• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS SEBIDANG TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN OLEH PIHAK KETIGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS SEBIDANG TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN OLEH PIHAK KETIGA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS SEBIDANG TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN

OLEH PIHAK KETIGA A. Ketentuan-ketentuan Pokok Sita Jaminan 1. Pengertian dan Tujuan Sita Jaminan

Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda),28 dan istilah Indonesia beslahtetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah:

a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan29(to take into custody the property of a defendant).

b. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan perintah pengadilan atau hakim.

c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang debitor atau tergugat, dengan jalan menjual lelang(executorial verkoop)barang yang disita tersebut.

d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.

28Marianne Termorshuizen,Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999), hal. 49

29 Merriam Webster’s Dictionary of Law, Merriam Webster Springfield,

(2)

Ada banyak jenis sita, namun secara umum dikenal dua jenis: a. Sita terhadap harta benda milik tergugat (conservatoir beslag)

Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitor. Kata conservatoir sendiri berasal dari conserveren yang berarti menyimpan, dan conservatoir beslag menyimpan hak seseorang. Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat.

Perihal sita conservatoir beslag ini diatur dalam pasal 227 (1) HIR, intisari dari ketentuannya adalah sebagai berikut :30

1) Harus ada sangkaaan yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang-barangnya;

2) Barang yang disita itu merupakan barang kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat;

3) Permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan;

4) Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis;

5) Sita conservatori dapat dilakukan atau diletakkan baik terhadap barang yang bergerak dan tidak bergerak.

Sehubungan dengan ketentuan pasal 227 ayat (1) HIR, Mahkamah Agung dalam salah satu putusannya menyatakan bahwa conservatoir beslag yang diadakan bukan atas alasan-alasan yang disyaratkan dalam pasal dimaksud adalah tidak dibenarkan.31

b. Sita terhadap harta benda milik penggugat sendiri

30Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori

dan Praktek, (Bandung : CV.Mandar Maju, 2002), hal. 100

31 Putusan Mahkamah Agung Nomor 597/K/Sip/1983 tanggal 8 Mei 1984, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia 1984-I, hal. 165.

(3)

Berbeda dari conservatoir beslag, dikenal juga sita terhadap harta benda penggugat/pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan orang lain (termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon. Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sita revindicatoir (Pasal 226 HIR / 260 RBg) dan sita marital (Pasal 823-823j Rv). Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang yang memang miliknya).

Pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan sita adalah: 1. Untuk pemohon sitarevindicatoir:

a. Pemilik benda bergerak yang barangnya berada di tangan orang lain; b. Pemegang hak reklame;

2. Untuk pemohon sitaconservatoiradalah kreditor; 3. Untuk pemohon sitamaritaladalah istri.

Di negara yang menganut tradisi common law, sita jaminan (security for costs) lebih sering diminta oleh tergugat. Artinya, jaminan berupa uang atau aset lain yang diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang dapat dipakai untuk mengganti biaya yang diderita oleh termohon jika ternyata permohonan tersebut tidak beralasan. Di Indonesia, instrumen ini dipakai dalam permohonan penetapan sementara.32

Sesuai dengan Pasal 226 HIR / 260 RBg, untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir, pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada 32Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 1998), hal. 178

(4)

dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan.

Sedangkan pada sita jaminan conservatoir, sesuai Pasal 227 HIR / 261 RBg, elemen dugaan yang beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian sita tersebut. Apabila penggugat tidak memiliki bukti kuat, maka sita jaminan tidak akan diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir). Sehingga dalam sita ini, tersita harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut.

2. Objek Yang Dapat Diletakkan Sita Jaminan

Objek permohonan tergantung kepada jenis sita yang dimintakan, pada sita revindicatoir, maka yang dapat disita adalah benda bergerak yang merupakan milik pemohon (atau pemilik hak reklame). Pemohon sita revindicatoir tidak dapat memohon sita dijatuhkan terhadap benda tetap milik pemohon, karena pengalihan atau pengasingan benda tetap tidak semudah pengalihan benda bergerak, sehingga kecil sekali kemungkinan terjadi diasingkannya barang tetap tersebut. Pasal 226 (2) HIR menjelaskan bahwa dalam permohonan sita revindicatoir harus dijelaskan secara lengkap dan nyata, barang-barang yang dimintakan sita tersebut.

