• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Anak Usia 6-14 Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Anak Usia 6-14 Tahun"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Usia 6-14 Tahun

Definisi

Definisi anak usia 6-14 tahun adalah usia masa peralihan dari balita menjadi anak-anak dan remaja, ditandai dengan perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai membesar dan meningginya organ tubuh. Anak usia ini lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah, klub olahraga, dan tempat mainnya. Anak usia ini juga sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan teman sebaya, guru, istruktur olahraga, dan idolanya (Mahan & Escott – Stump 2004).

Karakteristik Usia Sekolah (6-14 tahun)

Kelompok usia ini merupakan usia wajib sekolah 9 tahun (dari SD s/d SMP). Beberapa karakteristik anak usia ini adalah sebaga berikut:

 Anak banyak menghabiskan waktu diluar rumah  Aktifititas fisik anak semakin meningkat

 Pada usia ini anak akan mencari jati dirinya.

Anak akan banyak berada diluar rumah untuk jangka waktu antara 4 sampai 5 jam. Pada saat waktu bangun pagi kadar gula darah anak dalam tingkatan minimal, jika anak berangkat tanpa makan pagi, berarti setiba di sekolah akan keadaan hipoglikemi. Aktifitas fisik anak yang semakin meningkat, seperti pergi dan pulang sekolah, bermain dengan teman, akan meningkatkan kebutuhan energi. Apabila anak tidak memperoleh energi sesuai kebutuhannya, maka akan terjadi pengambilan cadangan lemak tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga anak menjadi lebih kurus dari sebelumnya.

Pada usia ini anak akan mencari jati dirinya, dan akan sangat mudah terpengaruh lingkungan sekitarnya, terutama teman sebaya, dimana pengaruhnya sangat kuat, seperti anak akan mengalami berbagai perubahan, termasuk perubahan kebiasaan makan. Pengaruh media massa terutama televisi juga turut membentuk pola kebiasaan makan, pemilihan bahan makanan, kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu, dan jajan yang tidak

(2)

terkontrol, sehingga menyebabkan pemenuhan kebutuhan gizi anak tidak cukup. Keseluruhan faktor tersebut menjadi perhatian orang tua, sehingga tidak menyebabkan terjadinya masalah gizi pada anak. Menanamkan kebiasaan makan dan memilih makanan yang baik, etika dan sopan santun di meja makan harus ditanamkan pada usia ini (Moehyi 1996).

Umur dan Jenis Kelamin. Umur dan jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi, dan akan berpengaruh terhadap status gizi, sehingga terdapat hubungan antara jenis kelamin dan status gizi (Apriadji 1986). Untuk mengobservasi perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan adalah dengan penentuan body fat dan muscle. Perbedaan kandungan body fat antara jenis kelamin terus berlangsung selama rantai kehidupan. Selama usia prepubescent (8-13 tahun), bodyfat pada perempuan meningkat sangat cepat, dan sampai pada puncaknya setelah usia 11 tahun (Hui 1985).

WHO (2000) menyatakan bahwa perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengkonsumsi sumber karbohidrat yang lebih banyak sebelum pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengkonsumsi makanan kaya protein, Tetapi hasil penelitian Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki lebih memungkinkan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai pada saat waktu senggang dibandingkan wanita.

Status Gizi Definisi status gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang, atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan (Riyadi 2003). Kekurangan atau kelebihan zat gizi dalam tubuh akan mempengaruhi status gizi yang pada akhirnya menyebabkan masalah gizi. Depkes (2002), menyebutkan status gizi adalah keadaan fisiologis sebagai akibat dari kesimbangan antara intake dengan

(3)

penggunaan zat gizi oleh tubuh. Menurut almatsier (2001), status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.

Sedangkan menurut Jahari (2002), menyebutkan bahwa status gizi disebut seimbang, atau gizi baik, bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan. Status gizi tidak seimbang, dapat dipresentasikan dalam bentuk kurang gizi, yaitu bila jumlah asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan, dan dalam bentuk gizi lebih, yaitu bila asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan.

