• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TANGGUNG GUGAT MASKAPAI PENERBANGAN ATAS HILANG, MUSNAH, DAN RUSAKNYA BARANG KONSUMEN DI BAGASI PESAWAT UDARA 2.1. Hubungan Hukum antara Maskapai Penerbangan dengan Konsumen 2.1.1. Perjanjian Pengangkutan sebagai Dasar Perjanjian antara Maskapai Pe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TANGGUNG GUGAT MASKAPAI PENERBANGAN ATAS HILANG, MUSNAH, DAN RUSAKNYA BARANG KONSUMEN DI BAGASI PESAWAT UDARA 2.1. Hubungan Hukum antara Maskapai Penerbangan dengan Konsumen 2.1.1. Perjanjian Pengangkutan sebagai Dasar Perjanjian antara Maskapai Pe"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TANGGUNG GUGAT MASKAPAI PENERBANGAN ATAS HILANG,

MUSNAH, DAN RUSAKNYA BARANG KONSUMEN DI BAGASI

PESAWAT UDARA

2.1. Hubungan Hukum antara Maskapai Penerbangan dengan Konsumen

2.1.1. Perjanjian Pengangkutan sebagai Dasar Perjanjian antara

Maskapai Penerbangan dengan Konsumen

Hubungan hukum antara Maskapai Penerbangan dengan Penumpang

Pesawat udara terjadi karena adanya perjanjian pengangkutan.

“Perjanjian Pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan”8

Dalam pengertian perjanjian pengangkutan tersebut diatas, dapat diketahui

bahwa objek dalam hukum pengangkutan dapat berupa orang (manusia) dan dapat

berupa barang. Dan atas objek hukum pengangkutan tersebut, pihak pengangkut

harus bertanggungjawab atas keselamatannya.

Perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara maskapai

penerbangan dengan penumpang pesawat udara harus memenuhi syarat sah

perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 BW, yaitu :

1. Kesepakatan para pihak

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, Citra Aditya

(2)

3. Adanya suatu hal tertentu, dan

4. Causa yang diperbolehkan

Empat syarat sah perjanjian menurut BW tersebut dapat diuraikan menjadi

berikut :

1. Kesepakatan antara kedua belah pihak

Dimaksud dengan kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu ketika

mereka sepakat untuk mengikatkan dirinya kedalam suatu perjanjian.

Kesepakatan terjadi ketika Maskapai penerbangan memberikan penawaran kepada

penumpang berupa jasa pengangkutan orang dan barang melalui jalur udara, dan

penumpang bersedia untuk menggunakan jasa pengangkutan tersebut, maka

dalam hal demikian telah terjadi kesepakatan. Selanjutnya pihak maskapai

penerbangan dengan kesepakatan tersebut, bersedia menyelenggarakan jasa

pengangkutan yang aman bagi penumpang atas diri penumpang dan barang

penumpang. Begitu pula halnya dengan penumpang, wujud dari kesepakatan

tersebut adalah penumpang pesawat udara bersedia membayar harga tiket pesawat

udara sesuai dengan harga yang diberikan maskapai penerbangan tersebut.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Dimaksud dengan kecakapan yaitu kemampuan seseorang untuk bertindak

dan bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang telah dialakukannya. Dalam

perjanjian pengangkutan penumpang dan barang ini melibatkan maskapai

penerbangan yang merupakan subyek hukum yang berbentuk badan hukum. Suatu

badan hukum berdiri dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.

(3)

dan mempunyai tanggung jawab untuk mengadakan jasa pengangkutan udara

dengan aman. Kecakapan untuk subyek hukum berupa orang, diatur dalam Pasal

1329 BW yang berbunyi : “Setiap orang cakap untuk membuat perikatan, kecuali

ia dinyatakan tak cakap untuk hal itu”, sedangkan dalam Pasal 1330 mengatur

tentang yang termasuk tidak cakap hukum.

Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

(1) Orang-orang yang belum dewasa (jo pasal 330 BW)

(2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

(3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu

Batas usia dewasa juga diatur dalam Pasal 330 BW yaitu dewasa adalah

seseorang telah berumur 21 tahun atau seseorang yang sudah kawin meskipun

belum berumur 21 tahun.

Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, batas usia kedewasaan seseorang diatur dalam pasal 47 juncto pasal

50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 tentang Perkawinan. Dalam pasal 47

ayat (1) mengatakan bahwa seseorang yang belum berumur 18 tahun atau belum

kawin berada dalam kekuasaan orangtuanya. Sedangkan pasal 47 ayat (2)

mengatakan bahwa perbuatan hukum anak belum dewasa tersebut diwakili oleh

orangtuanya baik di dalam maupun diluar pengadilan. Dalam pasal 50 ayat (1)

mengatur bahwa anak yang belum berumur 18 tahun atau belum kawin yang tidak

(4)

Sedangkan menurut pasal 50 ayat (2), kekuasaan atas perwalian tersebut

menyangkut tentang pribadi anak serta segala hartanya.

Berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia memuat ketentuan

yang berbeda mengenai batas usia kedewasaan seseorang, namun pada umumnya

banyak para ahli berpendapat bahwa batas usia kedewasaan seseorang mengacu

pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yaitu saat berusia 18 Tahun.

Dalam prakteknya, seorang penumpang pesawat udara wajib memiliki

KTP sebagai identitas penumpangnya. Ketentuan lainnya bila tidak memiliki KTP

maka dapat memakai SIM sebagai identitas penumpang. Baik KTP maupun SIM

hanya dapat diperoleh oleh Warga Negara Indonesia yang telah berumur 17

Tahun atau sudah kawin. Maka dengan kata lain, batas minimal usia seseorang

dapat menjadi penumpang pesawat udara adalah 17 tahun.

Batas usia yang diterapkan kepada penumpang Pesawat udara tersebut

sama halnya seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2008 tentang Pemilu. Dalam ketentuan ini dikatakan bahwa

seseorang dapat menggunakan hak pilihnya jika telah berusia 17 Tahun atau

sudah menikah.

Batas usia yang diterapkan baik untuk penumpang pesawat udara maupun

untuk seseorang yang mengikuti pemilu tersebut bukanlah batas usia dewasa,

melainkan batas usia minimal untuk seseorang dapat melakukan perbuatan

hukum. Dengan kata lain, penumpang pesawat udara dianggap telah mampu atau

(5)

dengan pihak maskapai saat berusia 17 tahun keatas, walaupun belum mencapai

batas usia dewasa. Batas usia kecakapan tersebut dibuktikan dengan KTP atau

SIM milik penumpang.

Dikaitkan dengan batas minimal usia penumpang pesawat udara ini lantas

menimbulkan pertanyaan mengenai penumpang pesawat udara yang berada di

bawah umur 17 tahun, padahal, seorang bayi yang belum genap berusia 1 tahun

pun dapat menjadi penumpang pesawat udara.

Seorang anak dapat menjadi penumpang pesawat udara jika dengan

pengawasan orang tua atau walinya. Hal ini sesuai dengan perwujudan pasal 47

dan pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal itu

dibuktikan dengan tata cara pembelian tiket bagi anak belum cakap hukum.

Untuk anak yang belum cakap dan belum memiliki kartu identitas berupa

KTP dan SIM, maka pemesanan tiketnya harus dengan menggunakan KTP atau

SIM orangtua atau walinya. Hal ini berarti bahwa segala tindakan hukum atas

anak belum cakap tersebut ada dibawah kekuasaan dan didalam tanggung jawab

orang tua atau walinya.

3. Adanya suatu hal tertentu

Dalam suatu perjanjian, haruslah dimuat sesuatu yang konkrit, rinci, dan

jelas. Sesuatu yang konkrit, rinci, dan jelas tersebut biasanya termuat dalam suatu

surat atau akta yang menjadi dasar pelaksanaan terjadinya perjanjian tersebut.

Misalnya dalam tiket penumpang pesawat udara termuat dengan jelas identitas

penumpang, bandara keberangkatan dan bandara tujuan penumpang, serta seat

(6)

harusnya memuat secara detail barang milik penumpang yang diangkut di bagasi

tercatat pesawat udara.

