• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPRIHATINAN RASULI DARI PENDIRI KONGREGASI CIJ TERHADAP HARKAT DAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN DI ENDE-FLORES SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KEPRIHATINAN RASULI DARI PENDIRI KONGREGASI CIJ TERHADAP HARKAT DAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN DI ENDE-FLORES SKRIPSI"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

i

KAUM PEREMPUAN DI ENDE-FLORES

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh

Prudentia Rosa Maru NIM: 051124027

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Skripsi ini Saya Persembahkan Kepada

Kongregasi Pengikut Yesus (CIJ), Para Suster CIJ di Setiap Komunitas Perutusan, Para Suster CIJ Komunitas Gamping dan Para

(5)

v

“Lihat itu hamba -Ku orang pilihan-Ku, kepadanya Aku Berkenan.”

(6)
(7)
(8)

viii

Dokumen Konsili Vatikan II menekankan bahwa kerasulan merupakan keterlibatan Gereja baik awam maupun religius untuk menyebarluaskan Kerajaan Allah, yang diwujudkan melalui berbagai bentuk atau model pelayanan demi kemuliaan Bapa dan keselamatan umat manusia. Dengan kegiatan merasul, baik rasul awam maupun biarawan-biarawati terlibat dalam pewartaan Kristus. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka skripsi ini diberi judul: “KEPRIHATINAN RASULI DARI PENDIRI KONGREGASI CIJ TERHADAP HARKAT DAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN DI ENDE-FLORES.”

Judul skripsi ini dipilih untuk menelusuri kembali semangat awal kerasulan pendiri dan pewarisannya kepada suster CIJ untuk mengangkat nilai dan martabat hidup manusia khususnya kaum perempuan, memperluas pemahaman dan penghayatan kerasulan Pendiri untuk dihidupi oleh suster CIJ dalam perutusan, meningkatkan semangat pelayanan suster CIJ kepada kaum perempuan melalui pendekatan pastoral, sosial dan kultural. Realitas menunjukan adanya pergeseran sikap dan semangat hidup untuk merasul secara efektif karena dipengaruhi oleh situasi zaman serta perkembangan ilmu dan teknologi. Maka penulis merasa perlu untuk memperhatikan dan meningkatkan Misi Gereja bagi keselamatan sesama, adanya kesadaran dan tanggung jawab penuh dari setiap anggota Gereja yang terpanggil untuk tugas pewartaan.

(9)

ix

of the Church, both lay people and religious wide spread the kingdom of God. And this is embodied through the various forms or models of ministry for the sake of the Father’s glory and the salvation of mankind. By the apostolate, either lay apostle or religious man and women, are to involve in the proclamation of Christ. Based on the way of thinking mentioned above, then, this mini thesis is meant to be under the title of: “APOSTOLIC CONCERN OF THE FOUNDER OF CIJ CONGREGATION TOWARD THE DIGNITY AND VALUE OF WOMEN IN ENDE-FLORES.”

This mini of the thesis is chosen to track the apostolic earlier zeal of the founder and her inheriting to the CIJ Sisters, to foster the dignity and value of man’s life, especially women, to widen the knowledge and comprehension of the founder’s apostolic zeal, to be lived by the CIJ Sisters in their mission, to lift up the ministry spirit of the CIJ Sisters towards women, through pastoral, social and cultural approach. Reality shows that, there is some kind of reshuffle of life zeal and behavior in living the apostolate effectively. Since it is influenced by the situation of the time and the growth of knowledge and technology. As the writer, I believe that, it is needed to give much attention and to foster the Mission of the Church for the salvation of all; it is absolutely needed, the presence of the awareness and full responsibility from each of the Church members who are called for the task of mission.

(10)

x

Puji syukur kepada Allah Bapa sumber belaskasih karena oleh rahmat dan kemurahan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul KEPRIHATINAN RASULI DARI PENDIRI KONGREGASI CIJ TERHADAP HARKAT DAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN DI ENDE-FLORES.

Skripsi ini merupakan sumbangan pemikiran penulis bagi para suster CIJ, untuk menghidupi semangat awal kerasulan pendiri kepada kaum perempuan supaya dapat meningkatkan kualitas pelayanan di mana pun berada dan berkarya, untuk menjunjung tinggi nilai dan hak-hak pribadi manusia khususnya kaum perempuan sebagai makhluk yang bermartabat.

Penulis menyadari skripsi ini bisa selesai karena adanya perhatian, cinta dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Romo Dr. J. Darminta, SJ., selaku dosen pembimbing utama yang dengan cinta, setia, sabar dan meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing penulis mulai dari penyusunan hingga pertanggungjawaban skripsi ini.

2. Bapak P. Banyu Dewa HS. S.Ag. M. Si., selaku dosen penguji II, yang telah memperhatikan, mendukung dan bersedia menggantikan dosen pembimbing akademik untuk menjadi penguji II.

(11)

xi hingga akhir skripsi ini.

5. Segenap staf Dosen, pegawai dan karyawan Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membekali penulis dengan ilmu dan berbagai fasilitas pendukung yang memperlancar penulis dalam studi.

6. Kongregasiku CIJ, Sr Kathrin, CIJ sebagai Pemimpin Umum CIJ dan staf dewan, para suster komunitas CIJ “Maria Assumpta” Gamping, komunitas CIJ “Siena” Deresan serta seluruh persaudaraan Kongregasi yang dengan caranya masing- masing telah mendukung penulis baik spiritual, moril maupun finansial selama studi hingga akhir penulisan skripsi ini.

7. Saudaraku Fr. Wilhelmus Bertolomeus, Pr, Br. Pius Ledo, SVD, Fr. Ferdinandus Pati Wale, Pr, dan Fr. Aloysius Jalang, OCD, yang senantiasa memotivasi serta membantu penulis selama studi hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.

8. Orang tua, kakak, adik dan seluruh anggota keluarga yang telah mendukung penulis melalui doa serta korban selama masa studi.

9. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2004/2005 yang telah memberi dukungan dan persaudaraan dalam suka maupun duka selama ini.

(12)
(13)

xiii

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR SINGKATAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan... 1

B. Rumusan Permasalahan... 4

C. Tujuan Penulisan... 4

D. Manfaat Penulisan... 5

E. Metode Penulisan... 5

F. Sistematika Penulisan... 6

BAB II SEKILAS PANDANG KONGREGASI CIJ. ... 8

A. Latar Belakang Berdirinya CIJ... 8

1. Gambaran Situasi Flores ... 8

2. Peranan Kehadiran Para Misionaris ... 12

3. Minat Gadis-gadis Pribumi Untuk Hidup Membiara ... 12

B. Auto Biografi Pendiri Kongregasi CIJ... 16

1. Hidup Dan Panggilan ... 16

2. Misionaris Togo-Afrika... 18

3. Misionaris Kepulauan Sunda Kecil... 19

(14)

xiv

2. Iman Akan Belaskasih Allah Kepada Orang Kecil ... 30

3. Spiritualitas Pendiri Kongregasi CIJ... 31

D. Karya-Karya Kongregasi CIJ... 35

1. Bidang Karya Pendidikan... 36

a. Pendidikan Formal... ... . 36

b. Pendidikan Nonformal ... 38

2. Bidang Karya Kesehatan... 42

3. Bidang Karya Sosial... 44

4. Bidang Karya Pastoral... 46

BAB III HARKAT DAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN DI ENDE-FLORES ... 49

A.Garis Besar Keberadaan Kaum Perempuan di Flores ... 49

1. Segi Pendidikan... 49

a. Situasi Pendidikan Pada Masa Silam ... 49

b. Situasi Pendidikan Pada Masa Sekarang... 58

2. Segi Sosial... 60

a. Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia ... 60

b. Peranan Perempuan Ende Dalam Pelapisan Sosial... 63

3. Segi Ekonomi ... 73

4. Segi Budaya ... 74

B. Masalah Kaum Perempuan Di Ende ... 77

1. Problematika Harkat Dan Martabat Kaum Perempuan Di Ende ... 77

a. Kekerasan Fisik Dan Verbal Terhadap Kaum Perempuan... 77

b. Kasus Kawin Jodoh... 81

(15)

xv

di Ende ... 85

a. Adat ... 85

b. Pemerintah Setempat ... 86

c. LSM... 88

d. Gereja ... 90

BAB IV KEPRIHATINAN BAPA PENDIRI KOGREGASI CIJ TERHADAP KAUM PEREMPUAN DI ENDE-FLORES ... 93

A. Keprihatinan Pendiri Akan Problematika Aktual Terhadap Harkat Dan Martabat: Sebuah Aplikasi Konkret ... 93

1. Pemberdayaan Intelektual dan Moral Dengan Mendirikan Sekolah dan Asrama Puteri ... 93

2. Pemberdayaan Lewat Kunjungan Pastoral... 96

3. Pemberdayaan Spiritual Lewat Pembentukan Kelompok-kelompok Doa ... 100

4. Pemberdayaan Karitatif Sosial Lewat Keterampilan-keterampilan Praktis ... 102

B. Penggalian Konstitusi Awal Dari Pendiri Tentang Keprihatinannya Terhadap Kaum Perempuan di Ende ... 104

1. Keprihatinan Harkat dan Martabat dari Kaum Perempuan di Tingkat Pendidikan Formal dan Nonformal... 104

a. Pendidikan Formal ... 104

b. Pendidikan Nonformal ... 109

2. Keprihatinan Harkat dan Martabat dari Segi Mental (budaya)... 112

(16)

xvi

B. REKOMENDASI ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 128

LAMPIRAN ... 130

Lampiran 1: Cerita Film “Ria Rago” ... (1)

Lampiran 2: Pertanyaan Panduan Wawancara ... (3)

Lampiran 3: Hasil Wawancara ... (4)

