• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tandan Kosong Kelapa Sawit

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO-Crude palm oil) dan inti kelapa sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman perkebunan yang memegang peranan penting dalam industri pangan. Produksi kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2011 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya hingga mencapai 22.508.011 ton (BPS 2012). Pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit menghasilkan beberapa jenis limbah padat yang meliputi tandan kosong sawit, cangkang, dan serat mesocarp (Yunindanova et al, 2013).

Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah utama dari industri pengolahan kelapa sawit. Basis satu ton tandan buah segar (TBS) yang diolah akan dihasilkan minyak sawit kasar (CPO) sebanyak 0,21 ton (21%) serta minyak inti sawit (PKO) sebanyak 0,05 ton (5%) dan sisanya merupakan limbah dalam bentuk tandan buah kosong, serat, dan cangkang biji yang jumlahnya masing-masing 23%, 13,5%, dan 5,5% dari tandan buah segar (Anwar, 2008).

Tandan kosong kelapa sawit merupakan sumber bahan organik yang kaya unsur hara N, P, K, dan Mg. jumlah tandan kosong kelapa sawit diperkirakan sebanyak 23% dari jumlah tandan buah segar yang di olah. Dalam setiap ton tandan kosong kelapa sawit mengandung hara N 1,5%, P 0,5%, K 7,3%, dan Mg 0,9% yang dapat digunakan sebagai substitusi pupuk pada tanaman kelapa sawit (Sarwono, 2008). Ketersediaan tandan kosong kelapa sawit di lapangan cukup besar dengan peningkatan jumlah dan kapasitas pabrik kelapa

(2)

6

sawit untuk menyerap tandan buah segar yang dihasilkan (Winarna et al., 2007).

Pada saat ini tandan kosong kelapa sawit digunakan sebagai bahan organik bagi pertanaman kelapa sawit secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung ialah dengan menggunakan tandan kosong sebagai mulsa sedangkan secara tidak langsung dengan mengomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai pupuk organik. Bagaimanapun juga pengembalian bahan organik kelapa sawit ke tanah akan menjaga kelestarian kandungan bahan organik lahan kelapa sawit dan kandungan hara dalam tanah. Selain itu, pengembalian bahan organik ke tanah akan mempengaruhi populasi mikroba tanah secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan dan kualitas tanah (Widiastuti dkk, 2007).

Tandan kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik karena memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman.Tandan kosong kelapa sawit mencapai 23% dari jumlah pemanfaatan limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternatif pupuk organik juga akan memberikan manfaat lain dari sisi ekonomi. Petani perkebunan sawit dapat menghemat penggunaaan pupuk sintesis sampai dengan 50% dari pemanfaatan pupuk organik (Fauzi et al., 2002).

Salah satu potensi tandan kosong kelapa sawit yang cukup besar adalah sebagai bahan pembenah tanah dan sumber hara bagi tanaman. Potensi ini didasarkan pada kandungan tandan kosong kelapa sawit yang merupakan bahan organik dan memiliki kadar hara yang cukup tinggi. Pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan pembenah tanah an sumber hara ini dapat dilakukan dengan cara aplikasi langsung sebagai mulsa atau dibuat menjadi kompos (Darmosarkoro dkk, 2007). Kandungan hara tandan kosong hasil penelitian dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit dapat dilihat pada tabel 2.1.

(3)

7

Tabel 2.1 Analisa Kandungan Hara Tandan Kosong Kelapa Sawit

C (%) N (%) P (%) K (%) Mg (%) B (%) Cu (%) Zn (%) 42,8 0,80 0,22 2,90 0,30 10 23 51

- Sumber: Darmosarkoro dan Rahutomo (2007)

Tandan kosong kelapa sawit berfungsi ganda yaitu selain menambah hara dalam tanah, juga meningkatkan kandungan bahan organik tanah yang sangat diperlukan bagi perbaikan sifat fisik tanah. Dengan meningkatnya bahan organik tanah maka struktur tanah semakin mantap dan kemampuan tanah menahan air bertambah baik. Perbaikan sifat fisik tanah tersebut berdampak positif terhadap pertumbuhan akar dan penyerapan unsur hara (Ditjen PPHP, 2006).

