• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT HUKUM ADAT KEBIJAKAN KRIMINAL DAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM PENEGAKAN UU NO. 35 TAHUN 2009 DAN UU NO. 5 TAHUN 1997 DI BENGKULU PERBANDINGAN LEGALITY PRINCIPLE DAN THE LAW ENFORCEMENT AGENCIES AND OTHER ACTORSINSTITUTION IN THE CRIMINAL PROCEDURE D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MASYARAKAT HUKUM ADAT KEBIJAKAN KRIMINAL DAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM PENEGAKAN UU NO. 35 TAHUN 2009 DAN UU NO. 5 TAHUN 1997 DI BENGKULU PERBANDINGAN LEGALITY PRINCIPLE DAN THE LAW ENFORCEMENT AGENCIES AND OTHER ACTORSINSTITUTION IN THE CRIMINAL PROCEDURE D"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Edisi 26, APRIL 2014 ISSN 1412-9639

JURNAL ILMIAH

K U T E I

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG SAHAM DI PASAR MODAL

MELALUI PENGEMBANGAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE

PENINGKATAN BUDAYA HUKUM TENTANG PENDAFTARAN HAK CIPTA

BAGI PENGERAJIN BATIK BASUREK DI KOTA BENGKULU

INKONSISTENSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PERLINDUNGAN HAK ATAS TANAH

MASYARAKAT HUKUM ADAT KEBIJAKAN KRIMINAL DAN

KEBIJAKAN SOSIAL DALAM PENEGAKAN UU NO. 35 TAHUN 2009 DAN UU NO. 5 TAHUN 1997

DI BENGKULU

PERBANDINGAN LEGALITY PRINCIPLE DAN THE LAW ENFORCEMENT AGENCIES

AND OTHER ACTORS/INSTITUTION IN

THE CRIMINAL PROCEDUREDI INDONESIA DAN NORWEGIA

(2)

Dekan FH Universitas Bengkulu Jurnal Ilmiah Kutei diterbitkan oleh Fakultas Huk media komunikasi dalam pengembangan

diterbitkan 2 (dua) kali setahun yaitu penelitian dan artikel konseptual. maksimal 20 halaman dengan spasi

penulisan. Redaksi berhak mengubah naskah sepanj

JURNAL ILMIAH KUTEI

Penanggung Jawab Dekan FH Universitas Bengkulu

Wakil Penanggung Jawab

Pembantu Dekan 1 FH Universitas Bengkulu

Pimpinan Redaksi Jalan Raya Kandang Limun Kota Bengkulu

Telp 0736 20653, 21184

DITERBITKAN OLEH BADAN PENERBIT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU

tkan oleh Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dimaksudkan sebagai pengembangan ilmu hukum dan ilmu-ilmu sosial. Jurnal

setahun yaitu April dan September. Redaksi menerima konseptual. Naskah dikirim kepada redaksI minimal 8

dengan spasi 1,5 , disertai biodata penulis dan memgikuti k mengubah naskah sepanjang tidak mengubah subtansi tulisan.

(3)

PENGANTAR REDAKSI

Pada edisi 26, April 2014 ini cukup banyak penulis yang berpartisipasi untuk mempublikasikan pemikiran konseptualnya maupun hasil penelitiannya. Namun dalam Jurnal Ilmiah Kutei edisi ini tulisan yang ditampilkan beragam dan variatif. Dewan redaksi akan menampilkan tulisan hasil penelitian maupun artikel,antara lain: artikel dibidang hukum perdata ekonomi maupun dibidang agraria serta taklah menarik tulisan dibidang hukum pidana.

Masalah perlindungan hukum bagi pemegang saham di pasar modal disajikan secara menarik oleh Tito Sofyan, tulisan bagaimana peningkatan budaya hukum tentang pendaftaran Haki bagi pengerajin Batik basurek yang merupak warisan budaya masyarakat Bengkulu disajikan oleh Rahma Fitri di bidang agraria mengenai inkonsistensi peraturan perundangan mengenai hak milik tanah masyarakat hukum adat disajikan oleh Hamdani Ma’akir. Dalam tulisan edisi April kali ini tulisan dibidang hukum pidana sebanyak tiga tulisan. Masalah kebijkan kriminal dan kebijakan sosial penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika dan

psikotropika di kemukan oleh Noeke Sri Wardhani, kajian perbandingan mengenai prinsip dasar penegakan hukum antara Negara Indonesia dan Norwegia dikemukan oleh Ria Anggraeni serta taklah menarik tulisan yang diketengahkan oleh Herlita Eryke mengenai alternatif pidana perampasan kemerdekaan dalam hukum positif Indonesia saat ini.

