i
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Disusun Oleh :
HERNINGTYAS KURNIAWATI
NIM : 053114004
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
Presented As a Partial Fulfillment of The Requirements
to Obtain The Sarjana Sains Degree
In Mathematics
by :
HERNINGTYAS KURNIAWATI
Student Number : 053114004
MATHEMATICS STUDY PROGRAM DEPARTEMENT OF MATHEMATICS
FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
vi
Jalan yang bertabur bunga Di sepanjang kehidupan kita
Allah tidak pernah menjanjikan Matahari tanpa hujan
Sukacita tanpa dukacita
Damai sejahtera tanpa penderitaan
Namun Allah menjanjikan Kekuatan tiap hari Istirahat bagi pekerja Cahaya dalam perjalanan Anugrah dalam pencobaan
Pertolongan dari atas Simpati yang tak berkesudahan
Kasih yang tak kunjung padam
(
Annie Johnson Flint
)
Every story has an End
but in life
every End is just
vii
penting artinya dikarenakan kesimpulan penelitian hanya akan dapat dipercaya apabila didasarkan pada informasi yang juga dapat dipercaya. Oleh sebab itu prosedur pengujian validitas terhadap alat ukur menjadi komponen penting dalam ilmu pengukuran.
Pengujian validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut mampu memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Dari cara dan estimasinya validitas pada umumnya digolongkan dalam tiga kategori, yaitu content validity (validitas isi), criterion-related validity (validitas berdasarkan kriteria), serta construct validity (validitas konstruk ) yang dibedakan menjadi validitas multisifat-multimetode dan validitas faktorial dengan konsep dasar analisis faktor.
viii
reason that research conclusion will be credible only if based on valid information. Therefore, procedure of validity test (trial/testing) for measurement instrument becomes the most important component in measurement study.
ix
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains di Program Studi Matematika Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik atas bantuan, gagasan, dan dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis
menghaturkan terima kasih kepada :
1. Ir. Ig. Aris Dwiatmoko, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dan dengan penuh kesabaran membimbing penulis
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. Yosef Agung Cahyanta, S.T., M.T., selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi.
3. Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si., selaku Ketua Program Studi
Matematika yang telah banyak membantu.
4. Ch. Enny Murwaningtyas, S.Si., M.Si., selaku penguji yang telah banyak
membantu dan memberikan masukan kepada penulis.
5. Hongkie Julie, S.Pd.,M.Si., selaku penguji yang telah banyak membantu dan
memberikan masukan kepada penulis.
6. Prof. Frans Susilo, S.J., selaku dosen pembimbing akademik.
7. Sudi Mungkasi, S.Si., M.Sc., dan Y.G. Hartono, S.Si., M.Sc., yang pernah
menjadi dosen pembimbing akademik bagi penulis.
8. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Matematika yang telah memberikan
bekal ilmu yang berguna bagi penulis.
9. Bapak Tukijo dan Ibu Linda yang telah memberikan pelayanan administrasi
x maupun spiritual kepada penulis.
12.Tatag Bagus Argikas yang telah memberikan waktu, dukungan, serta
semangat kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
13.Keluarga besar GKJ Condongcatur yang telah memberikan semangat dan
dukungan doa kepada penulis.
14.Persekutuan Komisi Pemuda GKJ Condongcatur.
15.Keluarga besar PMK Oikumene.
16.Teman-teman Prodi Matematika angkatan 2005: Puput, Nanin, Ratna, Chris,
Lois, George, Priskila, Vincent, Sisiria, Ine, Devi, Septi, Wuri, Susi, Echi,
Dedi, Seto, Yudhi, Sella, Vira.
17.Semua pihak yang telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Walaupun penulis telah berusaha menyelesaikan skripsi ini dengan
sebaik-baiknya, namun penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, penulis sanagat mengharapkan saran dan
kritik yang dapat membangun dan menyempurnakan skripsi ini.
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi
pembaca demi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya matematika.
Yogyakarta, 17 Agustus 2009
xii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
HALAMAN KEASLIAN KARYA v
HALAMAN PERSEMBAHAN vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
KATA PENGANTAR ix
DAFTAR ISI xii
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan Masalah 3
C. Pembatasan Masalah 3
D. Tujuan Penulisan 4
E. Manfaat Penulisan 4
F. Metode Penulisan 4
G. Sistematika Penulisan 5
BAB II. ASPEK-ASPEK PENGUKURAN DAN TEORI STATISTIKA
YANG RELEVAN 6
A. Penelitian Ilmiah 6
1. Unsur-unsur Penelitian 7
2. Proses Penelitian Ilmiah 15
B. Pengukuran dan Alat Ukur 18
xiii
2. Koefisien Korelasi 52
3. Matriks Korelasi 60
4. Representasi Geometris dari Koefisien Korelasi 61
5. Regresi Berganda 62
6. Konsep Analisi Faktor 64
a. Model Analisis Faktor 66
1) Model Satu Faktor Umum 67
2) Model m Faktor Umum 74
b. Komunalitas 77
c. Langkah-langkah Analisis Faktor 80
1) Menentukan Ukuran Sampel dan Variabel 80
2) Menentukan Matriks Korelasi 81
3) Menentukan Jumlah Faktor Umum 81
4) Rotasi Faktor Ortogonal 98
5) Intepretasi Faktor Umum 103
BAB III. VALIDITAS DAN PENGUJIANNYA 106
A. Pendahuluan 106
B. Pengertian Validitas 107
C. Tipe-tipe Umum Validitas 110
1. Validitas Isi 110
2. Validitas Berdasarkan Kriteria 115
a. Validitas Prediktif 117
b. Validitas Konkuren 118
xiv
A. Pengujian Validitas Isi 135
B. Pengujian Validitas Konstruk 137
1. Analisis Faktor pada Tes Potensi Akademik Plus 139
Universitas Sanata Dharma
a. Matriks Korelasi 139
b. KMO Bartlett Test of Sphericity 140
c. Komunalitas 142
d. Faktor Hasil Ekstraksi 143
e. Scree Plot 144
f. Matriks Faktor Tidak Dirotasi 145
g. Rotasi Matriks Faktor 146
h. Pemberian Nama Faktor 147
2. Pengujian Validitas Faktorial 149
BAB IV. PENUTUP 153
A. Kesimpulan 153
B. Saran 154
DAFTAR PUSTAKA 155
xv
2.2 Matriks Korelasi 73
2.3 Matriks Korelasi 74
2.4 Matriks Faktor 75
2.5 Matriks Korelasi tanpa Komunalitas 78
2.6 Matriks Korelasi dengan Komunalitas 79
2.7 Matriks Korelasi dan Perhitungan Beban Faktor Pusat Pertama 82
2.8 Matriks Faktor Pusat (Fc) 86
2.9 Matriks Korelasi Residual Pertama 87
2.10 Kriteria Kecukupan suatu Faktor 96
2.11 Pemeriksaan Nilai Beban Faktor 97
2.12 Matriks Faktor sebelum Rotasi 101
2.13 Perhitungan Rotasi Beban Faktor Searah Jarum Jam Sebesar 50 101 0
2.14 Rotasi Matriks Faktor 102
2.15 Petunjuk untuk Mengidentifikasi Beban Faktor 103
Signifikan Berdasarkan Ukuran Sampel
3.1 Skor Responden pada Tes Minat Menjadi Guru 113
3.2 Perhitungan Korelasi Item pada Tes Minat Menjadi Guru 114
3.3 Hasil Pengukuran Kreativitas Berpikir dan Divergen Thinking 119 3.4 Matriks Multisifat-Multimetode 124
3.5 Tabel Perbandingan Hasil Analisis Faktor 132
4.1 Koefisien Korelasi Item-Total 137
4.2 Diskripsi Sampel 139
4.3 Matriks Korelasi 5 Sub Tes TPA Plus 140
xvi
4.9 Matriks Faktor Dirotasi jenis VARIMAX 147
4.10 Pemberian Nama Faktor 148
xvii
2.2 Diagram Konstruk Kepuasan Kerja 11
2.3 Proses Penelitian 16
2.4 Pemetaan dari Kelima Anak 22
2.5 Proses Konseptualisasi dan Operasionalisasi 26
2.6 Diagram Pencar Menujukkan Derajad Korelasi 53
2.7 Representasi Vektorial suatu Koefisien Korelasi 61
2.8 Empat belas Variabel Asli Direduksi Menjadi Empat Faktor 66
2.9 Model Satu Faktor Umum 70
2.10 Rotasi Faktor 102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah utama dalam kegiatan penelitian sosial dan psikologi
adalah masalah cara memperoleh data informasi yang akurat dan objektif. Hal ini
sangat penting artinya dikarenakan kesimpulan penelitian hanya akan dapat
diper-caya apabila didasarkan pada informasi yang juga dapat diperdiper-caya. Oleh sebab itu
ilmu pengukuran menjadi penting dalam suatu penelitian. Ilmu pengukuran
meru-pakan cabang dari ilmu statistika terapan yang bertujuan membangun dasar-dasar
pengembangan alat ukur yang lebih baik sehingga dapat menghasilkan alat ukur
yang berfungsi secara optimal, valid dan reliabel. Para ahli psikometri telah
me-netapkan kriteria bagi setiap alat ukur psikologis untuk dapat dinyatakan sebagai
alat ukur yang baik, yaitu mampu memberikan informasi yang dapat dipercaya.