2.1.1 Permasalahan Pengolahan Tandan Kosong Kelapa Sawit

Tandan kosong kelapa sawit banyak mengandung bahan-bahan organik yang sulit terurai oleh sebab itu diperlukan usaha agar dapat mempersingkat waktu pengomposan sepertiperlakuan fisika (pengurangan ukuran, pemanasan) dan perlakuan kimia (penambahan asam atau basa). Penambahan unsur hara, penambahan inokulum perombak lignin dan selulosa, perbaikan aerasi, pengaturan kelembaban juga merupakan usaha untuk mempersingkat waktu pengomposan (Darmosarkoro dkk, 2007).

Pengomposan tandan kosong kelapa sawit secara alami memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 3 bulan (Darmosarkoro dkk, 2007). Hal ini dipengaruhi oleh kandungan penyusunnya yaitu 45,9% Selulosa, 46,5% hemiselulosa, dan 22,8% lignin. Kandungan penyusun tandan kosong kelapa sawit. ini sukar untuk terdekomposisi (Darmosarkoro dan Winarna, 2007). Untuk itu diperlukan perlakuan khusus dalam pengomposannya seperti penambahan bioaktivator (Ichwan, 2007). Komposisi kimia tandan kosong kelapa sawit dapat dilihat pada tabel 2.2.

(4)

8

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Tandan Kosong Kelapa Sawit.

Komponen Dasar Kering (%)

Selulose 45,95 Hemiselulose 22,84 Lignin 16,49 Abu 1,23 Nitrogen 0,53 Minyak 2,41

Sumber: Darmosarkoro dan Rahutomo (2007)

2.1.2 Pemecahan Masalah Pengolahan Tandan Kosong Kelapa Sawit Salah satu solusi untuk mengatasi masalah limbah tandan kosong kelapa sawit yaitu dengan pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit menjadi kompos yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi. Hal ini didukung dengan semakin meningkatnya permintaan pupuk kompos sebagai salah satu bentuk dari asupan organik bagi tanaman dewasa ini (Refqi et al, 2013).

Tandan kosong kelapa sawit mempunyai kadar C/N yang tinggi yaitu 45- 55. Hal ini dapat menurunkan ketersediaan unsur N pada tanah karena unsur N termobilisasi dalam proses perombakan bahan organik oleh mikroba tanah. Usaha penurunan kadar C/N dapat dilakukan dengan proses pengomposan sampai kadar C/N mendekati kadar C/N tanah. Proses pengomposan tersebut menghasilkan bahan bermutu tinggi dengan kadar C/N sekitar 15 (Darmosarkoro dkk, 2007).

2.2 Limbah Cair Kelapa Sawit (LCPKS)

Salah satu jenis bahan baku pembuatan pupuk organik cair yaitu limbah cair kelapa sawit. Limbah cair kelapa sawit ini memiliki kandungan hara yang cukup tinggi, tidak beracun, dan tidak berbahaya. Setiap tandan buah segar (TBS) kelapa sawit memiliki kandungan hara sebesar 20% dari hasil tandan kosong sawit (TKS). Setiap TKS mengandung unsur N, P, K dan Mg berturut-turut setara dengan 3 kg urea 0,6 kg CRIP (Crop Respon In

(5)

9

Phospor), 12 kg MOP (Muriat Of Photas), dan 2 kg kieserit. Limbah yang dihasilkan pabrik kelapa sawit (PKS) termasuk kategori limbah berat dengan kuantitas yang tinggi, kadar air 95%, padatan terlarut atau tersuspensi 4,5% serta sisa minyak dan lemak emulsi 0,5-1%. Pada padatan terlarut, terdapat komposisi sebagai berikut : bahan kering 94%, protein 13,25%, lemak 13%, serat 16%, kalsium 0,3%, dan fosfor 0,19% (Kasnawati, 2011).

Pemanfaatan limbah kelapa sawit menjadi pupuk organik cair dapat menghemat penggunaan pupuk kimia dan meningkatkan produksi TBS serta apabila dilihat dari segi lingkungan pemanfaatan limbah cair kelapa sawit dapat mengurangi adanya pencemaran air dan lingkungan. Aplikasi limbah cair kelapa sawit pada tanah maupun tanaman dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan pertumbuhan akar, meningkatkan kandungan bahan organik (BO), memperbaiki pH tanah, meningkatkan daya resap air ke dalam tanah, meningkatkan kelembaban tanah dan meningkatkan kapasitas pertukaran kation (Syailendra, 2009).

Kurangnya pengetahuan dan usaha pengolahan limbah cair kelapa sawit dari pemilik maupun pekerja pabrik mengakibatkan limbah yang dihasilkan dibuang percuma ke sungai tanpa ada nilai tambah yang diperoleh. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak negatif berupa pencemaran air dan lingkungan sehingga perlu adanya suatu bentuk usaha untuk menanggulanginya, salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan limbah tersebut menjadi pupuk (Widyatmoko, 2013).