Sedangkan pada sitaconservatoir, yang dapat menjadi obyek sita adalah: 1. barang bergerak milik debitur

(5)

3. barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak ketiga). Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat. Penyitaan juga dilakukan terlebih dulu atas benda-bergerak, dan baru diteruskan ke benda-benda tidak bergerak, jika menurut perkiraan nilai benda-benda tersebut tidak akan mencukupi.

RV masih mengenal beberapa sitaconservatoirlainnya yaitu : a. Sitaconservatoirterhadap Kreditor

Ada kemungkinannya bahwa Debitor mempunyai piutang kepada Kreditor. Jadi ada hubungan utang piutang timbal balik antara Kreditor dan Debitor. Dalam hubungan hutang timbal balik antara Debitor dan Kreditor ini, dimana Kreditor sekaligus juga Debitor dan Debitor sekaligus juga Kreditor, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat dikompesasi, misalnya apabila tuntutan piutang Kreditor sudah dapat ditagih dari Debitor, sedang piutang Debitor belum dapat ditagih dari Kreditor atau apabila Kreditor mempunyai tagihan dalam bentuk uang sedangkan Debitor tagihannya berupa barang. Dalam hal ini maka Kreditor yang mengajukan gugatan dapat mengajukan permohonan sita conservatoir terhadap dirinya sendiri. Pada hakikatnya sita conservatoir ini tidak lain adalah sita conservatoiratas barang-barang yang ada di tangan pihak ketiga, hanya dalam hal ini pihak ketiga itu adalah Kreditor itu sendiri.

(6)

Sita gadai ini sebagai sitaconservatoir hanya dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 sub 2 KUHPerdata dan dijalankan atas barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 KUHPerdata.

c. Sita conservatoir atas barang-barang Debitor yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia Rasio dari sita conservatoir ini ialah untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk Indonesia, maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata di Pengadilan Negeri.

d. Sitaconservatoiratas pesawat terbang

Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik Debitor menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang bersifat perorangan, dan semua hak-hak atas harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian dapat disita. Akan tetapi tentang hal ini ada pengecualiannya. Ada bagian-bagian dari harta kekayaaan yang tidak dapat disita dan ada yang dibebaskan dari penyitaan. Yang tidak dapat disita terutama adalah hak-hak perorangan. Hak untuk mendapat ganti kerugian dalam hubungan perburuhanpun tidak boleh disita untuk menjalankan putusan hakim.

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berbunyi “ Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap :

b. Uang atau surat berharga milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga

(7)

c. Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada Negara/Daerah

d. Barang bergerak milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga

e. Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik Negara/Daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas Pemerintahan

B. Ketentuan-ketentuan Pokok Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan

Pada tanggal 9 April 1996 diresmikanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, undang-undang ini kemudian disebut Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Dengan lahirnya UUHT yang mengatur lembaga Hak Tanggungan ini melahirkan satu unifikasi hukum tanah nasional yang mengatur mengenai tanah, yang kelahirannya sekaligus menggantikanHypotheek atas hak atas tanah danCredietverband. Oleh karena itu, ketentuan mengenai Credietverbanddan Hypotheek sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.33

Sesuai dengan Pasal 57 UUPA34maka dikatakan hipotik dan Credietverband hanya bersifat temporer selama UUHT yang diperintahkan Pasal 51 UUPA belum

33

Pasal 29 UUHT, yang berisi: ”Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai mengenaiCredietverbandsebagaimana tersebut dalamStaatsblad1908-542jo. Staatsblad 1909-586 danStaatsblad1909-584 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad1937-190jo. Staatsblad

1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

34Selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia danCredietverband tersebut dalamStaatblad1908 No.542 sebagai yang telah diubah denganStaatblad1937 No.190. (Tim Pustaka Yustia,Pokok-Pokok Hukum Agraria,

(8)

diterbitkan, dimana hipotik adalah untuk tanah-tanah yang tunduk kepada KUHPerdata sedangkan Credietverband untuk tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat.35

Kelahiran Hak Tanggungan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) dan UUHT diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan lembaga perbankan sebagai upaya mengamankan kredit yang disalurkan kepada masyarakat.