Kriteria termaksud antara lain adalah reliabel, valid, standar, ekonomis dan
praktis.
Salah satu bentuk alat ukur adalah tes. Menurut Allen dan Yen, tes adalah
suatu alat untuk mendapatkan sampel tertentu dari perilaku seseorang serta
mendiskripsikan, melukiskan atau memaparkannya menggunakan
kategori-kategori atau skor-skor.
Dalam menyusun sebuah tes diperlukan adanya suatu prosedur seleksi item
untuk menguji tes mana yang tepat untuk diujikan. Tepat dalam hal ini berarti
bahwa tes tersebut dapat melakukan fungsi ukurnya sesuai dengan tujuan
dilakukan pengukuran. Pertanyaan umum yang seringkali muncul dalam masalah
seleksi item adalah bagaimana skor tes tersebut diukur dan sejauh manakah tes
tersebut mengukur dengan baik. Oleh sebab itu prosedur pengujian validitas
terhadap alat ukur menjadi komponen penting dalam ilmu pengukuran. Pengujian
validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan suatu alat ukur
dalam melakukan fungsi ukurnya.
Suatu alat ukur yang tidak valid akan memberikan informasi yang tidak
akurat mengenai keadaan subjek atau individu yang dikenai tes tersebut. Apabila
informasi yang keliru itu dengan sadar atau tidak dengan sadar digunakan sebagai
dasar pertimbangan dalam pengambilan suatu keputusan maka tentulah
kesimpulan dan keputusan itu tidak akan merupakan keputusan dan kesimpulan
yang tepat. Kasus siswa yang salah memilih jurusan studi di perguruan tinggi
menjadi contoh akibat keputusan yang didasarkan oleh informasi dari tes IQ yang
tidak valid.
Performansi subjek pada suatu tes dinyatakan dalam bentuk bilangan yang
disebut skor (Azwar, 2003: 25). Bilangan performansi yang benar dan murni serta
tidak dapat diungkapkan secara langsung oleh tes disebut skor-murni. Suatu hasil
pengukuran terdapat pula galat yang besarnya dalam setiap tes tidak dapat
diketahui. Jumlahan dari skor-murni dan galat disebut sebagai skor tampak, skor
tampak merupakan skor hasil perolehan dalam tes. Alat ukur yang tinggi
subjek yang diperoleh oleh alat ukur tersebut tidak jauh berbeda dari skor yang
sesungguhnya. Dengan demikian secara keseluruhan alat tes yang bersangkutan
akan menghasilkan varians galat yang kecil pula.
B. Perumusan Masalah
Pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana menguji validitas tes?
2. Bagaimana landasan matematis dalam pengujian validitas?
3. Bagaimana aplikasi secara praktis pengujian validitas ?
C. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini akan membahas validitas empirik secara lebih
mendalam. Validitas empirik terdiri dari dua tipe yaitu validitas konstruk dan
validitas berdasarkan kriteria. Proses pengujian validitas konstruk dibedakan
menjadi dua yaitu pendekatan validitas multitrait-multimethod dan pendekatan
validitas faktorial. Alat ukur yang diuji adalah berupa tes. Aplikasi pengujian
validitas menggunakan sampel data hasil survei kinerja dosen Universitas Sanata
Dharma semester gasal 2008-2009 oleh P3MP dan sampel data hasil Tes Potensi
D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami bagaimana menguji validitas
tes, landasan matematis dalam pengujian validitas serta memahami bagaimana
aplikasi pengujian validitas tes.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan diperoleh setelah mempelajari topik ini adalah dapat
memahami proses pengujian validitas tes, memahami landasan matematis dalam
pengujian validitas, serta mengaplikasikannya dalam pengujian validitas terhadap
data hasil survei kinerja dosen Universitas Sanata Dharma semester gasal
2008-2009 oleh P3MP dan data hasil Tes Potensi Akademik Plus penerimaan
mahasiswa baru Universitas Sanata Dharma.
F. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis adalah metode studi pustaka yaitu dengan
mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan topik proposal skripsi ini,
sehingga tidak ada hal-hal baru. Data yang diperoleh diolah dengan
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan dalam pembahasan mengenai tinjauan statistis validitas alat
ukur adalah sebagai berikut:
Bab 1 pendahuluan membahas tentang gambaran umum mengenai isi skripsi
meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika pembahasan.
Bab II membahas tentang landasan teori yang meliputi penelitian ilmiah,
pengukuran dan alat ukur, konsep skor, teori statistika yang relevan.
Bab III membahas tentang pengujian validitas yang meliputi pengertian validitas
secara verbal dan matematis, validitas isi, validitas berdasarkan kriteria dan
validitas konstruk.
Bab IV membahas tentang aplikasi pengujian validitas terhadap tes evaluasi
kinerja dosen Universitas Sanata Dharma semester gasal 2008-2009 dan Tes
Potensi Akademik Plus penerimaan mahasiswa baru Universitas Sanata Dharma.
BAB II
ASPEK-ASPEK PENGUKURAN
DAN TEORI STATISTIKA YANG RELEVAN
Sebelum membahas tentang tinjauan statistis validitas alat ukur, terlebih dahulu
akan dibahas beberapa materi prasyarat sebagai landasan teori yang berhubungan
langsung dengan tinjauan statistis validitas alat ukur.
A. Penelitian Ilmiah
Penelitian ilmiah adalah suatu bentuk penelitian dengan cara berpikir yang
sistematis Tujuan pokok penelitian ilmiah adalah menerangkan suatu realitas dalam
bidang sosial, psikologi dan pendidikan. Dalam usahanya memahami suatu realitas
tersebut, seringkali peneliti menghubungkan realitas tersebut dengan realitas lain.
Sebagai contoh, untuk memahami realitas perbedaan prestasi belajar, maka peneliti
menghubungkan realitas tersebut dengan realitas lingkungan keluarga.
Dalam penelitian tentang perbedaan prestasi belajar peneliti mungkin tertarik
untuk mempelajari realitas perbedaan prestasi belajar pada dua atau tiga realitas
lingkungan keluarga. Pertanyaan yang hendak dijawab peneliti misalnya: Apakah
perbedaan prestasi belajar tersebut disebabkan oleh keadaan siswa dalam lingkungan
keluarga yang berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka peneliti
mengumpulkan data mengenai prestasi belajar siswa pada lingkungan keluarga yang
harmonis dan lingkungan keluarga tidak harmonis (adanya perceraian kedua
orangtuanya atau orangtuanya tidak peduli dengan siswa tersebut). Apabila prestasi
belajar siswa secara konsisten berbeda pada kedua lingkungan keluarga tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara prestasi belajar siswa
dengan lingkungan keluarga. Dengan kata lain, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
lingkungan keluarga menjadi salah satu faktor penentu perbedaan prestasi belajar
siswa.
Untuk mempelajari hubungan hubungan antara realitas atau kejadian yang satu
dengan realitas yang lain, maka perlu adanya pengetahuan mengenai unsur-unsur
penelitian dan terdiri atas: sifat, konsep, konstruk, dan variabel. Keterkaitan keempat
unsur dari penelitian tersebut terletak pada proses konseptualisasi dan proses
operasionalisasi. Dalam bab ini unsur-unsur penelitian akan diuraikan satu persatu.
1. Unsur-unsur Penelitian
Gambar 2.1 Hubungan antar Unsur-unsur Penelitian
KONSEP
REALITAS
KONSTRUK
VARIABEL
SUBJEK/OBJEK PENELITIAN
Realitas
Kebutuhan ilmiah
Gambaran sistematik Abstrak
a. Sifat
Dalam dunia pendidikan seringkali kita membedakan beberapa objek. Sebagai
contoh pada mata pelajaran Matematika kita membedakan ciri-ciri bangun dimensi
tiga, kubus memiliki rusuk sebanyak duabelas, sisi enam dan titik sudut delapan,
sedangkan Limas segiempat memiliki rusuk sebanyak delapan, sisi lima dan titik
sudut lima. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering membedakan beberapa
objek. Sebagai contoh kita sering membedakan ciri-ciri seseorang dari ciri-ciri khas
fisiknya, Dini bertubuh tinggi, berambut keriting, berhidung mancung dan bermata
sipit, sedangkan Rosi bertubuh pendek, berambut lurus, berhidung pesek dan bermata
bulat.
Beberapa contoh di atas menunjukkan ciri-ciri fisik dari suatu objek, ciri-ciri
fisik ini dapat diamati secara langsung oleh panca indra. Disamping ciri-ciri fisik
terdapat pula ciri-ciri nonfisik yang tidak dapat diamati secara langsung oleh panca
indra. Sebagai contoh Ani adalah siswa yang cerdas dan berbakat, Rita adalah anak
yang berhati lembut, sedangkan Sandi adalah anak yang pemalu. Cerdas, berbakat,
berhati lembut dan pemalu adalah ciri-ciri yang tidak dapat diamati secara langsung
oleh panca indra.
