• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 ANALISIS EKSISTENSI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) PADA PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 ANALISIS EKSISTENSI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) PADA PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKSISTENSI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) PADA PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM

Oleh Rivaldo Valini8

ABSTRAK: Eksistensi CCTV pada pembuktian perkara tindak pidana umum adalah sebagai salah satu alat bukti petunjuk yang dapat digunakan hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana sepanjang proses pengambilan bukti rekaman CCTV tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kebijakan kriminal tentang CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia terdiri dari kebijakan dengan sarana non penal dan sarana penal. Kebijakan dengan Sarana Non Penal, dalam hal ini penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia merupakan upaya yang ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mengatasi belum adanya pengaturan dalam KUHAP. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal, merupakan tindakan nyata aparat penegak hukum, khususnya setelah diberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU-XIV/2016.

Kata Kunci: Eksistensi CCTV, Pembuktian, Pidana Umum

I. PENDAHULUAN

Penegakan hukum memiliki peranan yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan.

Pentingnya masalah penegakan hukum berkaitan dengan maraknya berbagai fenomena kejahatan baik secara kuantitatif dan kualitatif serta mengalami kompleksitas baik pelaku, modus, bentuk, sifat, maupun keadaannya. Kejahatan

8Penulis sebagai Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

(2)

seakan telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia yang sulit diprediksi kapan dan dimana potensi kejahatan akan terjadi.9

Salah satu perangkat penegak hukum adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas menciptakan memelihara keamanan dalam negeri dengan menyelenggaraan berbagai fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.10

Hal di atas sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Proses penegakan hukum oleh Kepolisian tidak dapat terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya adalah alat perekam berupa kamera tersembunyi atau Closed Circuit Television (CCTV). Dalam konteks ini aparat penegak hukum dapat menjadi hasil rekaman CCTV sebagai salah satu alat bukti. Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah dalam perkara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Maknanya adalah di luar kategori yang telah ditetapkan KUHAP tersebut, maka alat bukti apapun tidak sah.

Isu hukum dalam penelitian ini adalah sesuai ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP maka rekaman CCTV atas terjadinya tindak pidana atau kejahatan tidak memiliki legalitas atau tidak sah, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti didalam peradilan umum, karena dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP telah diatur alat bukti secara secara limitatif, sehingga hasil rekaman video hanya dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk untuk melengkapi alat bukti lain yang tidak dapat berdiri sendiri, yang penilaianya diserahkan kepada hakim dipakai sebagaimana yang diterangkan oleh Pasal 188 KUHAP. Dengan kata lain, rekaman CCTV pada dasarnya tidak dapat diajukan sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dan tidak ada aturan mengenai legalitas hasil cetakatau print out sebagai alat bukti atau tata cara perolehan dan pengajuan informasi elektronik sebagai alat bukti. Dengan demikian untuk tindak pidana umum belum ada pengaturan secara khusus mengenai keabsahan hasil rekaman CCTV sebagai salah satu alat bukti.

9 Barda Nawawi Arief Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT.

Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001.hlm.6.

(3)

