• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan. ~ IDR 35.4 Tr. 2.5 bn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendahuluan. ~ IDR 35.4 Tr. 2.5 bn"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pendahuluan

Indonesia, dengan laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5,06%1 dan jumlah penduduk lebih dari 250 juta

jiwa, merupakan pasar terbuka untuk produk konsumen, khususnya kosmetik dan produk perawatan tubuh. Perkembangan industri kosmetik di seluruh Indonesia saat ini menunjukkan laju perluasan yang baik. Hal ini dibuktikan pada tahun 2016, didominasi oleh produk rambut (sekitar 36%), dan diikuti dengan produk perawatan kulit (sekitar 32%).

Tingkat pertumbuhan pasar yang saat ini meningkat didorong oleh beberapa faktor seiring dengan penduduk Indonesia yang semakin sejahtera dan memperhatikan tentang penampilan. Walaupun terjadi perlambatan ekonomi, yang bercirikan dengan kenaikan harga produk, wanita Indonesia tetap membeli banyak produk kecantikan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa peningkatan pertumbuhan pasar kosmetik besar kemungkinan didorong oleh kenaikan harga produk, dan bukan dikarenakan oleh volume penjualan produknya.

Di tahun 2003, Indonesia, sebagai bagian dari ASEAN, menandatangani perjanjian dengan semua negara anggota ASEAN tentang Skema Harmonisasi Regulasi Kosmetik di ASEAN (ASEAN Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme

/ AHCRS). Berdasarkan perjanjian ini, semua negara anggota ASEAN akan beralih dari pendekatan

“pengawasan sebelum produk beredar (pre-market)” ke pendekatan baru yang melibatkan “pengawasan setelah produk beredar (post-market)” terhadap produk kosmetik2.

Akan tetapi, meskipun dengan adanya penerapan AHCRS, serta ASEAN Cosmetic Directive/ACD, sejumlah peraturan yang hanya berlaku di Indonesia atau dikenal sebagai “Country Specific” masih diterapkan di Indonesia yang mana tidak sejalan dengan AHCRS dan ACD.

Angka Badan Pusat Statistik (BPS) untuk triwulan ketiga tahun 2017. Background to the ASEAN Harmonized Cosmetics Regulatory Scheme (www.asean.org/storage/images/archive/19014-2.pdf )

1 2

Peraturan ini, antara lain, kewajiban sertifikasi produk halal, serta persyaratan untuk menjalani uji logam berat untuk memperoleh surat rekomendasi impor, serta wacana untuk memberlakukan larangan atas beberapa bahan pewarna rambut, dll.

Peraturan-peraturan ini pada gilirannya dapat mengganggu kegiatan ekspor, karena perusahaan harus berhadapan dengan standar yang berbeda di negara yang berbeda. Hal inipun menambah beban administrasi yang menjadi kompleks serta biaya tambahan yang pada akhirnya dibebankan kepada para konsumen dalam bentuk harga produk yang lebih tinggi, sehingga membuat kosmetik Indonesia kurang bersaing dengan industri kosmetik negara ASEAN lainnya. Kondisi ini menjadi salah satu hambatan bagi industri kosmetik, khususnya industri kosmetik Eropa, yang pada akhirnya mungkin

mempertimbangkan kembali untuk meningkatkan jumlah investasinya di Indonesia di masa mendatang.

Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa (UE) tengah mengadakan negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi (Comprehensive Economic Partnership Agreement / CEPA) sejak tahun 2016, yang bertujuan untuk meningkatkan akses pasar untuk barang dan investasi dari kedua belah pihak. Melalui negosiasi CEPA, arus perdagangan dan investasi di antara kedua belah pihak diharapkan akan lebih mudah dan meningkat.

Sumber: Survei Massa Kecantikan (Beauty Mass Survey)

2008 2009 +16% 2010 +10% 2011 +12% 2011 +11% 2013 +12% 2014 +8% 2015 +10% 2016 +8% 2017 +7% Kategori 14.8% Hyg. ~ IDR 35.4 Tr. 7.2% Frag. 10.5% Makeup 31.7% Skin 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 35.8% Hair Channel 86.5% Mass 5.2% Luxury 4.2% Salon 4.0% Direct

~ IDR 35.4 Tr. € 2.5 bn

(3)

Isu Prioritas

Undang-Undang Jaminan Produk Halal

(Undang-Undang Halal) diberlakukan sejak tahun 2014, akan tetapi, pemerintah masih belum menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut. Meskipun demikian, berdasarkan rancangan peraturan pemerintah yang beredar, jelas menetapkan bahwa produk kosmetik wajib bersertifikat halal satu tahun setelah pemberlakuan sertifikasi halal untuk produk makanan dan minuman. Sama halnya dengan produk farmasi, kerangka hukum baru ini akan berdampak signifikan terhadap produk kosmetik.