Ciri-ciri fisik dan non fisik yang melekat pada objek serta dapat digunakan
untuk membedakan objek satu dengan yang lainnya disebut sifat. Apabila kita
membicarakan sifat maka kita membicarakan ciri-ciri yang melekat pada objek
Sifat-sifat fisik dapat diamati secara langsung oleh panca indra, sedangkan
sifat-sifat nonfisik tidak dapat diamati secara langsung oleh panca indra, oleh sebab itu
untuk mengetahui sifat-sifat nonfisik maka dibutuhkan suatu petunjuk atau indikator
dari sifat tersebut. Sebagai contoh jika seorang lelaki selalu menyerang atau memukul
anak lain, maka dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut merupakan petunjuk bagi
kebencian atau permusuhan yang dikandungnya. Jika tangan seseorang banyak sekali
berkeringat, maka dapat dikatakan bahwa dia cemas. Jika seorang anak mengisi
dengan benar sejumlah soal objektif tertentu dalam suatu ujian prestasi, maka dapat
dikatakan bahwa dia mempunyai prestasi pada tingkat tertentu. Sebenarnya suatu
penelitian tidak bertujuan untuk mengukur objek, akan tetapi mengukur petunjuk dari
sifat-sifat atau ciri-ciri objek.
b. Konsep
Seorang peneliti mengadakan penelitian di sebuah Taman Kanak-kanak dan
yang menjadi objek penelitian adalah siswa-siswa baru di Taman Kanak-kanak
tersebut. Dalam peneitiannya, peneliti menemukan beberapa kejadian dan perilaku
dari objek yang ditelitinya, ada siswa yang menangis karena mencari orangtuanya,
ada yang asyik bermain sendiri saat pelajaran berlangsung, ada yang hanya diam tapi
tidak memperhatikan guru serta ada yang mengikuti pelajaran dengan serius dan
senang. Peneliti ingin mengadakan penelitian mengenai faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi perilaku siswa baru Taman Kanak-kanak yang telah diamati, maka
yaitu kesiapan anak dalam mengikuti pelajaran di bangku pertama. Menurut
Kerlinger, konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi hal-hal
khusus (Kerlinger, 1971). Jadi konsep kesiapan anak mengikuti pelajaran di bangku
pertama merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi kejadian dan perilaku
anak di kelas yaitu menangis, asyik bermain sendiri, diam atau pasif serta serius
dalam mengikuti pelajaran.
c. Konstruk
Konstruk merupakan konsep yang sengaja digunakan dalam penelitian serta
diamati dari banyak sudut pandang. Sebagai contoh konstruk kepuasan kerja,
konstruk kepuasan kerja merupakan konsep kepuasan kerja yang sengaja digunakan
dalam penelitian, dengan tujuan untuk meneliti tingkat kepusan kerja, konsep ini
diamatai dengan berbagai sudut pandang yaitu sudut pandang kepuasan pada tugas,
sudut pandang kepuasan pada atasan, sudut pandang kepuasan pada kompensasi,
sudut pandang kekuatan pada promosi. Untuk mengamati kepuasan pada tugas dapat
di gunakan konsep rutinitas, kompleksitas, kegunaan, kesesuaian, tantangan dan lain
sebagainya, untuk mengamati sudut pandang kepuasan pada atasan dapat digunakan
konsep pengaruh, intelegensi, prestasi, perhatian dan tanggungjawab, untuk
mengamati sudut pandang kepuasan pada kompensasi dapat digunakan konsep
kewajaran, kesesuaian, keinginan, keamanan, nilai, sedangkan untuk mengamati
sudut pandang kepuasan pada promosi dapat digunakan konsep kesempatan,
Gambar 2.2 Diagram Konstruk Kepuasan Kerja
d. Variabel
Variabel berasal dari kata vary dan able, yang berarti dapat bervariasi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa variabel adalah segala sesuatu yang dapat diberi
berbagai macam nilai. Sebagai contoh, tinggi badan dan berat badan orang yang satu
dengan yang lainnya berbeda-beda, hal ini menunjukkan adanya variansi nilai atau
keragaman nilai dari tinggi badan dan berat badan. Sedangkan jenis kelamin hanya
memiliki dua nilai yaitu laki-laki dan perempuan. Oleh karena tinggi badan, berat
badan mempunyai variasi nilai dan jenis kelamin juga memiliki lebih dari satu nilai,
maka tinggi badan, berat badan dan jenis kelamin merupakan variabel.
Tinggi badan, berat badan dan jenis kelamin dapat disimbolkan atau diberi
lambang dengan huruf besar yaitu X, Y, dan Z. Misalkan X merupakan simbol dari Konstruk
Kepuasan Kerja
Sudut pandang kepuasan pada tugas
Sudut pandang kepuasan pada atasan
Sudut pandang kepuasan pada kompensasi
Sudut pandang kepuasan pada promosi
Konsep: rutinitas, kompleksitas, kesesuaian, tantangan
Konsep: ntelegensi, prestasi, perhatian, tanggung jawab
Konsep: kewajaran, kesesuaian, keamanan, keinginan, nilai
berat badan, X mempunyai bervariasi nilai, sebagai contoh 56 kg, 40 kg, 45 kg dan
lain sebagainya. Dalam contoh ini Y dimisalkan sebagai simbol dari tinggi badan, Y
mempunyai bervariasi nilai, sebagai contoh 150 cm, 160cm dan lain sebagainya.
Sedangkan Z dimisalkan sebagai simbol dari jenis kelamin, Z hanya mempunyai dua
nilai yaitu 1 dan 0, nilai 1 untuk salah satu jenis kelamin, nilai 0 untuk jenis kelamin
yang lain, misalnya 1 merupakan nilai untuk jenis kelamin laki-laki, sedangkan 0
merupakan nilai untuk jenis kelamin perempuan. X, Y dan Z dapat dilekatkan lebih
dari satu nilai atau mempunyai keragaman nilai, maka X, Y dan Z disebut sebagi
variabel. Dengan demikian variabel juga dapat diartikan sebagai lambang atau simbol
yang dapat dilekatkan oleh beragam bilangan dan nilai.
Dalam sebuah penelitian sosial, dilakukan penelitian terhadap ciri-ciri
antropologis manusia, ditampilakan dua tokoh dalam penelitian tersebut. Satu
diantaranya seorang buruh laki-laki yang sudah tua, bertubuh pendek dan
berpenghasilan rendah. Tokoh yang lainnya seorang wanita muda, ia seorang
majikan, bepenghasilan tinggi dan bertubuh jangkung. Semua ciri-ciri yang menandai
kedua tokoh ini (laki-laki, wanita, tua, muda, majikan, buruh, penghasilan rendah,
penghasilan tinggi, tubuh pendek dan tubuh janggung) adalah ciri-ciri antropologis
manusia. Ciri-ciri antropologis manusia dalam penelitian sosial ini disebut sebagai
konstruk. Ciri-ciri antropologis tersebut dapat dikelompok-kelompokan kedalam
kelompok yang logis, misalnya laki-laki dan wanita dapat dikelompokkan menjadi
kelompok jenis kelamin, tua dan muda dikelompokkan kedalam kelompok usia,
kelompok tingkat penghasilan. Menurut Masri Singarimbun dan Sofian Efendi,
variabel adalah pengelompokkan yang logis dari dua atau lebih konstruk dan
mempunyai beragam nilai (Masri dan Sofian, 1982: 26). Oleh karena itu jenis
kelamin, usia dan tingkat penghasilan merupakan variabel. Dari beberapa contoh dan
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan definisi variabel yaitu lambang atau
simbol dari konstruk yang dapat diberi berbagai macam nilai.
Berdasarkan sifatnya variabel digolongkan menjadi variabel yang bersifat
diskrit (discrete) dan kontinu (continuous). Variabel diskrit adalah variabel yang
nilai-nilainya berhingga atau tidak berhingga tetapi terbilang, sebagai contoh
himpunan bilangan asli, nilai-nilainya tak berhingga akan tetapi terbilang. Sedangkan
variabel kontinu adalah variabel yang tidak memenuhi definisi di atas, dengan kata
lain variabel kontinu berjalan dalam range himpunan bilangan real. Selain varibel
diskrit dan kontinu, terdapat pula beberapa penggolongan variabel, dalam subbab ini
akan dijelaskan beberapa penggolongan variabel yang penting dalam penelitian.