Penggunaan informasi atau dokumen elektronik baru diakui sebagai alat bukti pada beberapa tindak pidana khusus di antaranya adalah setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 26 A menyebutkan bahwa alat bukti yang di simpan secara elektronik juga dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana korupsi. Selain informasi elektronik sebagai alat bukti juga disebutkan di dalam Pasal 38 huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pasal 27 huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini menunjukkan bahwa legalitas dan keberlakuan informasi elektronik sebagai alat bukti, masih terbatas hanya pada tindak pidana dalam lingkup korupsi, pencucian uang dan terorisme. 11 Dasar hukum penggunaan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti di pengadilan menjadi semakin jelas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dinilai lebih memberikan kepastian hukum dan lingkup keberlakuannya lebih luas, tidak terbatas pada tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Selain mengakui informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, undang-undang ini juga mengakui print out (hasil cetak) sebagai alat bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) yang menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Sesuai dengan uraian di atas diketahui bahwa dalam beberapa undang-undang tindak pidana khusus, sudah diatur mengenai alat bukti rekaman data elektronik, namun untuk tindak pidana umum, yang acara pidananya menggunakan KUHAP masih mengacu pada ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, bahwa secara limitatif lima alat bukti yakni: saksi, surat, keterangan ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Secara subjektif dapat dinyatakan bahwa perumusan kurang relevan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan tidak akomodatif terhadap perkembangan masyarakat yang semakan maju. Selama ini kedudukan rekaman CCTV masih belum jelas, banyak perdebatan mengenai pengakuannya dalam pembuktian perkara pidana umum, namun peran rekaman data elektronik khususnya video ini dapat mempunyai nilai dalam pembuktian di sidang pengadilan umum.12

Penerapan teknologi ini merupakan kemajuan dari penegakan hukum dan salah satu wujud asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent), di mana seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah

11 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6915/alat-bukti-rekaman.Diakses Selasa 6

September 2016

12Marselus Pasha Lelyemin, F. Nugroho dan Edy Hartadi, Kedudukan Rekaman Video sebagai Alat

Bukti Dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, Fakultas Hukum Unika Atmajaya. Jakarta. 2007, hlm. 24

(4)

dan mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan adanya rekaman CCTV tersebut, akan membuat penyidik lebih yakin bahwa sesorang tersebut bersalah dan sebagai bukti permulaan yang cukup, sehingga meminimalisir penyelewengan asas

presumption of innocent tersebut.

Isu hukum dalam penelitian ini adalah pada umumnya dalam perkara-perkara tindak pidana di mana tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum, CCTV tidak diakui sebagai alat bukti. Sebaliknya untuk perkara-perkara tindak pidana di mana tersangka/terdakwa tidak didampingi penasehat hukum, CCTV diakui sebagai alat bukti, khususnya alat bukti petunjuk. Hal ini dapat dilihat dari perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Setya Novanto, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor: 21/PUU-XIV/2016 menyebutkan bahwa semua bukti elektronik yang bukan diambil oleh aparat penegak hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum. Padahal dalam kenyataannya rekaman CCTV digunakan aparat penegak hukum untuk memperkuat pembuktian persidangan.

Permasalahan penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah eksistensi CCTV pada pembuktian perkara tindak pidana umum?

b. Bagaimanakah kebijakan kriminal tentang CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana?

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Penyidik pada Polresta Bandar Lampung, Personil Bagian IT Polda Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Akademisi Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Unila. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

III. PEMBAHASAN

A. Eksistensi CCTV pada Pembuktian Perkara Tindak Pidana Umum

Proses penegakan hukum pidana tidak dapat terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya adalah alat perekam berupa kamera tersembunyi atau Closed Circuit Television (CCTV). Dalam konteks yang demikian maka CCTV memiliki eksistensi sebagai salah satu alat bukti dalam proses pembuktian pada pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan

(5)

sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa alat bukti yang sah dalam perkara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang pesat, khususnya di bidang telekomunikasi, informasi dan komputer, dan seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi semakin lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital, termasuk dalam berinteraksi antara sesamanya. Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisa menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik.

Menurut Akhmad Suhel13 manfaat CCTV tersebut dalam kehidupan sehari-hari menjadi suatu kebutuhan dan tentunya kecanggihan dari alat elektktonik tersebut sudah menjadi suatu kebutuhan pelengkap dalam sidang peradilan dalam membuktikan suatu kejadian-kejadian yang terekam dalam kamera CCTV tersebut yang kemudian tersimpan dalam data untuk dapat diperlihatkan, ditonton/disaksikan dalam persidangan, namun demikian diperlukan keabsahan CCTV tersebut. Keabsahan itu sendiri ialah mengacu pada suatu bentuk pengakuan tentang sesuatu yang diyakini benar, legal dan sah. Keabsahan adalah sesuatu yang legal menurut Undang-Undang dan tidak ada suatu keraguan didalamnya. Terhadap pengujian bukti pemeriksaan harus dilakukan terhadap bukti yang cukup, kompeten dan relevan. Apabila substansi yang dimuat dalam alat bukti tersebut dianggap sudah memenuhi syarat untuk mendukung temuan pemeriksaan.