Demikian pengantar redaksi, selamat membaca dan berdiskusi.

(4)

DAFTAR ISI

REDAKSI JURNAL KUTEI i

DAFTAR ISI ii

PENGANTAR REDAKSI ii

Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Saham Di Pasar Modal

Melalui PengembanganGood Corporate Governance Dr.Tito Sofyan,S.H.M.S.

1-14

Peningkatan Budaya Hukum

Tentang Pendaftaran Hak Cipta Bagi

Pengerajin Batik Basurek Di Kota Bengkulu Rahma Fitri,S.H.M.H.

15-25

Inkonsistensi Peraturan Perundangan-Undangan Dalam Perlindungan Hak Atas Tanah

Masyarakat Hukum Adat

Hamdani Ma’akir,S.H.M.Hum,Dr Emelia Kontesa,S.H.M.Hum

26-38

Kebijakan Kriminal dan Kebijakan Sosial Dalam Penegakan UU No. 35

Tahun 2009 dan UU No.5 Tahun Di Bengkulu Noeke Sri Wardahani,S.H.M.Hum

39-55

Perbandingan Legality Principle Dan The Law Enforcement Agencies

And Other Actors/Institution

In The Criminal Procedure Di Indonesia Dan Norwegia Ria Anggraeni Utami,S.H.M.H.

56-67

Non Custodial Sanction Dalam Hukum Positif Indonesia Herlita Eryke,S.H.M.H.

(5)

KETENTUAN PENULISAN

1. Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik 1,5 spasi pada kertas kuarto, panjang tulisan 8-25 halaman, diserahkan dalam bentuk print outdan CD , diketik dengan menggunakan Ms Word

2. Artikel ditulis menggunakan Bahasa Indonesia atau Inggris dengan standar bahasa yang baik dan benar

3. Artikel berupa tulisan ilmiah hukum maupun humaniora lainnya, baik yang berasal dari hasil penelitian atau artikel ilmiah konseptual tentang hukum dan ilmu humaniora lainnya 4. Artikel yang berasal dari hasil penelitian/tesis/disertasi disajikan dengan sistematika

sebagai berikut : (a) Judul, (b) Nama Penggarang, (c) Abstrak (dalam Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris), (d) Pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan), (e) Metode Penelitian, (f) Hasil Penelitian dan Pembahasan,

(g) Kesimpulan dan Saran, (h) Daftar Pustaka.

5. Artikel ilmiah konseptual disajikan dengan sistematika sebagai berikut : (a) Judul, (b) Nama Penggarang, (c) Abstrak (dalam Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris), (d) Pendahuluan, (e) Pembahasan, (f) Kesimpulan, (g) Daftar Pustaka

6. Daftar Pustaka/sumber (teks books/jurnal/majalah/makalah) disajikan secara alpebatis 7. Setiap kutipan harus menyebutkan sumbernya secara lengkap dan jelas, dengan

menggunkan system end noteatau foot note

8. Dewan redaksi berhak menggubah naskah, sepanjang tidak mengubah subtansi tulisan, redaksi berhak menolak tulisan yang disampaikan dalam hal tulisan tidak memenuhi

ketentuan penulisan

9. Tulisan/artikel untuk edisi April diserahkan pada pengelola Jurnal ilmiah kutei paling lambat tanggal 20 Maret sedangkan untuk Edisi September diterima oleh pengelola Jurnal Ilmiah Kutei paling lambat tanggal 20 Agustus.