1) Variabel bebas(Independet variable) dan variabel terikat (dependen variable)
Menurut kedudukannya variabel dibedakan menjadi variabel bebas(Independet
variable) dan variabel terikat (dependen variable). Variabel bebas adalah variabel
yang nilainya mempengaruhi variabel lain dalam penelitian. Variabel terikat adalah
variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel lain dalam suatu penelitian. Sebagai
contoh, dalam sebuah penelitian tentang hubungan antara lamanya pemuaian dengan
bertambah, dengan kata lain pertambahan panjang muai dipengaruhi oleh lamanya
pemuaian, maka dapat dikatakan bahwa lamanya pemuaian adalah variabel bebas,
sedangkan pertambahan panjang muai adalah variabel terikat.
2) Variabel aktif dan variabel atribut
Suatu klasifikasi lain dalam penelitian sosial, psikologi dan pendididikan
mengenai variabel yaitu variabel aktif dan variabel atribut. Variabel yang
dimanipulasi disebut variabel aktif. Pada hakikatnya, manupulasi berarti melakukan
berbagai hal terhadap berbagai kelompok subjek. Sebagai contoh manipulasi adalah
seorang peneliti melakukan satu hal terhadap satu kelompok (misalnya memberikan
penguatan positif untuk jenis kelakuan tertentu) dan melakukan hal yang berbeda
terhadap kelompok lain, atau memberikan instruksi yang berlainan kepada kedua
kelompok tersebut. Jika seseorang menggunakan metode-metode pengajaran yang
berbeda, atau memberikan imbalan kepada subjek-subjek dalam suatu kelompok dan
menghukum subjek-subjek dalam kelompok lain, atau menciptakan kecemasan
dengan instruksi-instruksi yang meresahkan, maka seorang tersebut secara aktif
memanipulasi variabel-variabel metode, penguatan, dan kecemasan. Variabel yang
tidak dapat dimanipulasi dan merupakan variabel yang diukur disebut variabel atribut.
Contoh variabel atribut adalah semua variabel yang merupakan ciri manusia
(intelegensi, bakat, jenis kelamin, status sosial, konservatisme, ketergantungan pada
objek-objek yang tak hidup. Organisasi, lembaga, kelompok, populasi, rumah, dan
kawasan-kawasan geografis mempunyai atribut yang dapat diukur.
3) Variabel Laten
Variabel laten adalah suatu variabel yang terselubung, variabel yang tidak
kelihatan dan diduga melandasi variabel-variabel yang diamati. Sebagai contoh
variabel laten adalah kecerdasan atau intelegensi. Perhatikan, misalnya terdapat tiga
tes kemampuan yaitu verbal, numerikal, dan spasial, ketiga tes ini mempunyai relasi
positif dan jelas maknanya. Secara umum berarti bahwa individu yang mencapai hasil
tinggi untuk tes yang satu cenderung mencapai hasil tinggi pula pada tes-tes yang
lain, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian dapat diyakini bahwa terdapat suatu
unsur yang sama dalam ketiga tes tersebut, dan unsur tersebut disebut kecerdasan.
Kecerdasan inilah yang merupakan variabel laten. Maka dapat disimpulkan bahwa
konstruk kecerdasan juga disebut variabel laten.
2. Proses Penelitian Ilmiah
Penelitian ilmiah adalah suatu bentuk penelitian dan cara berpikir yang sangat
sistematis. Proses penelitian dapat diilustrasikan dalam diagram dibawah ini
Gambar 2.3 Proses Penelitian (Masri dan Sofian, 1982: 26)
Penelitian merupakan suatu proses yang panjang. Ia berawal pada minat untuk
mengetahui realitas atau suatu kejadian dan selanjutnya berkembang menjadi
gagasan, teori, konseptualisasi, pemilihan metode penelitian yang sesuai,
operasionalisasi dan seterusnya. Hasil akhirnya adalah gagasan dan teori baru,
sehingga merupakan suatu proses yang tiada hentinya.
Langkah awal yang sangat penting bagi penelitian adalah adanya minat untuk
mengetahui masalah sosial tertentu. Minat tersebut dapat timbul dan berkembang
karena rangsangan bacaan, diskusi, seminar atau pengamatan. Berbagai tahapan harus
MINAT GAGASAN TEORI
KONSEPTUALISASI Tentukan konsep dan variabel yang akan diteliti
PEMILIHAN METODE PENELITIAN -Penelitian lapangan -analisis data sekunder -eksperimen
-penelitian evaluasi -penelitian survei
POPULASI SAMPEL Kesimpulan akan dari kelompok mana? Siapa yang akan diobservasi?
OBSERVASI Kumpulan data untuk analisa dan penafsiran
PENGOLAHAN DATA Ubah data untuk dianalisis
ANALISA DATA Analisa data dan tarik kesimpulan
ditempuh hingga tercapai hasil penelitian, dan tiap tahap perlu dilaksanakan dengan
kritis, tepat dan sistematis.
Teori adalah kumpulan pengetahuan yang dimiliki manusia. Penelitian
mengubah ketidaktahuan manusia terhadap alam semesta manjadi pengetahuan.
Ketidaktahuan membuat manusia mencari pemecahan masalah secara spekulatif.
Usaha memuaskan rasa ingin tahu dilakuakan dengan cara yang tidak ilmiah,
walaupun belum sepenuhnya memuaskan. Seiring dengan perkembangan berpikir dan
peradaban manusia, maka berkembanglah pendekatan-pendekatan ilmiah melalui
proses penelitian. Dengan pendekatan-pendekatan ilmiah, ketidaktahuan semakin
berkurang dan pengetahuan manusia berkembang. Pengetahuan berkembang terus
menerus dan tersusun dalam bentuk teori. Pengetahuan manusia merupakan
pemahaman manusia terhadap alam semesta baik fisik maupun sosial. Kegiatan
ilmiah adalah cara memecahkan masalah ilmiah. Untuk menghadapi permasalahan
digunakan teori ilmiah sebagai alat yang membantu menemukan pemecahan.
Misalnya, untuk penelitian mengenai hubungan sikap terhadap mata pelajaran
matematika dengan prestasi belajar matematika di sekolah dasar. Dalam penelitian
tersebut perlu dikaji teori tentang sikap, hakikat matematika, sikap terhadap
matematika, pembelajaran matematika, dan hubungan antara sikap terhadap mata
pelajarna matematika dengan prestasi belajar matematika.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori merupakan hubungan antara
satu gejala dengan gejala lainnya dan merupakan unsur informasi ilmiah yang paling
yang lebih spesifik dan lebih sempit bidang cakupannya. Informasi ini dapat diubah
menjadi data (observasi) dengan mengintepretasikan bahwa informasi tersebut
menjadi sesuatu yang dapat diamati, dengan penyusunan skala, dan penentuan
sampel. Observasi atau data ini merupakan informasi ilmiah yang sangat spesifik dan
hanya menyangkut sampel tertentu dan variabel tertentu.
Melalui pengukuran, penyederhanaan informasi dan perkiraan parameter,
observasi atau data dapat diubah menjadi informasi yang lebih umum yaitu
generalisasi empiris. Selanjutnya, generlisasi empiris ini dapat dijadikan teori melalui
penyusunan konsep atau yang disebut dengan proses konseptualisasi. Konsep-konsep
tersebut kemudian didefinisikan secara operasional dalam bentuk konstruk-konstruk
dan variabel sehingga dapat diukur.
B. Pengukuran dan Alat Ukur
Ilmu pengukuran (measurement) merupakan cabang dari ilmu statistika terapan
yang bertujuan membangun dasar-dasar pengembangan tes yang lebih baik sehingga
dapat menghasilkan tes yang berfungsi secara optimal, valid, dan reliabel.
Dasar-dasar pengembangan tes tersebut dibangun di atas model-model matematik yang
secara berkesinambungan terus diuji kelayakannya oleh ilmu psikometri.
1. Pengukuran
Pengukuran adalah suatu proses yang seringkali dilakukan dalam kehidupan
timbangan, untuk mengetahui apakah program dietnya berjalan dengan baik, atau
seseorang menggunakan termometer untuk mengukur suhu badannya. Tukang kayu
dapat mengetahui panjang sebatang kayu dengan meteran. Seseorang dapat
mengetahui kecepatannya dalam berkendara motor dengan speedometer. Pengukuran
berat, suhu, panjang dan kecepatan merupakan pengukuran yang bersifat fisik. Selain
pengukuran yang bersifat fisik, terdapat pula pengukuran yang bersifat non fisik,
misalnya ketika seseorang mengukur kecantikan orang lain dengan melihat riasan
wajahnya dan cara berpakaiannya atau ketika seseorang makan direstoran dan setelah
dia mencicipi masakan yang disajikan maka dia berkata bahwa masakannya lezat,
secara tidak langsung seseorang tersebut telah mengukur tingkat kelezatan.
Pengukuran juga dilakukan oleh ahli astronomi atau ahli biologi dengan
menggunakan teleskop atau mikroskop untuk mengetahui gelaja ilmiah. Pengukuran
ilmiah seperti dalam contoh merupakan pengukuran menggunakan pengamatan
langsung dan memberikan informasi berdasarkan ilmu eksakta. Pengukuran suhu
badan dengan menggunakan termometer akan memberikan hasil yang lebih teliti dan
informasi yang lebih akurat dari pada mengukur suhu badan dengan telapak tangan.
