• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEKILAS PANDANG KONGREGASI CIJ

B. Auto Biografi Pendiri Kongregasi CIJ

4. Menjadi Uskup Dengan Motto “O Crux Ave Spes Unica”

Pada tanggal 14 September 1933, pater Henricus Leven, SVD, harus meninggalkan Flores dan pergi ke Belanda untuk menerima tahbisan Uskup. Setelah menyelesaikan semua yang berurusan dengan pemerintahan

Belanda, maka pada tanggal 12 November 1933 pater Henricus Leven, SVD, ditahbiskan menjadi Uskup dengan motto “O Crux Ave Spes Unica” (Salam o Salib Harapan Yang Esa) (Beding, 1996: 39-41).

Dalam upacara tahbisan itu, Mgr. Henricus Leven, SVD, berjanji akan setia dalam iman yang kudus dan mengajarkan iman itu kepada umatnya. Pengajarannya itu nyata dalam teladan kebajikan-kebajikan kristiani seperti: kerendahan hati, kesabaran, kesucian, kesopanan dan berbelas kasih dengan orang kecil serta para penderita (BT, 1934: 1).

Percaya akan salib sebagai harapan satu-satunya yang memberi kekuatan baginya, menjadi andalan dalam perutusannya. Modal iman inilah yang menyemangati Mgr. Henricus Leven, SVD, untuk kembali bermisi di Kepulauan Sunda Kecil dan beliau tiba di Ndona-Ende pada tanggal 20 April 1934. Selanjutnya dalam perayaan Ekaristi pontifikal untuk pertama kalinya pada tanggal 21 April 1934, di halaman gereja Ndona dalam sambutan ia berkata:

“Di sini negeriku

Di sini aku harus bekerja Di sini aku harus mati

Mari Kita saling mengasihi saling membantu

Supaya bersama kita memperoleh keselamatan di Surga” (Beding, 1996: 43).

Ungkapannya ini terus menggema dalam tugas misionernya bagi umat di Kepulauan Sunda Kecil. Cintanya kepada tanah Misi terbukti dalam ketahanannya dan berhasil pada masa- masa yang paling sulit seperti krisis ekonomi dunia, PD II, penjajahan Jepang atas Indonesia, perlawanan dengan para penganut agama Islam yang menghambat perkembangan agama Katolik

di tanah Misi dan tantangan dari masyarakat kafir dengan mentalitas kekafiran yang menghambat pewartaan Injil (Uran, tt: 200-201).

Agar kegiatan pastoral berjalan lancar, usaha yang dilakukan oleh Mgr. Henricus Leven, SVD, adalah menertibkan metode karya pastoral dengan mengadakan Sinode untuk seluruh Vikariat Apostolis Kepulauan Sunda Kecil di Ndona yang berlangsung tanggal 15-22 Agustus 1935. Tujuan dari Sinode adalah menetapkan metode karya pastoral yang sama sebagai pedoman kerja untuk seluruh vikariat seperti: pengajaran agama untuk calon pembaptisan, pembinaan lanjut bagi seluruh umat melalui kegiatan rohani (retret, rekoleksi, pembinaan kaum muda, pendidikan lewat sekolah; membangkitkan minat panggilan rohani untuk imamat dan hidup membiara, mengusahakan inkulturasi, pembinaan umat stasi untuk hidup mandiri dalam bidang ekonomi, pembinaan umat menjadi warga negara yang baik dan keikutsertaan kaum awam Katolik di bidang politik). Dalam Sinode tersebut juga dibicarakan rencana untuk mendirikan serikat biarawati pribumi (CIJ) (Beding, 1996: 51-52).

Pada masa krisis ekonomi dunia, Mgr. Henricus Leven, SVD, bertindak bijaksana memprioritaskan pengkaderan personalia dengan memberi perhatian khusus bagi Seminari Menengah Todabelu, Seminari Tinggi Ledalero dan pendidikan suster CIJ di Jopu. Ia juga memperhatikan situasi para misionaris baik imam maupun biarawan-biarawati (Uran, tt: 207).

Untuk mengantisipasi kemungkinan penawanan para misionaris asing sehingga karya Misi dalam gereja tetap dilaksanakan, Mgr. Henricus Leven, SVD, terlebih dahulu mentahbiskan dua orang imam pribumi sebelum waktu yang telah ditetapkan. Selain itu, ia menginstruksikan kepada para misionaris untuk melatih guru-guru agama mempermandikan bayi dan mencatat dalam buku permandian, mempersiapkan orang yang sakit berat untuk menerima sakramen pengakuan dosa, memimpin ibadat pada hari Minggu dan memimpin upacara pernikahan orang Katolik. Kalau pulau Flores diduduki musuh, anak-anak di setiap sekolah dikembalikan ke tengah keluarga mereka (Uran, tt: 207-208).