Sejumlah hambatan teknis yang dapat berdampak pada industri kosmetik mencakup hal-hal berikut ini:

Kesiapan sarana infrastruktur

Sekitar 90% dari bahan baku produk kosmetik masih perlu diimpor, dengan demikian, verifikasi bahan baku berdasarkan peraturan yang baru akan cukup sulit. Kerumitan ini juga akan timbul pada saat auditor harus mensertifikasi fasilitas produksi dibeberapa lokasi disatu negara atau lain negara, karena pada saat ini belum ada skema pengakuan sertifikasi halal. Proses pelaksanaan ketentuan ini niscaya akan menjadi tantangan besar dan membutuhkan sumber daya dalam jumlah besar.

Daftar acuan bahan baku kosmetik

Pada saat ini, belum terdapat daftar halal positif/negatif khusus untuk bahan baku kosmetik. Oleh karena itu, verifikasi bahan akan memerlukan waktu yang tidak singkat.

Standar internasional dan badan sertifikasi

Saat ini, tidak terdapat standar internasional dalam hal sertifikasi halal, sistem jaminan produk halal, pengakuan halal untuk produk jadi, dll. Oleh karena itu, produk yang memiliki label halal atau tidak halal di satu negara tidak serta-merta dapat diakui di negara lain. Hal ini dapat menjadi hambatan tambahan terhadap perdagangan. Terlebih lagi, sebagian besar lembaga sertifikasi halal diseluruh dunia pada saat ini lebih memfokuskan pada industri makanan dan minuman. Banyak negara juga mungkin tidak memiliki lembaga sertifikasi halal yang dapat bekerja sama dengan lembaga sertifikasi Indonesia untuk mencapai kesepakatan bersama atas sertifikasi halal, terutama terkait pada produk non-makanan dan minuman.

Dampak Undang-Undang Jaminan Produk

Halal terhadap Industri Kosmetik

Siklus produk kosmetik yang tergolong cepat dan mengikuti tren pasar

Karakteristik produk kosmetik umumnya sangat dinamis dalam segi perkembangan dan memiliki karakteristik yang cepat berganti mengikuti tren pasar. Hal ini berarti bahwa produk kosmetik memiliki siklus yang pendek dan dengan demikian, industri harus mampu beradaptasi dengan perubahan yang cepat. Dengan adanya kewajiban sertifikasi, lengkap dengan kerumitan yang akan ditimbulkan, dan membutuhkan waktu yang tidak singkat, oleh karena itu persyaratan kewajiban bersertifikasi halal untuk produk kosmetik perlu dipertimbangkan kembali.

Penerapan sertifikasi halal pada produk kosmetik akan lebih sesuai bila diterapkan sebagai klaim produk, daripada sebagai persyaratan wajib, bagi mereka yang ingin menyatakan produknya halal dan bagi yang berkeinginan untuk menjadikan pasar produk halal sebagai target market baru mereka.

Kami memahami bahwa informasi halal mulai menjadi faktor penting bagi para konsumen Indonesia dan dapat berdampak terhadap daya beli konsumen. Akan tetapi, fleksibilitas dalam hal sertifikasi halal apakah wajib atau sukarela akan menjadi faktor penting bagi perusahaan kosmetik. Selain itu, sebagian besar produk kosmetik tidak untuk dikonsumsi; oleh karena itu, kewajiban sertifikasi halal untuk kategori produk ini seharusnya tidak dianggap sebagai sebuah keharusan.

Pemberlakuan peraturan ini dapat berdampak terhadap keputusan investasi asing terkait pasar Indonesia. Selain itu, peraturan ini juga dapat mempengaruhi para investor yang sudah ada untuk mempertimbangkan kembali investasi mereka di Indonesia. Dampak tersebut tidak sejalan dengan tujuan CEPA, yaitu meningkatkan perdagangan dan investasi di kedua pasar.