Pengukuran membantu individu dalam meneliti sesuatu hal yang tidak tampak
dan tidak dapat diketahui secara langsung, sebagai contoh ketika dilakukan penelitian
terhadap tingkat emosional seseorang atau tingkat kecerdasan seseorang. Pengukuran
yang demikian disebut sebagai pengukuran psikologis yang bertujuan untuk
mengukur karakteristik individu yang tidak dapat diamati secara langsung.
terdapat pula pengukuran ilmu sosial yang lain yaitu dalam bidang sosiologi disebut
dengan sosiometri, anthropologi (anthropometri), ekonomi (ekonometri) dan hukum
(jurimetri).
Dalam pengertian secara umum, pengukuran adalah pemberian bilangan pada
objek-objek atau kejadian-kejadian berdasarkan prosedur tertentu (Kerlinger: 1992).
Untuk memudahkan pemahaman mengenai pengukuran maka diberikan contoh
pengukuran yaitu pengukuran yang dilakukan oleh penjahit baju. Seorang penjahit
baju ingin mengetahui ukuran panjang sebuah kain yang akan digunakannya untuk
membuat baju. Penjahit tersebut menggunakan meteran untuk mengukur panjang
kain, dia melatakkan ujung meteran tersebut dibagian kain yang paling ujung, dan
menarik meteran tersebut sejajar dengan kain sampai ke ujung kain berikutnya.
Dengan cara tersebut panjahit baju dapat mengetahui bahwa panjang kain tersebut
adalah 1.5 m. Dalam pengukuran yang dilakukan penjahit baju tersebut, dapat
diketahui bahwa komponen-komponen pengukuran panjang kain adalah kain sebagai
objek yang diukur, panjang sebagai variabel yang diukur, meteran sebagai alat
ukurnya yang mempunyai skala panjang, dan cara penjahit dalam menggunakan
meteran untuk mengukur panjang kain merupakan prosedur pengukuran, sedangkan
yang menjadi hasil pengukuran adalah berupa bilangan yang menyatakan panjang
kain yaitu 1.5 m. Maka dapat dipahami bahwa pengukuran berhubungan dengan
objek, variabel yang akan diukur, bilangan-bilangan, alat ukur, dan prosedur atau tata
Angka adalah lambang dari bilangan yang berbentuk 1, 2, 3,... atau I, II, III,...
Sebenarnya bilangan tersebut tidak memiliki arti kuantitatif sebelum arti kuantitatif
tersebut diberikan. Pemberian bilangan dalam pengertian pengukuran berarti
pemetaan (mapping). Suatu fungsi mempunyai aturan korespondensi, yaitu aturan
untuk memberikan tiap anggota suatu himpunan pada setiap satu anggota himpunan
lain. Anggota-anggota kedua himpunan tersebut dapat berupa sembarang objek.
Dalam matematika, umumnya anggota-anggota himpunan adalah bilangan.
Sedangkan dalam suatu penelitian, anggota-anggota himpunan tersebut dapat berupa
individu, dan anggota-anggota himpunan lainnya dapat berupa bilangan atau
bilangan. Suatu prosedur merupakan panduan, metode atau perintah untuk
melakukan suatu tindakan. Suatu prosedur matematik adalah f. Fungsi f adalah
prosedur untuk memasangakan atau memetakan objek-objek pada suatu himpunan
dengan objek-objek pada himpunan lain. Sebagai contoh, diberikan himpunan A
yang meliputi tiga pria dan dua wanita: a1, a3, dan a4adalah pria dan a2 serta a5 adalah
wanita. Akan dilakukan pengukuran terhadap variabel yang dimiliki yaitu jenis
kelamin. Dengan asumsi bahwa dimiliki aturan awal yang memungkinkan ditetapkan
jenis kelamin secara tegas dan tidak ambigu. Digunakan aturan: ” jika seseorang
berjenis kelamin laki-laki, maka diberi satu bilangan 1; jika seseorang berjenis
kelamin perempuan maka diberi satu bilangan 0 ”. Ditetapkan bahwa 0 dan 1 adalah
Gambar 2.4 Pemetaan dari Kelima Anak
Dari gambar di atas, dapat dibentuk suatu himpunan pasangan terurut yaitu
( ) (
) ( ) ( ) (
)
{
a1,1 a2,0 a3,1 a4,1 a5,0}
. Pengukuran dapat dipandang sebagai relasi.Anggota A merupakan domainnya dipetakan kepada satu anggota B yang merupakan
kodomainnya. Dengan demikian relasi tersebut merupakan sebuah fungsi. Suatu
relasi adalah himpunan pasangan berurut, demikian juga dengan fungsi. Sembarang
prosedur pengukuran membentuk suatu himpunan pasangan berurut, anggota pertama
dari setiap pasangan adalah objek yang diukur, dan anggota kedua adalah bilangan
yang diberikan pada objek tersebut (hasil pengukuran) menurut prosedur
pengukurannya. Maka dapat dituliskan notasi umum untuk sembarang prosedur
pangukuran:
f = {(x,y); x∈A,y∈B}
A = himpunan objek, B = himpunan bilangan hasil pengukuran 1
a
2
a
3 a
4
a
5 a
0
1
A B
Notasi tersebut dibaca demikian: ”Fungsi f atau kaidah korespondensi, sama
dengan himpunan pasangan berurut (x, y) sedemikian sehingga x adalah suatu objek
dan setiap y yang berkorespondensi dengannya adalah satu bilangan”.
Pengukuran sebaiknya dilakukan dengan cara-cara atau aturan yang berstandar
dan disepakati supaya hasil dari pengukuran menunjukkan hasil yang relatif konsisten
jika pengukuran tersebut dilakukan orang yang berbeda. Beberapa pengukuran ada
yang mempunyai aturan yang baku dan berlaku secara universal seperti pengukuran
berat dan pengukuran sifat-sifat fisik lainnya.
Dalam bidang psikologi dan pendidikan, yang menjadi objek pengukuran
adalah manusia tetapi yang diukur dalam pengukuran psikologi adalah sifat-sifat yang
melekat pada orang tersebut, seperti motivasi, emosional, kecerdasan dan sebagainya.
Aturan yang baku dan berlaku secara universal dalam bidang psikologi sangatlah sulit
diterapkan karena sifat/variabel pengukurannya bersifat abstrak (tidak dapat dilihat
secara langsung). Kecerdasan atau tingkat emosi dari seseorang tidak dapat kita
ketahui sebelum dilakukan tes. Oleh karena itu, dalam bidang psikologi dilakukan
sebuah standarisasi. Hal ini bertujuan supaya pengukuran yang dilakukan tidak
didasarkan pada intuisi.
Pengukuran Kuantitatif dan Kualitatif
Peneliti kualitatif dan kuantitatif, keduanya membutuhkan ketelitian dan metode
yang sistematis dalam mengumpulkan data. Proses yang membedakan antara kedua
kuantitatif, peneliti menggunakan cara berpikir deduktif. Peneliti kuantitatif memulai
pengukuran dari pembentukan konsep kemudian diikuti dengan prosedur pengukuran
dan diakhiri dengan pengumpulan data emprik yang merepresentasikan konsep
tersebut. Sebaliknya, peneliti kualitatif menggunakan cara berpikir induktif. Peneliti
kualitatif memulai pengukuran dari pengumpulan data empirik yang diikuti dengan
pembentukan konsep. Setelah diperoleh data dan konsep, mereka memulai proses
yang menghubungkan data dan konsep tersebut dan diakhiri dengan penggabungan
data dan konsep.
Salah satu perbedaan antara pengukuran kuantitatif dan kualitatif adalah proses
menganalisis data. Peneliti kuantitatif memulai proses analisis data setelah proses
pengumpulan data. Dalam menganalisis data, peneliti kuantitatif menggunakan
teknik-teknik standar pengukuran dan perhitungan numerik. Pengukuran kualitatif
adalah pengukuran yang menekankan pengertian dan pengetahuan yang mendalam
mengenai teori dari aspek yang akan diukur. Pengetahuan yang mendalam mengenai
teori yang akan diukur sangat penting dalam proses penentuan konsep. Sebelum
menentukan konsep maka dilakukan wawancara atau diskusi terlebih dahulu
mengenai landasan teori dari penelitian. Dari wawancara dan diskusi maka dapat
diperoleh beberapa konsep. Penentuan konsep dalam pengukuran kualitatif
berlangsung seiring dengan proses pengumpulan data dan analisis data. Dalam
pengukuran kualitatif , tidak ada patokan yang sah dari peneliti. Semua proses
dianggap sah apabila hal tersebut benar-benar terjadi (empirik) dan patokan baru
Data yang diperoleh juga berbeda untuk kedua penelitian tersebut. Data yang
dikumpulkan dari pengukuran kuantitatif merupakan hasil pengukuran atas
variabel-variabel yang telah dioperasionalkan menggunakan teknik-teknik perhitungan dan
pada umumnya berbentuk bilangan. data hasil pengukuran kualitatif berupa tulisan,
suara, simbol, atau gambar visual seperti peta, potografi, video, dan sebagainya.