(17)

xvii A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti daftar singkatan Lembaga Alkitab Indonesia Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab indonesia, 1996.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja dalam Dunia Modern, 1989

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja, 1989

PC : Perfectae Caritatis, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, 1992

C. Singkatan Lain

Art : Artikel

Bag : Bagian

BT : Bintang Timur

Bdk : Bandingkan

CIJ : Congregatio Imitationis Jesu (Kongregasi Pengikut Yesus) Dkk : Dan kawan-kawan

DP : Devisi Perempuan

(18)

xviii

KPKC : Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

No : Nomor

NTT : Nusa Tenggara Timur Ornop : Organisasi non pemerintah PD : Perang Dunia

PPI : Perikatan Perempuan Indonesia RI : Republik Indonesia

SD : Sekolah Dasar SG : Surat Gembala SGA : Sekolah Guru A SGB : Sekolah Guru B

SGKP : Sekolah Guru Kepandaian Puteri SJ : Societas Jesu (Serikat Yesus)

SKKA : Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas SKP : Sekolah Kepandaian Puteri

SKKP : Sekolah kesejahteraan Keluarga Pertama SMP : Sekolah Menengah Pertama

SMA : Sekolah Menengah Atas

(19)

xix

SSpS : Servae Spiritus Sancti (Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus)

Sta : Santa

ST : Sekolah Tukang

SVD : Societas Verbi Divini (Serikat Sabda Allah) TKK : Taman Kanak-kanak

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Konsili Vatikan II menandaskan bahwa kehadiran setiap tarekat religius merupakan persembahan diri bagi Gereja melalui karya-karya kerasulan. Demi tercapainya kerasulan tersebut, masing- masing tarekat harus memiliki dasar hidup yang kuat sebagai pedoman yang dapat mengarah, memotivasi, para anggota tarekatnya untuk menjadi pengikut dan pelayan Kristus yang sesungguhnya. Konsili juga mengajak agar melalui hidup dan perutusannya, para anggota tarekat religius senantiasa kembali kepada semangat dasar serta tujuan awal berdirinya sebuah tarekat. Gereja mempunyai harapan bahwa kehadiran tarekat-tarekat religius dengan kekhasannya masing- masing, perlu menghayati, memelihara dan melaksanakan dengan setia semangat Pend iri, maksud dan tujuan berdirinya tarekat serta tradisi- tradisi yang menjadi warisan setiap tarekat.

(21)

pedesaan telah menjadi korban kekerasan dan penindasan bahkan diperhitungkan sebagai barang yang dapat diperdagangkan.

Dalam situasi antara akhir Perang Dunia I dan awal Perang Dunia II tahun 1942 merupakan suatu kejadian penting yang turut memberi warna khusus pada kepemimpinan Mgr. Henricus Leven, SVD, karena oleh rahmat dan anugerah Tuhan yang istimewa ia berani mendirikan Kongregasi CIJ sebagai sarana untuk membantu Gereja di dalam menghidupkan imannya. Selama tiga tahun masa pendudukan Jepang, Bapa pendiri tetap hadir sebagai pemimpin dan gembala yang selalu berada di antara para kawanan dombanya. Sebaga i seorang misionaris dengan seluruh jiwa-raganya, Bapa pendiri sangat bertanggungjawab terhadap Gereja setempat dalam situasi sulit yang menimpa umatnya. Ia mengunjungi, menghibur dan meneguhkan mereka serta memberikan pelayanan rutin kepada umat di paroki-paroki, stasi-stasi yang terpencar-pencar dari ujung timur sampai ujung barat Flores (Beding, 1996: 7).

(22)

mereka tentang iman kristiani di saat mengadakan kunjungan pastoralnya. Untuk memperlancar karya pelayanannya, Bapa pendiri meneruskan tugas kerasulan ini kepada para suster CIJ, agar orang-orang kecil tetap mengalami hadirnya Kerajaan Allah dalam kehidupan mereka.

Untuk menghidupi semangat kerasulannya, Bapa pendiri menegaskan melalui Konstitusi Awal bagian pertama bab I No. 3 art. I ditulis dengan maksud, supaya suster CIJ memperhatikan pendidikan anak-anak dan perempuan. Tujuannya untuk memperbaiki status kehidupan perempuan, mengangkat harkat dan martabat perempuan dari keterpurukan situasi penjajah yang diukung oleh budaya yang menempatkan perempuan pada urutan terakhir pada strata sosial masyarakat. Amanat Pendiri ini memampukan para suster CIJ generasi perdana untuk dapat melaksanakan perutusannya khususnya menangani pendidikan anak-anak dan peremp uan.

(23)

Melalui keempat bidang karya ini Kongregasi CIJ bercitra juga untuk pendidikan kaum perempuan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengolah bahan skripsi ini dengan judul: “KEPRIHATINAN RASULI DARI PENDIRI KONGREGASI CIJ TERHADAP HARKAT DAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN DI ENDE-FLORES.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dikemukakan di atas, penulis akan memberi perhatian khusus pada masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran dan pemahaman eksistensi kaum perempuan di

Ende-Flores ?

2. Apa peranan kerasulan Pendiri terhadap harkat dan martabat kaum perempuan di Ende-Flores bagi para suster CIJ dalam perutusan?

3. Sudah sejauh mana kerasulan Pendiri terhadap harkat dan martabat kaum perempuan dihidupi oleh para suster CIJ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui gambaran dan pemahaman situasi konkret kaum perempuan di Ende-Flores.

(24)

3. Mengetahui sudah sejauh mana kerasulan Pendiri terhadap harkat dan martabat kaum perempuan di Ende-Flores dihidupi oleh para suster CIJ. 4. Memenuhi persyaratan ujian kelulusan sarjana Strata Satu (1) IPPAK

Universitas Sanata Dharma.

D. Manfaat Penulisan 1. Bagi Kongregasi

Menemukan kembali semangat awal kerasulan Pendiri dalam memperhatikan harkat dan martabat kaum perempuan di Ende-Flores. 2. Bagi para suster CIJ

Sebagai sumbangan dan bahan refleksi untuk memperhatikan dan meningkatkan kualitas kerasulan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan sesuai pesan Bapa pendiri.

3. Bagi penulis

Mengembangkan wawasan dan penghayatan hidup sebagai religius CIJ dalam mewujudkan kerasulan Pendiri dengan lebih mendalam.

E. Metode Penulisan

(25)

F. Sistematika Penulisan

Uraian materi dan pembahasan skripsi ini dibagi dalam lima bab yaitu: Bab I adalah pendahuluan yang menguraikan latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II menguraikan tentang sekilas pandang Kongregasi CIJ tinjauan historis, latar belakang berdirinya CIJ, auto biografi Pendiri Kongregasi, alasan didirikan Kongregasi CIJ, spiritualitas Pendiri dan karya pastoral Kongregasi CIJ.

(26)

di tingkat pendidikan formal dan nonformal, keprihatinan harkat dan martabat dari segi mental, keprihatinan harkat dan martabat dari segi pengevangelisasian.

Bab V Evaluasi dan Rekomendasi.

(27)

BAB II

SEKILAS PANDANG KONGREGASI CIJ

A. Latar Belakang Berdirinya CIJ 1. Gambaran Situasi Flores

“Congregatio Imitationis Jesu” adalah sebuah tarekat religius lahir pada zaman sebelum Perang Dunia II atas penyelenggaraan kasih Allah yang berlimpah kepada masyarakat NTT, untuk menjawab tantangan zaman yang hidup dala m situasi kekerasan, penindasan dan penderitaan dari penjajah. Penindasan mengakibatkan masyarakat menderita dalam berbaga i aspek kehidupan yang mencakup bidang politik, pendidikan, ekonomi, adat- istiadat dan sosial budaya.

Situasi politik saat itu telah mempengaruhi kehidupan masyarakat Flores menjadi tidak stabil karena harus beralih dari satu tangan penjajah ke tangan penjajah yang lain. Sebagai bukti, sejarah telah mencatat bahwa Flores dijajah oleh bangsa Portugis sejak tahun 1511. Selanjutnya, tahun 1613-1942 oleh Belanda dan tahun 1942-1945 oleh bangsa Jepang (Uran, tt: 324-332).

(28)

Hindia Belanda membuka sekolah-sekolah, tetapi lembaga-lembaga tersebut hanya bagi anak raja dan pemuka masyarakat untuk menunjang kepentingan pemerintahannya (Uran, tt: 12).

Selain itu, kekerasan juga dialami melalui sistem kerja paksa yang dibebankan pada masyarakat. Mereka dipaksa mengerjakan jalan raya dengan suatu pengontrolan yang sangat ketat demi kelancaran dan kemudahan aktivitas kaum penjajah. Pengawasan yang demikian ketat dimaksudkan agar masyarakat tidak mudah diprovokasi untuk melawan para penjajah Belanda dan Jepang (Uran, tt: 330).

Dari segi ekonomi, masyarakat NTT masih hidup dalam budaya agraris yang sangat tradisional. Pola pertanian masyarakat pada umumnya adalah budaya ladang berpindah dan sistem tebas bakar dengan penghasilan seadanya. Sistem ini memberi peluang bagi siapa saja untuk menguasai bidang tanah seluas- luasnya supaya mendapat hasil yang cukup dan menunjukan status sosial. Kesempatan ini menimbulkan stratifikasi sosial dalam kelas-kelas.

(29)

yang disebut depresi ekonomi yang melahirkan kesenjangan sosial dalam masyarakat (Uran, tt: 95).