Pusat Penelitian Kelapa sawit (PPKS, 2008) melakukan teknologi pengomposan dengan memanfaatkan hasil limbah pabrik menjadi kompos yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi. Bahan yang diperlukan untuk produksi kompos tersebut adalah Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)

(6)

10

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia mengatakan bahwa Secara umum teknologi pengomposan lebih unggul dibandingkan dengan teknologi pengolahan limbah lainnya, karena teknologi ini merupakan kombinasi pengolahan limbah cair dan limbah padat dalam satu proses. Dengan demikian biaya pengolahan LCPKS dapat dihilangkan dan sebagai hasil akhir diperoleh kompos bermutu tinggi yang dapat dijual atau digunakan sendiri untuk perkebunan kelapa sawit sebagai pupuk alternatif.

2.2.1 Unsur Hara Dalam LCPKS

Pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit sebagai pupuk organik mempunyai unsur-unsur hara yang memperbaiki struktur fisik tanah, meningkatkan aerasi, peresapan, retensi, dan kelembaban, serta meningkatkan perkembangbiakan dan perkembangan akar tanaman. Seperti yang terlihat pada Tabel 2.3 komposisi nutrisi yang terdapat pada limbah cair kelapa sawit cocok untuk diolah menjadi pupuk organik.

Tabel 2.3 Komposisi Nutrisi Pada Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Uraian BOD (mg/l) P (mg/l) N (mg/l) K (mg/l) Mg (mg/l)

Limbah (fat fit) 25.000

500-900 90-140 1.000-1.975 250-340 Kolam Pengasaman 25.000 500-900 90-140 1000-1.975 250-340 Kolam Anaerob Primer 3.500-5.000 675 90-110 1000-1850 250-320 Kolam Anaerob Sekunder 2.000-3.500 450 62-85 875-1250 160-215 Kolam Aerobik 100-200 80 5-15 420-670 25-55 Kolam Pengendapan 100-150 40-70 3-15 330-650 17-40 - Sumber: Irvan, dkk. 2011.

(7)

11 2.3 Kompos

Kompos merupakan pupuk organik buatan manusia yang dibuat dari proses pembusukan sisa-sisa buangan makhluk hidup (tanaman maupun hewan). Kompos tidak hanya menambah unsur hara, tetapi juga menjaga fungsi tanah sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik (Santi, 2006). Kompos yang baik adalah yang sudah cukup mengalami pelapukan dan dicirikan oleh warna yang sudah berbeda dengan warna bahan pembentuknya, tidak berbau, kadar air dan sesuai suhu ruang. Proses pembuatan dan pemanfaatan kompos dirasa masih perlu ditingkatkan agar dapat dimanfaatkan secara lebih efektif, menambah pendapatan peternak dan mengatasi pencemaran lingkungan (Prihandini dkk, 2007).

Pengomposan merupakan proses penurunan perbandingan (rasio) antara karbohidrat dan nitrogen. Semua tanaman hanya bisa menyerap makanan dari zat yang mempunyai rasio C/N yang nyaris sama dengan tanah. Tanah mempumyai perbandingan C/N berkisar 10-20%. Sementara itu, rasio C/N bahan kompos melebihi 50%. Agar bahan kompos tersebut bisa di serap oleh tanaman, bahan kompos tersebut harus dihancurkan atau diuraikan menjadi tanah (Soeryoko, 2011). Proses pengomposan akan membutuhkan waktu lebih lama dengan lebih tingginya nisbah C/N bahan. Kecepatan dekomposisi bahan organik ditentukan oleh bahan C/N rasio, komposisi bahan, ukuran maupun kondisi linngkungan yang meliputi kemasaman, suhu, dan aerasi (Yunindova, 2009).

Menurut Yuniwati et al (2012) manfaat kompos adalah menyediakan unsur hara mikro bagi tanaman, menggemburkan tanah, memperbaiki struktur dan tekstur tanah, meningkatkan porositas, aerasi, dan komposisi mikroorganisme tanah, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, menyimpan air tanah lebih lama, meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk kimia, dan bersifat multi lahan karena dapat digunakan di lahan pertanian, perkebunan dan reklamasi lahan kritis.

(8)

12

Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain: mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung dari bahan asal kompos, menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas, dan mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah (Setyorini, 2008).