Status gizi lebih merupakan kondisi dimana berat badan melebihi standar berat badan normal. Gizi lebih dapat terjadi pada semua lapisan umur, dari mulai bayi, balita, anak-anak, orang dewasa, dan lansia. Persatuan ahli gizi rumah sakit Cipto Mangun Kusumo ( RSCM), mengatakan gizi lebih yang dapat menyebabkan kegemukan dibagi dua yaitu berat badan overweight yang berarti berat badan lebih dari 10-20 % dari berat badan ideal, dan obesitas yaitu kondisi tubuh memiliki berat badan lebih 20 % berat badan ideal. Overweight adalah kondisi berat badan melebihi berat normal, sedang obesitas adalah kondisi kelebihan berat badan akibat tertimbunnya lemak, pada pria 20 % sedang pada wanita 25 % (Rimbawan dan Siagian 2004).

Cara Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi secara garis besar dibedakan menjadi 2 jenis, salah satunya yaitu Penilaian status gizi secara langsung yang terdiri dari: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik, sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi pangan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2002).

Penilaian Status Gizi secara Antropometri . Menurut Gibson (2005), antropometri merupakan salah satu metode untuk menilai status gizi secara langsung. Antropometri berarti ukuran tubuh manusia, sehingga antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

Indeks antropometri yang direkomendasikan antara lain : 1. Berat badan menurut umur (BB/U)

(4)

2. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 3. Tinggi badan menurut umur (TB/U)

4. Lingkar lengan atas (LILA) 5. Lingkar kepala (LIKA)

6. Tebal lemak bawah kulit menurut umur 7. Rasio lingkar panggul dengan pinggul

Untuk penilaian status gizi pada anak usia 6-14 tahun dalam hal tingkat kegemukan, dapat dinilai berdasarkan IMT yang dibedakan menurut umur dan jenis kelamin. Untuk menentukan kurus adalah apabila nilai IMT kurang dari 2 standar deviasi (SD) dari nilai rerata, dan berat badan (BB) lebih jika nilai IMT lebih dari 2SD nilai rerata standar WHO 2007 (Tabel 1).

Tabel 1 Standar Penentuan Kekurusan dan Kegemukan menurut Nilai Rerata IMT, Umur dan Jenis Kelamin (WHO 2007)

Umur

(Tahun) Laki-laki Perempuan

Rerata IMT -2SD +2SD Rerata IMT -2SD +2SD

6 15,3 13,0 18,5 15,3 12,7 19,2 7 15,5 13,2 19,0 15,4 12,7 19,8 8 15,7 13,3 19,7 15,7 12,9 20,6 9 16,1 13,5 20,5 16,1 13,1 21,5 10 16,4 13,7 21,4 16,6 13,5 22,6 11 16,9 14,1 22,5 17,3 13,9 23,7 12 17,5 14,5 23,6 18,0 14,4 24,9 13 18,2 14,9 24,8 18,8 14,9 26,2 14 19,0 15,5 25,9 19,6 15,5 27,3

Penilaian dengan menggunakan IMT ini direkomendasikan sebagai dasar indikator antropometri untuk anak dan remaja yang kurus dan gemuk. Ditegaskan juga penilaian status gizi pada anak dan remaja dapat dilakukan secara antropometri dengan menggunakan indeks BB/TB2 yang dikenal dengn Indeks Masa Tubuh berdasarkan umur (BMI for age) yang kemudian dinilai baku WHO-NCHS dalam bentuk pensentil.

(5)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Berdasarkan studi kepustakaan yang ditemukan sebelumnya yaitu; beberapa variabel bebas (independen) yang merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi adalah sebagai berikut:

Asupan Zat Gizi. Asupan gizi merupakan faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang. Masalah gizi biasanya timbul karena terjadi ketidakseimbangan asupan zat gizi. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup serta seimbang, merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia.

Makanan yang ideal yaitu makanan yang mengandung cukup energi dan semua zat gizi esensial, tersedia dalam jumlah yang cukup, dan sesuai kebutuhan sehari-hari. Jumlah energi dan protein yang diperlukan untuk pertumbuhan normal tergantung dari kualitas zat gizi yang dimakan, bagaimana zat gizi diserap, dan penggunaan oleh tubuh itu sendiri (Pudjiadi,2000).

Asupan zat gizi untuk memenuhi kecukupan gizi seseorang, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu. Kebutuhan gizi merupakan ukuran kebutuhan seseorang terhadap zat gizi, yang dipengaruhi, umur, jenis kelamin, aktiftas, basal metabolic indexs. Menurut Mahan & Escott – Stump (2004) menyatakan bahwa keturunan /genetika dan lingkungan merupakan determinan yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertumbuhan merupakan refleksi dari kondisi kesehatan seseorang, sedangkan penyebab langsung seorang anak dapat tumbuh dan berkembang secara baik adalah cukupnya masukan zat gizi serta terbebasnya dari penyakit infeksi.