Dalam bidang adat- istiadat dan perbudakan pun masih sangat kuat. Kekerasan feodalisme yang ditandai dengan pembunuhan, pemerkosaan, khususnya kaum perempuan yang nampak jelas dalam praktek kawin paksa. Sikap ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi yang merendahkan martabat manusia. Orang-orang muda menjadi fokus kekerasan terhadap aturan adat. Berdasarkan norma adat setempat, seorang gadis seharusnya dipinang oleh pihak laki- laki, tetapi aturan tersebut tidak berlaku karena hadirnya kaum penjajah: mereka hanya dijadikan sebagai alat pemuas hawa nafsu dan komoditi perdagangan yang dapat menghasilkan uang, harta serta alat untuk meningkatkan status sosial mereka. Perempuan sungguh diperlakukan sebagai barang yang bisa diperdagangkan untuk kepentingan golongan atas (Uran, tt: 17).

Kondisi yang memprihatinkan ini telah menimbulkan berbagai penyakit fisik dan psikis. Jenis penyakit ini tidak mudah ditangani karena kesulitan tenaga medis, obat-obatan, konselor dan komunikasi antar daerah yang sulit dijangkau. Situasi ini sungguh membuat masyarakat hidup dalam kemelaratan.

(30)

mengenal agama, mencari domba yang hilang dan mengangkat martabat kaum papa miskin serta para penderita (Konst. Awal, 1938: bag. II bab VIII art. 4).

Bertolak dari keprihatinan dasar tersebut didirikan tarekat ini yakni:

pertama, agar para anggotanya meneladani Tuhan Yesus dan bunda-Nya yang suci, menjalankan kehidupan orang miskin, tetap hidup perawan dan mentaati aturan hidup Kongregasi serta berusaha untuk mencapai kesempurnaan dan berkenan kepada Allah. Kedua, mereka harus membantu karya penyebaran agama (iman) yang benar. Misi ini diwujudkan dalam karya pendidikan anak-anak perempuan di sekolah, asrama, serikat Gerejani St. Maria, sekolah rumah tangga dan pendidikan anak-anak kecil (TKK) (Konst. Awal, 1938: bag. I bab I No. 3 art. 1).

(31)

2. Peranan Kehadiran Para Misionaris

Kesaksian hidup beriman dari para misionaris di tengah-tengah masyarakat pada zaman penjajahan, sungguh membawa dampak positif yang mempengaruhi perkembangan hidup religiusitas masyarakat Flores pada umumnya. Melalui pewartaan para pedagang Portugis mereka dapat mengenal Yesus Kristus. Ba nyak orang dipermandikan oleh Pater Antonio da Traveiro, OP pada tahun 1555 (Uran, tt: 324).

Kehadiran para imam Yesuit (SJ) pada tahun 1859-1911 juga menjadi sumbangan besar bagi Gereja Flores, karena melalui pendampingan mereka hidup beriman kristiani masyarakat Flores terus mengalami peningkatan. Karya ini kemudian dilanjutkan oleh para imam SVD mulai tahun 1912 hingga sekarang (Uran, tt: 324-329).

Dari benih iman inilah, tumbuh benih panggilan untuk hidup membiara dari kalangan rakyat kecil sejak tahun 1920. Kesaksian hidup dari para misionaris dalam mewartakan Kerajaan Allah di tengah ma syarakat, telah mempengaruhi para gadis pribumi untuk meneladani kehidupan mereka sebagai pengikut Kristus.

3. Minat Gadis-gadis Pribumi Untuk Hidup Membiara

(32)

Nele-Sika-Flores membuat lamaran untuk menjadi biarawati SSpS. Namun lamaran mereka ditolak karena perbedaan tingkat pendidikan, budaya dan iman Katolik yang belum mendalam, tentu akan menga lami kesulitan dalam penghayatan hidup membiara (Uran, tt: 221).

Bagi Allah tidak ada yang mustahil, di hadapan-Nya setiap manusia berharga dan mulia. Bahkan Allah mengangkat dan memilih manusia menjadi rekan kerja-Nya. Atas tuntunan rahmat Allah, para gadis pribumi mengungkapkan kerinduannya untuk menjadi suster kepada Pater Yakob Koberl, SVD, sebagai pastor paroki Nele dan satu gadis menyampaikannya kepada Pater Bertoldus Eriess, SVD, sebagai bapa pengakuannya di Lela. Pater Yakob Koberl, SVD, dengan senang hati menerima dan

menampung mereka dalam Kongregasi Santa Maria. Di tempat ini mereka dibimbing bagaimana menjadi pelayan bagi sesama. Mereka dilatih menjadi seorang katekis sederhana yang bertugas mengumpulkan anak-anak untuk belajar agama, mengunjungi dan memberi peneguhan bagi keluarga-keluarga yang bermasalah serta dilatih mengurus gereja (Beding, 1996: 72).

(33)

mendapat tanggung jawab memberikan pendampingan lanjut bagi kehidupan rohani para calon religius pribumi (Kuhne, tt: 2).

Dalam perkembangan selanjutnya, Pater Bertoldus Eriess, SVD, Pater Lambert Flint, SVD dan Pater Yakob Koberl, SVD, menyampaikan kerinduan gadis pribumi ini kepada Mgr. Arnoldus Verstraelen, SVD. Pada tahun 1930 beliau menanggapi informasi itu dan segera mengumpulkan para calon religius pribumi di Mataloko. Bapa Uskup mengangkat Pater Yakob Koberl, SVD, sebagai moderator untuk membimbing kehidupan rohani para calon religius pribumi. Sr. Helena SSpS, mendampingi mereka dalam urusan rumah tangga dan menuntun mereka untuk belajar hidup sebagai seorang biarawati (Uran, tt: 221).

Berdasarkan situasi tersebut, Mgr. Arnoldus Verstraelen, SVD, bertekad untuk mendirikan biara suster pribumi. Namun niatnya itu tidak terwujud karena secara mendadak pada tanggal 16 Maret 1932, beliau meninggal akibat kecelakaan dalam perjalanan menuju Mataloko mengunjungi Seminari Todabelu (Beding, 1996: 72-73).

(34)

coba, calon yang menerima gambar Hati Kudus Yesus, diterima sebagai kandidat suster sedangkan calon yang menerima gambar Santo Yosef menggendong anak Yesus, tidak diterima dan boleh tinggal bersama anggota keluarga (Beding, 1996: 74-75).

Sesudah diangkat menjadi Vikaris Apostolis, tanggal 25 April 1933 beliau memanggil para calon yang diterima sebagai kandidat suster. Dengan demikian “kelompok tujuh” terpilih sebagai kandidat suster CIJ, menjadi cikal bakal proses berdirinya sebuah persekutuan religius bagi biarawati pribumi. Mgr. Henricus Leven, SVD, memilih Jopu sebagai tempat pembinaan dasar bagi para calon dalam menghayati kehidupan membiara (Beding, 1996: 75).

(35)

B. Auto Biografi Pendiri Kongregasi CIJ 1. Hidup Dan Panggilan

Mgr. Henricus Leven, SVD, dilahirkan di Lank-Jerman, pada tanggal 13 Juni 1883. Ayahnya bernama Wilhelm Leven (1853-1922) bekerja sebagai guru SD dan ibunya Catharina Classen (1857-1900). Henricus Leven adalah putera pertama dari lima bersaudara terdiri dari empat putera dan satu puteri. Mereka berasal dari keluarga Katolik yang sangat saleh dan dididik untuk setia serta taat pada ajaran-ajaran kristiani. Kebiasaan doa harian dan merayakan Ekaristi, sudah merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan setiap hari. Pembentukan iman yang ditanam dalam keluarga mempengaruhi perkembangan kepribadian juga spiritual bagi anak Henricus Leven yang akhirnya membuahkan keputusannya untuk menjadi imam dan misionaris.

Tahun 1890 pada usia enam tahun Henricus Leven mulai mengikuti pendidikan Sekolah Dasar. Sejak kecil ia suka membaca dan bacaan yang paling digemarinya adalah berita-berita yang menguraikan tentang Misi Gereja Katolik di seluruh dunia. Majalah Misi dengan nama “Der Kleine Herz Jesu Bote” artinya Bentara Kecil Hati Yesus diterbitkan oleh Pater Arnoldus Yanssen, SVD, di Steyl- Belanda, bertuj uan untuk memperkenalkan karya Misi dan menarik perhatian para calon yang mau menjadi misionaris (Beding, 1996: 14-15).

(36)

enam belas tahun, Henricus Leven masuk ke rumah Misi di Steyl- Belanda untuk belajar menjadi imam misionaris SVD. Di tempat ini Henricus Leven bersama dengan teman-temannya memperoleh pendidikan yang khusus untuk menjadi imam (Beding, 1996: 15).

Perjuangan Henricus Leven untuk menjadi imam misionaris akhirnya terputus sementara karena kondisi kesehatan yang kurang mendukung, sehingga ia harus kembali ke tengah keluarganya. Hambatan ini tentu membawa pergulatan batin bagi dirinya, namun dalam iman ia menerima situasi ini dengan tabah dan percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana atas hidup serta panggilannya. Selama beristirahat di rumah ia membantu ayahnya mengajar di sekolah. Sikap dan teladan hidup sang ayah yang tekun, teliti, cermat, disiplin, tanggung jawab disertai semangat dedikasi dalam pelayanan, menjadi panutan bagi hidup serta masa depan Henricus Leven (Beding, 1996: 15).

Setelah kesehatannya pulih, Henricus Leven kembali ke Steyl- Belanda untuk meneruskan cita-citanya menjadi imam misionaris. Pada tanggal 1 November 1907, frater Henricus Leven, SVD, mengikrarkan kaul pertama dan setahun kemudian pada tanggal 6 Desember 1908 ia menerima tahbisan rendah. Selanjutnya ia belajar filsafat dan teologi di Seminari Tinggi Wina-Austria. Pada tanggal 7 September 1910 ia mengikrarkan kaul kekal (Beding, 1996: 15-16).