Menurut Firmansyah (2010) bahan organik tanaman yang digunakan untuk kompos umumnya terbagi menjadi 2, yaitu: bahan organik yang memiliki kandungan N tinggi dan C rendah seperti pupuk kandang, legume, dan limbah rumah tangga. Kemudian bahan organik yang memiliki kandungan N rendah dan C tinggi seperti tandan kosong kelapa sawit, dan serbuk gergaji. Bahan organik yang memiliki kandungan N tinggi dan C rendah bila akan dicampur dengan bahan yang memiliki kandungan N rendah dan C tinggi untuk di buat kompos, maka perbandingannya adalah 1:4. Dari dasar inilah maka penulis menggunakan perbandingan 1:4 dalam pengomposan tandan kosong kelapa sawit yang dicampur dengan pupuk kandang.

Indonesia telah memiliki standar kualitas kompos, yaitu SNI 19-7030-2004. Didalamnya termuat batasan-batasan minimum atau maksimum sifat-sifat fisik maupun kimia kompos. Kandungan hara pada kompos tandan kosong kelapa sawit yang dibuat tidak semua sesuai dengan standarisasi kompos yang sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia). Perbedaan kandungan hara kompos tandan kosong kelapa sawit yang dibuat pada penelitian ini diprediksi karena singkatnya waktu pemeraman yang dilakukan. Dimana hal ini menyebabkan belum masaknya bahan atau bahan belum menjadi kompos. SNI 19-7030-2004 dapat dilihat pada gambar 2.1

(9)

13

Gambar 2.1 Standar Nasional Indonesia Untuk Pupuk Organik Domestik

2.3.1 Proses Pengomposan

Pengomposan dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan manusia. Pengomposan secara alamiah yaitu dengan cara penumpukan sampah di alam, sedangkan pengomposan dengan bantuan manusia yaitu dengan cara menggunakan teknologi modern maupun dengan menggunakan bahan bioaktivator dan menciptakan kondisi ideal sehingga proses pengomposan dapat terjadi secara optimal dan menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik, diperlukan pemahaman proses pengomposan yang baik pula. Proses pengomposan secara sederhana

(10)

14

dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Pada gambar 2.2 menunjukan perubahan suhu yang terjadi akibat pertumbuhan mikroba selama berlangsungnya proses pengomposan.

Gambar 2.2 Perubahan Suhu dan Pertumbuhan Mikroba Selama Proses Pengomposan.

Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik yang kemudian akan digantikan oleh bakteri termofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat, kemudian akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga mencapai 70oC. Suhu akan tetap tinggi selama fase pematangan. Mikroba mesofilik kemudian tergantikan oleh mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba-mikroba yang ada di dalam kompos akan menguraikan bahan organik menjadi NH+, CO, uap air dan panas melalui sistem metabolisme dengan bantuan oksigen. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsurangsur mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah. Pada fase ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30-50 %

(11)

15

dari bobot awal tergantung kadar air awal. Skema sederhana dari proses pengomposan dapat dilihat pada gambar 2.3

Gambar 2.3 Skema Proses Pengomposan

Metode pengomposan yang umum digunakan seperti : pengomposan pasif, windrows, penumpukan aerasi, dan sekelompok metode yang umum dikenal sebagai pengomposan di wadah tertutup. Pengomposan pasif hanya terdiri dari penumpukan bahan baku dan meninggalkan bahan kompos untuk proses pengomposan selama jangka waktu yang panjang Pengomposan metode windrow adalah pembuatan kompos dengan menumpuk bahan organik atau limbah biodegradable, seperti kotoran hewan dan sisa tanaman, dalam tumpukan berbaris yang panjang, metode windrow merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengomposan skala pertanian.

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan antara lain: ukuran partikel, Nutrisi, rasio C/N, kelembaban, temperatur, derajat keasaman (pH), kandungan hara, kandungan bahan berbahaya dan lama pengomposan (Yusriani dkk, 2012). Masa inkubasi juga sangat mempengaruhi kematangan dari suatu kompos. Apabila masa inkubasi belum cukup maka kompos yang dihasilkan kualitasnya kurang baik bila digunakan sebagai pupuk. Lamanya masa inkubasi ditentukan oleh bahan dasar kompos dan jasad hidup yang terlibat dalam proses pengomposan (Swastika dkk, 2009). Berikut ini penjelasan dari beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan.