Menghadapi penjajah Jepang yang sangat keras dan mengancam keberadaan Gereja, Mgr. Henricus Leven, SVD, selalu bersikap penuh hormat, ramah tamah, lembut, bijaksana dan merendahkan diri turun dari takhta Keuskupan untuk lebih dahulu bertemu dengan setiap Komandan Jepang yang bertugas di Flores. Dalam bernegosiasi dengan pimpinan Jepang untuk berbagai kepentingan Gereja, Komandan Tasuko Sato mengatakan:

“Ketika saya bertemu orangnya, saya menjadi kikuk. Saya tidak tahu entahkah harus mempersoalkan penahanannya ataukah pura-pura tidak tahu menahu saja. Kunjungannya meskipun resmi, tetapi ramah tamah. Ia datang dengan mengenakan pakaian Uskup sebagai tanda hormat terhadap komandan baru. Dan ia membuka percakapan dengan kata-kata; ‘kami merasa berhutang bud i terhadap pendahulu tuan, dan sekarang juga kami mengharapkan hubungan yang menyenangkan, kebaikan dan kebijaksanaan yang sama dari tuan’. Mau tidak mau orang akan tergerak hatinya oleh sikap Uskup yang luhur itu. Ia bersikap penuh ramah tamah dan penuh kebesaran sehingga saya tidak merasa bahwa saya sedang bicara dengan seorang musuh” (Sato, 1976: 24).

Ungkapan ini mau menunjukkan bahwa Mgr. Henricus Leven, SVD, terkenal figur seorang pemimpin dan gembala yang sangat hormat serta tunduk pada pemerintah khususnya Komandan Jepang, sehingga hati para penjajah tersentuh oleh pribadinya sebagai Uskup yang penuh wibawa dan bijaksana.

Usaha lain yang diperjuangkan oleh Mgr. Henricus Leven, SVD, dalam memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan Gereja yakni: ia berani meninggalkan popularitas bangsa Eropa teristimewa Jerman yang terkenal dengan semboyan “Deutschland Uber Alles” artinya Jerman di atas segala-galanya. Semuanya ini dilakukannya demi cinta kepada orang-orang kecil dan para penderita (Beding, 1996: 38).

Agar pewartaan iman tentang Yesus Kristus terwujud dalam tindakan konkret untuk mengangkat masyarakat dari penderitaan, kemiskinan dan kebodohan, Mgr. Henricus Leven, SVD, mendatangkan dua insinyur pertanian yaitu pater Ir. Van Doormal, SVD dan pater Ir. B.J. Baack, SVD, mendirikan kelompok “Ikatan Petani Pancasila” bertujuan melatih kaum muda untuk bertani secara efektif dan berhasil banyak. Untuk mempermudah pengolahan tanah, ia mendatangkan alat-alat pertanian dari Eropa. Bagi masyarakat terpencil yang menderita penyakit, ia tetap memberi perhatian melalui kehadiran para imam dan suster yang berpatroli supaya selalu membawa obat-obatan. Ia juga menganjurkan dan mendukung usaha para pastor untuk pengadaan air bersih bagi masyarakat kecil (Uran, tt: 230).

Untuk mendukung semua kegiatan sosial dan pastoral agar berjalan lancar demi perkembangan hidup rohani umatnya, Mgr. Henricus Leven, SVD, memberi kesempatan kepada setiap pastor mencari donatur untuk membangun gereja dan pastoran. Semuanya ini diperjuangkannya demi kesejahteraan dan peningkatan di bidang pendidikan agar masyarakat terbebaskan dari kebodohan (Uran, tt: 205).

Pada tahun 1942-1945, Mgr. Henricus Leven, SVD, menghadapi situasi yang sangat mencekam hatinya karena hampir semua misionaris baik pastor, bruder maupun suster yang berkarya di Kepulauan Sunda Kecil ditawan. Yang mendapat ijin tinggal tetap di Flores adalah Mgr. Henricus Leven, SVD, pater Van Der Heyden, SVD dan beberapa imam, bruder, suster untuk melayani umat. Untuk mengatasi situasi ini, ia bertindak bijaksana dengan menempatkan tenaga-tenaga yang ada berdasarkan prioritas kebutuhan (Uran, tt: 208-210).