(37)

akhirnya sampai tahbisan imam tanggal 29 September 1910. Imamat yang diterimanya dialami sebagai anugerah istimewa dari Tuhan dan bentuk perwujudan idaman hatinya menjadi imam misionaris. Sakramen Imamat telah mengubah dirinya menjadi seorang “Kristus yang lain” bagi sesama (Beding, 1996: 16).

2. Misionaris Togo-Afrika

Setelah ditahbiskan menjadi imam, pater Henricus Leven, SVD, mendapat perutusan pertama sebagai imam misionaris di Togo-Afrika. Ia diberi tanggung jawab menjadi penilik sekolah untuk mengawasi sekolah pertukangan, perdagangan, kursus pendidikan sekretaris dan penjaga toko bagi anak-anak pribumi Afrika, supaya mereka mampu bekerja demi kesejahteraan hidupnya. Selain itu ia juga bertugas sebagai prokurator yang mengurus persediaan bahan-bahan pembangunan Misi, menjadi Sekretaris Prefek Apstolik dan pastor pembantu di Lome-Afrika. Semua tugas yang diserahkan kepadanya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, tekun, cermat dan dedikasi yang tinggi (Beding, 1996: 26-27).

(38)

Togo-Afrika dihentikan untuk sementara waktu. Pada tanggal 10 Oktober 1917, pater Henricus Leven, SVD, bersama misionaris lainnya ditawan di Inggris sebagai tawanan perang selama 7 bulan.

Metode pastoral yang dijalankan ole h pater Henricus Leven, SVD, selama di tanah Misi Togo-Afrika, memberi kesan yang mendalam di hati umat karena kehadiran dan pelayanannya sungguh membebaskan umat dari penderitaan. Oleh karena itu kepergiannya membuat mereka merasa kehilangan figur seorang gembala yang baik dan umat mengiringi kepergian para misionaris dengan ratap tangis yang memilukan (Beding, 1996: 28-29).

Kisah hidupnya sebagai orang tawanan perang, menghantar ia untuk menyatu dengan Yesus yang menderita. Situasi ini turut membentuk dirinya menjadi seorang utusan yang tabah, kuat dan percaya pada penyelenggaraan ilahi dalam membantu membebaskan umat dari penderitaan. Pada tanggal 17 Mei 1918, pater Henricus Leven, SVD, mengalami masa pembebasan. Untuk sementara waktu di Jerman ia berkarya sebagai pastor pembantu di paroki Stratum dekat Lank tempat kelahirannya sampai awal Oktober 1920 (Beding, 1996: 29-30).

3. Misionaris Kepulauan Sunda Kecil

(39)

Cintanya pada tanah Misi di Togo-Afrika tidak bisa dilanjutkan karena pint u untuk kembali ke sana sudah tertutup baginya (Beding, 1996: 29-30).

Meskipun tidak ada pelua ng lagi untuk kembali ke tanah Misi Togo-Afrika, tetapi karena cintanya yang sudah menyatu dengan orang-orang kecil dan para penderita di tanah Misi, pada bulan September 1919 pater Henricus Leven, SVD, mengajukan lamaran kepada pimpinan SVD untuk diutus menjadi misionaris ke Indonesia khususnya Kepulauan Sunda Kecil. Permintaannya diterima dan pada tanggal 23 Oktober 1920, ia berangkat dari Steyl-Belanda menuju Indonesia selanjutnya sampai di Ende-Flores tanggal 11 Desember 1920. Beliau memulai karya pastoralnya dengan Visi SVD yakni memperjuangkan supaya pulau Flores harus menjadi pulau yang beriman Katolik (Uran, tt: 318).

(40)

Pada tanggal 22 Juli 1922 sampai bulan Juli 1927, pater Henricus Leven, SVD, mendapat perutusan baru ke pulau Timor sebagai pastor paroki di Halilulik-Timor, rektor distrik dan Inspektur Persekolahan Misi. Setelah menjalankan pelayanan pastoralnya di pulau Timor pada tanggal 1 Agustus 1927, ia diangkat menjadi Provikaris, menggantikan pater Van Cleef, SVD, yang telah meninggal dunia (Beding, 1996: 33).

Di Ende pater Henricus Leven, SVD, diserahi tugas sebagai Inspektur Persekolahan Misi Flores dan memimpin karya misionaris yang tersebar di seluruh kawasan Misi Sunda Kecil. Ia menyelesaikan berbagai urusan dengan pemerintah mengenai korespondensi, administrasi Keuskupan dan menangani tugas Mgr. Arnoldus Verstralen, SVD, ketika beliau mengadakan kunjungan ke luar negeri. Semua tugas ini dikerjakan dengan cermat, rapi, bijaksana dan semangat rendah hati (Beding, 1996: 34).

(41)

Pada tanggal 16 Maret 1932, umat di Kepulauan Sunda Kecil mengalami kehilangan seorang pemimpin dan gembala yakni Mgr. Arnoldus Verstraelen, SVD, yang mendadak meninggal karena kecelakaan mobil dalam perjalanan dari Ende menuju Mataloko mengunjungi Seminari Todabelu. Untuk menyelamatkan situasi ini, pater Henricus Leven, SVD, bertindak sebagai Administrator Apostolis untuk menjalankan semua urusan Gerejawi, sambil menunggu pegangkatan seorang Uskup baru (Beding, 1996: 35-36).

Pada tanggal 15 April 1933, Paus Pius XI mengangkat pater Henricus Leven, SVD, sebagai Vikaris Apostolis Kepulauan Sunda Kecil. Penunjukan ini disambut dengan gembira dan penuh antusias oleh umat Katolik serta semua pihak yang sudah mengenalnya sebagai seorang pemimpin Gereja yang saleh, berbakat dan berpengalaman dalam tugas-tugas kepemimpinan Gereja. Pihak pemerintah kolonial Belanda tidak menyetujui pegangkatan seorang Uskup yang bukan berkebangsaan Belanda. Demi tugas kegembalaan dan cintanya kepada umat di Kepulauan Sunda Kecil, ia rela meninggalkan segala sesuatu termasuk statusnya sebagai warga negara Jerman untuk kepentingan Kerajaan Allah (Beding, 1996: 36-38).

4. Menjadi Uskup Dengan Motto “O Crux Ave Spes Unica”.

(42)

Belanda, maka pada tanggal 12 November 1933 pater Henricus Leven, SVD, ditahbiskan menjadi Uskup dengan motto “O Crux Ave Spes Unica” (Salam o Salib Harapan Yang Esa) (Beding, 1996: 39-41).

Dalam upacara tahbisan itu, Mgr. Henricus Leven, SVD, berjanji akan setia dalam iman yang kudus dan mengajarkan iman itu kepada umatnya. Pengajarannya itu nyata dalam teladan kebajikan-kebajikan kristiani seperti: kerendahan hati, kesabaran, kesucian, kesopanan dan berbelas kasih dengan orang kecil serta para penderita (BT, 1934: 1).

Percaya akan salib sebagai harapan satu-satunya yang memberi kekuatan baginya, menjadi andalan dalam perutusannya. Modal iman inilah yang menyemangati Mgr. Henricus Leven, SVD, untuk kembali bermisi di Kepulauan Sunda Kecil dan beliau tiba di Ndona-Ende pada tanggal 20 April 1934. Selanjutnya dalam perayaan Ekaristi pontifikal untuk pertama kalinya pada tanggal 21 April 1934, di halaman gereja Ndona dalam sambutan ia berkata:

“Di sini negeriku

Di sini aku harus bekerja Di sini aku harus mati

Mari Kita saling mengasihi saling membantu

Supaya bersama kita memperoleh keselamatan di Surga” (Beding, 1996: 43).

(43)

di tanah Misi dan tantangan dari masyarakat kafir dengan mentalitas kekafiran yang menghambat pewartaan Injil (Uran, tt: 200-201).

Agar kegiatan pastoral berjalan lancar, usaha yang dilakukan oleh Mgr. Henricus Leven, SVD, adalah menertibkan metode karya pastoral dengan mengadakan Sinode untuk seluruh Vikariat Apostolis Kepulauan Sunda Kecil di Ndona yang berlangsung tanggal 15-22 Agustus 1935. Tujuan dari Sinode adalah menetapkan metode karya pastoral yang sama sebagai pedoman kerja untuk seluruh vikariat seperti: pengajaran agama untuk calon pembaptisan, pembinaan lanjut bagi seluruh umat melalui kegiatan rohani (retret, rekoleksi, pembinaan kaum muda, pendidikan lewat sekolah; membangkitkan minat panggilan rohani untuk imamat dan hidup membiara, mengusahakan inkulturasi, pembinaan umat stasi untuk hidup mandiri dalam bidang ekonomi, pembinaan umat menjadi warga negara yang baik dan keikutsertaan kaum awam Katolik di bidang politik). Dalam Sinode tersebut juga dibicarakan rencana untuk mendirikan serikat biarawati pribumi (CIJ) (Beding, 1996: 51-52).

(44)

Untuk mengantisipasi kemungkinan penawanan para misionaris asing sehingga karya Misi dalam gereja tetap dilaksanakan, Mgr. Henricus Leven, SVD, terlebih dahulu mentahbiskan dua orang imam pribumi sebelum waktu yang telah ditetapkan. Selain itu, ia menginstruksikan kepada para misionaris untuk melatih guru-guru agama mempermandikan bayi dan mencatat dalam buku permandian, mempersiapkan orang yang sakit berat untuk menerima sakramen pengakuan dosa, memimpin ibadat pada hari Minggu dan memimpin upacara pernikahan orang Katolik. Kalau pulau Flores diduduki musuh, anak-anak di setiap sekolah dikembalikan ke tengah keluarga mereka (Uran, tt: 207-208).