Berkembangnya Hak Tanggungan selaras dengan tuntutan kemajuan hukum masyarakat dalam menjamin hak atas tanah. Artinya pada saat dibicarakan tentang perkembangan ekonomi bangsa tentunya bilamana kemajuan ekonomi dikehendaki berkembang maka Hak Tanggungan sangat dibutuhkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam memenuhi modal dengan benda tak bergerak sebagai agunannya.

Dengan adanya jaminan maka fasilitas penambahan modal kerja akan mudah diperoleh dengan kredit. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan: “Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Oleh karena itu, agar lembaga jaminan ini berkembang sesuai dengan harapan masing-masing pihak, diperlukan ketentuan-ketentuan Hak Tanggungan yang tegas, mandiri dan konsisten.

Hukum Jaminan sejak diundangkannya UUHT bukan saja mempengaruhi Hukum Jaminan yang pernah dikenal dan berlaku di Indonesia, namun juga 35A.P.Parlindungan, Menjawab Masalah Pertanahan Secara Tepat dan Tuntas (Bandung : Mandar Maju, 1992), hal. 12

(9)

mempengaruhi bagaimana dunia ekonomi luar ingin menanamkan investasinya khususnya yang berkaitan dengan dunia properti atau konstruksi dengan menginvestasikan modalnya pada hak-hak atas tanah.

Sistem hukum jaminan terbagi dalam dua bagian yakni sistem hukum jaminan perorangan dan sistem hukum jaminan kebendaan.36 Jaminan yang paling sering digunakan oleh kreditor (bank) adalah jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 5 macam yaitu:

1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPerdata; 2. Hipotek, yang diatur di dalam Bab 21 Buku II KUHPerdata;

3. Credietverband, yang diatur di dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 danStaatsblad 1909-584 sebagaimana yang telah diubah denganStaatsblad 1937-190jo. Staatsblad1937-191;

4. Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996;

5. Jaminan Fidusia, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.37

Dari kelima macam jaminan kebendaan di atas salah satu jenis jaminan kebendaan adalah hak tanggungan. Saat ini hak tanggungan adalah lembaga hak jaminan atas tanah yang diatur dalam UUHT, yang berarti pembebanan hak atas tanah yang menggunakan lembaga hipotek dan credietverband sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan UUHT.38

Sutan Remy Sjahdeini memberikan pengertian tentang hak tanggungan adalah salah satu jenis dari hak jaminan di samping hipotik, gadai dan fidusia. Hak jaminan

36Kartono,Hak-hak Jaminan Kredit(Jakarta : Pradnya Paramita, 1977), hal. 5

37Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 24-25

38

(10)

dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitor yang memberikan hak utama kepada seorang kreditor tertentu yaitu pemegang hak jaminan itu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain apabila debitor cidera janji.39

Dari definisi mengenai hak tanggungan di atas dapat diketahui bahwa hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Sudah tentu kreditor tertentu yang dimaksudkan adalah kreditor yang memperoleh atau yang menjadi pemegang hak tanggungan tersebut.

UUHT sendiri memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, di dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, sebagai berikut: “Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain.”

Terdapat beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut yakni:

1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang; 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA;

39

(11)

3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas hak atas tanah saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.40

Mengenai apa yang dimaksudkan dengan pengertian “kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain” tidak dijumpai dalam Penjelasan dari Pasal 1 ayat (1) UUHT tersebut, tetapi dijumpai di bagian lain, yaitu di dalam angka 4 Penjelasan Umum UUHT.

Dalam Penjelasan Umum tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain ialah bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.41

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi pemegang hak tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan daripada kreditor-kreditor lain dan jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan

40 Ibid.,hal. 11

41Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia-Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah (Jakarta : Djambatan, 2006), hal. 177

(12)

perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain tetapi harus mengalah terhadap piutang-piutang negara. Dengan kata lain, hak negara lebih utama dari kreditor pemegang hak tanggungan.

Pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-undang adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang kreditor tertentu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain. Itu pulalah tujuan dari eksistensi hak tanggungan yang diatur UUHT.