(12)

16 1) Ukuran Partikel

Proses pengomposan dapat dipercepat bila ukuran bahan kompos diperkecil dengan cara memotong-motong bahan kompos menjadi potongan-potongan kecil terutama untuk bahan-bahan yang tahan terhadap dekomposisi mikroorganisme. Semakin kecil ukuran bahan kompos semakin besar luas permukaan yang tersedia bagi serangan mikroorganisme). Sebagian besar dari dekomposisi aerobik pengomposan terjadi pada permukaan partikel, karena oksigen bergerak mudah sebagai gas melalui ruang pori tapi jauh lebih lambat melalui bagian cair dan padat dari partikel. Partikel yang lebih kecil mengurangi porositas efektif. Kualitas kompos yang baik biasnya diperoleh ketika ukuran partikel berkisar dari rata-rata diameter 1/8 - 2 inci.

2) Nutrisi

Carbon (C), nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) adalah nutrisi utama yang dibutuhkan oleh mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan, serta nutrisi utama untuk tanaman dan akan mempengaruhi kualitas kompos. Hampir semua bahan organik yang digunakan untuk kompos mengandung semua nutrisi ini di berbagai tingkatan yang menggunakan mikroorganisme untuk energi dan pertumbuhan. Sebuah pasokan nutrisi tidak mencukupi atau berlebihan dapat menyebabkan kompos berkualitas rendah. Tirado, menjelaskan efek menguntungkan dari kompos terhadap pertumbuhan tanaman dikaitkan dengan peningkatan pasokan nutrisi bagi tanaman Tirado (2008).

3) Rasio C/N

Perubahan dari limbah organic menjadi kompos didominasi oleh proses-proses mikrobiologi. Selama proses-proses pengomposan mikroorganisme memerlukan sumber karbon (C) untuk menyediakan energy dan bahan untuk membentuk sel-sel baru serta memerlukan nitrogen (N) untuk mensintesiskan protein. Agar keperluan karbon dan nitrogen ini dapat terpenuhi secara seimbang, maka nilai rasio C/N campuran bahan kompos harus berada pada

(13)

17

kisaran yang tepat. Biasanya kisaran rasio C/N yang optimum untuk pengomposan adalah 25-35.

Rasio C/N yang terlalu tinggi mengakibatkan proses pengomposan berlangsung lambat karena dalam hal ini jumlah N yang tersedia sedikit sehingga untuk dapat dimanfaatkan mikroorganisme memerlukan waktu yang lama sebelum CO2 teroksidasi sehingga rasio C/N-nya menurun. Hal ini dapat

diatasi dengan mencampurkan bahan yang mempunyai rasio C/N rendah atau menambahkan pupuk nitrogen.

4) Kelembaban

Kelembaban bahan kompos sangat berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan. Air disamping diperlukan secara langsung oleh mikroorganisme juga mempengaruhi system aerasi dan suplai oksigen dalam tumpukan kompos. Kelembaban bahan kompos dapat berkisar antara 40% - 100%, tetapi kelembaban yang optimum untuk pengomposan aerobic berkisar antara 50% - 60%. Suplai udara (aerasi) yang cukup pada seluruh bagian tumpukan kompos sangat penting untuk mensuplai oksigen bagi organisme dan untuk mengeluarkan produksi CO2.

Tidak adanya udara (kondisi anaerob) akan menyebabkan perkembangan tipe mikroorganisme yang berbeda, yang menyebabkan pemasaman atau tumpukan menjadi busuk dan mengeluarkan bau tidak enak

5) pH

Pengontrolan pH sangat penting seperti temperatur dalam mengevaluasi aktifitas mikroorganisme dan kestabilan kompos. pH pengomposan awal tankos organik berkisar antara 5 -7. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5 atau kurang dari itu karena organik akan berada pada temperatur ambien dan aktifitas mikroorganisme mesofil akan meningkat dalam menduplikasi diri sehingga produksi asam organik akan meningkat dan pH akan turun. Pada saat termofilik, temperature akan naik dan terjadi aerobik proses sehingga pH akan naik sampai 8 – 8,5. Setelah kompos matang, pH

(14)

18

akan turun menjadi 7 – 8. Pada pengomposan bahan dengan kandungan lignin yang tinggi dengan lumpur biologis, pH cenderung rendah yakni sekitar 5,1-5,5 [15].