Dalam tiket pesawat udara juga seharusnya memuat suatu hal tertentu

tersebut secara rinci, yaitu mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak

baik pihak maskapai penerbangan maupun penumpang, baik mengenai

keselamatan nyawa maupun keamanan barang di bagasi tercatat. Sehingga dengan

suatu hal tertentu dalam sebuah perjanjian pengangkutan ini, maka para pihak

akan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sesuai yang telah

mereka sepakati dalam perjanjian.

4. Causa yang diperbolehkan

Suatu perjanjian yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan

Undang-undang, kesusilaan, dan ketentuan umum. Jadi perjanjian pengangkutan

penumpang dan barang antara maskapai penerbangan dengan penumpang tidak

boleh berisi klausula-klausula ataupun mempunyai tujuan yang bertentangan

dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketentuan umum.

Perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara Maskapai

Penerbangan dengan penumpangnya mempunyai karakteristik yaitu bersifat

konsensual, timbal balik, dan pelayanan berkala.

Bersifat konsensual artinya adalah perjanjian pengangkutan terbentuk

sesaat setelah para pihak menyatakan sepakat untuk mengikatkan diri pada

(7)

penawaran (offer) oleh pihak maskapai, dan penerimaan (acceptance) oleh

penumpang.

Perjanjian pengangkutan dikatakan bersifat konsensuil, karena hanya dengan adanya kata sepakat (konsensus) saja perjanjian secara hukum dianggap sah. Tetapi kapan dianggap telah terjadinya suatu konsensus adalah sangat penting terkait dengan penentuan saat dimulainya hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian; agar hak dan kewajiban itu dapat segera dilaksanakan.9

Pemberitahuan harga sebuah tiket pesawat udara dengan rute perjalanan

tertentu yang dilakukan oleh maskapai penerbangan, dapat dianggap sebagai suatu

penawaran (offer), sedangkan kesetujuan penumpang dengan harga yang diajukan

tersebut disertai kesanggupan membeli dan membayar harga tiket tersebut adalah

merupakan sebuah penerimaan dari penumpang. Konsensus terjadi pada saat

penumpang membeli dan membayar tiket dari maskapai penerbangan tersebut.10

Untuk mengadakan sistem hukum yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia, untuk mengadakan perjanjian pengangkutan barang atau orang tidak diisyaratkan harus secara tertulis. Jadi cukup diwujudkan dengan persetujuan kehendak secara lisan saja.11

Namun demikian, kata sepakat saja tidak cukup untuk menjadi landasan di

mulai suatu perjanjian pengangkutan. Pada kenyataannya, sangat sulit

membuktikan kapan terjadinya kesepakatan secara tepat. Oleh karena itu untuk

menjamin kepastian hukum bagi para pihak, dalam perjanjian pengangkutan

penumpang dan barang dibuatlah suatu dokumen perjanjian sebagai bukti adanya

hubungan hukum antara para pihak dalam perjanjian pengangkutan penumpang

dan barang. Dokumen tersebut dinamakan tiket pesawat udara.

9 Wuri Adriyani, H Samzari Boentoro, Hukum Pengangkutan (Transportation Law).,

Universitas Airlangga, 2007. h. 9

10Ibid h. 10

11 Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, Hari Pramono, Hukum Pengangkutan di

(8)

Dokumen yang menjadi wujud dari kesepakatan antara penumpang

pesawat udara dengan maskapai penerbangan tersebut diatur dalam Pasal 150

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dokumen angkutan

udara terdiri atas :

a. Tiket Penumpang pesawat udara

b. Pas masuk pesawat udara (boarding pass)

c. Tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag)

d. Surat muatan udara (airway bill)

Dokumen angkutan tersebut sangat penting untuk dimiliki oleh

penumpang, dan pihak maskapai wajib memberikan ketiga dokumen tersebut

kepada calon penumpangnya sesuai kebutuhan penumpangnya. Namun

keberadaan dokumen pengangkutan bukan menjadi dasar dimulainya kesepakatan

perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai alat bukti yang kuat.