BAGI PEMBACA YANG BERMINAT BERLANGGANAN DAPAT MENGHUBUNGI TATA USAHA

(6)

50.000,-26

Inkonsistensi Peraturan Perundangan-Undangan

Dalam Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Oleh :

Hamdani Ma’akir dan Emelia Kontesa.1

ABSTRAK

Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi Inkonsistensi dapat terjadi peraturan perundang-undangan dalam perlindungan hak atas tanah Masyarakat hukum adat baik secara vertikal maupun horizontal. dengan type penelitian yuridis normatif, dengan Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Permasalahan dalam penelitian ini: 1).Bagaimanakah bentuk inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum adat ?; 2).Bagaimanakah analisis hukum terhadap inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum adat ? hasil penelitian menunjukkan bahwa: Bentuk Inkonsistensi Peraturan perundang-undangan Dalam Perlindungan Hak atas tanah masyarakat Hukum Adat dimulai dari Pemahaman yang keliru tentang masyarakat Hukum adat, bermula terjadinya inkonsitensi perumusan bahasa atau kejelasan istilah terhadap hak-hak atas tanah. Belum dilakukan upaya komprehensif dari lembaga legislatif untuk uji materil semakin menjumbuhkan persoalan yang berujung pada ketidakpastian hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah. Terhadap inkonsistensi vertikal dapat dilakukan dengan menempuh jalan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam produk hukum terjadi “ambiguitas” pengaturan,dan“inkonsistensi” pengaturan, yang berimplikasi terjadinya conflict

of norm, solusinya digunakan terhadap inkonsistensi horizontal adalah asasLex posterior derogat legi priori ( hukum yang terbaru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama (prior) dan asas “Lex specialis derogat legi generali “(penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Kata Kunci : inkonsistensi, perlindungan , hak Masyarakat hukum adat

A.PENDAHULUAN

Istilah "Masyarakat Hukum Adat" dan "Hak Ulayat" untuk pertama kali digunakan

oleh Pembuat Undang-undang pada 1960 dalam UUPA, tepatnya pada Pasal 3. Inti dari Pasal 3

adalah bahwa pelaksanaan Hak Ulayat atau hak-hak serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat

harus sesuai dengan kepentingan bangsa dan Negara. Mengenai apa yang dimaksud

dengan"Masyarakat Hukum Adat" tidak ada penjelasan baik dalam Pasal 3 maupun Penjelasan

Umum/Khusus yang merupakan tafsir resmi dari Pembuat Undang-undang. Istilah Hak Ulayat

dimaksud adalah apa yang selama ini dikenal sebagai "beschikkingsrecht" dalam kepustakaan

hukum Adat.

(7)

27

Sebenarnya istilah "Masyarakat Hukum Adat" dan"Hak Ulayat" dalam UUPA itu masih

menimimbul pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah persekutuan masyarakat yang merupakan

penduduk asli setempat selalu bisa diartikan sama dengan "Masyarakat Hukum Adat", apakah

hak-hak yang mereka miliki selalu dapat ditafsirkan sama dengan "Hak Ulayat"? Pembuat

UUPA sendiri tidak menyediakan jawaban dalam tafsir resminya yang termuat dalam Penjelasan

Umum/Khusus. Demikian juga dengan semua tanah dan sumber-sumber agraria yang dikuasai

secara bersama-sama dalam kelompok dianggap sebagai tanah-tanah Hak Ulayat. Sehingga

ketika di dalam masyarakat dikenal dengan nama yang berbeda (seperti di Bengkulu: dikenal

dengan nama tanah Marga; tanah Kaum) seolah-olah tidak terakomodir dalam istilah yang

dirumuskan undang-undang), sehingga pemahaman pemerintahpun berbeda dan hal ini

berpengaruh langsung terhadap perlindungan hukumnya.

Berdasarkan Penjelasan UUPA angka II Pembuat Undang-undang menyatakan

bahwa...berhubung dengan yang disebutnya hak ulayat dalam UUPA yang pada hakikatnya

berarti pula pengakuan hak itu maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan sepanjang

hal tersebut menurut kenyataanya masih ada masyarakat hukum yang bersangkutan. di atas

tanah-tanah Hak Ulayat itu Pemerintah berwenang menerbitkan hak-hak baru seperti Hak Guna Usaha2.

ekonomi).

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 huruf I ayat (3) undang-undang Dasar NegaraTahun 1945 :

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”

Dari pernyataan tersebut disatu sisi sudah mulai ada upaya pemerintah untuk menguatkan

kembali pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dengan istilah “masyarakat tradisional”.