Dalam Pasal 51 UUPA, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembagaHypotheekdanCredietverband.42

Dari penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa istilah hak tanggungan sebagai hak jaminan, dilahirkan oleh UUPA. Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, lembaga Hak Tanggungan di atas belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap, sesuai yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 Undang-Undang tersebut. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 UUPA, sehubungan dengan jaminan tanah diberlakukan ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan UUPA.

Hak tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun kenyataannya

42

(13)

seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya, yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut.

Sebagaimana diketahui hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horisontal. Sehubungan dengan itu, maka dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut, hukum tanah nasional menggunakan juga asas pemisahan horisontal. Dalam rangka asas pemisahan horisontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut.

Oleh karena hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat, maka sudah tentu UUHT harus berdasarkan hukum adat yang menganut asas pemisahan horisontal. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT.

Namun demikian penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horisontal tersebut, dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa pembebanan hak tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula meliputi benda-benda sebagaimana dimaksud di atas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam praktik, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaannya

(14)

dijadikan jaminan dengan tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam akta pemberian hak tanggungannya.

Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ikut dijadikan jaminan itu tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki pihak lain. Sedangkan bangunan yang menggunakan ruang bawah tanah, yang secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang ada di atas permukaan bumi di atasnya, tidak termasuk dalam pengaturan ketentuan mengenai hak tanggungan menurut undang-undang ini.

Hak tanggungan adalah merupakan hak jaminan. Di dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda.43

Konstruksi jaminan dalam definisi ini memiliki kesamaan dengan yang dikemukakan Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan dimana Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.44

43Salim HS,op.cit., hal. 22 44

(15)

Istilah yang digunakan oleh M. Bahsan, jaminan adalah segala sesuatu yang di terima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat.45

Dengan demikian secara sistematik, sistem hukum jaminan kebendaan merupakan sub sistem dari hukum benda. Sistem Hukum Jaminan Kebendaan meliputi jaminan gadai (pand), hipotik, hak tanggungan dan jaminan fidusia. Dapat disimpulkan bahwa jaminan hak tanggungan merupakan bagian dari hukum jaminan kebendaan merupakan sub sistem hukum jaminan. Tanpa menetapkan suatu sistem hukum benda terlebih dahulu, bangunan hukum jaminan nasional tidak akan jelas dan undang-undang yang diciptakan sebagai bagian dari hukum jaminan itu akan berdiri sendiri. Konsekuensi yang dikhawatirkan adalah undang-undang itu akan bercerai berai atau tidak berkaitan satu dengan lainnya.46

2. Asas-asas Hak Tanggungan

Adapun asas-asas Hak Tanggungan dalam UUHT adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang Hak

Tanggungan atau disebutdroit de preference(Pasal 1 ayat (1)); 2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1));

3. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 8 ayat (2));

4. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4));

5. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4)) dengan syarat diperjanjikan tegas;

6. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1));

45M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : Rejeki Agung, 2002), hal. 27

46Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia-Suatu Kebutuhan Yang Didambakan,(Bandung : Alumni, 2006), hal. 156

(16)

7. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1)); 8. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2));

9. Mengikuti objek dalam tangan siapapun objek itu berada atau droit de suite (Pasal 7);

10. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1)); 11. Wajib didaftarkan (Pasal 13);

12. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;

13. Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2)).47

Di samping itu, dalam UUHT ditentukan juga suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan bila pemberi hak tanggungan cidera janji. Apabila hal itu dicantumkan, maka perjanjian seperti itu batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan dengan substansi UUHT.48

3. Pemberi dan Penerima Hak Tanggungan

a. Pemberi Hak Tanggungan

Menurut ketentuan Pasal 8 UUHT, pemberi Hak Tanggungan bisa orang perseorangan, bisa juga badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan. Umumnya pemberi Hak Tanggungan adalah Debitor sendiri. Tetapi dimungkinkan juga pihak lain, jika benda yang dijadikan jaminan bukan milik Debitor. Bisa juga Debitor bersama pihak lainnya, jika yang dijadikan jaminan lebih dari satu, masing-masing kepunyaan Debitor dan pihak lain atau bersama. Juga mungkin bangunan milik suatu Perseroan Terbatas, sedang tanah milik Direkturnya.