6) Kadar Air

Moisture diperlukan untuk mendukung proses metabolisme mikroba dan merupakan suatu paremeter penting untuk dikendalikan dalam pengomposan. Kelembaban yang optimum berkisar antara 50 – 60%. Kadar air dapat juga ditambahkan dengan penambahan air. Apabila kelembaban kompos kurang dari 40% maka reaksi akan melambat. Pada saat matang, kadar air yang disayaratan oleh SNI 19-7030-2004 adalah kurang dari 50%. Kadar air dalam kompos matang tidak baik apabila terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan karena kadar air secara langsung berhubungan dengan nilai water holding capacity, hal ini sesuai dengan pernyataan dari Agricultural Analytical Services Laboratory The Pennsylvania State University pada tahun 2008.

7) Temperatur

Suhu adalah indikator proses yang baik. Begitu bahan kompos ditumpuk dan diberi kelembaban yang cukup maka bahan tersebut akan segera diserang oleh berbagai mikroorganisme yang terdapat dalam bahan kompos tersebut. Dari perombakan bahan organic tersebut dihasilkan sejumlah energy yang sebagian akan dilepaskan dalam bentuk panas, sehingga terjadi peningkatan suhu kompos. Dengan semakin bertambahnya jumlah dan aktivitas mikroorganisme dalam kompos maka jumlah panas yang dibebaskan juga semakin tinggi sehingga suhu kompos terus meningkat. Ketika suhu melebihi 40oC aktivitas mikroorganisme mesofilik mulai berkurang, sebaliknya aktivitas mikroorganisme termofilik meningkat. Setelah suhu kompos mencapai puncaknya maka timbunan kompos mulai kehilangan panas panas sehingga terjadi penurunan suhu kembali. Proses selanjutnya memasuki tahap pematangan dimana pada tahap ini jumlah penghancuran sedikit dan panas yang dihasilkan sangat kecil. Dengan demikian selama pengomposan

(15)

19

timbunan kompos mengalami empat tahapan, yaitu tahap peningkatan suhu, tahap suhu maksimum, tahap penurunan suhu dan tahap pematangan (stabilisasi). Adanya perubahan suhu selama pengomposan ini berhubungan erat dengan dinamika jumlah, jenis dan tingkat aktivitas mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan.

8) Unsur Hara

Untuk keperluan aktivitas dan pertumbuhan sel-sel barunya mikroorganisme memerlukan sumber karbon dan sejumlah unsur hara. Oleh sebab itu ketersediaan sumber karbon dan unsur hara lainnya menjadi faktor yang penting untuk diperhatikan dalam pengomposan. Dua unsur terpenting yang diperlukan mikroorganisme dalam jumlah banyak adalah karbon (C) dan nitrogen (N). karbon diperlukan mikroorganisme sebagai sumber energy dan penyusun komponen sel diperoleh mikroorganisme terutama dengan mendekomposisikan senyawa-senyawa organik dari bahan kompos tersebut. Sedangkan nitrogen sangat penting karena sangat diperlukan untuk sintesis protein sel-sel mikroorganisme.

Pada umumnya jika bahan kompos mengandung cukup nitrogen maka unsur-unsur hara lainnya juga tersedia dalam jumlah yang cukup. Sayangnya pada kebanyakan bahan yang akan dikomposkan justru paling sering ditemukan kekurangan unsur ini sampai pada tingkat yang dapat membatasi laju dekomposisi bahan organik tersebut. Begitu pentingnya kedua unsur tersebut maka untuk pengomposan yang baik mensyaratkan adanya nisbah C/N bahan kompos pada kisaran tertentu, yaitu sekitar 25-35. Untuk pengomposan bahan-bahan dengan nisbah C/N tinggi perlu diberi tambahan nitrogen atau bahan lain yang kandungan N-nya tinggi. Disamping karbon dan nitrogen maka kandungan unsur-unsur lain seperti fosfor, kalium, kalsium, magnesium, sulfur, dan sebagainya juga perlu diperhatikan. Ketersediaan unsur-unsur tersebut dalam jumlah cukup dan berimbang dapat memacu aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisikan bahan kompos.

(16)

20

Disamping itu semakin tinggi kandungan unsur hara dalam kompos berarti akan meningkatkan nilai nutrisi kompos yang dihasilkannya sebagai pupuk organik.