(4)

Kerangka kebijakan dan peraturan yang menaungi industri kosmetik diharapkan membuat Indonesia menjadi negara tujuan yang menarik dan cukup bersaing yang meningkatkan kepatuhan bisnis. Untuk mencapai hal tersebut, peraturan disektor kosmetik diharapkan tidak diskriminatif, mendukung pemberantasan kosmetik ilegal, dan juga tetap mengacu pada standar dan kesepakatan perjanjian perdagangan ditingkat regional/internasional.

Alih-alih bersifat wajib untuk semua produk kosmetik, kami merekomendasikan agar sertifikasi halal hanya berlaku terhadap produk kosmetik yang ingin menyatakan produknya halal.

Rekomendasi:

1.

2.

Pada tahun 2016, BPOM menerbitkan surat edaran yang mewajibkan Sertifikat Analisis Produk(CoA) untuk produk kosmetik impor menambahkan lampiran hasil uji logam berat (khususnya hasil uji yang berhubungan dengan merkuri dan timbal). Hasil dari setiap uji logam berat yang dilampirkan dalam CoA berlaku selama jangka waktu enam bulan, yang kemudian diubah menjadi dua belas bulan, dan direvisi lagi menjadi satu kali pengajuan (untuk pengiriman pertama saja).

Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM No. HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010, Sertifikat Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik (CPKB) wajib disertakan untuk semua produk kosmetik yang diimpor yang berasal dari luar negara ASEAN. Sertifikat ini harus ditandatangani oleh pejabat pemerintah yang berwenang atau lembaga yang diakui di negara asal, dan juga harus dilegalisir oleh Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal Republik Indonesia setempat. CPKB berfungsi sebagai jaminan dengan menegaskan bahwa produk yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan dan mutu yang ditetapkan. CPKB juga berfungsi sebagai sarana penyaringan (untuk pengawasan setelah produk beredar/post-market) yang dapat digunakan oleh para regulator untuk mengkaji kualifikasi produsen kosmetik impor sebelum produknya dipasarkan di Indonesia.

Jika merujuk pada Peraturan Kepala BPOM No. 17/2014 (yang merupakan amendemen atas peraturan tersebut di atas), kontaminasi logam berat merupakan sesepora (trace element) yang tidak dapat dihindari, namun prosedur pengujian ini bukanlah prosedur yang rutin dilakukan oleh produsen kosmetik. Sebagai bagian dari CPKB, para produsen kosmetik telah mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk meminimalisir cemaran dengan menerapkan pengawasan ketat mulai dari proses produksi dan penyimpanan produk.

Perlu diperhatikan bahwa penerapan dari persyaratan ini berbeda antara produk lokal dan impor. Dalam hal produk lokal, penerapan pengujian tersebut diperlukan sebagai data tambahan pada Dokumen Informasi Produk (DIP) dan harus dilakukan paling sedikit satu kali atau dapat dibuktikan dengan dokumen pendukung lain yang mendukung bahan baku yang relevan. Akan tetapi, dalam hal produk impor, kewajiban untuk melakukan pengujian logam berat berlaku terhadap setiap pengiriman pertama. Apabila peraturan tersebut diterapkan, akan menimbulkan berbagai tantangan, contohnya jangka waktu pemeriksaan yang lama ketika BPOM memeriksa gudang dan hasil uji laboratorium yang diberikan oleh laboratorium

terakreditasi.

Selain itu, pengujian logam berat juga akan menambah beban biaya yang signifikan bagi perusahaan, dimana biaya pengujian yang ditetapkan oleh pihak ketiga tidak murah. Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan harga produk yang lebih tinggi yang dibebankan kepada konsumen. Karena kompleksitas dari proses ini, juga berdampak pada penundaan jadwal peluncuran produk mereka, yang secara tidak langsung akan menyebabkan Indonesia tertinggal selangkah dari negara lainnya dalam hal tren kosmetik terbaru.

Persyaratan Tambahan bagi Kosmetik Impor untuk Menyediakan Sertifikat Analisis Produk (CoA)

yang melampirkan Hasil Uji Logam Berat (untuk Merkuri, Timbal, Arsenik, dan Kadmium)

(5)

EuroCham mendukung gagasan untuk meninjau ulang keputusan yang dibuat pada Rapat Komite Kosmetik ASEAN tahun 2007, di mana pengujian logam berat akan diterapkankan sebagai salah satu parameter yang digunakan dalam pengawasan setelah produk beredar (post-market) yang dilakukan oleh para regulator dan bukan pelaku industri.

Dengan memastikan kesinambungan dalam berproduksi, kesesuaian standar, perlakuan dan persyaratan yang sama merupakan hal yang sangat penting untuk produk kosmetik impor.