Tiket penumpang pesawat udara merupakan suatu tanda bukti bahwa

seseorang telah membayar biaya pengangkutan sehingga seseorang tersebut

berhak naik pesawat udara sebagai penumpang. Tiket pesawat udara juga

merupakan tanda bukti telah ditutupnya perjanjian pengangkutan udara, tetapi

bukan merupakan syarat mutlak. Disebutkan dalam pasal 5 ayat 2 Ordonansi

Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonantie, S. 1939 -100) bahwa tidak

adanya tiket penumpang bukan berarti tidak adanya perjanjian pengangkutan

udara. Dengan kata lain, perjanjian pengangkutan udara ini bersifat konsensual,

(9)

namun apabila tiket penumpang tidak ada atau hilang, maka perjanjian

pengangkutan udara dapat dibuktikan dengan alat bukti yang lain.12

Begitu pula halnya dengan keberadaan tiket bagasi. Bagasi adalah hak

setiap penumpang pesawat udara. Sesaat setelah ditutupnya perjanjian

pengangkutan penumpang dan barang antara maskapai penerbangan dengan

penumpang pesawat udara, maka saat itu pula seorang penumpang berhak untuk

mendapatkan jatah bagasi dari pihak maskapai. Jatah bagasi yang diberikan oleh

pihak maskapai kepada setiap penumpangnya bermacam-macam, antara 5 – 20

Kg. Untuk barang-barang bagasi penumpang yang melebihi batas berat yang

diberikan oleh maskapai penerbangan, maka dikenakan biaya tambahan.

Seorang punumpang yang telah memiliki tiket pesawat udara, maka

dirinya juga berhak atas tiket bagasi pesawat udara. Tanpa tiket bagasi pun

penumpang tersebut berhak menitipkan barangnya di bagasi pesawat udara sesuai

kuota muatan yang disediakan, namun untuk ketertiban dan keamanan baik pihak

maskapai maupun pihak penumpang, tiket bagasi tetap perlu di terbitkan bagi

penumpang yang ingin menitipkan barangnya di bagasi pesawat udara selama

penerbangan berlangsung. Dengan kata lain, tiket bagasi bukan sebagai dasar

perjanjian pengangkutan barang penumpang di pesawat udara, melainkan sebagai

salah satu alat bukti yang kuat atas adanya perjanjian pengangkutan penumpang

dan barang di bagasi pesawat udara tersebut.

Tiket bagasi itu merupakan tanda bukti penitipan barang, yang nanti bila penumpang turun dari pesawat udara, barang bagasi itu akan diminta kembali. Dipandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka perjanjian penitipan bagasi ini merupakan accessoire verbintennis. Jadi, tiket bagasi

(10)

itu hubungannya erat sekali dengan perjanjian pengangkutan. Tetapi meskipun begitu tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan didalamnya atau hilangnya tiket bagasi tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya adanya perjanjian pengangkutan udara yang tetap akan tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam pasal 6 ayat 5 Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonantie, S. 1939 -100).13

Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa tiket bagasi bukanlah sebagai

penentu adanya perjanjian pengangkutan, tiket bagasi hanyalah merupakan bukti

kepemilikan barang di bagasi. Tidak adanya tiket bagasi tidak mempengaruhi

proses perjanjian pengangkutan yang berlangsung antara maskapai penerbangan

dengan penumpang pesawat udara.

Menurut pasal 6 ayat (4) Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer

Ordonantie, S. 1939 -100), tiket bagasi harus berisi :

1) Tempat dan tanggal pemberian;

2) Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan; 3) Nama dan alamat pengangkut;

4) Nomor tiket penumpang;

5) Pemberitahuan bahwa bagasi akan diserahkan kepada pemegang tiket bagasi;

6) Pemberitahuan jumlah dan berat barang; 7) Harga yang diberitahukan oleh penumpang;

8) Pemberitahuan bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk kepada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam ordonansi ini atau traktat (Lvervoer 1, 25 dst.)

Sedangkan menurut pasal 153 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2009 tentang Penerbangan, tanda pengenal bagasi paling sedikit harus memuat :

a. Nomor tanda pengenal bagasi;

b. Kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan; dan c. Berat bagasi.