Peneliti kualitatif kadang-kadang merepresentasikan hasil pengukuran dengan
bilangan atau numerik.
Pengukuran kuantitatif menginginkan penetilian yang terstruktur, terorganisasi,
urut dengan suatu kerbilangan yang sistematis. Sedangkan, pengukuran kualitatif
menginginkan penelitian yang fleksibel dan umum. Oleh karena itu, pengukuran tidak
pernah memperoleh data yang seragam atau uniform. Dari aspek jenis ilmu yang
diteliti, pengukuran kuantitatif cenderung pada ilmu-ilmu pasti, bidang teknik,
ekonomi, psikologi, computer science dan seterusnya. Pengukuran kualitatif
cenderung pada ilmu-ilmu humaniora, sejarah, sosiologi, anthropologi, ilmu
kebudayaan dan seterusnya.
Konseptualisasi dan Operasionalisasi dalam Pengukuran
Dalam suatu pengukuran dimulai dari pemilihan konsep yang hendak diukur,
melakukan konseptualisasi dan melakukan operasionalisasi dari konsep tersebut.
Proses konseptualisasi dan operasionalisasi dalam pengukuran, ditunjukkan pada
Gambar 2.5 Proses Konseptualisasi dan Operasionalisasi
Banyak konsep terutama dalam bidang psikologi merupakan konsep yang
bersifat abstrak dan tidak dapat diamati secara langsung. Oleh karena itu diperlukan
teori yang menjelaskan konsep tersebut yang disebut sebagai definisi konseptual.
Sedangkan proses formulasi atau pembentukan dari konsep tersebut disebut sebagai
konseptualisasi. Perumusan definisi konseptual menurut Kerlinger (1996: 50-51)
dapat dilakukan dengan beberapa cara, cara pertama adalah dengan memberikan
batasan-batasan kepada fenomena abstrak atau sifat suatu objek yang diteliti dengan
konsep-konsep atau ungkapan konseptual lain untuk menggantikan ungkapan yang
didefinisikan. Sebagai contoh ”kecerdasan” dapat didefinisikan dengan menyatakan
bahwa kecerdasan adalah ”intelek yang bekerja”, ”ketajaman mental”, atau
”kemampuan untuk berpikir abstrak”. Cara kedua adalah dengan mendefinisikan sifat
dengan menyatakan tindakan-tindakan atau kelakuan-kelakuan yang terungkap atau
Konstruk Abstrak Konstruk Abstrak
Definisi Konseptual Definisi Konseptual
Indikator atau ukuran Indikator atau ukuran
Konseptualisasi
Operasionalisasi
Konseptualisasi
Operasionalisasi
Pengujian Hipotesis Hipotesis Hubungan
Teori
tersiratkan. Untuk mendefinisikan ”kecerdasan” dengan cara kedua ini, harus
ditentukan dengan jelas kelakuan ”cerdas” anak-anak dan kelakuan yang ”tidak
cerdas ” anak-anak. Seorang anak berusia tujuh tahun dapat dikatakan ”cerdas”
apabila dia berhasil membaca cerita yang diberikan padanya untuk dibaca. Apabila
anak tersebut tidak mampu membacanya, dapat dikatakan bahwa dia ”tidak cerdas”.
Cara ketiga dalam merumuskan definisi konseptual adalah dengan menukar satu
konsep dengan konsep lain. Misalnya ”bobot” dapat didefinisikan sebagai ”berat”
suatu benda. Atau mendefinisikan ”kecemasan” sebagai ”rasa takut yang objektif ”.
Beberapa fenomena abstrak atau sifat dari individu dalam suatu teori ilmiah, dapat
dedefinisikan secara konseptual.
Salah satu unsur yang sangat membantu komunikasi antar peneliti adalah
definisi operasional, yang merupakan petunjuk tentang bagaimana suatu variabel
diukur. Penelitian harus terbuka dan dikomunikasikan pada orang lain. Komunikasi
dapat terjalin apabila tidak terdapat kesalahpahaman antara peneliti yang
menyampaikan pesan dengan orang lain yang menerimanya. Untuk menghindari
perbedaan penafsiran dalam penelitian, maka variabel-variabel dalam penelitian harus
didefinisikan sejelas mungkin dalam bentuk definisi operasional. Menurut Kerlinger
(1996:51) definisi operasional melekatkan arti pada suatu konstruk atau variabel
dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk
mengukur konstruk atau variabel itu. Sebagai contoh seorang peneliti memberikan
definisi operasional tentang konstruk konsep diri sebagai tanggapan-tanggapan
tanggapan-tanggapan tertentu pada tes membuat gambar, gambar-gambar tersebut akan
mengungkapkan konsep diri bagi objek yang bersangkutan. Dengan demikian konsep
diri tersebut akan terungkap pada tanggapan-tanggapan objek pada tes membuat
gambar.
Definisi operasional mengatasi kesulitan melakukan pengukuran terhadap
definisi konseptual karena bangunan variabel yang hendak diukur masih berada
dalam pikiran peneliti. Dalam definisi operasional, peneliti mengeluarkan konsep
variabel dalam pikirannya ke dalam definisi yang memungkinkan semua pengamat
dapat melakukan pengamatan terhadap variabel dengan pengertian yang sama, karena
dengan jelas menyatakan cara pengukuran dan alat ukurnya. Oleh sebab itu, definisi
opersional adalah definisi yang dibuat berdasarkan definisi konseptual yang
merupakan pernyataan mengenai variabel, cara pengukuran dan alat ukur yang
digunakan.
Definisi operasional dibutuhkan dalam rangka mengukur suatu konstruk.
Definisi operasional ini dilakukan dengan menyatakan secara tegas dan rinci
observasi-observasi mengenai petunjuk-petunjuk perilaku yang mengisyaratkan suatu
konstruk. Dalam pengukuran kuantitatif petunjuk tersebut diterangkan dalam bentuk
bilangan. Bilangan atau besaran-besaran disubstitusikan menggantikan
petunjuk-petunjuk dan dianalisis secara statistik. Sebagai contoh seorang peneliti ingin
menyelidiki relasi antara kecerdasan dengan kejujuran. Mereka menetapkan definisi
Kejujuran didefinisikan secara operasional sebagai observasi dalam situasi buatan
yang memungkinkan siswa untuk curang atau tidak curang. Bilangan kecerdasan
yang diberikan pada siswa-siswa dapat berupa banyaknya soal yang dijawab dengan
benar dalam suatu tes. Serangkaian bilangan kejujuran yang diberikan pada
siswa-siswa adalah dengan menghitung intensitas siswa-siswa berbuat curang disaat dikondisikan
ada kesempatan untuk berbuat curang.
Dalam pengukuran terdapat beberapa postulat. Postulat merupakan asumsi yang
dibuat sebelum dilakukan perhitungan. Terdapat tiga postulat dasar dalam
pengukuran, yaitu:
a. x= y atau x≠ y, tetapi keduanya tidak dapat terjadi secara bersamaan atau
dalam waktu yang sama.
b. Jika x= y dan y= z maka x= z, hal ini berarti jika satuan pengukuran
pertama dari populasi mempunyai nilai yang sama dengan satuan
pengukuran yang kedua, dan satuan pengukuran yang kedua sama dengan
satuan pengukuran yang ketiga dalam populasi yang sama, maka satuan
pengukuran pertama mempunyai nilai yang sama dengan satuan pengukuran
yang ketiga.
c. Jika x lebih besar dari y dan y lebih besar dari z, maka x lebih besar dari z ,
hal ini berarti jika satuan pengukuran pertama dari populasi mempunyai
nilainya lebih besar dari satuan pengukuran yang kedua, dan satuan
ketiga dalam populasi yang sama, maka satuan pengukuran pertama
mempunyai nilai yang lebih besar dari satuan pengukuran yang ketiga.
Postulat pertama sangat penting digunakan dalam pengklasifikasian atau
pengkategorian item. Item satu sama dengan item lainnya jika keduanya berada dalam
satu himpunan yang sama. Dalam pengukuran, kata ”sama” bukan berarti identik atau
sama dengan. Kata ”sama” dapat berarti ”secara cukup dapat dikategorikan ke dalam
kelas yang sama”. Sebagai contoh mahasiswa dalam sebuah unuversitas akan
dikategorikan berdasarkan kuliah yang diambil. Juan dan Jose keduanya mengambil
kuliah farmasi, jadi mereka akan dikategorikan ke dalam kelas yang sama. Supaya
pengukuran dapat dilakukan maka norma atau kriteria yang diklasifikasikan harus
memenuhi kondisi pada postulat pertama. Sedangkan postulat kedua memungkinkan
peneliti untuk menentukan kesamaan item dalam suatu karakteristik.
Hampir semua pengukuran psikologi dan pendidikan menggunakan postulat ke
tiga. Postulat tersebut memungkinkan peneliti untuk membuat peringkat atau tata
jenjang dari suatu pernyataan, misalnya ”a lebih pandai dari pada b, b lebih pandai
dari pada c, oleh karena itu a lebih pandai dari pada c”.