Menghadapi penjajah Jepang yang sangat keras dan mengancam keberadaan Gereja, Mgr. Henricus Leven, SVD, selalu bersikap penuh hormat, ramah tamah, lembut, bijaksana dan merendahkan diri turun dari takhta Keuskupan untuk lebih dahulu bertemu dengan setiap Komandan Jepang yang bertugas di Flores. Dalam bernegosiasi dengan pimpinan Jepang untuk berbagai kepentingan Gereja, Komandan Tasuko Sato mengatakan:

(45)

Ungkapan ini mau menunjukkan bahwa Mgr. Henricus Leven, SVD, terkenal figur seorang pemimpin dan gembala yang sangat hormat serta tunduk pada pemerintah khususnya Komandan Jepang, sehingga hati para penjajah tersentuh oleh pribadinya sebagai Uskup yang penuh wibawa dan bijaksana.

Usaha lain yang diperjuangkan oleh Mgr. Henricus Leven, SVD, dalam memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan Gereja yakni: ia berani meninggalkan popularitas bangsa Eropa teristimewa Jerman yang terkenal dengan semboyan “Deutschland Uber Alles” artinya Jerman di atas segala-galanya. Semuanya ini dilakukannya demi cinta kepada orang-orang kecil dan para penderita (Beding, 1996: 38).

(46)

Untuk mendukung semua kegiatan sosial dan pastoral agar berjalan lancar demi perkembangan hidup rohani umatnya, Mgr. Henricus Leven, SVD, memberi kesempatan kepada setiap pastor mencari donatur untuk membangun gereja dan pastoran. Semuanya ini diperjuangkannya demi kesejahteraan dan peningkatan di bidang pendidikan agar masyarakat terbebaskan dari kebodohan (Uran, tt: 205).

Pada tahun 1942-1945, Mgr. Henricus Leven, SVD, menghadapi situasi yang sangat mencekam hatinya karena hampir semua misionaris baik pastor, bruder maupun suster yang berkarya di Kepulauan Sunda Kecil ditawan. Yang mendapat ijin tinggal tetap di Flores adalah Mgr. Henricus Leven, SVD, pater Van Der Heyden, SVD dan beberapa imam, bruder, suster untuk melayani umat. Untuk mengatasi situasi ini, ia bertindak bijaksana dengan menempatkan tenaga-tenaga yang ada berdasarkan prioritas kebutuhan (Uran, tt: 208-210).

(47)

dengan cinta, belaskasih, kebijaksanaan, kerendahan hati, kesederhanaan serta kelemahlembutan (Beding, 1996: 60-61).

Tujuan perjalanan Misinya adalah menegakkan semangat umat kristen, menguatkan iman dan menanggulangi kampanye bohong, bahwa pemerintah Nippon membiarkan dan melindungi perkembangan agama Katolik serta menentang pertentangan di antara para penganut agama. Oleh karena itu pater Gabriel Manek, SVD dan pater Yan Bala, SVD, dapat mengetahui informasi yang akurat sehingga mempermudah pelayanan pastoral mereka (Beding, 1996: 60-61).

Dalam melaksanakan karya kerasulan, Mgr. Henricus Leven, SVD, senantiasa mengandalkan kekuatan salib yang menyelamatkan. Salib menjadi sumber kekuatan dalam pelayanan dan harapan satu-satunya. Oleh kekuatan salib yang menyelamatkan itu, ia menyerahkan hidup dan karyanya demi cinta kepada kawanan umat yang digembalakannya. Melalui mottonya “O Crux Ave Spes Unica” ia rela menderita untuk keselamatan dan kebahagiaan sesama. Ia telah mengikuti dan meneladani Yesus yang berpihak dan berbelaskasih kepada kaum lemah serta menderita (Beding, 1996: 85).

C. Alasan Didirikan Kongregasi CIJ 1. Dasar Berdirinya CIJ

(48)

membuahkan suatu jalan pemikiran di benak beberapa imam misionaris gembala umat untuk menyalurkan cita-cita gadis pribumi kita. Melihat kesungguhan para calon untuk mengikuti Yesus, Mgr. Henricus Leven, SVD, mendirikan Kongregasi CIJ dekrit berdirinya pada tanggal 25 Maret 1935.

Di samping itu juga Mgr. Henricus Leven, SVD, mau mendirikan Kongregasi CIJ karena pertama, ada banyak gadis pribumi yang mau hidup perawan tetapi tidak ada lembaga suster pribumi yang menampung mereka. Kedua, latar belakang kebudayaan dan cara hidup yang sangat berbeda antara orang Eropa dan NTT. Oleh karena itu ada kesulitan untuk bergabung dengan suster SSpS dari Eropa. Misalnya gadis-gadis pribumi berpendidikan lebih rendah dibandingkan dengan suster Eropa. Pengetahuan agama dan penghayatan iman yang belum mendalam serta gadis-gadis pribumi sangat miskin. Ketiga, menurut pandangan Mgr. Henricus Leven, SVD, calon-calon pribumi lebih muda untuk menjalankan karya-karya cinta kasih di antara masyarakat karena mereka mengetahui bahasa daerah dan kebiasaan-kebiasaan setempat (Uran, tt: 221-222).

(49)

Konsekuensinya, para suster awal sungguh mau mengikuti Yesus yang menderita bagi keselamatan sesama. Mereka berani memikul salib demi kesejahteraan orang-orang kecil. Cita-cita luhur ini menjadi persembahan yang mulia bagi Tuhan dan sesama. Kekuatan Salib Kristus menjadi andalan yang memotivasi mereka untuk melaksanakan Misi Yesus di tengah-tengah dunia yang terpecah belah ini.

2. Iman Akan Belaskasih Allah Kepada Orang Kecil

Ketika bangsa Israel mengalami penindasan dari bangsa Mesir, Musa dipanggil dan diutus Yahwe untuk menuntun bangsa Israel keluar dari Mesir. Musa menerima tugas panggilan dari Allah untuk menjawab dan menghadirkan kasih serta keprihatinan Allah bagi umat-Nya. Peristiwa panggilan Musa menjadi jawaban Tuhan atas keluhan permohonan umat-Nya (Kel. 2: 23 - 25). Kasih Allah kepada umat-umat-Nya terus dirasakan oleh manusia dalam sepanjang sejarah hidupnya. Kasih Allah ini terbukti melalui sejarah penyelamatan dalam diri Putra-Nya yang datang ke dunia, menjadi manus ia dan rela menderita, mati di salib demi keselamatan suluruh umat manusia.

(50)

taat pada Konstitusi, menjadi sempurna dan berkenan pada Allah. Kedua, mengalir dari penghayatan hidup Yesus dan bunda-Nya yang amat suci yaitu membantu mewartakan iman yang benar (Konst. 2005: No. 3).

3. Spiritualitas Pendiri Kongregasi CIJ

(51)

pikir, pola merasa bahkan pola perilaku untuk bergumul dalam kehidupan (Darminta, 2007: 64-65).

Mgr. Henricus leven, SVD, mengalami semangat kerohanian sejak ia dibina dan dibentuk sebagai seorang Katolik dalam keluarga, sehingga sejak kecil sudah tampak bakat religiusnya. Cita-citanya untuk membantu sesama yang menderita di tanah Misi, memberikan semangat untuk tetap berjuang memulihkan kesehatannya agar dapat diterima kembali sebagai misionaris SVD. Pengalamannya bersama umat di Togo-Afrika dan Kepulauan Sunda Kecil yang ditandai dengan perjuangan disertai penderitaan dalam berbagai segi kehidupan, serta pengalaman pribadinya yang mampu menghadapi setiap tantangan dapat menjadi inspirasi yang mendorong ia untuk memilih motto tahbisan Uskup “O Crux Ave Spes Unica”.

(52)

(Spiritualitas Salib Congregatio Imitationis Jesu Lokakarya Serikat 5-7 November 2001: 37).

Kekuatan iman Bapa pendiri akan Salib melalui motto tahbisan Uskup “O Crux Ave Spes Unica” semakin dihayatinya dalam permenungan di arena koloseum di Roma, ia menemukan bahwa kekuatan dan keberanian dalam diri para martir, terletak pada Salib Yesus yang berdiri di tengah-tengah arena itu. Ia mengungkapkan sebagai berikut:

“Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah gerangan yang sudah memberi kekuatan dan keberanian kepada orang-orang yang lemah itu sehingga mereka dapat menahan sengsara itu?”. “Tiba-tiba aku sendiri dapat jawaban yang benar, sebab aku lihat ada sebuah salib yang amat bersahaja berdiri di tengah-tengah arena itu”. Pada salib mereka melihat Tuhan Yesus, Tuhan yang amat dikasihinya mati terpaku, sehingga tak ada kerinduan lain lagi selain mau menjadi sama dengan Kristus”.

(53)

bersama-sama dengan Tuhan Yesus di hadapan takhta Tuhan Allah (Leven SG, 1934: 3-4).

Permenungan Bapa pendiri tentang “Salib Tuhan Yesus”, menghantar para suster CIJ untuk memaknai salib sebagai tanda cinta akan Kristus dan kemantapan iman. Cinta akan Kristus harus diwujudkan dalam tindakan konkret hidup sehari-hari. Cinta akan salib berarti berani mempertaruhkan diri untuk berjuang membela nasib orang-orang kecil, lemah, menderita dan tersingkir.

Sekalipun umat tidak dapat melihat arena koloseum itu, tetapi Bapa pendiri mengajak dalam tulisannya: “Cukuplah aku tunjukkan kepadamu salib-salib kudus di dalam gereja-gereja dan rumah-rumahmu, tetapi terlebih kurban di salib yang dibaharui setiap hari dalam Ekaristi kudus. Kamu harus mengikuti Ekaristi untuk mencari kekuatan dalam menghadapi penderitaan dan percobaan, dengan melihat arti tanda salib itu seperti kesaksian iman para martir (Leven SG, 1934: 4). Meskipun surat bapa pendiri ini ditujukan kepada umat di Keuskupannya, tetapi para suster CIJ sebagai kelompok paling dekat dengan pendirinya berkewajiban mutlak, mengangkat nilai salib itu ke dalam inti penghayatan menjadi spiritualitas SALIB warisan Pendiri.