Pada usia pertengahan biasanya anak-anak mempunyai nafsu makan yang bagus. Mereka banyak makan karena kegiatannya menuntut energi yang. banyak, dan dalam usia ini berat badannya meningkat dua kali lipat. Untuk mendukung pertumbuhan spontan ini, anak-anak memerlukan 2.050 kalori setiap hari, 34 gram protein, dan rata-rata karbohidrat yang tinggi, minimum harus tetap dipertahankan (Williams & Cakiendo 1984).

Kebutuhan energi anak yang sehat berbeda-beda, hal ini ditentukan atas dasar kebutuhan kalori, tingkat pertumbuhan, dan pengeluaran energi. Kebutuhan energi berhubungan dengan konsumsi makanan yang cukup untuk memenuhi

(6)

kebutuhan kalori, protein, mineral dan vitamin sebagai zat sumber tenaga, pertumbuhan dan untuk cadangan energi tetapi tidak berlebihan, sehingga menjadi obesitas. Ukuran kebutuhan energi berdasar kelompok zat gizi adalah 50%-60% dari karbohidrat 25%-35% dari lemak, dan 10%-15% dari protein.

Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktifitas fisik; anak yang kurang aktif , dapat menjadi kelebihan berat badannya atau mungkin obesitas. Adapun anak yang sangat aktif akan membutuhkan energi yang lebih banyak dari yang direkomendasikan.

Tabel 2 Kecukupan Energi dan Protein Anak Usia 6-14 tahun

Umur (tahun) Berat Badan (Kg) Tinggi Badan (cm) Angka Kecukupan Energi (Kal/orang//hari) Angka Kecukupan Proteian (gram/orang/hari) 7-9 25 120.0 1800 45 Pria 10-14 35 138.0 2050 50 Wanita 10-14 38 145 2050 50

Sumber : Hardinsyah dan Tambunan (2004) diacu dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004.

Perilaku dan Kebiasaan Makan. Perilaku dan kebiasaan makan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya obesitas pada seseorang. Penderita obesitas ternyata sering berasal dari keluarga yang punya kebiasaan makan dalam porsi besar, frekuensi sering, selalu punya persediaan makanan kecil, dan makan diluar waktu makan (Taviano 2005). Makan adalah aktivitas sosial yang dilakukan berulang, dan banyak kebiasaan makan didapatkan dari keluarga dan tradisi. Anak cenderung untuk untuk mengikuti pola makan orang tuanya (Bhadrinath 1990 & Root 1990 diacu dalam Institute of Medicine of the National Academies 2001).

Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberi gambaran perilaku dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau suatu kelompok dalam masyarakat. Selanjutnya Khumaidi (1994) menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah bagaimana tindakan manusia terhadap makan dan makanan yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan perasaan apa yang dirasakan serta persepsi tentang hal tersebut Pola makan

(7)

memberi andil yang besar terhadap kegemukan atau obesitas. Pola makan yang tinggi kalori dan lemak akan menyebabkan keseimbangan energi positif (terjadi penimbunan energi dalam bentuk lemak). Pola makan yang sesuai untuk gaya aktif dapat berlanjut setelah seseorang berubah menjadi gaya hidup lebih sedentary (Institue of Medicine of the National Academies 2001).

Seseorang yang menderita obesitas cenderung untuk menukar waktu makan ke waktu yang berikutnya dan biasanya melangkahi sarapan (Berteus, Forslund,Lindroos, Sjostrom, & Lissner 2002; Ortega et al.1998. diacu dalam Phelann &Wadden (2004). Seseorang yang melangkahi waktu makan utama atau memiliki pola makan yang berubah-ubah, cenderung untuk mempunyai rasa lapar yang lebih besar.

Konsumsi Sayur dan Buah. Mengkonsumsi sayur dan buah merupakan upaya yang dapat mencegah kejadian obesitas, karena dapat mengurangi lapar tetapi tidak menimbulkan kelebihan lemak dan sebagainya. Sayur dan buah juga mengandung serat kasar yang dapat membantu melancarkan pencernaan dan mencegah konstipasi (Hui 1995). Konsumsi sayuran dan buah adalah bagian dari strategi diet dalam mengontrol kegemukan dan obesitas (He et al. 2004).