Pengakuan tersebut belum menyelesaikan berbagai persoalan pengaturan terhadap perlindungan

hak atas tanah masyarakat hukum adat. Faktanya masih terdapat inkonsistensi pengaturan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang kedudukannya berada di bawah

Undang-undang Dasar. Seperti Undang-Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Kedua undang-undang di atas merupakan contoh inkonsistensi pengaturan hak atas tanah

masyarakat hukum adat. Masih ada lagi peraturan perundang-undangan lainnya yang akan

(8)

28

peraturan perundangan di Indonesia, pengaturan tentang hak masyarakat adat dilakukan secara

sektoral. Akibatnya, masing-masing undang-undang sektoral mencantumkan pengaturan tentang

masyarakat adat menurut kepentingannya masing-masing, termasuk Undang-undang Nomor. 18

Tahun 2004 Tentang Perkebunan, Inkonsistensi pengaturan hak atas tanah masyarakat adat

terkesan memposisikan masyarakat hukum adat sebagai objek yang dikorbankan. Situasi ini

sesungguhnya tidak sesuai dengan landasan falsafah bangsa Pancasila, guna mengatasi persoalan

tersebut saat ini sudah disusun rancangan undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan

Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA), yang rencananya diundangkan pada tahun 2013.

B.PERMASALAHAN

1. Bagaimanakah bentuk inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum adat ?

2. Bagaimanakah analisis hukum terhadap inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat

Hukum adat ?

C.METODE PENELITIAN

Penelitian ini meupakan penelitian hukum normatif drngan pendekatan

perundang-undangan (statute approach), yang dimaksud dengan statute berupa legislasi dan regulasi.

Dengan demikian pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan

legislasi dan regulasi.sedangkan produk yang merupakan beschikking/decree (keputusan pejabat

administrasi ) tidak dapat digunakan dalam pendekatan ini3.

C.Bahan Hukum

1.Bahan Hukum Primer

a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

c). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok Agraria

d). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan e). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

f). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

g). Putusan Mahkamah Konstitusi (Perkara Nomor 21, 22/PUU- V/2007), Tanggal 28 Maret 2008.

2

.Iman Soetiknjo,1987, Proses Terjadinya UUPA, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Hlm 273

3

(9)

29

2. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

seperti RUU, hasil-hasil penelitian, hasil karya dan kalangan hukum dan seterusnya.

3.Bahan Hukum Tertier

Yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum

primer dan sekunder, contohnya: kamus, ensiklopedia dan seterusnya.

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan proses dan langkah-langkah sebagai

berikut:Pengumpulan data/bahan-bahan yang akan diteliti dan yang akan membantu dalam

penelitian, meliputi:

(a)fakta(misalnya rangkaian peristiwa dan/atau perbuatan yang membentuk

masalah atau peristiwa atau objek hukum yang akan diteliti);

(b)norma yang terdapat dalam pasal undang undang, dan berbagai peraturan

perundang-undangan, yurisprudensi atau hukum kebiasaan);

(c)pendapat para ahli.4

E. Metode Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang sudah diperoleh akan diklasifikasikan berdasarkan rumusan

masalah penelitian ini, kemudian dianalisis. Analisis bahan hukum menurut berbagai

cara interpretasi, yaitu; interpretasi gramatikal dan otentik.

D.PEMBAHASAN

A. Bentuk Inkonsistensi Peraturan perundang-undangan Dalam Perlindungan Hak atas tanah masyarakat Hukum Adat

Dalam penelitian ini peraturan perundang-undangan dimaknai setiap keputusan tertulis

yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berlaku dan bersifat umum. Dengan

demikian bentuk dari ilmu pengetahuan perundang-undangan tidak lain adalah

ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis yang bersifat dan berlaku mengikat umum. Bentuk inkonsistensi

dalam peraturan perundang-undangan ditemukan mulai dari:

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan negara yang baik

4

(10)

30

Asas pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) menurut I.C.van der vlies sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S5, membagi a). asas-asas formal( asas tujuan yang jelas; asas organ/lembaga yang tepat;asas perlunya pengaturan; asas dapat dilaksanakan; asas konsensus) dan b). Asas –asas yang material meliputi (asas tentang terminologi dan sistematika yang benar; asas tentang dapat dikenali; asas perlakuan yang sama dalam hukum; asas kepastian hukum; asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu);

Asas inipun dikenal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam Pasal 5 yang

menyatakan:

”Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:a. kejelasan tujuan;b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan”

Pada penjelasan dinyatakan : yang dimaksudkan kejelasan rumusan adalah bahwa setiap

Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan

Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Mencermati asas material yang berkaitan dengan tentang terminologi yng benar, pilihan

kata yang tepat agar tidak menimbulkan pulti tafsir terlihat dalam berbagai ketentuan perundang

–undangan hal ini kurang dicermati oleh para legislator.

