• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

16 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Fiscal Federalism

Teori Fiscal Federalism menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat tercapai melalui pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan kepada pemerintah tingkat rendah (Akai & Sakata, 2002). Bodman et al. (2009) menyatakan bahwa secara teoritis desentralisasi fiskal merupakan devolusi tanggung jawab fiskal dan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dapat meningkatkan atau mengurangi ekonomi pertumbuhan. Fungsi utama dari desentralisasi fiskal yaitu meningkatkan efisiensi sektor publik dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Faridi, 2011).

Menurut Bahl (1999), dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, pelimpahan sebagian wewenang pemerintah dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan

(2)

17

oleh daerah. Namun, dalam pengelolaan pembiayaan tugas desentralisasi, prinsip efisiensi juga menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan.

Teori Fiscal Federalism terbagi dalam dua perspektif yakni teori tradisional atau teori generasi pertama (First Generation Theories) dan teori perspektif baru atau teori generasi kedua (Second Generation Theories). Hayek (1945) mengemukakan bahwa teori tradisional menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi. Dalam pandangan teori tradisional terdapat dua pendekatan yang menekankan keuntungan alokatif desentralisasi. Pertama, adalah tentang penggunaan knowledge in society, yang menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakat. Dalam konteks keuangan publik, pemerintah daerah mempunyai informasi yang lebih baik dibanding pemerintah pusat tentang kondisi daerah masing-masing, sehingga pemerintah daerah akan lebih baik dalam pengambilan keputusan penyediaan barang dan jasa publik dibanding penyediaan hal tersebut oleh pemerintah pusat. Keadaan ini disebut alloocative efficiency. Kedua, Tiebout (1956) memperkenalkan dimensi persaingan dalam pemerintah dan kompetisi antar daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Hal ini tidak terjadi jika pemerintah pusat sebagai penyedia barang dan jasa publik yang seragam.

Teori generasi kedua yang dikenal dengan teori perspektif baru yang dikemukakan oleh Musgrave (1959) dan Oates (1972) lebih menekankan

(3)

18

pentingnya revenue dan expenditure assignment antar level pemerintahan. Teori ini menjelaskan bagaimana desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap perilaku pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat peraturan tentang ekonomi lokal, maka campur tangan pemerintah pusat dalam perekonomian daerah dibatasi.

Menurut Mardiasmo (2002), desentralisasi fiskal menuntut tiap-tiap daerah memiliki kemandirian fiskal yang tinggi dengan mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal dikatakan menawarkan sejumlah manfaat bagi tata kelola sektor publik, termasuk pertumbuhan, akuntabilitas, dan responsivitas para pejabat pemerintah terhadap tuntutan lokal dan kebutuhan (Amagoh & Amin, 2012).

Desentralisasi fiskal dapat dibagi menjadi dua luas kategori, yaitu: (i) otonomi fiskal pemerintah daerah, dan (ii) pentingnya fiskal pemerintah daerah. Otonomi fiskal pemerintah daerah berkaitan dengan transfer fiskal antar pemerintah. Pinjaman daerah dan tanggung jawab untuk penyediaan barang dan jasa publik, sedangkan kepentingan fiskal terhubung langsung dengan tingkat tanggung jawab pengeluaran pemerintah daerah terhadap tingkat dari seluruh pengeluaran pemerintah (Aristovnik, 2012). Desentralisasi fiskal memberikan struktur insentif yang lebih besar bagi pemerintah untuk lebih efisien dalam mengalokasikan sumber daya keuangannya, namun itu tidak selalu mengaruh pada pertumbuhan yang kuat karena meningkatknya kesenjangan antar daerah terutama di tingkat kapasitas pembangunan dan sumber daya (Tirtosuharto, 2010).

(4)

19

Menurut Penthury (2011), dalam desentralisasi fiskal pemerintah daerah harus mampu memberikan fasilitas pelayanan publik dengan baik untuk seluruh masyarakat lokal. Infrastuktur merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi, dengan menyiapkan infrastuktur yang baik maka akan meningkatkan produktivitas (Modebe et al, 2012). Pemberian pelayanan publik kepada masyarakat sangat penting mengingat masyarakat telah memberikan sumber daya kepada daerah berupa pembayaran pajak-pajak yang mampu meningktakan penerimaan daerah. Untuk mencapai salah satu tujuan utama dari desentralisasi fiskal, yakni meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola keuangan daerahnya dengan baik dan mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar untuk belanja langsung, khususnya belanja modal (Irwanti, 2014).

