7,74 km2

Luas pengaruh stasiun Lingkok Lime 5,40 km2

Total 74,55 km2

Sumber : Hasil Perhitungan.

2. Pemilihan data banjir dan hujan jam-jaman

Sebelum melakukan analisis selanjutnya untuk mendapatkan nilai C maka dilakukan pemilihan hidrograf tunggal/banjir yang didapat dari data tinggi muka air, dapat dilihat pada Gambar 4.6 dan Gambar 4.8. Karena dalam perhitungan KRS menggunakan data dalam tahun hidrologi (musim hujan-musim kemarau) maka untuk mencari nilai C juga menggunakan data debit dan hujan dalam durasi tahun hidrologi.

Gambar 4.6 Grafik hidrograf debit tahun 2008-2009 0,00

29/09/2008 14/10/2008 29/10/2008 13/11/2008 28/11/2008 13/12/2008 28/12/2008 12/01/2009 27/01/2009 11/02/2009 26/02/2009 13/03/2009 28/03/2009 12/04/2009

(52)

37 Gambar 4.7 Grafik hujan jam-jaman 2008-2009

Setelah memilih beberapa kasus banjir pada Gambar 4.6, kemudian melihat data hujan yang terjadi pada Gambar 4.7 untuk memastikan bahwa data banjir dapat dianalisis. Dalam analisis ini dibutuhkan banjir dan hujan yang terjadi pada jam yang sama dan banjir yang dipilih adalah satu kejadian hidrograf tunggal.

Data hujan jam-jaman untuk ketiga stasiun terlampir.

3. Analisis curah hujan rerata daerah

Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan curah hujan rerata daerah yang menyebabkan banjir saat hujan terjadi. Dari Gambar 4.6 ambil sebuah kasus banjir sebagai contoh, berikut uraian dalam analisis hujan rerata yang terjadi pada 17 November 1:59 - 2:59 WITA yang mengakibatkan banjir pada 17 November 2008 1:59 WITA hingga 18 November 2008 03:59 WITA dengan data hujan jam-jaman ditabelkan pada Tabel 4.13. Curah hujan rerata dari ketiga stasiun pengamatan adalah sebagai berikut:

(53)

38 Pada Stasiun Sesaot (d1) jumlah hujan pada 17 November 2008 I = 8 mm, pada

Stasiun Santong (d2) jumlah hujan I = 0 mm, dan pada Stasiun Lingkok Lime

(d3) jumlah hujan I = 0 mm,

𝑑 = 𝐴1𝑑1 + 𝐴2𝑑2 + 𝐴3𝑑3

𝐴1 + 𝐴2 + 𝐴3

𝑑 = (61,41𝑥10−12)𝑥8 + (7,74𝑥10(74,55𝑥10−12−12)𝑥0 + (5,4𝑥10) −12)𝑥0

𝑑 = 6,59 𝑚𝑚

4. Analisis volume hujan

Tabel 4.13 Data hujan jam-jaman

Sesaot Santong Lingkok Lime

Durasi Hujan

Sumber : Hasil Perhitungan.

Dari hasil analisis curah hujan rerata daerah, kemudian volume hujan didapatkan dengan mengalikan hujan rerata tersebut dengan luas DAS.

Volume Hujan = Curah hujan x Luas DAS = 6,59 mm x 74,55 km2

= 491256 m3

Tabel 4.14 Hasil perhitungan hujan rerata kawasan dan volume hujan Stasiun Durasi Hujan (jam) Hujan (m) Luas (m2)

Sesaot 2 0,0080 61407000

Santong 0 0,0000 7745000

Lingkok Lime 0 0,0000 5402000

(54)

39 5. Analisis volume banjir

Volume banjir didapat dari kejadian banjir yang diakibatkan oleh hujan satuan yang terjadi diwaktu yang sama dengan kejadian banjir, Perhitungan volume banjir seperti berikut:

a. Tanggal dan jam banjir yang terjadi bersamaan dengan hujan rerata kawasan,

b. Debit yang didapat dari grafik AWLR,

c. Baseflow dipilih dengan melihat debit awal banjir,

d. Banjir didapat dengan mengurangi debit dengan baseflow, Banjir = Debit – Baseflow

Sebagai contoh untuk perhitungan banjir: Jam pertama:

Banjir = Debit – Baseflow = 1,62 m3/dt – 1,62 m3/dt = 0 m3/dt

Jam kedua:

Banjir = Debit – Baseflow = 2,14 m3/dt 1,62 m3/dt

= 0,52 m3/dt

e. Volume banjir = (Banjir x 3600) Jam pertama:

Volume banjir = Banjir x 3600 = 0 m3/dt x 3600

= 0 m3

Jam kedua:

(55)

40 Gambar 4.8 Grafik hidrograf 17 November 2008

Hasil selanjutnya untuk perhitungan volume banjir 17 November 2008 dapat dilihat pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15 Hasil perhitungan volume banjir

Debit (m3/dt) Base flow (m3/dt)

Sumber : Hasil Perhitungan.