Epstein et al (2001) menyatakan bahwa peningkatan intervensi sayuran dan buah menurunkan asupan tinggi lemak dan gula, sedangkan intervensi penurunan lemak dan gula tidak berpengaruh pada perubahan asupan sayuran dan buah. Peningkatan konsumsi buah lebih baik dibandingkan sayuran dalam megontrol berat badan, karena buah lebih mudah dimakan sebagai snack sedangkan sayuran sering dikombinasikan dengan bahan lain yang mengandung energi seperti mentega, saus, minyak, dan keju, dan buah juga mengandung serat yang menimbulkan efek mempercepat rasa kenyang (Drapeau el al. 2004).

Penelitian Newby et al. (2005) juga menyatakan bahwa pola makan tinggi serat, seperti konsumsi sayuran, buah-buahan, sereal, dan kacang-kacangan berhubungan terbalik dengan IMT, overweight, dan obesitas. Selain itu penelitian drapeau et al.(2004), menyatakan bahwa konsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi dapat menurunkan berat badan atau mencegah kenaikan berat badan.

(8)

Makanan/Minuman Manis. Makanan dan minuman manis merupakan bentuk makanan yang kaya energi, karena biasanya merupakan sumber karbohidrat, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan asupan energi berlebihan. Peningkatan konsumsi HFCS (high fructose corn syrup) berhubungan dengan apidemi obesitas. HFCS dan minuman manis biasanya berperan pada peningkatan total energi yang berkontribusi pada epidemic obesitas (Bray et al. 2004).

Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) memperlihatkan bahwa urbanisasi pada negara berkembang, kuat hubungannya dengan peningkatan konsumsi makanan manis. Mekanisme fisiolog, mengapa konsumsi makanan manis meningkatkan lemak tubuh, hal itu dikarenakan melibatkan tingginya densitas energi dan efek rasa lezat makanan manis. Review yang dilakukan malik et al. (2006) menunjukkan bahwa pada beberapa penelian cross sectional terdapat hubungan positif, negatife, positif, atau tidak berhubungan antara asupan minuman manis dengan obesitas..

Konsumsi Makanan Berlemak. Makanan berlemak merupakan salah satu hal penyebab terjadinya obesitas. Penelitian yang dilakukan oleh Guarllar-Castillon et al. (2007), terhadap orang spanyol yang berumur 29-69 tahun, menunjukkan bahwa makanan gorengan (food fried) berhubungan positif dengan obesitas umum karena dapat menghasilkan energi yang tinggi. Huot et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi makanan berlemak berhubungan dengan pada laki-laki, namun tidak pada perempuan. Hal ini disebabkan karena makanan berlemak memiliki energy dencity yang lebih besar dan tidak mengenyangkan , selain itu makanan berlemak memiliki rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan dan akan terjadi konsumsi yang berlebihan (Hidayati et al. 2001).

Penyebab lain adalah karena lemak mengandung kalori dua kali lebih banyak dibandingkan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki “mouth feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan

(9)

sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelan daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005)

Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity). Hal ini terjadi hanya pada subjek dimana asupan tertinggi dan energinya berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengkonsumsi makanan gorengan lebih banyak, berisiko 1.26 kali (pria) dan 1.25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Castillon et al. 2007)

Konsumsi Jeroan. Jeroan adalah organ-organ selain otot dan tulang hewan ternak yang masih banyak dikonsumsi. Di berbagai daerah di Indonesia hamper semua jeroan dimasak untuk makanan manusia, sebut saja ayam . Jeroan ayam banyak diambil sebagai makanan seperti hati, ampela, usus. Jeroan (usus, hati, babat, lidah, jantung, otak, dan paru) banyak mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SFA). Jeroan mengandung 4-15 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daging (Wikipedia 2009). Jeroan memiliki kandungan kalori dan kolesterol yang tinggi sehingga tidak baik untuk kesehatan . Makanan berlemak tinggi , seperti jeroan dan sebagainya dapat merangsang seseorang untuk mengkonsumsi kalori dalam jumlah lebih sehingga dapat memacu kegemukan

Penyakit Infeksi. Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan bakteri, virus, yang mengakibatkan kondisi tubuh dalam kondisi sehat. Penyakit infeksi mempunyai pengaruh yang besar terhadap terhambatnya pertambahan berat badan anak (Rohde 1979). Penelitian di Guatemala, Amerika Tengah menunjukkan bahwa ada hubungan erat, antara infeksi dengan kegagalan untuk menambah berat badan. Infeksi yang sering terjadi adalah infeksi salurasan pernafasan akut (ISPA) dan infeksi saluran pencernaan makanan . Infeksi pada saluran pencernaan umumnya timbul karena diare. Menurut Depkes RI (2005). Bahwa pada anak yang mendapat makanan cukup, tetapi sering terkena diare atau demam akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya dapat melemah dan dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi.

