• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Baru Pengawasan Perda PDRD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mekanisme Baru Pengawasan Perda PDRD"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Mekanisme Baru Pengawasan Perda

PDRD

Oleh:

Robert Endi Jaweng

Manajer Hubungan Eksternal KPPOD

P

ergantian kerangka regulasi perpajakan daerah (UU No.34/2000 menjadi UU No.28/2009) tidak saja berimplikasi pada perubahan ihwal substansi pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), tetapi juga perubahan krusial dalam hal mekanisme pengawasan pemerintah pusat atas dasar hukum (Perda) yang mengatur dua jenis pungutan tersebut.

Sebagaimana hendak diuraikan dalam bagian-bagian berikutnya, mekanisme baru pengawasan perda tersebut dinilai bermasalah dari sisi substansi/perumusan dan dampak kebijakan dalam fase implementasi1, selain

masalah umum pada tahapan proses formulasi UU No.28/2009 itu sendiri. Rangkaian masalah ini berpotensi mempengaruhi efektivitas kinerja pengawasan dan bahkan berimbas pada hasil guna kebijakan perpajakan daerah.

Review Kerangka Pengaturan Pengawasan Perda PDRD

Memasuki era desentralisasi/otonomi daerah (otda) sedasawarsa lalu, kerangka legal yang mendasari pengaturan PDRD adalah UU No.34/2000.

1) Prof. Eko Prasojo, “Evaluasi Kebijakan Publik”, Materi Kuliah pada Program

Pascasarjana Ilmu Administrasi, November 2010 dan DR. Rianto Nugroho, “Bab 21: Evaluasi Kebijakan”, dalam buku “Public Policy”, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008, hlm.471-494.

(2)

2

Dibandingkan dengan aturan lama yang digantikannya, UU No.18/1997, semangat perubahan dalam produk awal reformasi ini adalah memberikan ruang bagi daerah guna mengatur dan mengadministrasi pemungutan PDRD. Hal itu, misalnya, terlihat pada: (1) Perda PDRD yang dibuat daerah tak perlu lagi mendapat pengesahan Pusat, dan (2) Pemda dibolehkan memungut PDRD di luar daftar yang tercantum dalam UU No.34/20002.

Dalam hal pengawasan Perda, perubahan yang terkandung dalam UU No.34/2000 ini terbilang substansial. Jika sebelumnya, di masa sentralisasi Orba dalam kerangka UU No.18/1997 maupun UU No.5/1974, jenis pengawasan perda dilakukan sekaligus dalam dua model3: pengawasan

preventif pada fase rancangan Perda dan pengawasan represif ketika suatu P e r d a s u d a h d i s a h k a n , U U No.34/2000 melakukan pergeseran pengawasan menjadi hanya satu model, yakni pengawasan represif setelah Perda disahkan. Hal ini sejalan

dengan model pengawasan yang dipakai dalam UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah sebagai pengganti UU No.5/19744.

Perubahan model pengawasan menjadi pengawasan tunggal secara represif ini dinilai lebih demokratis lantaran daerah lebih mandiri dalam membuat regulasi tanpa selalu dihantui ketakutan pembatalannya oleh pusat di fase rancangan, meski pada sisi lain sedikit-banyak menimbulkan kekisruhan berupa lahirnya banyak Perda bermasalah yang antara lain disebabkan hilangnya sistem deteksi dini (pengawasan preventif) dari pusat untuk bisa langsung “menghadang” kelahiran berbagai produk hukum yang cacat tersebut jauh-jauh hari sebelum terlanjur ditetapkan sebagai produk hukum definitif.