Eko Setiawan14 menjelaskan bahwa untuk memastikan bahwa alat bukti rekaman tersebut asli atau hasil duplikasi maka perlu dilakukan audit atas sistem informasi. Jika suatu sistem informasi sudah diaudit atau disetifikasi oleh suatu badan standar maka alat bukti rekaman tersebut tidak bisa disangkal dan langsung bisa dijadikan alat bukti. Jika sistim informasi tersebut belum atau tidak pernah dilakukan audit maka perlu dilakukan audit segera. Alat bukti tersebut kemudian harus mendapat legalisasi dari biro hukum. Jika alat bukti rekaman dialihkan dalam CD yang berisi file microsoft power point, DVD-R, CD-R atau pun jenis pengalihan lainnya, ada baiknya bukti-bukti tersebut tercatat dalam Berita Acara Pengalihan Dokumen.

13 Hasil wawancara dengan Akhmad Suhel. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Rabu, 18

Januari 2017

14 Hasil wawancara dengan Eko Setiawan. Personil Bagian IT Polda Lampung. Kamis, 19 Januari

(6)

Eva Mayanti15 menambahkan bahwa upaya untuk memperkuat keabsahannya alat bukti harus didukung oleh keterangan dari orang-orang yang secara kebetulan terlibat langsung dalam alat bukti tersebut. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa karena mencari kebenaran materiil itu tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relatif. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif. Kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan berbeda-beda.

Sistem hukum acara pidana dalam hal mekanisme pembuktian dalam tahap peradilan suatu perkara pidana dihadapkan dengan penerangan suatu kasus tersebut melalui pengadaan alat bukti yang relevan dengan perkara tersebut untuk memberikan suatu titik terang dari proses peradilan suatu perkara. Banyak cara pembuktian suatu perkara untuk memberikan gambaran jelas akan suatu rentetan kejadian yang sebenarnya terjadi di tempat kejadian perkara secara nyata, berdasar itu bahwa hasil dari sebuah rekaman CCTV dapat memberikan gambaran secara nyata terhadap kejadian disuatu tempat secara terstruktur melalui gambaran yang ditampilkan dari hasil rekaman tanpa ada rekayasa dan tentunya gambaran tersebut dapat bercerita dan memberikan keterangan dalam hal ini mengenai suatu pembuktian dalam proses peradilan acara pidana.

Akhmad Suhel16 menjelaskan kedudukan rekaman CCTV dalam suatu proses persidangan pada tahap pembuktian tindak pidana cukup penting dalam mengungkap kejadian yang terjadi sebetulnya pada lokasi kejadian perkara. Berdasarkan hasil putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan, hasil rekaman CCTV tersebut mempunyai peranan penting untuk mengungkap kejadian yang terjadi secara nyata, dan diakui kebenarannya oleh tersangka dan saksi lainnya. Pun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa disamping alat bukti rekaman CCTV, alat bukti lainnya juga tidak dapat dipungkiri memegang peranan penting dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Dikalangan masyarakat umum juga telah timbul suatu pola pikir yang menganggap bahwa pemasangan kamera CCTV ditempat yang dianggap penting merupakan salah satu langkah pencegahan terjadinya tindak pidana.