2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan dari PAD adalah untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi. PAD merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang oleh PAD terhadap APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat (Ardiansyah, dkk., 2014).

(5)

20

Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 6, Pendapatan Asli Daerah bersumber dari: (1) pajak daerah, (2) retribusi daerah, (3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan (4) lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Dari keempat Sumber Pendapatan Asli Daerah tersebut, pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi daerah (Olatunji, et al, 2009)

Pendapatan Asli Daerah diperoleh dengan sumber dari daerah itu sendiri, maka dalam pemanfaatannya lebih fleksibel. Semakin besar rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap pengeluaran daerah yang disebut sebagai derajat kemandirian daerah, akan berdampak terhadap pengalokasian anggaran yang lebih banyak untuk publik. Salah satu komponen PAD adalah pajak daerah dimana pajak tersebut merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaran otonomi daerah (Feltensein dan Iwata, 2005). Syahril (2011) mengatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu sumber penerimaan yang harus dipacu pertumbuhannya secara berkesinambungan. Agar hal ini dapat dicapai, tentunya komponen-komponen yang berkaitan dengan itu harus ditindak lanjuti dengan cara memberikan pelayanan yang baik dan perbaikan-perbaikan fasilitas umum bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat turut merasakan manfaat pajak yang dibayarkan.

2.1.3 Dana Perimbangan

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana

(6)

21

Perimbangan mempunyai tujuan untuk mengurangi kesenajangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun antar pemerintah daerah.

Menurut Saragih (2003), Dana perimbangan yang merupakan bentuk dari perimbangan pusat dan daerah diimplementasikan melalui tiga pendekatan, yaitu: presentase (by percentage), formula (by formula), dan berdasarkan kebutuhan yang bersifat khusus atau insidental (by specific need). Pendekatan persentase adalah strategi yang paling baik untuk menciptakan keadilan bagi semua daerah, artinya daerah yang potensial dari sudut ekonomi dan SDA maka wajar jika daerah tersebut mendapatkan bagian pendapatan (share) yang relatif lebih besar dibandingkan daerah yang tidak memiliki potensi SDA (bukan daerah penghasil). Pendekatan formula bertujuan untuk mendekati pembagian yang relatif objektif sesuai dengan kondisi terakhir daerah. Sedangkan pendekatan khusus untuk menanggulangi pengeluaran daerah yang disebabkan oleh suatu keadaan tertentu.

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 159 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 10 Ayat 1, Dana Perimbangan terdiri atas:

1) Dana Alokasi Umum (DAU)

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. DAU berperan dalam pemerataan horizontal (horizontal equalization) dengan cara menutup celah fiskal (fiscal gap) yang berada diantara kebutuhan fiskal dan potensi ekonomi yang dimiliki daerah. DAU sering disebut dengan bantuan tak bersyarat (unconditional grants) karena

(7)

22

merupakan jenis transfer antar tingkat pemerintah yang tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu (Ardiansyah, dkk., 2014).

Selanjutnya dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan selisih antara kapasitas fiskal daerah/potensi daerah (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal Daerah (fiscal need). Sedangkan alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (Mardiasmo, 2002).

2) Dana Alokasi Khusus (DAK)

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK atau specifict grants merupakan jenis transfer yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam

(8)

23

bantuan tersebut. Bentuk transfer pemerintah pusat ini diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu sesuai dengan program pemerintah pusat, tanpa harus membebani pembiayaan dari pemerintah daerah (Mardiasmo, 2002).

Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan khusus yang dimaksud diatas adalah: (1) kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, serta saluran irigasi primer, dan (2) Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

3) Dana Bagi Hasil (DBH)

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan utama dari DBH adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal vertikal.

DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: (1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), (2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan (3) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21.

(9)

24

Sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: (1) Kehutanan, (2) Pertambangan Umum, (3) Perikanan, (4) Pertambangan Minyak Bumi, (5) Pertambangan Gas Bumi, dan (6) Pertambangan Panas Bumi. Perimbangan dalam bentuk prosentase ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah nomor: 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Untuk DBH PBB, 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut: 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota dan 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu (Badrudin, 2011).

Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. Penerimaan Pertambangan Umum terdiri atas Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti). Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh

(10)

25

persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota (Saragih, 2003).