2.3.3 Ciri-Ciri Kompos Yang Berhasil

Kompos yang telah matang memiliki ciri seperti berbau seperti tanah, karena materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi tanah dan berwarna coklat-kehitaman yang terbentuk akibat pengaruh bahan organik yang sudah stabil (Cahaya dkk, 2008). Selain itu kompos yang sudah matang secara fisik digambarkan sebagai struktur remah, agak lepas dan tidak gumpal, berwarna coklat kegelapan, baunya mirip humus atau tanah dan reaksi agak masam sampai netral, tidak larut dalam air, bukan dalam bentuk biokimia yang stabil tetapi berubah komposisinya melalui aktivitas mikroorganisme, kapasitas tukar kation yang tinggi dan daya absorpsi air tinggi, jika dicampurkan ke tanah akan menghasilkan akibat yang menguntungkan bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. Kematangan kompos dapat ditentukan berdasarkan nisbah C/N kompos, sedangkan kandungan hara kompos berhubungan dengan kualitas bahan asli yang dikomposkan (Mulyadi, 2008).

Menurut Isro’i (2008) kompos yang baik memiliki beberapa ciri sebagai berikut :

1. Berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah.

2. Tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspense. 3. Nisbah C/N sebesar 10-20, tergantung dari bahan baku dan derajat

humifikasinya.

4. Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah.

5. Suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan. 6. Tidak berbau.

(17)

21

Keunggulan kompos TKKS meliputi: kandungan kalium yang tinggi, tanpa penambahan starter dan bahan kimia, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi. Selain itu kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: (1) memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan; (2) membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman; (3) bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman; (4) merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah dan (5) dapat diaplikasikan pada sembarang musim (Darnoko dkk, 2006).

Proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit ini tidak menggunakan bahan cair asam dan bahan kimia lain sehingga tidak terdapat pencemaran atau polusi, selain itu proses pengomposannya pun tidak menghasilkan limbah.

Proses membuat kompos dimulai dengan menggunakan 3 variabel bahan yaitu tandan kosong utuh, tandan kosong output bunch press, tandan kosong cacahan, kemudian bahan yang telah dicacah ditumpuk memanjang. Selama proses pengomposan tumpukan tersebut disiram dengan limbah cair yang berasal dari pabrik kelapa sawit. Tumpukan dibiarkan diatas semen dan dibiarkan di lantai terbuka selama 6 minggu. Kompos dibolak-balik dengan mesin pembalik. Setelah itu kompos siap untuk dimanfaatkan (PPKS, 2008).

Darmoko dkk (2006) menyatakan bahwa dalam kompos TKKS terdapat beberapa kandungan nutrisi penting bagi tanaman. Kandungan nutrisi dalam kompos TKKS dapat disajikan pada Tabel berikut:

(18)

22

Tabel 2.7 Kandungan Nutrisi Dalam Kompos TKKS

Parameter Nilai (%) Air 45 – 50 Abu 12,60 N 2 – 3 C 35,10 P 0,2 - 0,4 K 4 – 6 Ca 1 – 2 Mg 0,8 - 1,0 C/N 15,03 Bahan Organik >50%

Sumber : Darmoko dan Sutarta (2006)

Kompos TKKS dapat diaplikasikan untuk berbagai tanaman sebagai pupuk organik, baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan pupuk kimia. Penelitian aplikasi kompos TKKS pada tanaman cabe telah dilakukan di Kabupaten Tanah Karo pada tahun 2002. Hasilnya menunjukkan bahwa aplikasi kompos TKKS dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi cabe, yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk organik (kontrol) maupun aplikasi pupuk kandang. Aplikasi 0,25 dan 0,50 kg kompos TKKS dapat meningkatkan hasil cabe berturut-turut hingga 24% dan 45% dibanding perlakuan kontrol, sedangkan aplikasi pupuk kandang hanya dapat meningkatkan hasil sebesar 7% dibanding perlakuan kontrol (PPKS, 2008). Penelitian aplikasi kompos TKKS ini selain tanaman cabe, juga dilakukan penelitian menggunakan tanaman jeruk. Hasil pengamatan terhadap aplikasi kompos TKKS pada produksi tanaman jeruk selama dua kali panen menunjukkan bahwa aplikasi kompos berpengaruh terhadap peningkatan produksi jeruk. Aplikasi kompos TKKS hingga 30 kg dapat meningkatkan produk jeruk sebesar 49% – 74% dibanding kontrol tanpa kompos. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa jeruk dengan aplikasi kompos mempunyai kulit buah yang lebih mengkilap dibandingkan jeruk yang tidak

(19)

23

diberi kompos. Hal ini diduga erat kaitannya dengan cukupnya hara kalium yang diserap tanaman, yang berasal dari kompos TKKS (PPKS, 2008)