(10)

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga. Sosial ekonomi keluarga adalah keadaan keluarga dilihat dari pendidikan orang tua, penghasilan keluarga, status pekerjaan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Kelas sosial dan status sosial ekonomi mempengaruhi prevalensi terjadinya overweight. Pada beberapa negara di dunia, status sosial ekonomi yang rendah berhubungan dengan peningkatan berat badan (Molarius et al. di acu dalam Institute of Medicine of National Academies 2001).

Sejalan dengan pendapatan per kapita, kecenderungan pola makan pun berubah, yaitu terjadi peningkatan dalam asupan lemak dan protein hewani serta gula, dikuti dengan penurunan lemak dan protein nabati dan karbohidrat. Peningkatan pendapatan juga berhubungan dengan frekuensi makan di luar rumah yang biasanya tinggi lemak (WHO 2000).

Pendidikan Orang Tua dan Pengetahuan ibu. Pendidikan orang tua, merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap status gizi. Orang yang berpendidikan tinggi biasanya mempunyai pengetahuan yang tinggi, karena orang yang berpendidikan tinggi biasanya lebih mudah untuk menyerap informasi. Faktor pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi (Apriadji 1986). Seseorang yang hanya tamat SD belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi seimbang dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi, karena sekalipun berpendidikan rendah, apabila orang tersebut rajin mendengarkan informasi dan rajin mengikuti penyuluhan gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik.

Hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001), di Denpasar menyatakan bahwa anak sekolah yang memiliki ayah berpendidikan SMA dan pendidikan tinggi, berisiko 1.3 kali untuk menjadi obes dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah berpendidikan SMA ke bawah. Hal ini ditimbulkan oleh adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan pendapatan. Semakin tingi pendidikan ayah, maka semakin tinggi pendapatan dan konsumsi pangan juga akan meningkat.

(11)

Hasil penelitian Hidayat (1980) menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola konsumsi makanan melalui cara pemilihan bahan makanan. Orang yang mempunyai pendidikan tinggi cenderung memilih makanan dari segi kuantitas dan kualitas lebih baik dibandingkan yang mempunyai pendidikan lebih rendah. Menurut Ritchie (1979), menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkaitan erat dengan pengetahuan yang memungkinkan dimilikinya informasi. Selanjutnya menurut Sediaoetama (1987), pengetahuan tentang kesehatan dan gizi menjadi faktor yang menonjol dalam mempengaruhi pola konsumsi pangan.

Pendidikan orang tua akan mempengaruhi status gizi anaknya, semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka cenderung mempunyai anak dengan status gizi yang baik. Tingkat pendidikan biasaanya sejalan dengan pengetahuan , semakin tinggi pengetahuan gizi, maka semakin baik dalam pemilihan bahan makanan. Menurut penelitian Nugroho (1999), ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kegemukan. Dalam hubungannya dengan obesitas, pengetahuan gizi ibu turut menentukan dalam penentuan jenis makanan yang kaya energi. Jika jenis makanan kaya energi yang dipilih untuk disajikan di rumah tangga cukup besar maka energi yang masuk dalam tubuh akan meningkat dan akhirnya jika berlebihan akan menimbulkan obesitas (Susilowati 1992)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka status gizi anak semakin baik . Hal ini diasumsikan bahwa pendidikan orang tua yang tinggi berarti mempunyai pengetahuan gizi yang lebih baik. Tingginya pendidikan ibu berkaitan dengan pola distribusi makan dalam keluarga dan pola pengasuhan anak (Roedjito dkk. 1998 dalam Asih 2001)

Anak-anak dari ibu yang berpendidikan tinggi akan tumbuh lebih baik, karena menurut Suhardjo (1989) dalam Rijanti (2002) menyatakan tingkat pengetahuan gizi sejalan dengan tingkat pendidikan ibu. Tingkat pengetahuan gizi ibu yang baik diharapakan dapat mewujudkan penyediaan makanan sehari-hari dalam keuarga serta memberikan pendidikan gizi yang baik pada anak-anak.