EuroCham merekomendasikan agar BPOM merevisi Peraturan Kepala BPOM No. 17 tahun 2014 tentang Persyaratan Cemaran Mikroba dan Logam Berat dimana diperaturan tersebut disebutkan pengujian dilakukan untuk semua cemaran mikroba dan logam berat menjadi hanya cemaran mikroba saja yang diuji.

Rekomendasi:

1.

2.

3.

Pada bulan Desember 2015, Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan No. 118 tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Barang Komplementer, Barang untuk Keperluan Tes Pasar, dan Pelayanan Purna Jual (Permendag No. 118 /2015). Permendag No. 118 /2015 mencantumkan sejumlah persyaratan ketat yang harus dipenuhi oleh para produsen atau pemegang API-P untuk mengimpor barang produksi untuk diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak ketiga sebagai barang pelengkap (komplementer), barang keperluan tes pasar, atau untuk keperluan pelayanan purna-jual.

Selain itu, untuk memastikan kelancaran penerapan peraturan ini, pemerintah kemudian menerbitkan Pedoman Pemberian Rekomendasi Impor, sebagaimana yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian

(Permenperin) No. 19 tahun 2016 tentang Ketentuan Pemberian Rekomendasi Impor Barang Komplementer, Barang untuk Keperluan Tes Pasar, dan/atau Pelayanan Purna Jual; dan juga sebagaimana yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 14 tahun 2016 tentang Rekomendasi untuk Mendapatkan Persetujuan Impor Barang Komplementer, Barang untuk Keperluan Tes Pasar, dan Pelayanan Purna Jual.

Berdasarkan peraturan Kemenperin, persetujuan impor hanya dapat diperoleh dari Menteri Perdagangan setelah terlebih dahulu memperoleh rekomendasi impor dari Direktorat Jenderal yang menaungi sektor industri terkait. Sementara itu, berdasarkan peraturan Kemenkes, rekomendasi impor dapat diperoleh dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Pada bulan Desember 2016, BPOM menerbitkan Peraturan Kepala BPOM No. 27 tahun 2016 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemberian Rekomendasi untuk Mendapatkan Persetujuan Impor Obat, Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika sebagai Barang Komplementer, yang telah berlaku sejak tanggal 29 Januari 2017.

Peraturan ini menetapkan bahwa perusahaan hanya dapat mengimpor barang komplementer apabila kriteria tertentu terpenuhi. Misalnya, barang tidak dapat diproduksi di Indonesia oleh pemohon dan tidak ada fasilitas produksi yang terdapat di Indonesia untuk memproduksii barang komplementer (Pasal 3/1.a). Akan tetapi, kewajiban untuk menyerahkan informasi yang terkait dengan ketersediaan fasilitas produksi tidak sejalan dengan Permendag No. 118 tahun 2015, dimana di peraturan tersebut tidak menetapkan pembatasan apa pun terhadap produk kosmetik. Selain itu, Permenperin No. 19 tahun 2016 menetapkan kuota impor sampai dengan maksimal 10% per tahun dari rata-rata realisasi produksi selama dua tahun.

Ketentuan Impor untuk Barang Pelengkap, Barang untuk Pengujian Pasar dan Barang untuk

Layanan Purna Jual

(6)

Alasan utama bagi perusahaan importir adalah didasarkan pada keputusan perusahaan induk principal (Headquarter) untuk membagi lini produksi perusahaan dibeberapa negara untuk menjaga standar kualitas produk mereka. Hal ini sejalan dengan kebijakan standar dari rantai pasokan global untuk meningkatkan efisiensi proses produksi yang bertujuan untuk memproduksi produk berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau.

Ketidak selarasan kebijakan dapat menghambat operasi bisnis dan dapat membuat perusahaan enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Investasi merupakan komponen yang sangat penting dari perekonomian modern dan dianggap sebagai bagian penting dalam negosiasi CEPA yang sedang berjalan. Oleh karena itu, negosiasi CEPA memainkan peran yang sangat penting dalam mempromosikan perdagangan dan investasi dua arah yang akan memungkinkan baik UE maupun Indonesia untuk mencapai potensi sepenuhnya.

Pemerintah diharapkan untuk menyelaraskan kembali Peraturan BPOM No. 27 tahun 2016 dengan Peraturan Menteri Perindustrian No. 19 tahun 2016 terkait dengan persyaratan impor produk komplementer bagi industri kosmetik, sebagaimana yang diuraikan di atas. Sebaliknya, paket deregulasi pemerintah harus didukung dan pada gilirannya, hal ini akan menstimulasi pengembangan industri lokal.