Situasi ini sungguh menghambat karya Misi di pulau Flores. Maka Mgr. Henricus Leven, SVD, mengubah metode pastoral dengan menjelajahi setiap kampung dari ujung barat sampai ujung timur Flores dan pulau-pulau lain di Flores Timur. Hampir semua tempat yang dikunjunginya dicatat dan dikenalnya dengan sangat baik. Melalui kegiatannya ini, ia mengenal seluruh kawasan besar dan banyak orang yang dikenalnya secara pribadi. Ia dekat dengan orang-orang sederhana dan menjadi sahabat orang-orang kecil. Ia mengorbankan seluruh jiwa raga bagi umatnya dan menuntun mereka

dengan cinta, belaskasih, kebijaksanaan, kerendahan hati, kesederhanaan serta kelemahlembutan (Beding, 1996: 60-61).

Tujuan perjalanan Misinya adalah menegakkan semangat umat kristen, menguatkan iman dan menanggulangi kampanye bohong, bahwa pemerintah Nippon membiarkan dan melindungi perkembangan agama Katolik serta menentang pertentangan di antara para penganut agama. Oleh karena itu pater Gabriel Manek, SVD dan pater Yan Bala, SVD, dapat mengetahui informasi yang akurat sehingga mempermudah pelayanan pastoral mereka (Beding, 1996: 60-61).

Dalam melaksanakan karya kerasulan, Mgr. Henricus Leven, SVD, senantiasa mengandalkan kekuatan salib yang menyelamatkan. Salib menjadi sumber kekuatan dalam pelayanan dan harapan satu-satunya. Oleh kekuatan salib yang menyelamatkan itu, ia menyerahkan hidup dan karyanya demi cinta kepada kawanan umat yang digembalakannya. Melalui mottonya “O Crux Ave Spes Unica” ia rela menderita untuk keselamatan dan kebahagiaan sesama. Ia telah mengikuti dan meneladani Yesus yang berpihak dan berbelaskasih kepada kaum lemah serta menderita (Beding, 1996: 85).

C. Alasan Didirikan Kongregasi CIJ 1. Dasar Berdirinya CIJ

Pernyataan “Kami mau ikut Yesus” merupakan ungkapan kerinduan hati yang menggebu dalam situasi dan suasana yang menantang, ternyata

membuahkan suatu jalan pemikiran di benak beberapa imam misionaris gembala umat untuk menyalurkan cita-cita gadis pribumi kita. Melihat kesungguhan para calon untuk mengikuti Yesus, Mgr. Henricus Leven, SVD, mendirikan Kongregasi CIJ dekrit berdirinya pada tanggal 25 Maret 1935.

Di samping itu juga Mgr. Henricus Leven, SVD, mau mendirikan Kongregasi CIJ karena pertama, ada banyak gadis pribumi yang mau hidup perawan tetapi tidak ada lembaga suster pribumi yang menampung mereka. Kedua, latar belakang kebudayaan dan cara hidup yang sangat berbeda antara orang Eropa dan NTT. Oleh karena itu ada kesulitan untuk bergabung dengan suster SSpS dari Eropa. Misalnya gadis-gadis pribumi berpendidikan lebih rendah dibandingkan dengan suster Eropa. Pengetahuan agama dan penghayatan iman yang belum mendalam serta gadis-gadis pribumi sangat miskin. Ketiga, menurut pandangan Mgr. Henricus Leven, SVD, calon-calon pribumi lebih muda untuk menjalankan karya-karya cinta kasih di antara masyarakat karena mereka mengetahui bahasa daerah dan kebiasaan-kebiasaan setempat (Uran, tt: 221-222).

Dapat juga dipahami bahwa ungkapan “Kami mau ikut Yesus” sebagai tanda iman yang sudah tertanam dalam diri para gadis pribumi untuk mengikuti Yesus secara dekat. Ungkapan ini menjadi suatu inspirasi dan kekuatan bagi Mgr. Henricus Leven, SVD, untuk merumuskan cita-cita berdirinya Kongregasi CIJ, sebagai wadah untuk melaksanakan karya cinta kasih Allah kepada sesama.

Konsekuensinya, para suster awal sungguh mau mengikuti Yesus yang menderita bagi keselamatan sesama. Mereka berani memikul salib demi kesejahteraan orang-orang kecil. Cita-cita luhur ini menjadi persembahan yang mulia bagi Tuhan dan sesama. Kekuatan Salib Kristus menjadi andalan yang memotivasi mereka untuk melaksanakan Misi Yesus di tengah-tengah dunia yang terpecah belah ini.

Dokumen terkait