(12)

Pekerjaan Orang Tua. Pekerjaan orang tua merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perilaku makan anak. Jenis pekerjaan yang dilakukan orang tua (ayah dan ibu ) akan berpengaruh terhadap besar pendapatan. Kemampuan keluarga dalam penyediaan makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi pendapatan dan daya beli yang dimiliki. Hal ini menunjukkan, bahwa, pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan (Suhardjo 1989a). Pekerjaan orang tua juga secara tidak langsung melalui pendapatan dapat menentukan fasilitas yang dimiliki keluarga sehingga dapat menentukan type aktifitas fisik anggota keluarga.

Untuk ibu yang bekerja, terdapat perbedaan dalam pembentukan kebiasaan makan anak. Apabila seorang ibu dalam keluarga juga berperan dalam mencari nafkah, maka ibu yang bekerja diluar rumah akan menghabiskan banyak waktunya diluar rumah. Hal ini akan menyebabkan rasa bersalah ibu kepada anaknya khususnya terhadap penyiapan makan, sehingga ibu yang bekerja akan lebih sering membelikan makanan diluar rumah. Biasanya pilihan terbatas pada fast food yang dijual di restoran cepat saji atau di tempat penjualan lainnya (WHO 2000).

Hal demikian dapat menyebabkan perilaku makan yang salah .Jika makanan yang diberikan tinggi kalori, rendah serat dan hal ini berkelanjutan, maka dapat menimbulkan masalah gizi pada anak, yaitu gizi lebih. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cambell dan Sanjur (1992), diacu dalam Susanti (1999) yang menunjukkan bahwa anak usia prasekolah mempunyai kecenderuangan berat badan lebih, jika ibu bekerja di luar rumah.

Pendapatan Keluarga. Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga.Pendapatan seseorang identik dengan mutu sumberdaya manusia, sehingga orang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relative tinggi pula ( Guhardja et al. 1992). Pendapatan akan menentukan daya beli seseorang atau keluarga terhadap pangan yang diperlukan (Harper et al. 1986). Pendapatan

(13)

keluarga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi konsumsi pangan, akan tetapi merupakan faktor penentu utama baik atau buruknya keadaan gizi seseorang atau kelompok (Riyadi 2001). Terdapat hubungan positif antara pendapatan dan status gizi (Subardja 2004).

Pendapatan keluarga akan relatif lebih besar jika suami dan istri bekerja di luar rumah (Susanti 1999). Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan membeli beragam bahan pangan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas (Suhardjo 1989a). Banyak keluarga muda yang memanjakan anaknya, termasuk dalam pemberian makanan yang berlebihan, khususnya yang tinggi kalori dan lemak karena meningkatnya daya beli pangan ( Soelistjani dan Helianty 2003). Perubahan pola makan anak pada golongan social ekonomi tertentu akibat meningkatnya daya beli turut mempengaruhi insiden berat badan lebih, dengan kata lain akan meningkatkan jumlah kegemukan (Subardja 2004). Pendapatan suatu keluarga juga akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan keluarga, termasuk sarana berman dan olah raga bagi anak. Keluarga dengan pendapatan tinggi cenderung menyediakan sarana yang bersifat hemat waktu dan tenaga, sehingga energi yang digunakan untuk aktifitas berkurang

Jumlah Anggota Keluarga. Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu hal yang mempengaruhi status gizi. Masalah yang terjadi pada keluarga dengan jumlah keluarga yang banyak dan sedikit pasti ada pebedaan . Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran anak yang cukup dekat akan lebih banyak menimbulkan banyak masalah. Dalam aktifitas makan bersama, anak yang lebih kecil akan mendapatkan jatah makanan lebih sedikit. Menurut Apriadji (1986) menyatakan bahwa anak yang terlalu banyak, selain menyulitkan dalam mengurusnya, juga kurang bisa menciptakan suasana tenang dirumah. Lingkungan keluarga yang tidak tenang akan mempengaruhi ketenangan jiwa dan akan berdampak terhadap nafsu makan anggota lainya.