Penggunaan rekaman CCTV dalam pembuktian tindak pidana umum ditandai dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Nomor: 21/PUU-XIV/2016 menyebutkan bahwa semua bukti elektronik yang bukan diambil oleh aparat penegak hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum. Padahal dalam

15 Hasil wawancara dengan Eva Mayanti. Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

Senin, 16 Januari 2017

16 Hasil wawancara dengan Akhmad Suhel. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Rabu, 18

(7)

kenyataannya rekaman CCTV digunakan oleh aparat penegak hukum untuk memperkuat pembuktian persidangan. Adapun dasar pembuktian CCTV dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tentang CCTV sebagai alat bukti elektronik. Selain itu pengambilan data/rekaman CCTV harus didampingi oleh penyidik dan dibuatkan berita acara. Alat bukti ini digunakan dalam mendukung proses peradilan yang menunjukkan secara jelas kejadian di tempat perkara, sehingga rekaman CCTV digunakan sebagai salah satu alat bukti untuk menunjang pembuktian dalam proses peradilan disamping menunjang alat-alat bukti lainnya untuk mendapatkan suatu kebenaran dari suatu peristiwa yang terjadi. Rekaman CCTV dapat memberikan keyakinan terhadap hakim dalam memutus perkara, selain keterangan terdakwa dan keterangan saksi. Pemeriksaan keaslian setiap alat-alat bukti yang ada, merupakan tugas dari Kepolisian dan Kejaksaan, dalam menyidik tindak pidana yang menggunakan alat bukti CCTV sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Informasi elektronik dan dokumen elektronik serta hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa eksistensi CCTV pada pembuktian perkara tindak pidana umum adalah sebagai salah satu alat bukti petunjuk yang dapat digunakan hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana, Artinya ketentuan banyaknya alat-alat bukti yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana. Dalam hal ini, alat-alat bukti yang digunakan dalam mendukung proses peradilan yang menunjukkan secara jelas kejadian di tempat perkara. Dengan demikian bahwa pada hakikatnya rekaman CCTV digunakan sebagai salah satu alat bukti untuk menunjang pembuktian dalam proses peradilan disamping menunjang alat-alat bukti lainnya untuk mendapatkan suatu kebenaran dari suatu peristiwa yang terjadi dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam konteks tindak pidana umum seperti pencurian, pembuktian dengan menggunakan rekaman CCTV dapat memberikan keterangan bagi hakim dalam memutus perkara tersebut. Hal ini memberikan gambaran bahwa, perkembangan teknologi yang ada dewasa ini, tidak hanya membawa dampak negatif dalam kehidupan akan tetapi dapat membuka jalan bagi para penegak hukum di Negara ini untuk memudahkan dalam memecahkan suatu kasus pidana melalui rekaman CCTV yang nyata menggambarkan tentang proses kejadian perkara tersebut.

B. Kebijakan Kriminal tentang CCTV sebagai Alat Bukti dalam Hukum Pidana

Kebijakan kriminal tentang CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari UUITE dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016. CCTV masuk dalam

(8)

pengertian informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 UUITE dan merupakan alat bukti yang sah dalam hukum acara yang berlaku, sehingga dalam hukum acara pidana dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UUITE. Terhadap pasal tersebut Mahkamah Kontitusi telah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UUITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frase informasi elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UUITE. Putusan Mahkamah Konstitusi inilah kemudian yang dipandang sebagai dasar untuk membatasi penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana.

Menurut Eva Mayanti17 sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah terdapat pertanyaan hukum mengenai kedudukan dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia. Jika kita menganalisis ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUITE, di situ dikatakan bahwa keduanya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Tidak ada penjelasan yang sah mengenai apa yang dimaksud dengan perluasan tersebut sehingga timbul pertanyaan apakah perluasan tersebut dimaknai sebagai penambahan alat bukti atau merupakan bagian dari alat bukti yang telah ada. Dalam Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa dan jika perluasan tersebut dimaknai penambahan maka alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia secara umum menjadi lebih dari lima. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah informasi elektronik dan data elektronik tersebut dapat dijadikan dasar sebagai alat bukti petunjuk bagi Majelis Hakim. Kemudian apabila perluasan tersebut dimaknai sebagai bagian dari alat bukti yang telah ada maka alat bukti dalam hukum pidana secara umum tetap lima, namun baik informasi elektronik dan dokumen elektronik tersebut dapat dimasukkan dalam alat bukti petunjuk atau alat bukti surat.