Saat ini, ketentuan pokok yang mengatur pengawasan Perda secara umum adalah UU No.32/2004. Kedudukan Perda dan Peraturan Kepda (Perbup/Perwal) diatur dalam Pasal 136-149. Khusus menyangkut pengawasan atas Perda tersebut, UU ini mengenal dua model: pengawasan represif (Psl. 145) dan pengawasan preventif atas Raperda Pajak, Retribusi, APBD, Tata Ruang (Psl. 185-189). Terkait materi muatan PDRD, jika dalam UU No.34/2000 dikenal satu model, yakni pengawasan represif (Psl. 25A), dalam UU

2) Pada hal pada masa Orba (UU No.18/1997), semua Perda PDRD harus mendapat pengesahan pemerintah pusat,

sementara dari sisi jenis pajak yang dipungut, UU tersebut menetapkan bahwa jenis dan jumlah pajak yang dipungut bersifat limitatif (closed-list system), yakni terbatas pada tiga jenis pajak untuk Propinsi dan 6 jenis pajak untuk Kabupaten/Kota.

3)Uraian tentang model-model pengawasan Perda yang pernah dipakai sejak masa Orde Baru hingga kini diuraikan

secara jelas dalam R. Siti Zuhro dan Eko Prasojo (Ed.), Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan Solusinya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak dan The Habibie Center, 2010).

4)Menarik untuk dicatat, model tunggal ini tetap dipertahankan oleh UU No.34/2000 hingga masa pergantiannya

pada akhir 2009 lalu meski UU baru yang mengatur ketentuan pokok pemerintahan daerah (UU N0.32/2004 sebagai pengganti UU No.22/1999) justru mengembalikan model ganda pengawasan Perda sebagaimana yang pernah dipakai sebelumnya pada masa sentralistik Orde Baru. Dalam UU No.32/2004 ini, pemberlakuan dua jenis sistem pengawasan dipilahkan berdasarkan jenis-jenis Perda, di mana sistem pengawasan preventif diberlakukan secara khusus untuk empat jenis Perda menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang dan APBD/ APBD-P, sementara sistem pengawasan represif diberlakuan secara umum untuk jenis-jenis Perda lainnya.

(3)

3

No.28/2009) diberlakukan dua model pengawasan, yakni pengawasan preventif (Psl 157) dan pengawasan represif (Psl 158)5 (keterangan bagan alir bisa dilihat pada Bagan 1).

Isu terkait yang juga krusial dalam model pengawasan ini adalah ihwal institusi atau pejabat di level pusat yang berwewenang melakukan pembatalan Perda PDRD. Kalau sebelumnya pembatalan dilakukan pemerintah (diwakili Mendagri), dalam UU baru secara eksplisit ditetapkan bahwa pembatalan dilakukan Presiden berdasar Peraturan Presiden.

Isi Kebijakan dan Antisipasi Dampak

Evaluasi kebijakan dalam kasus ini setidaknya menyangkut model pengawasan dan letak kewenangan pembatalan Perda. Ihwal model pengawasan, pemberlakuan model ganda preventif dan represif menyisakan beberapa catatan. Pertama, melihat praktik yang pernah ada, pemberlakukan masing-masing model tersebut tidak tegas. Mestinya, jika suatu raperda sudah melewati mesin pengawasan

5) UU baru ini tampak jauh lebih ketat mengatur mekanisme penetapan Perda dan penerapan sanksi. Untuk aspek

penetapan Perda, misalnya, ditegaskan ketentuan bahwa: (1) Raperda PDRD dievaluasi Pusat yang digunakan daerah untuk menyempurnakan Raperda sebelum ditetapkan menjadi Perda, dan (2) Perda yang telah ditetapkan wajib disampaikan kepada Menkeu dan Mendagri. Di sini, seperti yang pernah dipakai pada masa Orde Baru namun dihilangkan pada awal reformasi, sistem pengawasan mengadopsi pola kombinasi sistem preventif atas Raperda dan represif atas Perda. Sedang untuk aspek sanksi, penerapannya nanti berupa sanksi administratif (penundaan DAU atau DBH PPh) atas pelanggaran prosedur Perda dan sanksi substantif (pemotongan DAU atau DBH PPh) terhadap Pemda yang nekat memungut PDRD atas dasar Perda yang sudah dibatalkan pusat.