Mengingat pentingnya dokumen pengangkutan udara tersebut yaitu

sebagai alat bukti yang kuat bagi para pihak atas disepakatinya suatu perjanjian

(11)

pengangkutan udara, maka dokumen pengangkutan tersebut wajib diterbitkan oleh

maskapai penerbangan untuk diserahkan kepada penumpang. Dengan kata lain,

dokumen pengangkutan penting eksistensinya terutama bagi pengangkut, sebab

dokumen pengangkutan bermanfaat sebagai14 :

a. Dasar pelaksanaan (hak dan kewajiban) perjanjian pengangkutan; b. Dasar tuntutan ganti rugi atau dasar perhitungan ganti rugi dalam hal

terjadi kerugian pada barang selama pengangkutan;

c. Alat bukti untuk membuktikan telah terbentuknya suatu perjanjian pengangkutan; walaupun bukan satu-satunya alat bukti;

d. Alat bukti yang dapat dikemukakan masing-masing pihak dalam hal terjadi sengketa tentang pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak;

e. Dasar untuk mengecek dan membuat catatan tentang keadaan barang, jumlah, berat, harga, dan sebagainya.

Perjanjian pengangkutan penumpang dan barang yang bersifat konsensual

sering menimbulkan pertanyaan mengenai kapan mulai berlakunya perjanjian

pengangkutan penumpang dan barang. Dalam pasal 18 ayat (1) Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut

Angkutan Udara menyatakan bahwa tanggung gugat pengangkut yang dalam hal

ini maskapai penerbangan terhadap penumpang dimulai sejak penumpang

meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan

penumpang memasuki terminal kedatangan di bandar udara tujuan, sedangkan

saat dimulainya perjanjian pengangkutan barang penumpang yang diangkut

dengan bagasi pesawat udara diatur dalam pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut

Angkutan Udara yang menyatakan bahwa tanggung gugat pengangkut terhadap

bagasi tercatat dimulai sejak pengangkut menerima bagasi tercatat pada saat

(12)

pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi tercatat oleh penumpang

di bandar udara tujuan.

Karakteristik perjanjian pengangkutan selanjutnya adalah bersifat timbal

balik. Yang dimaksud dengan sifat timbal balik disini yaitu sejak terjadi

kesepakatan antara pihak maskapai penerbangan dengan penumpang pesawat

udara untuk mengadakan perjanjian pengangkutan penumpang dan barang, maka

sejak saat itu pula timbullah hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak secara

timbal balik.

Sifat perjanjian pengangkutan selanjutnya yaitu bersifat pelayanan berkala,

yang artinya setelah pengangkutan penumpang dan barang selesai dilaksanakan

oleh maskapai penerbangan, maka hak dan kewajiban masing-masing telah selesai

dilaksanakan, dengan kata lain, perjanjian pengangkutan penumpang dan barang

antara maskapai penerbangan dengan penumpang pesawat udara berakhir pada

saat itu.

Pendapat lain tentang sifat pelayanan berkala yaitu kesetaraan kedudukan

antara pihak pengangkut dengan pihak pemakai pengangkutan.

Pada umumnya hubungan hukum antara pengangkut dengan pihak yang memakainya itu adalah bermacam-macam yaitu sama tinggi-sama rendah atau kedua belah pihak adalah “gecoordineerd”. Tidak ada imbangan majikan terhadap buruh (atasan terhadap bawahan) atau imbangan “gesubordineerd” pada hubungan hukum antara pemakai pengangkutan dengan pengangkut. Karena itu sifat perjanjian pengangkutan adalah sebuah perjanjian untuk melakukan pelayanan (atau jasa) berkala (een overeenkomst tot het verrichten van enkele diensten).15

Ruang lingkup perjanjian pengangkutan di Indonesia ini sangat luas sekali.

Perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara maskapai penerbangan

(13)

dengan penumpang pesawat udara ini hanya merupakan salah satu dari bentuk

perjanjian pengangkutan.

Perjanjian pengangkutan yang lainnya salah satunya adalah perjanjian

pengiriman barang. Dalam perjanjian pengangkutan pengiriman barang ini lebih

kompleks karena memakai sistim ekspedisi yang melibatkan lebih dari dua pihak.