Menurut Akhmad Suhel18 informasi elektronik dan data elektronik sebagai bagian dari alat bukti petunjuk, CCTV merupakan bukan merupakan alat bukti yang pengaturannya bersifat limitatif dalam Pasal 184 KUHAP namun merupakan

17 Hasil wawancara dengan Eva Mayanti. Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

Senin, 16 Januari 2017

18 Hasil wawancara dengan Akhmad Suhel. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Rabu, 18

(9)

barang bukti yang dapat ditempatkan sebagai bagian dari alat bukti petunjuk untuk memperoleh keyakinan hakim. Pendapat tersebut juga didasari pandangan hukum acara pidana modern yang menempatkan kedudukan barang bukti dan alat bukti sebagai bagian dari bukti.

Hal ini didasarkan pada pengaturan mengenai alat bukti lainnya yang bersifat elektronik dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam pasal tersebut telah diatur secara jelas bahwa alat bukti lainnya yang bersifat elektronik merupakan bagian dari alat bukti petunjuk. Dalam perkembangannya pasal ini pun telah dilakukan pengujian bersamaan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UUITE.

Menurut Eddy Rifai19 untuk dasar pembuktian CCTV harus dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tentang CCTV sebagai alat bukti elektronik. Selain itu pengambilan data/rekaman CCTV harus didampingi oleh penyidik dan dibuatkan berita acara.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 memutuskan bahwa frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frase informasi elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UUITE.

Demikian pula dengan pertimbangan hukum majelis hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menempatkan kedudukan barang bukti dan alat bukti sebagai bagian dari bukti yang mana cara perolehannya juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai bagian dari barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, benda yang diperoleh dari tindak pidana atau benda yang menunjukkan terjadinya tindak pidana. Selain itu majelis hakim konstitusi juga menentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah harus diperoleh dengan cara yang sah pula, jika tidak maka dapat dikesampingkan karena tidak memiliki nilai pembuktian. Hal yang menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi

19 Hasil wawancara dengan Eddy Rifai. Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

(10)

tersebut penggabungan mengenai kedudukan atas alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik dengan cara perolehan yang salah alat bukti tersebut. Terkait dengan penggabungan ini dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, terdapat perbedaan pendapat atau diessenting opinion dari Hakim Konstitusi Suhartoyo yang setuju dengan pendapat ahli Edmon Makarim, bahwa perlu dipisahkan antara alat bukti dan cara perolehannya, sehingga semua informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah adapun cara perolehannya merupakan cara yang lain. Hakim Suhartoyo berpendapat bahwa UUITE telah mengatur mengenai cara perolehan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah sehingga seharusnya permohonan uji materi tersebut ditolak.

Menurut Kurnia Muludi20 pembuktian dengan menggunakan media CCTV harus diawali dengan pembuktian bahwa hasil rekaman CCTV tersebut adalah asli, hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pengecekan originalitas. Sumber data CCTV harus dilakukan penyitaan oleh penyidik, agar tidak ada data elektronik yang dirubah dan diperlukan back up data CCTV dengan media penyimpanan eksternal (external storage) untuk mengamankan data dalam jangka waktu yang lama.

Adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mengubah standar pembuktian di Indonesia. Sebelumnya tidak diatur bagaimana keabsahan perolehan suatu alat bukti maka pasca-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terbatas untuk informasi elektronik dan dokumen elektronik maka keabsahan peroleh suatu alat bukti menjadikan suatu alat bukti memiliki nilai pembuktian atau tidak. Oleh karena itu penggunaan CCTV untuk penjebakan perbuatan suap dalam kasus tindak pidana korupsi sebagaimana dalam kasus tindak pidana korupsi atas nama terpidana Mulyana W Kusuma tidak dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.