(4)

4

preventif dan dinyatakan lolos maka tidak semestinya di belakang hari kembali dilakukan pengawasan represif ketika sudah berlaku sebagai perda defenitif (hukum positif). Praktik semacam ini bisa kembali berulang kelak jika melihat substansi klausul dalam UU No.28/2009 yang tidak mengatur demarkasi semacam ini. Implikasinya, ketidakpastian bagi Pemda dan beban kerja ganda bagi pusat yang melakukan kedua tingkat pengawasan tersebut.

Kedua, keberadaan model pengawasan

preventif sering dinilai pusat sebagai cara untuk mendeteksi dini potensi kebermasalahan isi kebijakan. Namun, pada sisi lain, hal tersebut tentu berpengaruh pada kemandirian daerah (Pemda/ DPRD) yang akhirnya sulit untuk bertindak otonom dan menggunakan diskresi kewenangan yang ada. Ketiga, peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di Daerah yang telah mengalami reposisi dan penguatan kewenangan berdasarkan PP No.19/2010 justru mendapat ruang terbatas dalam alur mekanisme pengawasan perda dalam UU ini. Jika melihat Bagan 1 di atas, sesungguhnya peran Gubernur tak lebih sebagai perantara (kantor pos) lalu lintas pengiriman dokumen.

Bagan 2: Perubahan Kewenangan Pembatalan Perda PDRD

Sementara dalam hal kewenangan pembatalan, argumen yang sering disampaikan pusat untuk menjelaskan perubahan tersebut adalah: kebijakan yang dibuat oleh pejabat yang dipilih (Perda dibuat kepala daerah dan DPRD) tidak bisa dibatalkan pejabat yang diangkat (Menteri) tetapi mesti oleh pejabat yang dipilih juga (Presiden). Pertanyaan yang paling sederhana kemudian adalah: bagaimana nasib semua Perda yang selama ini dibatalkan berdasarkan Keputusan Mendagri, apakah bisa dipulihkan dan berlaku kembali dan Keputusan tersebut lalu batal demi hukum? Lalu, bukankah Menteri adalah pembantu Presiden dan merupakan unsur Pemerintah sehingga kewenangan Presiden bisa dilimpahkan ke tangan Menteri dan bahkan Gubernur sebagai Wakil Pusat di Daerah?

Selain itu, dari sisi manajemen kerja, mekanisme ini cukup berat dan membebani Presiden sendiri, yang pada sisi lain berpotensi tidak tertanganinya Perda bermasalah sehingga pada akhirnya merugikan masyarakat. Belum lagi kalau kita memperhatikan birokrasi review peraturan perundangan selevel PP ke bawah

(5)

5

berbelit, bahkan -- menurut informasi yang diperoleh -- bisa memakan hari kerja selama 3-5 bulan, sementara masa uji suatu Perda baru hanya 60 hari untuk kemudian berlaku otomatis. Hemat saya, ini adalah contoh kebijakan yang boleh jadi ideal secara politik tetapi sulit dijalankan dan berpotensi gagal.

Akhirnya, catatan evaluatif yang juga tak kalah problematiknya adalah terkait masa berlaku mekanisme pengawasan yang baru ini. Dalam Pasal 185 UU No.28/2009 ditetapkan bahwa UU ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2010. Terkait pengawasan Perda,

apakah mekanisme ini baru mulai berlaku terhadap Perda yang d i b u a t d a l a m kerangka UU No.28 Tahun 2009 ataukah

berlaku “surut” atas berbagai Perda yang sudah lahir dalam kerangka UU No.34 Tahun 2000?. Bagaimana dengan nasib sekitar 30006 Perda yang

sudah direkomendasi Menkeu untuk dibatalkan Mendagri? Apakah Perda tersebut tetap dalam mekanisme lama (dibatalkan Mendagri) atau sudah otomatis masuk ke jalur baru pembatalan oleh Presiden? Hingga hari ini, antar instansi di pusat sendiri (Kemendagri vs Kemenkeu) memiliki persepsi diametral mengenai hal ini7.