Berbeda dengan perjanjian pengankutan penumpang dan barang antara maskapai

penerbangan dengan penumpang Pesawat udara yang hanya terdiri dari dua pihak,

maka perjanjian pengiriman barang ini terdiri dari sedikitnya 4 (empat) pihak,

yaitu :

1) Pengirim barang

2) Pengangkut

3) Ekspeditur, biro jalan

4) Penerima barang

Pengirim barang (consigner) adalah pihak yang mengikatkan diri untuk

membayar biaya pengangkutan. Pengirim adalah pihak pemilik barang yang akan

mengirimkan barangnya melalui jasa pengangkutan.16

Pengangkut (Carrier) adalah pihak yang mengikatkan diri untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang dari suatu tempat

ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Singkatnya, pengangkut adalah pihak

penyelenggara pengangkutan.17

Ekspeditur dinyatakan sebagai subjek perjanjian pengangkutan karena

mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengirim, atau pengangkut, atau

(14)

penerima, walaupun ia bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan. Ekspeditur

berfungsi sebagai “perantara” dalam perjanjian pengangkutan. Ekspeditur adalah

pengusaha yang menjalankan perusahaan persekutuan badan hukum dalam bidang

usaha ekspedisi muatan barang, seperti ekspedisi muatan kereta api (EMKA),

ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), dan ekspedisi muatan kapal udara

(EMKU).18

Penerima (Consignee) dalam perjanjian pengangkutan mungkin bisa

pengirim sendiri mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal

penerima adalah pengirim, maka penerima adalah pihak dalam perjanjian

pengangkutan. Dalam hal penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan,

penerima bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan, tetapi tergolong juga

sebagai subjek hukum pengangkutan.19

Perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara pihak maskapai

penerbangan dengan penumpang pesawat udara tentunya tidak lebih kompleks

bila dibandingkan dengan perjanjian pengiriman barang. Salah satu contoh

perjanjian pengiriman barang adalah antara pihak pengirim dengan PT. Pos

Indonesia.

Perjanjian pengiriman barang melalui PT. Pos Indonesia ini tunduk pada

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos. Menurut pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos, Pos adalah layanan

komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistic,

layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum.

(15)

Perbedaan perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara

maskapai penerbangan dengan penumpang Pesawat udara dengan perjanjian

pengiriman barang yang diselenggarakan oleh para PT. Pos Indonesia selain

terletak pada para pihaknya, juga terletak pada obyek perjanjiannya.

Dalam perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara maskapai

penerbangan dengan penumpang Pesawat udara yang menjadi obyek perjanjian

adalah penumpang itu sendiri dan juga barang milik penumpang. Sedangkan

dalam perjanjian pengiriman yang diselenggarakan oleh PT. Pos Indonesia, yang

menjadi obyek perjanjian adalah sesuatu yang dikirimkan oleh pengirim, dapat

berupa surat, barang, ataupun uang.

2.1.2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan

Penumpang dan Barang

Sesaat setelah berlakunya perjanjian pengangkutan antara maskapai

penerbangan dengan penumpang pesawat udara, maka sejak saat itu timbul hak

dan kewajiban bagi masing-masing pihak.

Secara umum, kewajiban pengangkut yang utama adalah :20

1. Menyelenggarakan pengangkutan barang-barang yang dipercayakan kepadanya dengan aman, utuh, dan selamat sampai tempat tujuan; 2. Mengganti kerugian apabila terjadi kerugian atas kesalahan

pengangkut

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan diatur

tentang Kewajiban Pengangkut terhadap Penumpang dan/atau Pengirim Kargo

yang termuat dalam pasal 141 – 147. Dalam pasal – pasal tersebut memuat

(16)

kewajiban dan tanggung jawab pengangkut kepada penumpang, barang

penumpang (bagasi), maupun kargo.

Pasal 144 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

berbunyi : “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh

penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan

oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan

pengangkut”. Sedangkan dalam pasal 146 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

tentang Penerbangan berbunyi : “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian

yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo,

kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut

disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.”

Kewajiban maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ini sudah jelas

mengatur kewajibannya berkaitan dengan bagasi pesawat udara. Pengaturan

kewajiban ini dimaksudkan agar pihak maskapai penerbangan tidak lagi

menimbulkan kerugian terhadap barang milik penumpang di bagasi pesawat

udara.