Aktivitas Fisik. Aktifitas fisik merupakan komponen penting dalam pengeluaran energi dalam tubuh, disamping metabolisme faal dan spesifik dynamic action pada jenis-jenis makanan (Suyono 1986). Aktivitas fisik merupakan komponen yang penting dalam manajemen pengaturan berat badan.

(14)

Penurunan aktifitas fisik pada saat ini sangat berpengaruh pada perubahan keseimbangan energi positif dan peningkatan berat badan pada masyarakat industry (Institut of Medicine of the National Academies 2001) .

Anak dengan kegemukan atau overweight biasanya kurang melakukan aktifitas. Orang yang selalu aktif melakukan aktifitas ternyata dapat mencegah pertambahan berat badan sesuai pertambahan umur (WHO 1995). Hal yang terjadi pada anak-anak dengan adanya sedentary life , anak-anak menghabiskan waktunya banyak bermain dengan peralatan elektronik, mulai dari computer, televisi, hingga video game dibandingkan bermain diluar. Anak-anak dibawah usia delapan tahun mengahabiskan waktu rata-rata 2,5 jam untuk menonton televisi , dan anak yang berusia diatas delapan tahun mengahabiskan 4,5 jam di depan telivisi atau video game. Anak-anak yang menonton televisi lebih dari empat jam sehari, lebih mudah menjadi gemuk daripada anak yang menonton televisi dua jam sehari atau kurang (Gavin 2005). Penelitian di Amerika pada anak-anak, menunjukkan bahwa anak dengan lama waktu menonton televisi 5 jam per hari, memiliki risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dari pada anak dengan lama waktu menonton 2 jam per hari (Hidayati et al 2006).

Selain aktifitas menonton TV, jumlah waktu tidur juga berhubungan dengan kegemukan. Anak dengan waktu tidur lebih sedikit berisiko lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Chaput et al. 2006). Kemungkinan tersebut disebabkan karena orang gemuk memiliki kualitas tidur yang buruk, hal ini berhubungan dengan gangguan dari hormone dan kelenjar neuroendokrin (vioque et al. 2000). Penurunan titik berat pada pelajaran olahraga di sekolah dibarengi dengan penurunan fitness pada anak-anak. Aktifitas fisik yang kurang adalah risiko utama untuk perkembangan obesitas pada anak-anak dan dewasa (Institute of Medicine of National Academiees 2001).

Genetik. Genetik mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap terjadinya obesitas. Faktor genentik anak yaitu faktor keturunan dari orang tua yang berhubungan dengan status gizi. Anak dari orang tua dengan berat badan normal mempunyai peluang 10 persen berkegemukan ( Purwati et al. 2004). Menurut Bouchard C (1998), mengatakan Indeks Massa tubuh (IMT) adalah

(15)

salah satu bentuk genetic, seseorang yang IMT orang tuanya gemuk cenderung anaknya menjadi gemuk. Anak yang salah satu orang tua mengalami obesitas, maka kemungkinan anak mengalami gizi lebih peluangnya adalah 40 % dan peluang anak mengalami gizi lebih meningkat menjadi 80 % jika kedua orang tua obesitas (Khomsan 2002). Hasil penelitian menyatakan, bahwa keturunan body mass atau lemak tubuh yang turun temurun, merupakan proporsi yang bisa diterangkan oleh transmisi genentik. Gen bisa menyebabkan peningkatan terjadinya obesitas, selain asupan berlebih, dan aktifitas fisik yang kurang (Bouchard C, Perusse L, Rice T, Rao DC. 1998).

Indeks Mass Tubuh (IMT) adalah salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang. Menurut Supariasa et al. (2002), penggunaan IMT biasanya digunakan pada orang dewasa.

IMT= BB(Kg) TB2(m2)

Keterangan

IMT = Indeks Massa Tubuh BB = Berat badan (Kg) TB = Tinggi Badan (m)

Klasifikai status gizi dengan menggunakan IMT orang dewasa disajikan pada tabel berikut :

Tabel 3 Kategori ambang batas IMT (Kg/m2) untuk Indonesia

Katagori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat ringan

<17,0 17,0-18,5

Normal >18,5-24.9

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingak berat

>25,0-27,0 >27,0 Sumber : Departemen Kesehatan (Depkes) (1996)

(16)

Kerangka Pemikiran

Anak usia 6-14 tahun : adalah usia masa peralihan dari balita menjadi anak dan remaja, ditandai dengan perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai dengan membesar dan atau meningginya organ tubuh. Anak usia 6-14 tahun secara mental sudah mempunyai keinginan sendiri dan terkesan tidak mau diatur.