EuroCham juga merekomendasikan penyederhanaan lebih lanjut dari berbagai dokumen administrasi yang diperlukan untuk mengimpor produk komplementer. Hal ini akan meringankan beban administrasi dan mendorong proses yang lebih cepat, sehingga memastikan ketersediaan produk lebih cepat di pasar.

Rekomendasi:

1.

2.

Pada bulan September 2016, BPOM menerbitkan surat edaran yang mencantumkan delapan bahan pewarna rambut yang diizinkan untuk digunakan oleh industri kosmetik, serta 29 bahan pewarna rambut yang dilarang untuk digunakan oleh industri kosmetik. Akan tetapi, 29 bahan pewarna rambut yang dilarang dan tercantum dalam surat edaran tersebut, diizinkan untuk digunakan

berdasarkan ASEAN Cosmetic Directive (ACD).

Meskipun BPOM menyatakan telah menggunakan acuan yang sama dengan ASEAN (khususnya European Union Cosmetics Directives), pada praktiknya, BPOM

menggunakan kriteria penilaian yang berbeda. Dengan demikian, penilaian dari berbagai data ilmiah yang menyebabkan pelarangan bahan ini, berbanding terbalik dengan negara lain, baik di dalam maupun di luar ASEAN.

Pewarnaan rambut merupakan salah satu layanan yang mendominasi industri salon kecantikan Indonesia. Bahkan, industri perawatan rambut Indonesia tercatat mencapai nilai pasar sekitar IDR 11,2 triliun dan dengan pertumbuhan sebesar 2,8% pada tahun 2015. Pewarnaan rambut sebagai salah satu layanan yang diberikan salon, saat ini menikmati pertumbuhan sebesar 6,4% dan mencapai hampir 19% dari total penghasilan kotor industri salon.

Selain itu, industri pewarnaan rambut yang sebagian besar dimotori oleh inovasi, kreativitas dan pilihan gaya hidup, telah diakui oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebagai salah satu kontributor utama terhadap ekonomi kreatif Indonesia.3 Dengan demikian, Kelompok Kerja Kosmetik

EuroCham (EuroCham Cosmetics Working Group) meyakini bahwa pembatasan jumlah bahan pewarna rambut untuk digunakan, dapat mengurangi pilihan yang tersedia untuk produk pewarnaan rambut, yang dengan demikian akan berdampak signifikan terhadap layanan salon kecantikan Indonesia.

Rencana Pelarangan Produk Pewarna Rambut

Dengan mempertimbangkan bahwa bahan pewarna rambut telah digunakan secara luas, kami merekomendasikan agar BPOM mengizinkan semua bahan pewarna rambut yang termasuk dalam ACD, digunakan di Indonesia, dengan mempertimbangkan bahwa bahan pewarna rambut ini telah diakui secara luas di semua negara.

Rekomendasi:

Rapat Kelompok Kerja Kosmetik dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), 27 April 2017

(7)
(8)

Referensi

Dokumen terkait

Eclipse akan memudahkan kita dalam membuat aplikasi project android , membuat GUI aplikasi, dan menambahkan komponen-komponen yang lainnya, begitu juga kita dapat melakukan

(3) Dalam hal pemilihan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hasilnya tetap sama maka untuk menetapkan calon yang dinyatakan terpilih dan diangkat sebagai Kepala

DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini berkaitan dengan persyaratan kompetensi yang diperlukan dalam memberikan konsultansi kepada perusahaan IKM kimia dan bahan

Onun için de bizim, demokratik sol bir parti olarak o gibi ülkelerin sosyal demokrat partileriyle yakın ilişki kurmamız, Türkiye’de işçileri bölmeye ve

Di dalam perjanjian fasilitas kredit sindikasi ini, WIKA Serpan wajib melakukan pembayaran kembali (mandatory payment) apabila WIKA Serpan telah menerima pembayaran dana

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan beberapa saran yaitu: (1) Karena metode pembelajaran proyek menggunakan media Mind Map

Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara kepada guru mata pelajaran Bahasa Arab yaitu Siti Anis Sulalah, S.Pd.I, beliau mengatakan: pasti menciptakan iklim/suasana

Kajian struktur dan tingkat pendapatan rumah tangga menurut sektor pertanian dan nonpertanian bermanfaat untuk memahami potensi dan arah kebijakan pengembangan suatu daerah,