Kebijakan kriminal tentang CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sesuai dengan teori kebijakan kriminal (penal policy atau criminal policy) sebagai suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang

20 Hasil wawancara dengan Kurnia Muludi. Ahli Telematika Jurusan Ilmu Komputer Fakultas MIPA

(11)

sesuai dengan berbagai keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 21

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu:

1. Kebijakan dengan Sarana Non Penal, dalam hal ini penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia merupakan upaya yang ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mengatasi belum adanya pengaturan dalam KUHAP mengenai eksistensi CCTV dalam perkara tindak pidana. 2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal, dalam hal ini penggunaan CCTV

sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia merupakan tindakan nyata aparat penegak hukum, khususnya setelah diberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU-XIV/2016 yang mengatur bahwa semua bukti elektronik yang bukan diambil oleh aparat penegak hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu penggunaan CCTV sebagai alat bukti harus diawali dengan proses pengambilan oleh aparat penegak hukum, yang dilegalisasi dengan pembuatan berita acara pengambilan alat bukti.

Pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dapat digunakan di Pengadilan yang diatur dalam Undang Undang ITE, belumlah cukup memenuhi kepentingan praktik peradilan, karena baru merupakan pengaturan dalam tataran hukum materiil. Mengingat praktek peradilan didasarkan pada hukum acara sebagai hukum formal yang bersifat mengikat, maka pengaturan bukti elektronik (sebagai alat bukti yang sah untuk diajukan ke pengadilan) dalam bentuk hukum formal/hukum acara sangat diperlukan guna tercapainya kepastian hukum.

Baik Hukum Acara Perdata maupun hukum Acara Pidana sebagai hukum formal yang merupakan tata cara atau aturan main untuk berperkara ke Pengadilan yang bersifat memaksa dan mengikat bagi Hakim maupun para pihak yang berperkara, haruslah secara tegas mengatur dan mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan. Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata sudah mengakomodasi mengenai bukti elektronik dengan merumuskan pengaturan mengenai alat bukti secara terbuka (sistem pembuktian terbuka), yang mengatur bahwa: “pembuktian dapat dilakukan dengan semua alat bukti, kecuali undang-undang menentukan lain”.

Meskipun bukti elektronik belum diatur secara tegas dalam Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana, namun berdasarkan asas peradilan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya sekalipun dengan dalih hukumnya tidak jelas atau tidak ada, dan asas bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai hokum yang tumbuk dan berkembang

(12)

dalam masyarakat, maka Undang Undang ITE yang telah mengatur bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, dapat digunakan sebagai dasar untuk mejadikan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dipersodangan.

Pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai alat bukti yang dapat diajukan ke pengadilan dan diakui sah sebagai alat bukti, sudah dilakukan sejak Tahun 1977 melalui Undang Undang Dokumen Perusahaan yang menentukan bahwa mikrofilm yang berisi rekaman dokumen suatu perusahaan dapat diajukan sebagai alat bukti di Pengadilan bila kelak timbul gugatan. Pengakuan terhadap bukti elektronik ini semakin dipertegas dengan diundangkannya Undang Undang ITE yang mengatur bukti elektronik secara tegas dan mengakuinya sebagai alat bukti yang sah diajukan ke Pengadilan.Dengan demikian saat ini bukti elektronik diakui sebagai alat bukti hokum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana kelangsungan atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Penyelenggaraannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang hukum acara pidana. Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu di tulis secara sistematik dan teratur dalam sebuah kitab undang-undang hukum, berarti di kondisifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diundangkan berlakunya sejak tanggal 31 desember 1981 melalui lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, tambahan lembaran Negara Nomor 3209.