2.1.4 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan rakyat dimana manusia bukan hanya merupakan obyek pembangunan tetapi diharapkan dapat menjadi subyek, sehingga dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi kemajuan suatu wilayah yang secara makro menjadi kemajuan suatu negara. Keberhasilan pembangunan diukur dengan beberapa parameter, dan paling populer saat ini adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI) (Pratowo, 2011). Indeks Pembangunan Manusia adalah suatu indikator yang dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara terukur dan representatif yang diperkenalkan melalui United Nations Development Programe (UNDP) pada tahun 1990 oleh seorang pemenang nobel India Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom dari Pakistan yang dibantu oleh Gustav Ranis. Artaningtyas, dkk. (2011) mengemukakan bahwa IPM lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya pendapatan per kapita untuk melihat kemajuan pembangunan yang selama ini digunakan. IPM dapat mengetahui kondisi pembangunan di daerah dengan alasan:

1) IPM merupakan indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas manusia.

2) IPM menjelaskan tentang bagaimana manusia mempunyai kesempatan untuk mengakses hasil dari proses pembangunan, sebagai bagian dari

(11)

26

haknya seperti dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.

3) IPM digunakan sebagai salah satu ukuran kinerja daerah, khususnya dalam hal evaluasi terhadap pembangunan kualitas hidup masyarakat penduduk. 4) Meskipun menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam

pembangunan kualitas hidup manusia, IPM belum tentu mencerminkan kondisi sesungguhnya namun untuk saat ini IPM merupakan satu-satunya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan kualitas hidup manusia.

Menurut BPS (2015) IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and helathy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living). Dalam publikasi BPS mengenai variabel dalam IPM metode baru maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Angka Harapan Hidup Saat Lahir – AAH (Life Expectancy – e0) yaitu rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir. 2) Rata-rata Lama Sekolah – RLS (Mean Years of Scholling – MYS) yaitu jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal.

3) Angka Harapan Lama Sekolah – HLS (Expected Years of Scholling – EYS) yaitu lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang.

(12)

27

4) Pengeluaran Per Kapita Disesuaikan yang dapat ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli (Purchasing Power Parity – PPP).

Penghitungan IPM dihitung sebagai rata-rata aritmatik dari indeks kesehatan, pendidikan, dan pengeluaran yang disajikan dalam rumus sebagai berikut:

IPM = 1/3 (Ikesehatan + Ipendidikan + Ipengeluaran) X 100 ... (1)

Dimana:

Ikesehatan = indeks angka harapan hidup

Ipendidikan = indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata

lama sekolah)

Ipengeluaran = indeks pengeluaran per kapita disesuaikan

Untuk melihat capaian IPM antar wilayah dapat dilihat melalui pengelompokkan IPM ke dalam beberapa kategori, yaitu:

IPM < 60 : IPM rendah 60 ≤ IPM < 70 : IPM sedang 70 ≤ IPM < 80 : IPM tinggi

IPM ≥ 80 : IPM sangat tinggi

2.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang, landasan teori, dan hasil penelitian sebelumnya, maka berikut disajikan kerangka pemikiran yang dituangkan dalam model penelitian. Hubungan beberapa variabel tersebut di atas dapat digambarkan sebagai berikut.

(13)

28

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

2.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia

Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah, pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan (Darwanto dan Yustikasari, 2007).

PAD merupakan sumber pembiayaan yang paling penting dalam mendukung kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Artinya suatu daerah harus memiliki sumber-sumber pendapatan sendiri, karena salah satu indikator untuk melihat kadar otonomi suatu daerah terletak pada besar kecilnya kontribusi daerah tersebut dalam PAD. Besar kecilnya hasil PAD paling tidak dapat mengurangi tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat dan pada gilirannya akan membawa dampak pada peningkatan kadar otonomi daerah tersebut. PAD merupakan pendapatan daerah yang secara bebas dapat digunakan

H1

Pendapatan Asli Daerah (X1)

Dana Alokasi Umum (X2)

Dana Alokasi Khusus (X3)

Dana Bagi Hasil (X4)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Y) H3

H4

(14)

29

untuk masing-masing daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah (Wijaya, 2007). Pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi yang akan berdampak secara langsung terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada daerah tersebut (BAPPENAS, 2003). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah, dkk. (2014) menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap IPM. Lugastro (2013) menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif signifikan terhadap IPM. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H1: Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan

Manusia

2.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum pada Indeks Pembangunan Manusia Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antar daerah satu dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini, pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintah (UU No. 32 Tahun 2004).

Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat kepemerintah daerah, dan pemerintah daerah seharusnya mengalokasikan dana ini untuk belanja langsung, yakni belanja yang memberikan

(15)

30

pelayanan lebih baik kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tuntutan dari otonomi daerah. Oleh karena itu, alokasi yang tinggi bagi daerah bukan indikator kekayaan, melainkan pengalokasian dana yang lebih tinggi bagi belanja langsung yang sangat berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irwanti (2014) menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Setyowati dan Yohana (2012) menyatakan bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H2: Dana Alokasi Umum berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan

Manusia

2.2.3 Pengaruh Dana Alokasi Khusus pada Indeks Pembangunan Manusia Dalam hubungannya dengan perimbangan antara keuangan pusat dengan daerah, Dana Alokasi Khusus hanya mempunyai fungsi sebagai pelengkap dari jenis dana perimbangan lainnya. Namun dewasa ini peran Dana Alokasi Khusus sangat penting dalam pembangunan daerah, hal ini disebabkan karena pada umumnya komponen-komponen utama Dana Perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum digunakan untuk belanja tidak langsung. Oleh sebab itu, pemanfaatan dan penggunaan DAK menjadi faktor penting guna pembangunan daerah itu sendiri yang akan berdampak pada pembangunan nasional.

Sejak pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2001, cakupan sektor atau kegiatan yang dibiayai oleh DAK bertambah banyak. Pada

(16)

31

tahun 2007, penggunaan DAK telah meliputi tujuh bidang pelayanan pemerintahan, yakni pendidikan, kesehatan, pertanian, pekerja umum, prasana pemerintahan, kelautan dan perikanan, serta lingkungan hidup. Jadi APBN mengalokasikan DAK untuk membiayai pelayanan publik tertentu yang disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. Selain berperan dalam menunjang penerimaan daerah DAK juga berperan cukup penting dalam meningkatkan kapasitas belanja modal pemda dengan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Jadi hal ini mampu mendorong pemerintah daerah agar dapat meningkatkan mutu kualitas pembangunan manusia melalui pengalokasian anggaran belanja modal yang secara otomatis berorientasi pada kesejahteraan masyarakat (Usman, 2008). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irwanti (2014) menunjukkan bahwa Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap IPM. Lugastro (2013) menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif signifikan terhadap IPM. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H3: Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan

Manusia

2.2.4 Pengaruh Dana Bagi Hasil pada Indeks Pembangunan Manusia

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan angka presentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi hasil dimaksudkan untuk mengatasi ketidakseimbangan vertikal antar tingkat pemerintah (dana bagi

(17)

32

hasil & dana alokasi umum) menyamakan kemampuan fiskal pemerintah daerah mendorong belanja daerah untuk kegiatan-kegiatan prioritas pembangunan nasional, mendorong pencapaian pelayanan dan standar minimum, dan merangsang mobilisasi pendapatan. Dana Bagi Hasil merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah, khususnya belanja langsung sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai yang dapat diukur dengan IPM (Colfer, 2005 dalam Irwanti, 2014). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lugastro (2013) menyatakan bahwa Dana Bag Hasil berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H4: Dana Bagi Hasil berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan

Manusia

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan keanekaragaman jenis bivalvia yang hidup pada kawasan hutan mangrove pantai Nanganiki Desa Ne’otonda,

Bagi Warga Jemaat yang akan pindah / keluar dari wilayah pelayanan Jemaat GPIB “ PANCARAN KASIH ” Depok, agar menyelesaikan Surat Pindah ( Attestasi ) di Kantor Majelis Jemaat

Karakteristik individu dan keluarga nantinya akan berhubungan dengan pengetahuan gizi yang dimiliki, Pengetahuan tentang gizi dan makanan akan mempengaruhi pola dan kebiasaan

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa terdapat pengaruh hasil belajar antara siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah materi passing

Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui proses pengambilan keputusan konsumen teh celup Sariwangi di Kota Denpasar yang meliputi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk mengkonversi lahan pertanian dan pengaruh konversi

Pengertian di atas, tampaknya perlu digali lebih mendalam, untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan: bagaimana distribusi penyebaran RTH di DKI Jakarta dalam

• Pencegahan jenis ikan yang dilarang, dilindungi dan dibatasi melalui pintu pemasukan dan pengeluaran (impor, ekspor, dan antar area dalam wilayah Republik Indonesia)