2.3.4 Pemanfaatan Kompos

Pemanfaatan kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yaitu:

Aspek Bagi Tanah Dan Tanaman

a. Memperbaiki produktivitas dan kesuburan tanah

Pemakaian kompos dapat meningkatkan produktivitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah. Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah, meningkatkan pengikatan antar partikel dan kapasitas mengikat air sehingga dapat mencegah erosi dan longsor serta dapat mengurangi tercucinya nitrogen terlalut dan memperbaiki daya olah tanah. Sedangkan secara kimia, kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), ketersediaan unsure hara dan ketersediaan asam humat. Asam humat akan membantu meningkatkan proses pelapukan bahan mineral. Secara biologi, kompos merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme tanah, sehingga mikroorganisem akan berkembang lebih cepat dan dapat menambah kesuburan tanah.

b. Menyediakan hormon,vitamin dan nutrisi bagi tanaman

Setiap tanaman membutuhkan nutrisi (makanan) untuk kelangsungan hidupnya. Tanah yang baik mempunyai unsur hara yang dapat mencukupi kebutuhan tanaman. Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsur hara yang diperlukan tanaman dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

 Unsur hara primer, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg)

 Unsur hara mikro yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, seperti Tembaga (Cu), Seng (Zn), Klor (Cl), Boron (B), Mangan (Mn) dan Molibdenum (Mo)

(20)

24 c. Memperbaiki struktur tanah

Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur terjadi karena butir-butir debu, pasir dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik dan oksida besi. Tanah tergolong jelek apabila butir-butir tanah tidak melekat satu sama lain atau saling merekat erat. Tanah yang baik adalah tanah yang remah dan granuler yang mempunyai tata udara yang baik sehingga aliran udara dan air dapat masuk dengan baik. Kompos merupakan perekat pada butir-butir tanah dan mampu menjadi penyeimbang tingkat kerekatan tanah. Selain itu, kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah. Dengan demikian, tanah yang semula keras dan sulit ditembus air maupun udara, kini dapat menjadi gembur akibat aktivitas mikroorganisme. Struktur tanah yang gembur amat baik bagi tanaman.

d. Menambah kemampuan tanah untuk menahan air

Tanah yang bercampur dengan bahan organik seperti kompos mempunyai poripori dengan daya rekat yang lebih baik sehingga mampu mengikat serta menahan ketersediaan air di dalam tanah. Kompos dapat menahan erosi secara langsung. Hujan yang turun deras mengenai permukaan tanah akan mengikis tanah sehingga unsur hara terangkut habis oleh air hujan. Dengan adanya kompos, tanah terlapisi secara fisik sehingga tidak mudah terkikis dan akar tanaman terlindungi. Kemampuan tanah untuk menahan air ini (water holding capacity) berhubungan erat dengan besarnya kadar air dalam gundukan kompos.

Gambar

Tabel 2.1 Analisa Kandungan Hara Tandan Kosong Kelapa Sawit
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Tandan Kosong Kelapa Sawit.
Tabel 2.3 Komposisi Nutrisi Pada Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Gambar  2.1  Standar  Nasional  Indonesia  Untuk  Pupuk  Organik  Domestik
+4

Referensi

Dokumen terkait

belajar siswa. Kemudian secara khusus dapat disimpulkan sebagai bahwa, 1) aktivitas belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe snowball throwing di kelas

Rencana pembelajaran semester (RPS) merupakan rencana pembelajaran yang disusun untuk kegiatan pembelajaran selama satu semester guna memenuhi capaian pembelajaran

Jika penelitian menggunakan disain data sekunder, jelaskan sumber data atau nama lembaga yang mengeluarkan data tersebut, dan jelaskan variabel-variabel yang ada dalam data

Arca manusia III dipahatkan lengkap sebagaimana manusia yang mempunyai kaki, badan, dan kepala, kepala arca III ditemukan di dalam parit berjarak 17 meter dari

Dengan keadaan perekonomian kontemporer saat ini, yaitu perekonomian di banyak negara Islam dalam keadaan tidak begitu baik, dimana mekanisme zakat tidak berjalan sesuai dengan

Metode yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri adalah metode difusi agar menggunakan paperdisk .Hasil isolasi diperoleh 16 isolat bakteri dari bagian rimpang, akar,

Pada tahap decline , perusahaan memiliki kesempatan tumbuh yang terbatas, menghadapi persaingan yang semakin tajam, pangsa pasar potensial yang semakin sempit, dan

[r]