(54)

mengikut Aku” (Mrk. 8:34; Mat. 16:24; Luk. 9:23; 14:27). Salib yang ditawarkan oleh Yesus merupakan sarana yang membebaskan, tetapi harus dijalani oleh perjuangan dan pergulatan melalui peristiwa inkarnasi sampai kematian-Nya di Kalvari.

Perjuangan dan pergulatan Yesus yang rela menderita, menyerahkan nyawa, memberikan diri serta percaya akan kuasa Bapa-Nya mampu mengubah derita menjadi jalan keselamatan, salib diyakini sebagai sarana yang membebaskan dan menyelamatkan para penderita, fakir miskin serta para pendosa. Keyakinan inilah yang menjadi pegangan bagi Bapa pendiri sebagai dasar kerohanian atau spiritualitasnya dan diwariskannya kepada suster CIJ untuk dihayati, dihidupi dalam hidup serta kerasulan dengan cinta, belaskasih, kerendahan hati, kesederhanaan, pengabdian, pengorbanan, kemiskinan, ketaatan, pengampunan dan penderitaan.

Spiritualitas Salib inilah yang menggerakkan Bapa pendiri untuk ikut Yesus dalam jalan derita dan Salib Yesus merupakan fakta dari hidup serta perutusan-Nya demi keselamatan umat manusia. Dengan demikian, spiritualitas Salib dapat menjadi dasar dan kekuatan baginya untuk berani menderita, memberikan diri dan menyerahkan nyawa demi keselamatan sesama yang dilayani.

D. Karya Pastoral Kongregasi CIJ

(55)

berbagai sektor kehidupan masyarakat, sesuai dengan semangat dan spiritualitas kita antara lain: di bidang karya Pastoral (bdk. Mrk. 1:14-15), di bidang karya Pendidikan (bdk. Yoh. 13:13-15), di bidang karya Kesehatan (bdk. Mrk. 1:32-33) dan di bidang karya Sosial (bdk. Mrk. 6:37-42) (Konst. 2005: No 27).

1. Bidang Karya Pendidikan

a. Pendidikan Formal: Playgroup-Perguruan Tinggi

Kerasulan di bidang karya pendidikan, bertolak dari sejarah hidup dan panggilan Bapa pendiri seperti yang telah diuraikan dalam biografinya, bahwa ketika membantu ayahnya mengajar di sekolah ia belajar untuk disiplin, teliti, tekun, pengorbanan dan dedikasi tinggi. Penanaman nilai-nilai kebajikan ini menjadi bekal bagi masa depannya. keteladanan ini telah membentuk kepribadiannya sebagai seorang pribadi yang tangguh dan tanggung jawab dalam pengabdiannya.

Memahami pentingnya fungsi pendidikan, maka dalam perutusan misi pertama di Togo-Afrika Bapa pendiri bekerja menangani persekolahan, agar kesejahteraan dan masa depan kaum muda sebagai generasi penerus Gereja serta bangsa dapat diandalkan. Selanjutnya Misi ini juga dilaksanakannya di Kepulauan Sunda Kecil, dengan tujuan agar kaum muda dibebaskan dari kebodohan dan keterbelakangan serta bekal untuk masa depan.

(56)

kepada orang yang belum tahu agama (Konst. Awal, bag. II bab VIII: art. 4). Melalui amanat Pendiri ini, suster CIJ menjalankan perutusan Yesus untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin (Luk. 4:18), hal ini nampak juga dalam karya kerasulan di bidang pendidikan.

Pendidikan formal dalam Kongregasi CIJ diselenggarakan oleh Yayasan Bina Wirawan yang bekerja dalam lingkup karya pendidikan CIJ, untuk melaksanakan tugas perutusan Kongregasi sebagai kelanjutan karya Yesus yang membebaskan manusia. Semua sekolah Katolik, yang bernaung dalam lingkup karya pendidikan Kongregasi CIJ mempunyai tujuan untuk memperkembangkan pribadi yang utuh dari aspek kognitif, afektif dan spiritual.

Melalui bidang karya pendidikan, suster CIJ mempunyai tanggungjawab terhadap kaum muda sebagai generasi penerus Gereja dan bangsa. Dengan mendapatkan pendidikan yang memadai kaum muda dibentuk menjadi pribadi yang dewasa dan bertumbuh sebagai ciptaan baru, sehingga kelak di dunia nyata mereka akan berperan dalam tugas-tugas kemasyarakatan. Dalam rangka mengembangkan mutu pendidikan, Kongregasi CIJ mendukung proses pendidikan tersebut melalui berbagai materi pendidikan yang diberikan untuk memanusiakan manusia melalui aspek kognitif, afektif dan spiritual.

(57)

teliti, jujur, berani, kreatif dan kritis dalam mengamb il keputusan yang tepat, menerima, memperkenalkan atau mengambil makna kebudayaan warisan masa lampau baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain.

Aspek afektif membentuk perkembangan anak yang diarahkan pada pembentukan pribadi manusia yang utuh dalam mengolah emosi, sehingga dapat memupuk rasa saling menghargai, menggalang persatuan, persahabatan, persaudaraan di antara siswa-siswi yang berbeda asal- usul, menanamkan rasa saling pengertian dan mempersiapkan diri untuk hidup serta masa depan sesuai dengan perkembangan zaman.

Unsur spiritual bertujuan untuk mengembangkan kehidupan rohani anak, juga diperhatikan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan rohani berupa rekoleksi dan retret yang diselenggarakan setiap tahun. Kegiatan ini dibuat untuk memperdalam iman anak didik dan membantu mengembangkan nilai- nilai hidup kristiani sehingga anak-anak dapat berkembang ke arah kematangan dan kedewasaan kristiani serta dapat memberikan kesaksian tentang Yesus kepada sesamanya (Data Karya Kongregasi: 1974).

b. Pendidikan Nonformal: Asrama -asrama, Panti asuhan dan Kursus Keterampilan

(58)

ketat sebagaimana terjadi dalam pendidikan fo rmal. Pendidikan nonformal bersifat fungsional dan praktis yang bertujuan meningkatkan kemampuan serta keterampilan kerja anak didik yang berguna bagi usaha perbaikan taraf hidup mereka (Tanlain, 1996: 43).

Program pendidikan nonformal atau pendidikan masyarakat memang dirancang untuk memberdayakan mereka yang tidak mendapat kesempatan mengikuti pendidikan sekolah yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti masalah lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Karena itu program pendidikan masyarakat perlu diarahkan untuk membantu warga masyarakat agar mampu berkomunikasi dengan lingkungan yang terus berubah sehingga dapat memanfaatkan lingkungannya untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Program pendidikan masyarakat harus mampu memberi pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang kurang beruntung. Pendidikan yang diberikan bukan dengan pola sistem persekolahan, tetapi dengan metode yang dapat menimbulkan rasa percaya diri, kemampuan mengendalikan diri, kemampuan memimpin, kemampuan berkomunikasi, kemampuan melihat peluang dan memanfaatkannya serta kemampuan menghidupi diri sendiri. Hal itu berarti pendidikan masyarakat mewujudkan dan mengintegrasikan program pembelajaran dengan pengalaman hidup (Sihombing, 1999: 11).

(59)

tujuan untuk membangkitkan potensi dan kreativitas masyarakat. Pendidikan nonformal diwujudkan dalam bentuk pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu secara ekonomis untuk melanjutkan pendidikan di sekolah. Penekanannya lebih pada menghargai kebiasaan sehingga mengarah pada keterampilan yang mendorong orang untuk mulai mandiri sesuai potensinya.

Pendidikan nonformal dengan nama SKP (Sekolah Keterampilan Puteri) dengan materi yang diberikan berupa kursus kewanitaan, seperti menjahit dan menyulam dengan persediaan fasilitas yang memadai. Pendidikan ini diberikan kepada kaum perempuan yang tidak mendapat pendidikan di sekolah. Mereka dilatih dan dituntun oleh para suster CIJ dengan penuh cinta sampai mereka tahu serta berani mempraktekkan dalam kehidupan sehari- hari. Selain keterampilan-keterampilan dalam rangka meningkatkan kehidupan jasmani, mereka juga diberi kesempatan untuk meningkatkan kehidupan iman melalui kegiatan-kegiatan rohani seperti doa bersama, doa pribadi dan rekoleksi bersama.

(60)

mau membantu temannya yang kurang mampu, dengan demikian mereka secara bersama-sama dapat mengatasi berbagai kesulitan yang dialami.

Secara kuantitatif, jumlah karya pendidikan nonformal di Indonesia berdasarkan Data Statistik Kongregasi tahun 2008 adalah sebagai berikut:

NO. JUMLAH PANTI TOTAL

1. Panti Asuhan Anak 2

2. Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat 1

3. Bina Remaja Putri 25

4. Kursus Ketrampilan 3

Melalui model dan materi pendidikan formal maupun nonformal yang diberikan tentu diharapkan dapat membawa perubahan serta perkembangan bagi yang dididik. Hal ini dapat kita lihat dalam perbandingan sikap anak sebelum dan sesudah memperoleh pendidikan jelas berbeda. Perilaku anak sebelum mengalami pendidikan cukup memprihatinkan di mana sikap dan cara hidupnya kurang diarahkan, sehingga anak sesuka hati dalam bersikap dan bertindak terhadap sesamanya. Dalam hal pengetahuan anak semakin pandai dan mampu bersaing dengan sesamanya dalam mengikuti perlombaan bidang studi yang diselenggarakan.