(56)

41 6. Analisis nilai koefisien runoff (C)

𝐶 =

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐵𝑎𝑛𝑗𝑖𝑟𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐻𝑢𝑗𝑎𝑛

=

491.256,0035.553,30

= 0,0724

Dalam satu tahun, hidrograf banjir yang dianalisis menghasilkan nilai C yang berbeda-beda. Untuk mempermudah dalam menganalisis hubungan nilai KRS dengan nilai C, maka dilakukan perata-rataan nilai C yang didapat dari tiap hidrograf, sehingga didapat satu nilai C untuk satu tahun. Dalam menganalisis nilai C, didapat durasi banjir yang berbeda dengan nilai C yang berbeda. Sehingga dicoba juga untuk menganalisis nilai C dengan interval waktu per 6 jam, dengan tujuan untuk melihat nilai C yang dihasilkan dari durasi banjir yang sama untuk setiap hidrograf yang dianalisis.

Hasil perhitungan selanjutnya untuk nilai C dapat dilihat pada Tabel 4.16 dan Tabel 4.17.

Tabel 4.16 Rekap nilai koefisien runoff

(57)

42 Tabel 4.16 Rekap nilai koefisien runoff (lanjutan)

(58)

43 Tabel 4.16 Rekap nilai koefisien runoff (lanjutan)

(59)

44 Sumber: Hasil Perhitungan

Tabel 4.16 Rekap nilai koefisien runoff (lanjutan)

(60)

45 Tabel 4.17 Nilai rerata C tiap tahun

Tahun C Rerata

Sumber: Hasil Perhitungan.

Gambar 4.9 Grafik nilai koefisien runoff tiap tahun

Dari hasil analisa data untuk koefisien runoff (C) didapatkan bahwa kondisi DAS mengalami perubahan fisik namun masih dalam keadaan baik setiap tahunnya. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata nilai C tiap tahunnya yang berada dalam kisaran dibawah 0,1, dimana hal ini menunjukkan bahwa nilai C yang dihasilkan saat terjadinya hujan, hanya 10% yang menyebabkan banjir, sehingga dapat diketahui bahwa kondisi DAS tersebut mampu untuk meresapkan 90% dari hujan yang terjadi. Dan dari Gambar 4.9 diatas dapat dilihat nilai C yang menunjukkan penurunan setiap tahunnya. Namun dengan membandingkan nilai C hasil

0,000

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

C

(61)

46 perhitungan dengan kondisi alam yang sebenarnya dilapangan secara visual menunjukkan hasil yang terlihat berbeda, seperti yang terlihat pada gambar 4.10

Gambar 4.10 Perubahan lahan dari tahun 2013-2015

Pada gambar 4.10 dapat dilihat pergeseran garis perubahan lahan yang didapat dari pencitraan pada google earth untuk tahun yang tersedia, yaitu tahun 2013, 2014 dan 2015 dengan hasil yang menunjukkan bahwa perubahan lahan yang terjadi meningkat setiap tahunnya. Berbeda dengan hasil analisa nilai C maupun KRS yang memiliki kecenderungan semakin baik setiap tahunnya.

4.4 Analisis Hubungan Nilai KRS dengan Nilai C

Dalam satu tahun terdapat satu nilai KRS, namun terdapat banyak nilai C karena banyak kejadian banjir yang dianalisis, satu kejadian banjir menghasilkan satu nilai C. Nilai C ini berbeda-beda tiap kejadian banjir. Untuk mendapatkan nilai C yang mewakili kejadian dalam satu tahun, dilakukan perata-rataan untuk semua nilai C dalam satu tahun (tahun hidrologi). Hasil C rerata tahunan dan KRS disajikan pada Tabel 4.18 dan Gambar 4.11. selanjutnya dicari hubungan antara nilai KRS dengan nilai C yang dapat dilihat pada Gambar 4.12.

2013

2014

(62)

47 Tabel 4.18 Rekap nilai KRS dan C rerata tiap tahun

Tahun Debit Rerata Harian KRS C Rerata

Maksimum Minimum

2008-2009 8,88 0,31 28,87 0,093

2009-2010 5,12 0,35 14,49 0,062

2010-2011 16,19 0,43 37,70 0,091

2011-2012 11,68 0,37 31,95 0,071

2012-2013 4,43 0,37 12,14 0,050

2013-2014 21,35 0,15 20,95 0,045

2014-2015 8,25 0,08 12,21 0,028

Sumber: Hasil Perhitungan.

(63)

48 Gambar 4.12 Grafik hubungan nilai KRS dengan nilai C rerata

Berdasarkan hasil analisa yang diperlihatkan pada Tabel 4.18 dan Gambar 4.11 dapat dilihat bahwa hampir semua nilai KRS dan nilai C memiliki fluktuasi yang sama, hal ini terlihat dari perubahan nilai C yang mengikuti perubahan dari nilai KRS itu sendiri. Dan pada Gambar 4.12 dapat dilihat persamaan dari hubungan nilai KRS dengan nilai C yang cukup erat kaitannya bila dilihat dari persamaan determinasi yang mendekati 1. Untuk rekap rerata nilai C untuk tiap interval 6 jam beserta hubungannya dapat dilihat pada Tabel 4.19 dan Gambar 4.13 – Gambar 4.16.