Hasil pengukuran akan berada pada salah satu tingkat atau skala pengukuran
(level of measurement) menurut kompleksitasnya. Menurut Friedenberg skala hasil
pengukuran memiliki dua manfaat penting yaitu skala pengukuran menentukan
kualitas informasi yang didapat tentang testi atau subjek yang dites dan skala
tes. Dalam pengukuran psikologis, dikenal beberapa macam skala pengukuran
sebagai berikut:
a. Skala Nominal
Skala pengukuran yang paling rendah adalah skala nominal. Dalam skala
nominal, bilangan-bilangan yang diberikan pada objek-objek merupakan
bilangan yang tidak memiliki arti kuantitatif, bilangan-bilangan tersebut tidak
dapat diurutkan, ditambahkan atau dijumlahkan. Bilangan-bilangan tersebut
hanyalah label seperti huruf yang digunakan untuk memberi label pada
himpunan. Jika individu atau kelompok diberi bilangan 1, 2, 3, ...,
bilangan-bilangan tersebut hanyalah sekedar nama. Contoh pengukuran berskala
nominal yang sederhana telah diungkapkan dalam gambar 2.1. Di dalam
contoh tersebut, himpunan A yang beranggotakan lima orang dengan
mengikuti aturan: jika x laki-laki diberi satu bilangan 1 dan jika x perempuan
maka bilangan 0, dipetakan dengan himpunan B=
{ }
0,1 .b. Skala Ordinal
Pengukuran ordinal mensyaratkan bahwa objek-objek dalam suatu himpunan
dapat disusunkan atau diurutkan peringkatnya berdasarkan ciri atau sifat yang
telah didefinisikan. Sebagai contoh misalkan deretan bunga yang telah
tersusun menurut kualitas keharumannya, yaitu mawar, melati, anggrek, dan
cempaka. Tidak diketahui seberapa lebih harumnya mawar dibanding melati.
Oleh karena itu dapat diberikan urutan kuantitatif sebagai berikut:
Mawar 1
Melati 2
Anggrek 3
Cempaka 4
Sifat transitif harus dipenuhi oleh skala ordinal, jika a lebih besar dari b dan b
lebih besar dari c, maka a lebih besar dari c. Sebagai contoh jika mawar lebih
harum dari pada melati dan melati lebih harum daripada anggrek maka mawar
lebih harum daripada anggrek. Bilangan-bilangan ordinal hanyalah
menunjukkan urutan peringkat. Bilangan-bilangan tersebut tidak
menunjukkan kuantitas absolut dan juga tidak memberikan petunjuk bahwa
interval-interval antara setiap dua bilangan itu sama. Misalnya, jika ada dua
objek yang masing-masing mempunyai peringkat 8 dan 5, dan dua objek lain
mempunyai peringkat 6 dan 3, maka tidak dapat dikatakan bahwa perbedaan
antara dua anggota pasangan pertama sama dengan perbedaan antara dua
anggota pasangan yang kedua tersebut.
c. Skala Interval
Pada dasarnya, skala interval memiliki ciri-ciri skala nominal dan skala
ordinal, khususnya ciri penyusunan urutan atau peringkat objek-objek dalam
suatu himpunan. Perbedaan bilangan dalam skala interval menunjukkan
interval dapat dikenai operasi penjumlahan dan pengurangan. Skala nominal
tidak memiliki harga nol mutlak. Bilangan-bilangan dalam skala interval
memberikan petunjuk bahwa jarak atau interval antara setiap dua bilangan itu
sama. Sebagai contoh data yang berada pada tingkat interval adalah hasil
pengukuran suhu pada termometer. Bilangan-bilangan pada termometer
memperlihatkan urutan dan kadar suhu yang berinterval sama sehingga dapat
dikatakan bahwa 36 C adalah 0 6 lebih panas daripada 0 30 C, sedangkan 0
0
12 C adalah 6 lebih dingin daripada 0 18 C. Mekipun demikian tidak dapat 0
dikatakan bahwa 36 C adalah tiga kali lebih panas daripada 0 12 C. 0
d. Skala Rasio
Skala pengukuran yang tertinggi adalah hasil pengukuran yang berskala rasio.
Skala rasio pada dasarnya adalah skala interval yang memiliki harga nol
mutlak, artinya harga nol pada skala ini menunjukkan bahwa atribut yang
diukur sama sekali tidak terdapat pada objek yang bersangkutan. Data
berskala rasio dapat dikenai keempat operasi hitung (penjumlahan,
pengurangan, perkalian, pembagian) dan bersifat invariant ketika dikenai
transformasi dengan rumusan Y =cX dengan c sebagai suatu bilangan
konstanta. Bilangan-bilangan pada skala menunjukkan besaran sesungguhnya
dari sifat yang diukur. Seandainya terdapat suatu skala rasio untuk berat
yang mempunyai berat 60 kg pada skala tersebut, mempunyai berat yang dua
kali lebih besar daripada siswa yang beratnya 30 kg.
Variabel yang berskala interval dan rasio merupakan variabel kontinu,
sedangkan variabel yang berskala nominal dan ordinal merupakan variabel diskrit.
2. Alat Ukur
Dalam rangka pengumpulan data, pengukuran dilakukan dengan menggunakan
alat ukur atau instrumen. Alat ukur dalam sebuah penelitian harus tepat mengukur
keadaan yang hendak diukurnya. Dalam ilmu alam pengumpulan data tentang suhu
badan dilakukan melalui pengukuran menggunakan termometer yang menjadi alat
ukurnya. Data berat badan dikumpulkan dengan menimbang menggunakan
timbangan, jarak diukur menggunakan mistar, dan sebagainya. Hal yang sama
berlaku dalam ilmu sosial dan pendidikan. Sebuah alat ukur harus tepat mengukur
keadaan yang diukurnya. Misalnya, alat ukur motivasi belajar harus tepat mengukur
motivasi belajar.
Alat ukur yang digunakan dalam pengukuran haruslah telah memiliki aturan
yang baku dan standar. Dalam ilmu alam telah banyak alat ukur yang baku seperti
meteran, timbangan, termometer, arloji dan sebagainya. Dalam penelitian sosial
belum banyak alat ukur yang telah dibakukan. Oleh sebab itu maka peneliti harus
terlebih dahulu membakukan alat ukur yang akan digunakannya untuk pengumpulan
Alat ukur sangat berhubungan dengan variabel yang hendak diukur.
Berdasarkan perlu-tidaknya pembakuan alat ukur untuk mengukur, variabel dibagi
menjadi variabel faktual dan variabel konseptual . Variabel faktual adalah variabel
yang terdapat dalam faktanya. Karena bersifat faktual, maka bila terdapat kesalahan
dalam data, kesalahan tidak terletak pada alat ukur tetapi pada responden, misalnya
responden memberikan respon secara tidak jujur. Alat ukur untuk mengukur variabel
faktual tidak perlu dibakukan. Beberapa contoh variabel faktual misalnya jenis
kelamin, agama, pendidikan, usia asal sekolah, pekerjaan, status perkawinan, asal
tempat tinggal, dan sebagainya.
Variabel koseptual adalah variabel yang tidak terlihat dalam fakta tetapi
tersembunyi dalam konsep. Karena tersembunyi dalam konsep, maka kesalahan data
dapat disebabkan oleh kesalahan konsep pada alat ukur yang digunakan. Kesalahan
data variabel kecerdasan, misalnya, kemungkinan disebabkan oleh alat ukur
pengumpulan data kecerdasan yang salah konsep. Untuk memastikan alat ukur tidak
salah konsep, maka sebelum digunakan untuk mengukur variabel konsep, alat ukur
harus dibakukan terlebih dahulu. Beberapa contoh variabel konsep antara lain
motivasi belajar, minat menjadi guru, prestasi belajar, kecerdasan, bakat musik,
konsep diri, dan sebagainya.
Alat ukur juga berhubungan dengan penampilan variabel yang hendak diukur.
Berdasarkan penampilan ketika hendak diukur, variabel dapat digolongkan menjadi
dua yaitu variabel yang menunjukkan performansi maksimal dan yang menunjukkan
datanya responden didorong untuk menunjukkan penampilan maksimalnya. Dari
penampilan maksimal dapat diketahui keberadaan variabel tersebut pada responden.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur performansi maksimal adalah berupa tes.
Beberapa contoh variabel performansi maksimal antara lain kreativitas, bakat,
prestasi belajar, potensi akademik, kemampuan verbal, penguasaan bahasa, Inggris
dan sebagainya. Dalam pengumpulan data variabel maksimal, responden didorong
untuk menunjukkan penampilan maksimal dalam merespon tes, sehingga diketahui
tingkat kreativitasnya, bakatnya, prestasi belajarnya, dan sebagainya. Alat ukur yang
digunakan misalnya tes bakat, tes kreativitas, tes prestasi belajar, tes potensial
akademik, dan sebagainya. Variabel tipikal adalah variabel yang dalam pengumpulan
datanya responden tidak didorong untuk menunjukkan penampilan maksimal, tetapi
lebih didorong untuk malaporkan secara jujur keadaan dirinya dalam variabel yang
diukur. Beberapa contoh variabel tipikal antara lain minat menjadi guru, motivasi
belajar, tipe kepribadian, dan sebagainya. Untuk mengukur variabel-variabel ini,
responden lebih didorong untuk merespon butir-butir pada alat ukur sesuai keadaan,
pengalaman, perasaan, dan pikirannya. Alat ukur yang digunakan untuk
mengumpulkan data variabel tipikal adalah alat ukur notes.