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan (Riyadi 2003). Kekurangan atau kelebihan zat gizi dalam tubuh akan mempengaruhi status gizi yang pada akhirnya menyebabkan masalah gizi.

Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada anak usia 6-14 tahun merupakan masalah penting karena akan terbawa pada saat dewasa, selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi efektifitas belajar. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi pangan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2000)

Karakteristik individu dan keluarga nantinya akan berhubungan dengan pengetahuan gizi yang dimiliki, Pengetahuan tentang gizi dan makanan akan mempengaruhi pola dan kebiasaan makan serta konsumsi pangan. Konsumsi pangan selanjutnya akan mempengaruhi status gizi melalui pengukuran indeks masa tubuh (IMT). Faktor sosial ekonomi (penghasilan keluarga, pendidikan, pekerjaan utama ) dan demografi merupakan faktor risiko yang secara langsung dapat dikaitkan dengan kegemukan seseorang. Status ekonomi yang lebih makmur secara tidak disadari dapat mengarahkan pada konsumsi berlebih yang akhirnya menyebabkan status gizi berlebih. Selain faktor – faktor yang telah disebutkan terdahulu, pola aktifitas fisik akan berpotensi untuk menyebabkan kegemukan juga akan menentukan kecenderungan seseorang menjadi gemuk karena kurang aktifitas secara fisik. bagan kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 1.

(17)

Karakteristik Anak

Jenis kelamin Karakteristik KeluargaPendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Jumlah anggota keluarga Penghasilan keluarga

Konsumsi gizi Umur

=Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang dianalisis - - - = Hubungan yang tidak dianalisis Gambar 1 Kerangka Konsep

Genetik

(IMT orang tua) Aktifitas fisik Status Kesehatan Kegemukan Pengetahuan gizi anak Kebiasaan makan Frekuensi makan sayuran

Frekuensi makan buah-buahan

Frekuensi makan makanan berlemak Frekuensi makan

/minuman manis Frekuensi makan jeroan

(18)

Hipotesis

1. Ada hubungan antara sosial ekonomi keluarga dengan kgemukan anak. 2. Ada hubungan aktifitas fisik dengan kegemukan anak.

3. Ada hubungan status kesehatan dengan kegemukan anak.

4. Ada hubungan konsumsi energi, dan protein dengan kegemukan anak. 5. Ada hubungan antara kebiasaan makan (buah, sayuran, makanan berlemak,

makan/minum, manis, jeroan) dengan kegemukan anak.

6. Ada hubungan antara genetik orang tua (IMT Ayah ) dengan kejadian kegemukan anak.

7. Ada pengaruh sosial ekonomi keluarga, aktifitas fisik, genetik orang tua (IMT ayah ) status kesehatan, perilaku konsumsi, konsumsi energi dan protein, terhadap kegemukan anak.

Gambar

Tabel 1 Standar Penentuan Kekurusan dan Kegemukan menurut Nilai Rerata IMT, Umur dan Jenis Kelamin (WHO 2007)
Tabel 2 Kecukupan Energi dan Protein Anak Usia 6-14 tahun
Gambar 1 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

A.actinomycetemcomitans adhesi protein increasing IL-8 titre in heart of wistar rat with aggressive periodontitis (Protein adhesin dari A.actinomycetemcomitans meningkatkan titer IL

Pertanyaan yang paling mendasar berkaitan dengan pengembangan kurikulum adalah apakah guru mampu mendesain, mengimpelementasikan dan mengevaluasi kurikulum muatan lokal

Ucapan terima kasih, maaf, tolong, silakan, dan nilai-nilai kebaikan lainnya harus muncul bahkan bermula dari guru di sekolah dan orang tua di rumah.Pembiasaan dengan

[r]

Al Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah (Journal of Islamic Economics) is a peer-reviewed journal published by State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

pertumbuhan yang lebih tinggi dari keempat perlakuan lainnya yaitu A, B, C, dan E, hal ini karena penambahan probiotik 15 ml/kg pakan dapat meningkatkan pertambahan

 User steve sudah dibuat, dan bisa digunakan untuk konek ke samba.. Konfigurasi menggunakan

Kaki diabetik terutama terjadi pada penderita diabetes melitus yang. telah menderita 10 tahun atau lebih dengan kadar glukosa