Tabel 4.19 Rerata nilai C tiap interval jam

KRS 6 jam 12

Sumber: Hasil Perhitungan.

y = 0,0019x + 0,0195

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00

C

(64)

49 Gambar 4.13 Grafik hubungan nilai KRS dengan nilai C 6 jam

Gambar 4.14 Grafik hubungan nilai KRS dengan nilai C 12 jam

Gambar 4.15 Grafik hubungan nilai KRS dengan nilai C 18 jam y = 0,0012x + 0,0059

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00

(65)

50 Gambar 4.16 Grafik hubungan nilai KRS dengan nilai C 24 jam

Dari Gambar 4.13 hingga Gambar 4.16 dapat dilihat bahwa hubungan dari nilai KRS dan nilai C yang dengan menganalisis banjir tiap 6 jam tidak dapat teranalisa dengan baik. Karena dengan membagi banjir dengan suatu interval waktu tertentu membuat ada beberapa kejadian banjir yang tidak ikut terhitung. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4.16. Setiap kejadian hujan dengan intensitas tertentu akan mengakibatkan banjir dengan durasi yang berbeda-beda, sehingga untuk mendapatkan nilai C dibutuhkan kejadian hidrograf tunggal.

y = 0,0011x + 0,0457 R² = 0,2239

0,000 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120

0 5 10 15 20 25 30 35 40

C

(66)

51

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan hasil analisis data, didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari hasil analisis hubungan antara nilai Koefisien Regim Sungai (KRS) dengan nilai Koefisien Runoff (C) didapatkan persamaan y = 0,0019x + 0,0195 dengan R2 = 0,6707.

2. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ditinjau dari nilai KRS dan C tiap tahunnya mengalami perubahan fisik dan masih dalam keadaan baik, namun berbeda dengan kondisi dilapangan bila ditinjau secara visual melalui pencitraan google earth yang memperlihatkan perubahan DAS yang tiap tahunnya semakin bertambah.

3. Kondisi DAS berpengaruh terhadap fluktuasi debit sungai, hal ini dilihat dari nilai C dan KRS, ditahun yang memiliki nilai C yang lebih tinggi akan menghasilkan nilai KRS yang tinggi juga, tingginya nilai KRS akan terlihat bahwa terjadi fluktuasi debit yang cukup besar pada tahun tersebut.

5.2 Saran

Adapun saran-saran yang ingin penulis sampaikan berdasarkan kesimpulan di atas yaitu:

1. Untuk ketersediaan data baik data hujan jam-jaman, debit, kondisi lahan agar tersedia lebih banyak pada instansi terkait, sehingga dalam pengolahan data akan mendapatkan hasil yang lebih baik.

2. Perlu juga dilakukan analisis pengaruh durasi hujan, durasi banjir maupun kondisi tanah dilokasi terkait terhadap nilai koefisien runoff. 3. Perlu untuk melanjutkan analisis nilai C dan KRS untuk tahun-tahun

(67)

Gambar

Tabel 2.1 Nilai Q/√n  dan R/√n
Tabel 2.3 Sub Kriteria, bobot, nilai dan klasifikasi koefisien regim sungai
Gambar 3.1 Peta lokasi DAS Jangkok
Gambar 3.2 Peta catchment area DAS Jangkok
+7

Referensi

Dokumen terkait

Machairiyah (2007), Analisis Curah Hujan Untuk Pendugaan Debit Puncak Dengan. Metode Rasional Pada DAS Percut Kabupaten

Dalam penelitian ini untuk mengetahui hasil debit maksimum pada kala ulang tertentu serta karakteristik dan pola aliran banjir DAS Binuang dengan menggunakan pemodelan yang ada pada

Dari hasil pemantauan pada DAS Wai Ruhu sebagai lokasi penelitian, dapat dijelaskan bahwa tinggi rendahnya curah hujan akan mempengaruhi fluktuasi volume aliran permukaan DAS dan

Hasil simulasi curah hujan-debit aliran dengan menggunakan data radar hujan, menunjukkan bahwa sub-DA CiLiwung (Tugu) merupakan sub-DAS yang memberikan debit dengan volume

Variabel pengamatan meliputi : pola drainase, bentuk das, kerapatan drainase, profil melintang sungai, orde dan tingkat percabangan sungai, debit aliran, kualitas

Perhitungan hujan harian menjadi debit pada sub DAS Temon dilakukan dengan cara transformasi hujan menjadi aliran untuk mendapatkan debit, simulasi hujan-aliran ini

Koefisien air larian yang adalah perbandingan antara volume debit aliran dengan volume curah hujan yang jatuh masuk ke dalam Sub-DAS, Sungai Cimulu lebih besar

Kapasitas penyanggaan debit (buffering capacity) dan aliran bawah tanah di DAS Talau lebih rendah pada tahun dengan curah hujan yang tinggi yang memiliki