Tujuan pengkodifikasian hukum secara pidana itu terutama sebagai pengganti Reglemen Indonesia Baru (RIB), tentang acara pidana yang sangat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia. Sedangkan fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kepentingan umum. Ketentuan-ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal itu, menurut Pasal 2 dinyatakan bahwa KUHAP belaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum. Maksudnya ruang lingkup berlakunya KUHAP ini mengikuti asas-asas hukum pidana dan yang berwenang mengadili tindak pidana berdasarkan KUHAP hanya peradilan umum, kecuali dintetukan lain oleh undang-undang itu.

Adanya RUU KUHAP merupakan salah satu upaya pembaharuan dalam sistem hukum di Indonesia, khususnya hukum Acara Pidana Indonesia Sehingga dapat terciptanya supremasi hukum dengan menuju sistem peradilan pidana terpadu dengan menempatkan penegak hukum pada tugas, fungsi, dan wewenangnya dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi, struktur ketatanegaraan, perkembangan

(13)

hukum masyarakat, serta berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia.

IV. SIMPULAN

1. Eksistensi CCTV pada pembuktian perkara tindak pidana umum adalah sebagai salah satu alat bukti petunjuk yang dapat digunakan hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana sepanjang proses pengambilan bukti rekaman CCTV tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Alat bukti ini digunakan dalam mendukung proses peradilan yang menunjukkan secara jelas kejadian di tempat perkara, sehingga rekaman CCTV digunakan sebagai salah satu alat bukti untuk menunjang pembuktian dalam proses peradilan disamping menunjang alat-alat bukti lainnya untuk mendapatkan suatu kebenaran dari suatu peristiwa yang terjadi dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 2. Kebijakan kriminal tentang CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di

Indonesia terdiri dari kebijakan dengan sarana non penal dan sarana penal. Kebijakan dengan Sarana Non Penal, dalam hal ini penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia merupakan upaya yang ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mengatasi belum adanya pengaturan dalam KUHAP. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal, merupakan tindakan nyata aparat penegak hukum, khususnya setelah diberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU-XIV/2016 yang mengatur bahwa semua bukti elektronik yang bukan diambil oleh aparat penegak hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu penggunaan CCTV sebagai alat bukti harus diawali dengan proses pengambilan oleh aparat penegak hukum, yang dilegalisasi dengan pembuatan berita acara pengambilan alat bukti.

DAFTAR PUSTAKA

Lelyemin, F Marselus Pasha. Nugroho dan Edy Hartadi, 2007. Kedudukan Rekaman Video sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, Fakultas Hukum Unika Atmajaya. Jakarta

Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung Nawawi Arief, Barda. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. ---. 2004. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6915/alat-bukti-rekaman.Diakses

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian tersebut yaitu untuk mendeskripsikan mengenai perencanaan post-test dalam pembelajaran bidang studi IPS, untuk memperoleh infomasi mengenai

dipilih adalah karyawan yang membuat laporan keuaangan perusahaan dan dapat menjelaskan mengenai laporan keuangan yang dibuatnya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

Pemberlakuan Komitmen pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan Izin Usaha atau

No Satuan Kerja Kegiatan Nama Paket Jenis Volume Pagu Sumber.. Dana

Kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu perhatian dari World Health Organization (WHO), karena angka kematian ibu dan anak merupakan salah satu masalah dari negara ASEAN,

Abstract. Air bersih merupakan kebutuhan dasar yang penting dan dominan dalam pemenuhan kegiatan sehari-hari. Namun ketersediaan air terbatas jumlahnya sedangkan jumlah

Pada tanggal 31 Desember 2012 dan 2011, Perusahaan dan Entitas Anak telah membayar sebesar Rp153.634.644 dan Rp97.252.540 dan yang disajikan sebagai bagian dari Uang

“I didn’t think so.” He glanced around, as if come for the first time to a new place.. “No one is likely to pass down these corridors,