(61)

Tetapi setelah menerima kursus mereka menjadi sangat kreatif dalam mengembangkan potensi-potensinya. Hal ini terbukti lewat keberanian mereka untuk bersaing dengan masyarakat luar dalam menampilkan hasil karya mereka.

Keberhasilan program pendidikan formal dan nonformal yang merupakan tanggung jawab para suster CIJ dan masyarakat, sampai dengan sekarang secara tidak langsung telah memberikan ruang gerak yang lebih luas sehingga masyarakat semakin cerdas, terampil dan mandiri dalam menentukan masa depannya.

2. Bidang Karya Kesehatan: Balai Pengobatan (BP), Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dan Rumah Sakit.

Karya kerasulan Kongregasi CIJ di bidang kesehatan, yang dilaksanakan untuk orang miskin dan para penderita, juga merupakan pewarisan cinta dari Pendiri yang selalu memperhatikan dan berpihak pada mereka yang lemah serta menderita. Dalam sejarah perkembangan Misi Flores, pater Lame Uran, SVD, mengisahkan bahwa ketika Flores mengalami situasi kemelaratan akibat penjajahan Jepang, Bapa pendiri selalu memberi perhatian kepada umatnya melalui pesannya kepada para misionaris yang mengadakan patroli ke stasi-stasi, agar selalu membawa obat-obatan untuk kebutuhan dan kesehatan umat (Uran, tt: 230).

(62)

menampakan sikap Yesus yang selalu berbelaskasih kepada orang kecil dan para penderita, agar mereka mengalami kasih serta kemuraha n Allah yang hadir dalam diri sesamanya. Usaha yang dilakukan oleh para misionaris ini menunjukan bahwa, semua umat harus hidup sehat secara rohani maupun jasmani. Perjuangan dan dedikasi dari Bapa pendiri, merupakan perwujudan mengikuti serta menjalankan keteladanan hidup Yesus, yang berkarya sambil berkeliling untuk berbuat baik demi membebaskan umat dari penderitaan dan berbagai macam penyakit (Mrk. 1:29-34).

Bapa pendiri dalam kharisma dan pewarisannya (No.4) dikatakan: “Wadjiblah zuster-zuster meniroe teladan Toehan Jesoes dengan pergi ke kampoeng- kampoeng akan membela orang sakit, akan mentjhari domba jang terhilang dan akan mengadjarkan orang jang beloem tahoe agama” (bdk. Mrk. 6:6b-13.34; bdk. Luk. 15:1-7; bdk. Mat. 18:12-14).

Amanat Bapa pendiri ini, juga menjadi salah satu cikal bakal karya kerasulan Kongregasi CIJ di bidang karya kesehatan. Sebagai pengikut Yesus suster CIJ meneladani Yesus yang selalu berada dan berpihak pada orang-orang yang menderita. Sabda-Nya menjadi sumber kekuatan yang memberi inspirasi bagi karya pelayanan dan memacu semanga t suster CIJ untuk melanjutkan Misi-Nya di tengah dunia khususnya kepada orang kecil serta para penderita.

(63)

bahagia dan sejahtera. Kerasulan khas Kongregasi yang dilaksanakan oleh bidang keseha tan adalah berkunjung ke kampung-kampung (Konst. No. 27.2). Karya kesehatan Kongregasi CIJ yang berada dalam naungan Yayasan Efata, merupakan tanggapan dan jawaban pesan Pendiri yang memberi jaminan serta harapan baru bagi para penderita sakit, juga mewartakan tanda kehadiran kasih Allah yang mengunjungi atau tidak pernah meninggalkan umat kesayangan-Nya.

3. Bidang Karya Sosial: KKP, Panti Asuhan, Panti Werda, Panti Cacat, Pengobatan Tradisional dan Kerjasama Dengan LSM.

Karya kerasulan di bidang sosial yang dijalankan oleh suster CIJ, juga berawal dari keprihatinan Bapa pendiri kepada nasib hidup orang-orang kecil. Karya perutusan di Togo-Afrika, selain menjadi penilik sekolah, ia juga membuka kursus penjaga toko bagi anak-anak pribumi demi kesejahteraan dan masa depan mereka. Misinya di Kepulauan Sunda Kecil, juga tidak terlepas dari kepeduliannya terhadap masyarakat kecil yang berada di setiap pelosok (Beding, 1996: 26-27).

(64)

Karya sosial yang dilakukan oleh Bapa pendiri, menunjukkan kepedulian dan keprihatinannya kepada orang kecil seperti keterlibatan Yesus terhadap kaum miskin. Semua yang diperjuangkan oleh Bapa pendiri bagi orang kecil, bertujuan agar mereka dibebaskan dari kemiskinan dan kebodohan. Ia ingin memperbaiki nasib hidup mereka berdasarkan panggilan dan cita-citanya, yang memperjuangkan kesejahteraan orang-orang yang menderita seperti Yesus yang datang ke dunia untuk mengangkat harkat serta martabat manusia. Konstitusi Awal bagian II bab VIII artikel 4, ditulis oleh Bapa pendiri untuk menegaskan bahwa Kongregasi CIJ harus menjalankan karya penyelamatan Allah yang membebaskan sesama dari kemiskinan dan penindasan.

Karya sosial yang dijalankan oleh suster CIJ berlindung dalam naungan Yayasan Bina Daya. Yayasan ini merupakan karya sosial yang dilaksanakan dengan berbagai kegiatan untuk kesejahteraan orang-orang kecil dan hal ini terwujud dalam pengadaan kursus bagi remaja puteri yang putus sekolah. Selain itu karya sosial ini juga menampung, mendidik, membimbing, memelihara, menyekolahkan anak-anak yatim piatu dan putus sekolah baik di asrama, panti asuhan maupun di komunitas-komunitas, juga kerjasama dengan masyarakat kecil di pedesaan melalui bantuan biaya pendidikan bagi anak yang ekonomi lemah.

(65)

sebagai manusia yang bermartabat di hadapan Allah dan sesamanya. Semangat hidup Bapa pendiri yang berpihak pada orang miskin menjadi dasar dan inspirasi bagi suster CIJ dalam melaksanakan tindakan-tindakan sosialnya.

Maka di bidang karya sosial, dalam menolong sesama yang miskin dan tertindas hendaknya suster CIJ secara bertahap terlibat dalam pendampingan mereka dengan tujuan utama, agar mereka sanggup mencapai taraf hidup yang lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya dan inisiatif mereka sendiri (Konst. 2005: No. 27).

4. Bidang Karya Pastoral: Sekolah-sekolah, Paroki, Kunjungan Keluarga dan Rumah Retret.

Kegiatan di bidang karya pastoral juga berawal dari karya kerasulan Bapa pendiri sebagai misionaris Kepulauan Sunda Kecil, yang sangat menc intai nasib orang kecil dengan mengunjungi mereka dari kampung ke kampung. Ia terkenal sebagai sosok seorang pemimpin yang sangat dekat dengan orang-orang kecil. Ia juga sangat memahami kesengsaraan umatnya akibat peperangan, sistem adat yang membelenggu dan zaman malaise.

(66)

berbagai kesulitan dan tantangan. Seperti Yesus ia berani memikul salib dengan cinta dan belaskasih untuk mengubah penderitaan menjadi sumber kegembiraan serta keselamatan kepada sesama (Bintang Timur: 3).

Roh dan semangatnya inilah yang diwariskan kepada suster CIJ melalui karya pastoral yang berpijak pada Kewajiban Mutlak: “Wajiblah suster-suster meniru teladan Tuhan Yesus dengan pergi ke kampung-kampung akan membela orang sakit, akan mencari domba yang hilang dan akan mengajarkan orang yang belum tahu agama” (Konst. Awal, 1938: No. 4).

Semangat dan pesan Bapa pendiri, menjadi dasar pelayanan suster CIJ untuk pergi ke kampung-kampung mengunjungi orang sakit, mengajar orang yang belum tahu agama le wat pendampingan rohani seperti: pendalaman iman, rekoleksi, retret dan kegiatan rohani lainnya. Karya pastoral dalam kunjungan keluarga difokuskan kepada keluarga-keluarga yang tidak harmonis. Tujuannya agar melalui kehadiran dan sapaan dari suster, keluarga tersebut mengalami ketenangan atau bisa rukun kembali sehingga keutuhan keluarga dapat ditegakkan.

(67)

perkembangan jiwa serta mental agar kelak dapat menjalin kerjasama dengan orang lain.

(68)

BAB III

HARKAT DAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN DI ENDE-FLORES

A. Garis Besar Keberadaan Kaum Perempuan di Ende 1. Segi Pendidikan

a. Situasi Pendidikan Pada Masa Silam

Pada tahun 1818 keluar statuta yang isinya antara lain, “Pemerintah hendaknya membuat peraturan yang diperlukan mengenai sekolah-sekolah bagi anak bumi putera. Pemerintah memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan pada sekolah Belanda. Namun dalam perjalanannya ketetapan ini tidak segera terwujud. Pemerintah Belanda nyatanya lebih memberikan perhatian untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak Belanda. Peluang bagi anak pribumi untuk belajar di sekolah yang didirikan itu relatif kecil. Hal ini terbukti sikap pemerintah tidak mendirikan sekolah bagi anak-anak pribumi, terutama oleh kekurangan biaya akibat peperangan-peperangan yang terjadi baik di Indonesia maupun Eropa (Jebarus, 2008: 17-18).

(69)

membutuhkan pegawai dengan upah yang murah. Para pegawai ini diusahakan dapat diambil dari kalangan ningrat pribumi. Mereka perlu disekolahkan agar dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik. Oleh karena itu mulai dibuka sekolah untuk pribumi di Indonesia (Jebarus, 2008:18).