Pilihan Tindak Lanjut

Meski terdapat banyak masalah yang terurai di atas, pokok soal mendesak adalah terkait kewenangan pembatalan Perda. Jika pilihannya: (1) kewenangan itu dilimpahkan ke Mendagri, dengan dasar hukum pembatalan adalah KepMendagri, maka langkah lanjutan adalah bisa merevisi UU No.28/2009 yang tentu merupakan rute panjang/ berat atau pun Presiden mengeluarkan satu regulasi khusus yang mengatur pendelegasian wewenang atau dimasukan dalam PP penjabaran PDRD secara umum yang presedennya dilakukan oleh PP No.65/2001 dan PP 66/2001. Atau pilihan: (2) mengikuti garis UU No.28/2009 di mana kewenangan itu tetap ada di tangan Persiden. Disini, pemerintah menilai tak ada yang salah dengan konstruksi kebijakan, yang dibenahi adalah manajemen dan kapasitas pelaksanaan melalui upaya penguatan birokrasi (Setkab) dan tenaga ahli profesional untuk memberikan masukan bagi Presiden yang bertugas membatalkan Perda.

Apa pun pilihannya, dengan aneka resiko dan implikasi rumitnya, pusat mesti lekas mengambil langkah nyata mengingat masih banyak Perda bermasalah yang terbengkelai dan menghadapi gelombang massal Perda yang dibuat Pemda sejak Januari 2011 ini.

-- o0o --

6) Kita tahu, sejak 2001 hingga akhir 2010, sebanyak 13.622 perda pajak atau retribusi telah dikirim ke pusat. Pihak

Kementerian Keuangan telah mengkaji 13.252 perda, dengan 4.885 direkomendasikan batal ke Menteri Dalam Negeri. Sepanjang sepuluh tahun tersebut, Mendagri baru bisa membatalkan 1.843 Perda, yang berarti masih ada 3.042 Perda yang belum dintindaklanjuti dengan pembatalan, permintaan revisi ke daerah atau menetapkan tetap berlaku dalam bentuk surat jawaban ke Menkeu.

7) Kemendagri melihatnya sebagai klausul yang otomatis sehingga Mendagri sudah tidak berwenang membatalkan

Perda lagi, sementara menurut Kemenkeu, mekanisme pembatalan oleh Peresiden mulai berlaku untuk Perda yang dibuat dalam kerangka UU No.28 Tahun 2009 dan pembatalan atas Perda carry over tadi tetap menjadi kewajiban dan kewenangan Mendagri.

Referensi

Dokumen terkait

Tanggal Pembayaran atas Pembelian Saham Publik 30 Juni 2012 Tanggal Efektif Penggabungan Usaha 01 Juli 2012 Tanggal Awal Perdagangan Saham Hasil Penggabungan di Bursa 01 Juli

[r]

Saat pertama kali membuka aplikasi kamus yang berbasis Android Mobile ini, maka user akan masuk ke menu utama yang dimana urutan nya pling atas adalah bahasa

Teman-teman dan kakak-kakak kost tiana putri yang ku sayang, terutama kak Tetty Nurtiasih, Ossela Sandra Witasari, dan Sanina Khairiah yang telah banyak membantu dalam pengerjaan

Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik Kuppfer yang merupakan bagian penting dalam sistem retikuloendotelial dan sel Stellata

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH DIMENSI

menunjukkan Ho ditolak atau H1 diterima, yaitu variabel kenaikkan harga daging sapi ditingkat produsen (Y), yaitu harga beli bahan baku (X1), biaya penunjang (X2),

Bagian yang sangat berguna dalam program Tell Me More German Premium Edition ini adalah tersedianya kamus 8000 kata disertai bunyi cara membacanya, dan keterangan tata bahasa