47Salim, H.S.,op.cit., hal. 102-103 48

(17)

Kewenangan pemberi Hak Tanggungan itu harus ada dan terbukti benar pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan, yaitu pada tanggal dibuatnya buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan, yang menentukan saat diterbitkannya Hak Tanggungan yang dibebankan. Tetapi sebenarnya kewenangan itu juga harus sudah ada pada waktu diberikan Hak Tanggungan dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Hak Tanggungan (PPAT), biarpun tidak selalu wajib dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan, kalau tanah yang bersangkutan memang belum didaftar.

Kalau tanahnya belum didaftar, kewenangan pemberi Hak Tanggungan dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti lain, misalnya surat keterangan waris atau akta pemindahan hak, yang dapat memberikan keyakinan kepada PPAT yang membuat APHT-nya bahwa pemberi Hak Tanggungan memang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan.

Pada pokoknya pemberian hak tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari rangkaian perbuatan hukum dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sampai dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertipikat Hak Tanggungan dari Kantor Pertanahan yang diawali dengan proses membuat perjanjian kredit, pembuatan APHT dan diakhiri dengan pendaftaran APHT dikantor Pertanahan.49

b. Penerima Hak Tanggungan.

49

(18)

Tidak ada persyaratan khusus bagi Penerima Hak Tanggungan. Ia bisa orang perorangan, bisa badan hukum. Bisa orang asing, bisa juga badan hukum asing, baik yang berkedudukan di Indonesia atau pun di luar negeri, sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 9 dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT).50 Setelah dibuatnya APHT, Kreditor berkedudukan sebagai penerima Hak Tanggungan. Setelah dilakukan pembukuan Hak Tanggungan yang bersangkutan dalam Buku-tanah Hak Tanggungan, penerima Hak Tanggungan menjadi pemegang Hak Tanggungan.

3. Berakhirnya Hak Tanggungan dan Pencoretan

a. Berakhirnya Hak Tanggungan

Sebab-sebab berakhirnya Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak Tanggungan berakhir karena hal sebagai berikut :

1. Berakhirnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; 2. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;

50Ketentuan ini sejalan dengan tujuan diterbitkannya UUHT, sebagaimana dinyatakan dalam Konsiderans dan Penjelasan Umum yaitu bahwa dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional dibutuhkan penyediaan dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan, diperlukan adanya lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Maka dana yang diperoleh dari luar negeri pun harus dipergunakan bagi pembangunan nasional, apabila dikehendaki memperoleh jaminan dengan lembaga yang dimaksudkan. Lihat Subekti,op. cit.,hal. 89

(19)

4. Berakhirnya hak atas tanah yang dibebaskan Hak Tanggungan.

Dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan dapat sengaja diakhiri dan dapat pula berakhir karena hukum. Hak Tanggungan dapat berakhir karena dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan atau karena dilakukan pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Sedangkan Hak Tanggungan dapat berakhir karena hukum, karena berakhirnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dan karena berakhirnya hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan.

Oleh karena Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang pembebanannya adalah untuk kepentingan kreditor (pemegang Hak Tanggungan), maka Hak Tanggungan hanya dapat diakhiri oleh kreditor (pemegang Hak Tanggungan) sendiri sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin dapat membebaskan Hak Tanggungan itu.

Sesuai dengan sifat Hak Tanggungan yang accessoir, adanya Hak Tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu berakhir karena pelunasan atau karena sebab-sebab lainnya dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi berakhir juga.

Berakhirnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri adalah berkaitan

(20)

dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 19 ayat (1) dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

Mengenai berakhirnya Hak Tanggungan karena berakhirnya hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan adalah logis, karena keberadaan suatu Hak Tanggungan hanya mungkin bila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu.51 Objek dari Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah negara. Karena itu Hak Tanggungan akan berakhir apabila hak-hak atas tanah itu berakhir.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Hak Tanggungan dapat dengan sengaja diakhiri, baik atas kehendak dari pemegang Hak Tanggungan itu sendiri maupun karena pembersihan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Berakhirnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai diakhirinya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan (Pasal 18 ayat (2) UUHT).

b. Pencoretan Hak Tanggungan

51

(21)

Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan adalah suatu perbuatan perdata yang mengikuti hapusnya Hak Tanggungan. Dalam rumusan Pasal 22 ayat (1) UUHT jelas dikatakan: “Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah hak atas tanah dan sertifikatnya.”

Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa pengembalian Sertifikat Hak Tanggungan yang telah dikeluarkan.52 Dalam hal serftifikat Hak Tanggungan tidak dikembalikan, maka hal tersebut harus dicatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan. Ini berarti sejalan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUHT, yaitu: ”Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.”

C. Prosedur Permohonan Sita Jaminan Terhadap Tanah Yang Telah

Dibebani Hak Tanggungan Oleh Pihak Ketiga 1. Proses Pengajuan Permohonan Sita Jaminan

Adapun mengenai proses permohonan sita jaminan adalah dilakukan dengan: a. Permohonan sita jaminan dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan, dimana

permohonan sita jaminan menjadi bagian dari pokok gugatan. Permohonan sita jaminan tidak boleh berdiri sendiri tanpa ada perkara pokok namun perkara pokok bisa ada tanpa sita jaminan. Permohonan sita jaminan itu biasanya dicantumkan pada bagian akhir “fundamentum petendi” (tuntutan).

52

(22)

b. Permohonan sita jaminan dapat diajukan tersendiri asalkan didahului oleh adanya gugatan pokok sebagai landasannya.

c. Permohonan sita jaminan dapat diajukan selama proses persidangan berlangsung pada semua tingkat pengadilan.

Bentuk permohonan sita dapat dilakukan dengan cara lisan (oral) maupun tertulis.53 Permintaan sita dalam bentuk lisan (oral) dapat dilakukan sesuai dengan prinsip yang dianut HIR/RBg bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan adalah beracara secara lisan (mondelinge procedure). Sehubungan dengan itu, undang-undang membenarkan permohonan sita secara lisan di depan persidangan. Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan permintaan itulah hakim mengeluarkan perintah sita apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup.

Dalam bentuk tertulis, bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan:

a. Permintaan disatukan dengan surat gugatan

Permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan surat gugatan. Dicantumkan pada bagian akhir uraian dalil dan peristiwa gugatan, sehingga penempatannya dalam gugatan dikemukakan sebelum petitum gugatan. Praktik yang seperti itu

53 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

(23)

yang banyak diterapkan, sedang mengenai permintaan pernyataan sah dan berharga, diajukan pada Petitum kedua gugatan. Menyatukan permintaan sita sekaligus dalam gugatan secara teoretis sangat tepat bila dikaitkan dengan fungsi sita sebagai gugatan yang bersifat acessoir dengan pokok perkara pada satu sisi maupun dari segi tujuan permintaan sita sebagai upaya menghindari gugatan mengalami illusoir pada sisi lain. Apalagi ditinjau dari prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, bentuk permohonan sita yang disatukan dengan gugatan, dianggap efektif dan efisien.

b. Diajukan dalam surat tersendiri

Cara ini dijelaskan dalam Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg, yang membolehkan pengajuan sita dilakukan secara terpisah dari pokok perkara.54 Berarti permohonan sita, diajukan tersendiri di samping gugatan pokok perkara.

Penyitaan merupakan hukuman dan perampasan harta kekayaan tergugat sebelum putusan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, penyitaan sebagai tindakan exceptional harus benar-benar dilakukan secara cermat berdasarkan alasan yang kuat. Pasal 227 HIR / 261 RBg atau Pasal 720 Rv memperingatkan hal itu, agar Penggugat dalam pengajuan sita menunjukkan kepada hakim sejauh mana isi dan dasar gugatan dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang bersangkutan.

Menurut Pasal 227 HIR / 261 RBg maupun Pasal 720 Rv, alasan pokok

(24)

permintaan sita adalah:

a. Ada kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat mencari akal untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya dan hal itu akan dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.

b. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan beralasan secara objektif. Dimana penggugat harus dapat menunjukkan fakta tentang adanya langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan hartanya selama proses pemeriksaan berlangsung, atau setidaknya penggugat dapat menunjukkan indikasi objektif tentang adanya daya upaya tergugat untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari gugatan.

c. Sedemikian rupa eratnya isi gugatan dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan dan tergugat menggelapkan harta kekayaan, mengakibatkan kerugian kepada penggugat. Jika isi pokok gugatan tidak erat kaitannya dengan penyitaan, sehingga tanpa penyitaan diperkirakan tidak menimbulkan kerugian kepada Penggugat, maka penyitaan dianggap tidak mempunyai dasar alasan yang kuat.