Tabel 1

Penggunaan Istilah Hak Masyarakat Hukum adat Dalam Beberapa perundang-undangan Indonesia

masyarakat hukum adatserta hak-hak tradisonalnya

Pasal 28 I ayat (3) hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,Pasal

“Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip... mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adatdan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam

5

(11)

31

4 Huruf J

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Pasal 3

Dengan Mengingat Ketentuan-Ketentuan Dalam Pasal 1 Dan 2 Pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak Yang Serupa Itu Dari Masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, Sepanjang Menurut Kenyataannya Masih Ada Dalam Penjelasan Umum huruf A 1c “rakyat asli “

Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6

1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayatdilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 2 Ayat (9) juga disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pasal 67.

(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adatyang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;

Undang-undang masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. UU Nomor 11Tahun

1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Pertambangan

Pasal 11Pertambangan Rakyat. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai Pertambangan Rakyat dan cara serta syarat-syarat untuk memperoleh Kuasa Pertambangan (Izin) Pertambangan Rakyat diatur dalam Peraturan Pemerintah Rakyat setempat berdasarkan hukum adat dan untuk penghidupan mereka sendiri sehari-hari telah melakukan usaha-usaha pertambangan menurut cara-cara mereka sendiri. Hal ini harus dilindungi dan dibimbing.

Undang Undang Republik Indonesia

Nomor 25 tahun 2007 Tentang

Penanaman Modal Pasal 14

Huruf b

Yang dimaksud dengan 'tanggung jawab sosial perusaham" adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan

. . penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, noma, dan budaya masyarakat setempat.

Pasal 15 Setiap penanam modal berkewajiban:

d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitarlokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan

(12)

32

Lemahnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat

diindikasikan bermula dari ketidakkonsistenan pembentuk peraturan perundang-undangan dalam

merumuskan istilah/ kata dengan jelas sesuai dengan “asas kejelasan rumusan”. Akibatnya

kemudian terjadi multi tafsir dalam menginterpretasikan hak masyarakat hukum adat atas tanah

yang sangat merugikan hak-hak masyarakat hukum adat.

Inkonsistensi pengaturan Perlindungan hak atas tanah Masyarakat Hukum Adat

Pengaturan Perlindungan hak atas tanah Masyarakat Hukum Adat berdasarkan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria disingkat dengan

UUPA dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK),Undang-undang

Nomor 18 tahun 2004TentangPerkebunan (UUP) dapat dijabarkan dalam tabel 2 berikut:

Tabel 2 Serupa Itu Dari Masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, Sepanjang Menurut Kenyataannya Masih Ada, Harus Sedemikian Rupa Sehingga Sesuai Dengan Kepentingan Nasional Dan Negara, Yang Berdasarkan Atas Persatuan Bangsa Serta Tidak Boleh Bertentangan Dengan Undang-Undang Dan Peraturan-Peraturan Lain Yang Lebih Tinggi

Pasal 1 Huruf f Pasal Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat..

Pasal 9

(2) Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum

adat yang menurut

kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib

melakukan musyawarah

dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan,

untuk memperoleh

kesepakatan mengenai

penyerahan tanah dan imbalannya.