Pada tanggal 4 Agustus 1860, Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Petrus Maria Vrancken, Pr, mengirim Rm. J. Petrus Nicolaus Sanders, Pr, sebagai misionaris Larantuka-Flores. Rm J. Petrus Nicolaus Sanders, Pr, membangun pusat Misi di Posto dekat tangsi Belanda. Perhatiannya yang utama ialah “Pembentukan dan pembinaan muda- mudi.” Untuk itu ia membuka sekolah yang sederhana dengan bahasa pengantar bahasa Melayu yang sudah umum digunakan masyarakat Larantuka. Dalam perkembangan selanjutnya, ia meminta kepada Mgr. Petrus Maria Vrancken, Pr, agar misionaris yang dikirim ke Misi Larantuka harus sanggup membaca, menulis dan berhitung. Sekolah ini sebenarnya adalah “Sekolah liar”, karena belum mendapat izinan dari pemerintah (Jebarus, 2008:26-27).

(70)

perhatian khusus bagi anak-anak seperti yang dilakukan oleh pendahulunya. Pertemuan khusus bagi anak-anak itu kemudian berkembang menjadi sebuah sekolah yang resmi (Jebarus, 2008: 27).

Beberapa penetapan pemerintah sebelumnya antara lain, peraturan tahun 1854 yang menginstruksikan didirikannya sekolah bagi rakyat pribumi, merupakan peluang bagi Misi di Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah. Oleh karena itu Rm. Caspar J. F. Franssen, Pr, melihat dan menanggapi peluang ini. Dengan perantaraan Gezaghebber militer Larantuka, F.J.W. Mekeren, Rm. Caspar J. F. Franssen, Pr, mengusahakan izinan dari pemerintah untuk mendirikan gereja dan sekolah di Larantuka. Residen Kupang, Isaac Esser, yang membawahi Larantuka, memberikan izinan berupa surat tanggal 29 Desember 1861 yang tertulis, “Dari pihak pemerintah diberi kuasa mengerahkan penduduk kampung Posto untuk membangun sebuah gereja dan sekolah di Posto dengan menggunakan bahan setempat” (Jebarus, 2008: 27).

(71)

puteri raja Larantuka. Keterbatasan sarana dan prasarana di sekolah tidak menghambat proses pembelajaran bagi guru serta siswa. Tenaga untuk pendidikan memang tidak memadai, tetapi sekolah di Larantuka tetap berjalan lancar (Jebarus, 2008: 28).

Setelah 17 tahun sekolah untuk siswa putera berjalan, para pastor di Larantuka berpikir untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan dan penanganannya diserahkan kepada biara suster Fransiskanes di Hethuyzen-Belanda yang sejak tahun 1870 berkarya di Semarang, diminta datang ke Flores untuk mena ngani pendidikan anak-anak perempuan. Permintaan itu diterima dan di kampung Balela dibangunkan rumah biara yang besar bagi suster Fransiskanes, gedung sekolah serta asrama bagi anak-anak sekolah puteri. Pada bulan Mei 1879, sekolah puteri di Larantuka dib uka berkenaan dengan tahun kelahiran Raden Ajeng Kartini pejuang hak kaum perempuan di Indonesia (21 April 1879), ketika hampir semua orang Indonesia merasa perempuan tidak perlu sekolah (Jebarus, 2008: 31-32).

(72)

keterampilan rumah tangga. Di samping itu anak-anak dibiasakan dengan praktik-praktik agama dan tata krama (Jebarus, 2008: 32).

Pada tahun dibukanya sekolah puteri, Samuel Roos Residen Kupang, mengunjungi Larantuka. Pada kesempatan itu ia mengunjungi dua sekolah yang ada di Larantuka. Menurut penilaiannya dua sekolah itu memuaskan. Sekolah puteri terus mengalami perkembangan dan diminati oleh banyak anak, terutama anak-anak dari para pemuka masyarakat, meskipun terus diajak atau dipengaruhi oleh para pastor dan suster. Pada bulan Maret 1881 jumlah siswa 47 orang, Mei 1883 meningkat 76 orang, tahun 1888 asrama suster menampung 150 gadis, tahun 1890 meningkat 172 siswa dan pada tahun 1902 ada 214 siswa ditampung di asrama (Jebarus, 2008: 32-33).

(73)

Kegiatan harian sekolah puteri umumnya sama dengan sekolah putera. Pada pagi hari mereka masuk sekolah belajar membaca, menulis, menghitung dan agama. Aktivitas di sore hari adalah mengatur halaman dan asrama. Selain itu mereka juga belajar menenun, menjahit pakaian, juga dilatih dan dibiasakan dengan praktik agama Katolik. Di satu pihak, karya para pater dan bruder Yesuit serta para suster Belas Kasih di Maumere tampaknya berhasil. Tetapi di pihak lain, iklim Maumere yang keras dan malaria ganas yang sudah memakan banyak korban para misionaris, maka sekolah dan asrama put eri dipindahkan ke Lela. Pada tahun 1899 murid perempuan dan para suster berpindah ke Lela. Selanjutnya pada awal tahun 1917, para suster Belas Kasih meninggalkan Misi di Lela-Flores dan digantikan oleh suster SSpS dari Steyl- Belanda (Jebarus, 2008: 36-37).

Pada tahun 1900, lembaga pendidikan Misi dibeberapa tempat seperti Larantuka dan Maumere mengalami perkembangan. Pengelola sekolah Misi memperluas kurikulum Sekolah Desa dengan menambahkan ilmu metodik, ilmu bumi Hindia Belanda, ilmu kesehatan, pengetahuan alam, sejarah dan olah raga. Selanjutnya sekolah di Ende didirikan pada tahun 1910, siswa semuanya beragama Islam, tetapi gurunya seorang Katolik dari Larantuka. Pada tahun yang sama didirikan sekolah di Wakuleu wilayah Mbuli (Jebarus, 2008: 38).

(74)

menulis. Oleh karena itu, selama kongres tahun 1935, kaum perempuan memutuskan berjuang bersama melawan buta huruf. Dua puluh tahun kemudian, Kementerian Pendidikan Nasional RI dibantu beberapa organisasi perempuan yang secara aktif memberikan bantuannya bertekad mengatasi masalah itu. Seluruh fakta mengenai beberapa perempuan yang mengikuti program kerja nasional itu disebutkan dalam laporan yang ditulis Hutasoit, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional pada masa itu (Cora Vreede-De Stuers, 2008: 225).

Berhadapan dengan situasi ini, pemerintah dan badan swasta berusaha membentuk kesepahaman agar seluruh rakyat dapat seluas-luasnya menikmati pendidikan, dengan mendirikan sekolah-sekolah negeri yang dikelolanya sendiri dan memberikan subsidi bagi sekolah-sekolah swasta demi kesejahteraan seluruh masyarakat. Peranan sekolah swasta yang sudah ada sejak masa penjajahan tetap diakui dan diberi tempat yang sah. Di banyak tempat muncul orang-orang dan lembaga- lembaga masyarakat yang berusaha mendirikan sekolah sehingga sekolah menjadi semakin dekat dengan masyarakat. Pemerintah maupun masyarakat semakin menyadari pentingnya dunia pendidikan bagi anak-anak sebagai generasi penerus Gereja dan bangsa (Jebarus, 2008: 140).

(75)

penerapannya, malah berbenturan serta merugikan kepentingan Misi. Oleh sebab itu perlu adanya kesepahaman di antara pelbagai pihak yang berkepentingan, agar pendidikan dapat berjalan dengan baik dan aman (Jebarus, 2008:143).

Untuk itu, Mgr. Henricus Leven, SVD, sebagai Vikaris Apostolik Kepulauan Sunda Kecil, mengambil prakarsa mengadakan pertemuan dengan pemerintah di Ende pada tanggal 26-30 Maret 1947, khusus untuk membahas masalah- masalah persekolahan yang menjadi tanggung jawab Misi dan mencari langkah yang disepakati bersama. Hal- hal yang disepakati dalam rapat antara lain:

1). Membuka Sekolah Rakyat yang baru.

Oleh karena Sekolah Desa tiga tahun sama sekali tidak memadai untuk membantu memajukan masyarakat, maka harus dibuka lebih banyak Sekolah Rakyat enam tahun. Pembangunan sekolah baru harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan menyangkut jumlah penduduk, jumlah calon murid, keadaan tempat sekolah itu didirikan (aman dan sehat), biaya gedung, peralatan sekolah, gaji guru, peran serta dan tanggungan pemerintah pusat, pemerintah setempat serta masyarakat pendukung sekolah.

2). Penambahan Kelas.

(76)

3). Kebutuhan Guru Untuk Sekolah Rakyat.

Penambahan kelas pada Sekolah Rakyat dan pembangunan gedung sekolah yang baru membutuhkan tenaga guru dalam jumlah yang besar. Guru-guru yang sudah ada tamatan Normaalcursus dan Normaalschool, disiapkan bukan untuk mengajar di Sekolah Rakyat enam tahun dengan kurikulumnya yang baru. Dibutuhkan tenaga guru yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan Sekolah Rakyat enam tahun. Disepakati untuk mendirikan selain Normaalschool, juga Sekolah Guru B (SGB). Di Flores didirikan enam SGB. Kalau tamatan SGB dirasa tidak cukup cakap untuk menangani Sekolah Rakyat enam tahun, akan didirikan Sekolah Guru A (SGA).

4). Waktu terbagi untuk Sekolah Rakyat dihapuskan.

Murid kelas I dan II tidak lagi menjalankan sebagian jam sekolah, tetapi seluruh jam sekolah sama seperti kelas-kelas lainnya.

5). Membangun Sekolah Menengah.

Perlu membangun Sekolah Menengah untuk kemajuan yang lebih besar bagi masyarakat.

6). Sekolah Keterampilan untuk perempuan.

Referensi

Dokumen terkait