Permintaan sita dapat diajukan sepanjang pemeriksaan sidang. Sebagaimana penegasan Putusan Mahkamah Agung Nomor 371K/Pdt/1984 55 yang mengatakan, meskipun sita jaminan tidak tercantum dalam gugatan maupun dalam Petitum gugatan, dan baru diajukan belakangan dalam surat tersendiri, jauh setelah gugatan

55 Tanggal 15-5-1985, jo. PT Jakarta Nomor 75/1983, 28-5-1983, jo. PN Jakarta Nomor 123/1982, 7-8-1982.

(25)

didaftarkan, cara yang demikian tidak bertentangan dengan tata tertib beracara, karena undang-undang membolehkan pengajuan sita jaminan dapat dilakukan permintaannya sepanjang proses persidangan berlangsung. Oleh karena itu, pengabulan sita dalam kasus yang seperti itu tidak bertentangan denganultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR / 189 ayat (3) RBg. Memperhatikan putusan di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg, dapat dikemukakan acuan penerapan pengajuan permintaan sita, yaitu:

a. Selama Belum Dijatuhkan Putusan pada Tingkat Peradilan Pertama.

Selama proses pemeriksaan pada tingkat peradilan pertama di PN, Penggugat dapat dan dibenarkan mengajukan permintaan sita. Ketentuan batas waktu ini, secara tersurat disebut dalam Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg yang mengatakan, sita terhadap harta kekayaan tergugat (debitor) dapat diminta selama belum dijatuhkan putusan atas perkara tersebut. Bahkan seperti yang dijelaskan terdahulu, permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan melalui cara mencantumkan permintaan itu dalam gugatan yang bersangkutan. Bertitik tolak dari cara yang demikian, pada dasarnya permintaan sita dapat diajukan sejak saat penyampaian gugatan, hingga PN menjatuhkan putusan. Dengan kata lain, sejak perkara diregistrasi di kepaniteraan, sita dapat diminta, baik hal itu dikemukakan dalam gugatan atau dengan surat permintaan yang berdiri sendiri. b. Dapat Diajukan Selama Putusan Belum Dieksekusi.

(26)

berbunyi: ”Selama putusan yang mengalahkannya belum dijalankan eksekusinya. Dengan demikian baik selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau selama putusan belum dieksekusi, Penggugat dapat mengajukan permintaan sita atas harta kekayaan tergugat.” Memperhatikan ketentuan ini, permintaan sita tidak hanya dapat diajukan selama pemeriksaan perkara pada tingkat pertama di PN, tetapi juga dapat diajukan dalam semua tingkat pemeriksaan, selama berlangsung pemeriksaan tingkat banding di PT atau selama proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat kasasi di MA.

Terdapat kemungkinan adanya urgensi meminta sita pada saat proses pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi, yaitu apabila selama proses pemeriksaan pada tingkat pertama di PN, penggugat tidak mengajukan permintaan sita. Baru setelah pemeriksaan di tingkat banding penggugat sadar perlu diletakkan sita terhadap harta kekayaan tergugat, untuk menghindari terjadinya penggelapan harta itu oleh tergugat. Atau baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat banding, penggugat tidak meminta penyitaan, baru sadar betapa pentingnya penyitaan setelah pemeriksaan berlangsung pada tingkat kasasi. Dalam kasus yang seperti itulah timbul urgensi mengajukan sita pada tingkat banding atau kasasi. Atau permintaan sita menjadi urgen pada tingkat banding atau kasasi, apabila permintaan sita yang diajukan pada tingkat pertama ditolak oleh Pengadilan Negeri.