Pasal 5

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan

Pasal 5

(2) Hutan negarasebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

Pasal 21

Setiap orang dilarang melakukan pengamanan usaha kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang

(13)

33

sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

a, dapat berupa hutan adat. (3) Pemerintah menetapkan

status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sudah di yudisial revieu ke MK)

Ketidakkonsistenan antara UUPA dengan UUK dari tabel 2 di atas terlihat jelas antara

lain pada hal-hal berikut: Pertama ketika hukum agraria nasional mengakui keberadaan: tanah

yang dikuasai negara, tanah hak ulayat masyarakat hukum adat (meskipun diberbagai

masyarakat disebut dengan nama yang berbeda; Seperti di Propinsi Bengkulu dikenal dengan

nama Tanah Marga; tanah Kaum di Kabupaten Mukomuko) dan tanah hak yang dapat dipunyai oleh subyek hak atas tanah. Selanjutnya dalam Undang-undang Kehutanan justru

timbul keanehan karena apabila membaca materi Pasal 1 dan pasal 5 ayat (1,2dan 3) justru tidak

mengakui hak masyarakat hukum adat namun tiba-tiba pada Pasal 5 ayat (4 ) menyebutkan

masyarakat hukum adat, hutan adat dimasukkan dalam kategori hutan negara.

Menurut Maria Sumardjono6 Pemahaman tentang status hutan tersebut berimplikasi

terhadap dua hal:

Pertama, UUK tidak mengakui keberadaan hutan adat, yang sejatinya merupakan bagian dari hak ulayat MHA. Namun demikian, UUK yang tidak mengakui keberadaan hutan adat itu,

mengakui dan menentukan persyaratan keberadaan MHA; hal ini merupakan suatu kontradiksi

karena UUK tidak mengakui obyeknya (hutan adat) tetapi mengakui keberadaan subyeknya

(MHA) jika memenuhi persyaratan. Jika terjadi sengketa hak ulayat MHA terkait dengan hutan

6

(14)

34

adat, penyelesaiannya menurut UUPA dan UUK akan berbeda. Kedua, terkait status hutan, disebutkan bahwa hutan negara adalah “hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani

dengan hak atas tanah”. Dalam konteks UUPA, tanah yang tidak dibebani dengan hak atas tanah

itu adalah tanah negara (garis bawah oleh penulis). Dengan demikian konsekuensinya adalah: (a)

tanah-tanah di kawasan hutan negara itu sejatinya adalah tanah negara.

2.Analisis hukum terhadap inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum adat

Sering dipersoalkan apakah masih relevan Pengaturan hak atas tanah masyarakat hukum

adat? Sehingga negara diberi tugas untuk memproteksi melalui hukum negara. Sementara itu

didalam perumusannya masih terdapat disana sini kekaburan makna bahkan saling kontradiksi.

Dalam bukunya yang berjudul “Sesat Pikir Politik Hukum Agraria”, Maria Rita Ruwiastuti

mengemukakan pertanyaan apa pentingnya hak-hak adat bagi masyarakat lokal? Betapa tidak

saat kita semua sedang tergila-gila ingin memasuki dunia modern dan berlomba-lomba membeli

pengetahuan (termasuk hukum-hukum) yang canggih tiba-tiba kita diingatkan oleh sesuatu yang

kuno, usang, ketinggalan zaman.7 Ada dua (2) alasan yang dikemukakan: “Pertama;lepas dari cita-cita menuju dunia modern yang ada dibenak kita selama ini, faktanya di negeri ini masih

terdapat kelompok masyarakat lokal. Kedua; Fakta lain yang tidak bisa dipungkiri bahwa belakangan ini kepentingan kelompok-kelompok tersebut sering dikorbankan”.

Secara eksplisit Permenag/Ka BPN Nomor 5 Tahun 1999 mengemukakan kriteria masih

berlangsungnya hak ulayat masyarakat hukum adat berdasarkan pada keberadaan masyarakat

hukum adat yang diakui sebagai subyek hak atas tanah.

Adanya pengakuan dalam bebarapa pasal yang terkandung dalam Permenag/Ka BPN Nomor

5 Tahun 1999 menguatkan eksistensi masyarakat hukum adat/lokal yang secara faktual masih

ada di wilayah nusantara. Selanjutnya perlindungan hak masyarakat adat semakin dikuatkan hal

ini dinyatakan dengan frase “apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai

hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria”. Artinya

persekutuan masyarakat adat sebagai subjek hak atas tanah diakui menurut hukum positif.

Meskipun selama ini hal tersebut belum terrelisasi, faktanya tanah pesekutuan masyarakat adat

(15)

35

mengacu kepada mekanisme memberian HGU dengan cara masyarakat hukum adat melepaskan

haknya, karena tanah diberikan kepada perusahaan perkebunan.