Alat ukur pengumpulan data, baik berupa tes maupun nontes, berdasarkan
pelaksaannya pengukurannya dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu pengamatan,
wawancara, tertulis dan dokumentasi.
Dalam penelitian sosial dan pendidikan, pengumpulan data dilakukan dengan
diperlakukan sebagaimana yang harus dipenuhi oleh alat ukur baku dalam ilmu alam
seperti mistar, neraca, stopwatch, termometer, dan sebagainya. Terdapat dua syarat
psikometris yang harus dipenuhi oleh sebuah alat ukur yaitu validitas dan reliabilitas.
Validitas adalah kemampuan yang dimiliki oleh sebuah alat ukur untuk
mengukur secara tepat keadaan yang diukur. Sebagai contoh, misalnya, timbangan
adalah alat ukur yang valid untuk mengukur berat, tetapi tidak valid untuk mengukur
jarak. Begitu pula dalam pendidikan, tes prestasi belajar matematika bukan alat ukur
yang valid untuk mengukur sikap terhadap mata pelajaran matematika, sebab tes
prestasi belajar bukan alat ukur yang tepat untuk mengukur sikap terhadap
matapelajaran. Alat ukur juga harus memenuhi syarat reliabilitas. Reliabilitas
berhubungan dengan tingkat kepercayaan alat ukur. Alat ukur dapat dipercaya apabila
memberikan hasil pengukuran yang relatif stabil dan konsisten. Pengukuran terhadap
suatu keadaan yang sama, pada responden yang sama, dan diukur menggunakan alat
ukur yang sama seharusnya menghasilkan data yang sama.
C. Konsep Skor
Performansi subjek, yang diungkap oleh suatu skala pengukuran atau tes
psikologis, dinyatakan dalam bentuk bilangan yang disebut skor (scores). Skor tidak
lain daripada nilai suatu jawaban terhadap pertanyaan dalam tes. Skor ini merupakan
skor perolehan (obtained score atau observed score) yang selanjutnya disebut
Disamping itu, bagi setiap subjek yang mendapatkan skor tampak X, ada pula
skor lain yang merupakan skor susungguhnya. Skor sesungguhnya merupakan
bilangan performansi yang benar, murni dan tidak pernah dapat diketahui besarnya
oleh karena tidak dapat diungkap secara langsung oleh tes. Skor sesungguhnya (
true-scores) selanjutnya disebut skor-murni dan dilambangkan oleh huruf T. Skor
sesungguhnya merupakan skor harapan teoritik apabila orang sama dikenai tes yang
sama berulangkali dan pengulangan tes dilakukan tidak terbatas banyaknya.
E(X)=T (2.1)
Dalam suatu penelitian besarnya populasi tidak dapat diketahui, sehingga tidak
dapat dihitung besarnya skor murni dalam tes. Oleh karena itu, kita hanya dapat
menduga besarnya skor murni dengan menggunakan rata-rata sampel
n
X X
X X
T = 1+ 2 + 3+L+ n
Dimana X1,X2,X3,LXn adalah skor tampak dalam tes hari 1, 2, ...., n, yang diperoleh dari subjek yang sama dan dengan tes yang sama dilakukan berulangkali
sampai n hari.
Dalam setiap hasil pengukuran terdapat pula galat (error) yang besarnya bagi
setiap subjek dalam setiap tes juga tidak dapat diketahui. Galat pengukuran ini
disimbolkan dengan huruf E. Dalam teori skor-murni klasik, galat dalam pengukuran
adalah penyimpangan skor-tampak dari skor-murni atau skor harapan teoretik yang
terjadi secara random.
T X
E = −
(2.2)
Contoh 2.3.1:
Andaikan diperoleh skor tes salah satu mahasiswa Universitas Sanata Dharma,
mengenai pemahaman efektivitas kerja, yaitu sebagai berikut
Tabel 2.1
Skor Tes Efektivitas Kerja
Nomor item
Tes hari
ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 X
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 11 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 10 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 9 5 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 8 6 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 7 7 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 8 8 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 7 9 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 8 10 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 7
Skor tampak pada Andi ditunjukkan dengan X, nilai 1 untuk jawaban benar,
sedangkan nilai 0 untuk jawaban salah. Sebagai contoh skor tampak yang diperoleh
pada tes hari pertama adalah 12. Skor murni dapat diduga dari perhitungan rata-rata
skor tampak
7 . 8 10
7 8 7 8 7 8 9 10 11 12
3 2 1
= + + + + + + + + + =
+ + + + =
T
n
X X
X X
T L n
Dengan demikian diperoleh skor murni adalah 8.7, sedangkan galat dalam
T X
E = −
Sebagai contoh galat pengukuran hari ke-9 adalah 1.6
3 . 0 7 . 8 8− =
= −
= X T
E
Mengenai hubungan antara skor-tampak, skor-murni dan galat pengukuran,
Allen dan Yen menguraikan berlakunya beberapa asumsi sebagai berikut:
Asumsi 1: X =T +E
Asumsi ini mengatakan bahwa sifat aditif berlaku bagi hubungan antara
skor-tampak, skor-murni, dan galat. X adalah jumlah skor-murni T dan galat E. Besarnya
skor-tampak X akan tergantung antara lain pada besarnya galat pengukuran E,
sedangkan besarnya skor-murni individu pada setiap pengukuran yang sama,
diasumsikan tetap.
Andaikan dapat diketahui skor IQ Budi yang sesungguhnya adalah Tiq=104,
sedangkan pada suatu tes IQ dia memperoleh skor Xiq=110, maka pengukuran yang
dilakukan oleh tes tersebut terhadap Budi mengandung galat sebesar E = +6. Bila
pada kesempatan lain Budi dites kembali dengan tes yang sama dan sekarang
hasilnya ternyata adalah Xiq= 103, maka pada pengukuran mengandung galat
pengukuran yang ke dua sebesar E = -1.
Asumsi 2: E
( )
X =TAsumsi ini menyatakan bahwa skor-murni T merupakan nilai harapan X
teoretik skor X apabila orang yang sama dikenai tes yang sama berulangkali dengan
asumsi pengulangan tes itu dilakukan tidak terbatas banyaknya dan setiap
pengulangan tes saling bebas.
Dari ilustrasi di atas, dikatakan bahwa skor-murni IQ Budi sebesar Tiq=104
merupakan rata-rata teoritik atau E
( )
Xiq dari skor tampak Budi, andai ia ditesberulangkali sampai tak terbatas banyaknya (dengan asumsi tidak ada pengaruh
kelelahan dan hasil tes yang satu tidak saling mempengaruhi dengan hasil lain).
Asumsi 3: ρet =0
Dalam pengukuran ρ didefinisikan sebagai korelasi populasi dan diduga
dengan r korelasi sampel. Menurut asumsi ini, bagi populasi subjek yang dikenai tes,
distribusi galat pengukuran E dan distribusi skor murni T tidak berkorelasi.
Implikasinya adalah bahwa skor-murni yang tinggi tidak akan mempunyai galat yang
selalu positif atau selalu negatif. Hal yang serupa juga berlaku bagi skor-murni yang
rendah, skor murni yang rendah tiadak akan cenderung mengandung galat yang selalu
positif atau selalu negatif.
Asumsi 4: 0
2 1e =
e
ρ
Bila E1 melambangkan galat pada pengukuran atau tes pertama dan E2
melambangkan galat pada tes yang ke dua maka asumsi ini menyatakan bahwa galat
pengukuran pada dua tes yang berbeda yaitu E1dan E2, tidak berkorelasi satu sama
Seorang subjek yang skornya pada tes pertama mengandung galat besar, tidak
berarti akan mempunyai galat yang besar pula pada tes yang ke dua. Asumsi ini
berlaku dengan pengertian bahwa pada tes yang ke dua tidak terjadi pengaruh
kelelahan, pengaruh latihan, dan semacamnya. Adanya faktor-faktor luar yang secara
sistematik sama mempengaruhi kedua tes akan menyebabkan adanya korelasi antara
galat dari kedua tes yang bersangkutan.
Asumsi 5: 0
2 1t =
e
ρ
Asumsi ke lima mangatakan bahwa galat pada suatu tes(E1) tidak berkorelasi
dengan skor-murni pada tes lain (T2). Asumsi ini tidak akan bertahan apabila tes yang
ke dua mengukur aspek yang mempengaruhi galat pada pengukuran yang pertama.
Berdasarkan teori s