Ketentuan sita jaminan terdapat pada Pasal 227 HIR / 261 RBg yang menyatakan: “Jika terdapat persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya, atau selagi putusan yang

(27)

mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang-barang itu dari penagih utang, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberi perintah, dilakukan sita terhadap barang tersebut untuk menjaga hak pihak yang memasukkan permintaan itu dan kepada pihak pemohon sita harus menghadap ke persidangan Pengadilan Negeri yang pertama untuk kemudian memajukan dan menguatkan gugatannya.”

Di dalam menjawab permasalahan pertama dari penelitian ini, apa yang menjadi dasar hukum bagi pihak ketiga mengajukan permohonan sita, terlebih dahulu harus dipahami tujuan dari dikeluarkannya perintah sita jaminan. Pada pasal tersebut jelas tertulis tujuannya adalah “...untuk menjaga hak pihak/orang yang memasukkan permintaan…”. Siapakah pihak dan apa hak yang dimaksudkan di atas? “Pihak” yang dimaksudkan ketentuan pasal tersebut adalah pihak yang memiliki piutang (Kreditor) terhadap pihak yang dimintakan sita jaminan. Sedangkan “Hak” yang dimaksudkan pada pasal tersebut adalah “Hak Kreditor”, baik sebagai Kreditor biasa ataupun Kreditor yang diistimewakan.

Untuk memahami “Hak” tersebut maka kita harus melihat ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, setiap Kreditor mempunyai hak jaminan atas piutangnya berupa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari.

Jaminan berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut bersifat umum, berlaku untuk seluruh Kreditor. Sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata, menyatakan diperbolehkannya hak jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan, misalnya

(28)

dalam bentuk Hak Tanggungan, yang dahulu dikenal dengan Hipotik. Dengan demikian jelaslah, bahwa setiap Kreditor memiliki hak jaminan atas piutangnya, baik yang berupa jaminan umum ataupun dapat pula jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan.56

Kembali kepada tujuan dari sita jaminan yang sudah kita bahas di atas. Tujuan sita jaminan adalah untuk “...menjaga hak…” bukan menciptakan atau memberikan hak baru. Dengan demikian, oleh karena keseluruhan harta Debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada adalah jaminan untuk keseluruhan Kreditor, maka setiap Kreditor berhak untuk mengajukan permohonan sita jaminan atas keseluruhan harta Debitor baik yang telah dijaminkan secara istimewa dan didahulukan ataupun tidak.57

Dengan demikian, seorang Kreditor yang tidak memiliki jaminan istimewa dan didahulukan, tetap dapat mengajukan permohonan sita jaminan atas harta Debitor, baik yang telah dijaminkan secara istimewa dan didahulukan kepada pihak lain (Bank) ataupun tidak. Selanjutnya, apabila permohonan sita tersebut dikabulkan oleh pengadilan melalui penetapan sita jaminan, maka hal tersebut tetap tidak merubah kedudukan Kreditor tersebut terhadap benda yang disitajaminankan.

56Mahawisnu Alam, Jaminan & Penagihan Hutang Sita Jaminan, http://www.hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=3022, diakses tanggal 10 April 2009.

57

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang pada uraian sebelumnya maka dalam penelitian ini didapatkan permasalahan yang dirumuskan dalam perumusan masalah adalah bagaimana setting parameter

13 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan I nfrastruktur;. •

Jika terjadi penurunan janin selama kala I fase aktif dan memasuki fase pengeluaran, maka dapat dikatakan kemajuan persalinan cukup baik. Menurut friedmann,

Tujuan pemeliharaan sapi dengan cara ini adalah untuk meningkatkan atau menghasilkan daging yang relati f lebih cepat.. Selain menghasilkan daging yang dibutuhkan

Ketercapaian siswa yang memenuhi ketiga indikator berkemampuan visual, berkemampuan persamaan atau ekspresi matematis dan berkemampuan kata-kata atau teks tertulis hanya

dialami guru fisika dalam membuat media ajar dengan pemanfaatan mikrokontroler sebagai bahan pembuatan media ajar adalah sebagai berikut: guru fisika memiliki

Brayut merupakan sebuah dusun yang menjadi bagian dari Desa Pandowoharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (Dinas Kebudayaan dan

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga fraksi ekstrak etanol kelopak bunga rosella ini mempunyai rata-rata volume urin yang sama, namun fraksi yang paling aktif