Seharusnya apabila hak masyarakat adat telah diakui eksisitensinya, mereka tidak perlu

melepaskan hak atas tanah, melainkan tanah dapat dijadikan asset masyarakat untuk ikut

bermitra dengan pengusaha perkebunan. Dengan cara ini sebenarnya ekses negatif dapat

dihindari karena baik pemerintah,pengusaha perkebunan serta masyarakat adat diposisikan

sejajar dalam penyelenggaraan usaha perkebunan, dengan kata lain tidak ada pihak yang

dikorbankan.

Akibatnya kemudian pengakuan hak masyarakat adat atas sumber daya alam dalam produk

hukum terjadi “ambiguitas” pengaturan, “inkonsistensi” pengaturan, Implikasi dari

ketidaksinkronan adalah terjadinya conflict of norm, solusinya digunakan asas hierarki untuk

vertikal, sedangkan untuk horizontal digunakan asas Lex posterior derogat legi priori adalah

asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (posterior)

mengesampingkan hukum yang lama (prior). Asas ini biasanya digunakan baik dalam hukum

nasional maupun internasional. dan asas Lex specialis derogat legi generali adalah asas

penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)

mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)8

Terjadi disharmoni antar peraturan perundang-undangan menyebabkan inkonsistensi horizontal disebabkan oleh: Ada 6 (enam) faktor yang menyebabkanxdisharmonixsebagaixberikut: 1. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun Waktufyangfberbeda;

2. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugasvatauvpenggantian;

3.Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding

pendekatan sistem;

4. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang

melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum;

5. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangannmasihnterbatas;

6.Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.9

7

Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Hukum Agraria, (Yogyakarta: INSIST PRESS KPA dan Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 153-155.

8

http://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali akses 22November 2013 pkl,21.35 Wib

9

(16)

36

Akibat nyata dari conflict of normtersebut menimbulkan multi tafsir dalam pengakuan

dan perlindungan hak atas tanah masyarakat hukum adat pengelolaan sumber daya alam sesuai

dengan kepentingan sektor masing-masing. Selanjutnya akan mengakibatkan kecenderungan

eksploitasi Hak atas tanah masyarakat hukum adat dan rusaknya sumber daya alam. Contoh

konkrit terjadinya sengketa tanah antara masyarakat Hukum adat Kaum 14 Kabupaten

Mukomuko dengan pemerintah daerah Kabupeten Mukomuko berkaitan dengan rencana Dinas

Perhubungan ingin melanjutkan pembangunan perluasan bandar Udara Mukomuko. Anak cucu

kaum 14 mengklaim tanah tersebut sebagai tanah leluhur mereka yang harus mereka hormati,

karena di sana terdapatmakam leluhur mereka yang harus mereka jaga. Sehingga mereka

menamakan tanah tersebut tanah pusaka tinggi. Sengketa tanah bandara Mukomuko dengan anak

cucu Kaum 14 hingga saat ini belum terselesaikan.

E.KESIMPULAN

1. Bentuk Inkonsistensi Peraturan perundang-undangan Dalam Perlindungan Hak atas tanah

masyarakat Hukum Adat dimulai dari Pemahaman yang keliru tentang masyarakat Hukum

adat, bermula terjadinya inkonsitensi perumusan bahasa atau kejelasan istilah terhadap

hak-hak atas tanah. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan negara yang baik a).

asas-asas formal ( asas-asas tujuan yang jelas; asas-asas organ/lembaga yang tepat;asas-asas perlunya

pengaturan; asas dapat dilaksanakan; asas konsensus) dan b). Asas –asas yang material

meliputi (asas tentang terminologi dan sistematika yang benar)

2. Terjadi inkonsistensi vertikal terhadap Undang-undang akibat pemahaman yang keliru dan

ego sektoral. Belum dilakukan upaya komprehensif dari lembaga legislatif untuk uji materil

semakin menjumbuhkan persoalan yang berujung pada ketidakpastian hak-hak masyarakat

hukum adat atas tanah. Terhadap inkonsistensi vertikal dapat dilakukan dengan menempuh

jalan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam produk hukum terjadi “ambiguitas”

pengaturan,dan“inkonsistensi” pengaturan, yang berimplikasi terjadinya conflict of norm,

solusinya digunakan asasLex posterior derogat legi priori( hukum yang terbaru (posterior)

mengesampingkan hukum yang lama (prior) dan asas “Lex specialis derogat legi generali

“(penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)

(17)

37

Daftar Pustaka

B.Hestu Cipto Handoyo,2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik,

Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Depdiknas, 1990 Kamus Besar Bahasa Indnesia, Jakarta PN. Balai Pustaka.

Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, 2010 Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Salemba Humanika.

Hilman Hadikusuma, 2003.Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung.

Iman Soetiknjo,1987, Proses Terjadinya UUPA, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007,Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat

Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM Pres, cetakan 1, Edisi 2.

Lily Rasjidi1988, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu, Bandung: Remaja Karya,

Mandar Maju

Maria Rita Ruwiastuti, 2000Sesat Pikir Hukum Agraria,Yogyakarta: INSIST

Maria S.W. Sumardjono, , 2001 Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi,

(Jakarta: Kompas).

Peter Mahmud Marzuki, 2007,Penelitian Hukum, Jakarta. Kencana.

Philipus M.Hadjon.1987,Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT .Bina

Ilmu

Satjipto Rahardjo, 2006,Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jakarta: UKI PRESS,

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Metode Penelitian Normatif, Rajawali,

Jakarta,

Van Vollenhoven, 1983 Orientasi Dalam Hukum Adat IndonesiaJakarta: (Jakarta: Jambatan.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

(18)

38

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Putusan Mahkamah Konstitusi (Perkara Nomor 21, 22/PUU- V/2007), Tanggal 28 Maret 2008.

Internet

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/01/hukum-adat-dalam- erkembangan.html,

diakses tanggal 10 Februari 2011, pk. 10.15 wib

http://www.infogigi.com/PENGANTAR-DAN-ASAS-ASAS-HUKUM-ADAT-INDONESIA.html diakses tanggal 23 Februari 2011, pk. 12.00 wib.

http://www.gudangmateri.com/2010/10/pengertian-hukum-adat-menurut-ahli.html,

diakses tanggal 10 Februari 2011.

hukum-adat-2.html, diakses pada hari Rabu tanggal 8 Maret 2011, pk. 11.00 wib.

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html akses 22November 2013 pkl,21.30 Wib.

http://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali akses 22November 2013

pkl,21.35 Wib

http://www.academia.edu/3559789/Beberapa_Issu_Kritis_Seputar_Pengakuan_Hak-hak_Masyarakat_Adat oleh Yando Zakaria akses16-11-2012 pkl 10-15Wib

http://retnoanggraeni.student.esaunggul.ac.id/pengertian-hak/ akses 24 -11-2013 pkl 10.20

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/01/hukum-adatdalamperkembangan.html, diakses

tanggal 10 Februari 2011, pk. 10.15 wib

http://www.infogigi.com/PENGANTAR-DAN-ASAS-ASAS-HUKUM-ADAT-INDONESIA.html iakses tanggal 23 Februari 2011, pk. 12.00 wib.

(19)

Gambar

Tabel 1Penggunaan Istilah Hak Masyarakat Hukum adat
Tabel 2Inkonsistensi antara UUPA, UUK,UUP

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan dengan yang diteliti adalah Kamilus Jerimianto menggunakan jenis penelitian Analisis Deskriptif dan Analisis korelasi dengan fokus penelitian “Hubungan antara

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Adapun kontribusi yang dilakukan penyuluh agama dalam menyelesaikan perkara sengketa non ajudikasi utamanya dalam rumah tangga yaitu dengan mengajak para pihak

Agni Prasetya Tartib, 2013, Pengaruh Lingkungan Kerja dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Guru pada SMP Pasundan 6 Bandung dan SMK Pasundan 3 Bandung , Jurnal Unikom

juga, sekaligus menjadi kepastian akan hasil-hasil masa depan yang lebih baik buat mereka.. Ketiga , dalam perspektif masa depan, seorang pemimpin harus mampu berperan

[r]

Setelah Midori mengungkapkan tentang keinginannya untuk dicintai oleh kedua orang tuanya, dia pun menyatakan perasaan sukanya terhadap Watanabe. Midori yang jatuh

 Peserta didik mengerjakan beberapa soal dari - dalam buku paket mengenai penentuan koefisien, variabel, konstanta, suku sejenis, dan derajat dari bentuk aljabar, penentuan