Kewajiban pengangkut sebagai pelaku usaha juga diatur dalam pasal 7

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, pemeliharaan;

(17)

4. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut yang paling

utama adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) BW. Bahwa perjanjian harus harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan Arrest H.R. di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan ditempatkan dibawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.21

Kewajban untuk beritikad baik harus dimiliki oleh pihak pengangkut yang

dalam hal ini maskapai penerbangan mulai dari awal pembentukan perjanjian,

sampai dengan perjanjian pengangkutan penumpang dan barang tersebut berakhir.

Pihak maskapai penerbangan sejak menjual tiket kepada penumpang, sampai pada

saat pelaksanaan penerbangan dan hingga sampai ditujuan akhir, harus senantiasa

menjaga itikad baiknya. Begitu pula dengan bagasi pesawat udara. Pihak

maskapai harus menjaga semua barang penumpang yang ada di bagasi pesawat

udara dengan itikad baik.

Unsur itikad baik ini sangat penting dalam hal terjadi keugian penumpang

akibat hilang atau rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara. Jika

terjadi kehilangan atau kerusakan barang milik penumpang yang ada di bagasi

pesawat udara, maka harus dapat dibuktikan apakah pihak maskapai penerbangan

sudah beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan penumpang

dan barang tersebut, ataukah tidak ada itikad baik dari pihak maskapai

(18)

penerbangan. Apabila memang kerugian tersebut akibat kesalahan dari pihak

maskapai penerbangan, maka maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut

wajib mengganti kerugian yang di derita oleh penumpang pesawat udara.

Sebagai kewajiban hukum, maka produsen harus memenuhinya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika produsen bersalah tidak memenuhi kewajibannya itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu. Artinya, produsen harus bertanggungjawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya itu.22

Berdasarkan uraian diatas, yang dimaksud produsen dalam hal ini adalah

pihak maskapai penerbangan. Jika pihak maskapai dalam melaksanakan

perjanjian pengangkutan penumpang dan barang tersebut tidak beritikad baik,

maka apabila terjadi kerugian pada penumpang, maskapai penerbangan dapat

digugat untuk memenuhi ganti kerugian.

Kewajiban maskapai penerbangan selanjutnya adalah memberikan

informasi secara benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, pemeliharaan.

Dalam hal ini pihak maskapai penerbangan harus memberikan informasi yang

jelas kepada penumpang mengenai hal-hal yang akan berlangsung selama berada

di penerbangan. Maskapai penerbangan tidak boleh menutupi atau

menyembunyikan informasi apa pun terkait penerbangan kepada penumpang

pesawat udara.

Selanjutnya maskapai peerbangan sebagai pengangkut juga harus

memperlakukan konsumen dengan jujur dan benar, serta tidak boleh melakukan

22 Janus Sidabulok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,

(19)

diskriminasi terhadap penumpang. Dalam hal ini maskapai penerbangan harus

melayani semua penumpang dengan adil, tidak peduli suku, agama, ras, dan status

social yang lain, maka penumpang harus diperlakukan dengan sama sepanjang

penumpang pesawat udara tersebut juga telah memenuhi kewajibannya sebagai

konsumen.

Yang terakhir, maskapai penerbangan berkewajiban untuk mengganti

kerugian yang dialami konsumen yang timbul sebagai akibat dari kesalahannya.

Dalam hal terjadi hilang atau rusaknya barang penumpang yang dititipkan di

bagasi pesawat udara, maka maskapai wajib untuk memberikan ganti rugi kepada

penumpang pesawat udara tersebut.

Sedangkan hak-hak pelaku usaha yang dalam hal ini adalah maskapai

penerbangan sebagai pihak pengangkut, diatur dalam pasal 6 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, yaitu :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak maskapai penerbangan sebagai pengangkut yang paling utama adalah

hak untuk menerima pembayaran dari penumpang pesawat udara sesuai dengan

harga tiket yang telah disetujui oleh penumpang sebelumnya. Selain itu, maskapai

(20)

beritikad tidak baik. Hak-hak maskapai penerbangan yang lainnya yaitu hak yang

dapat digunakan jika adanya gugatan yang ditujukan kepada maskapai

penerbangan kelak.

Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari. Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen dalam mengikuti upaya penyelesaian sengketa.23 Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa tujuan diaturnya hak-hak pelaku

usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen adalah agar kepentingan pelaku usaha tidak terabaikan terhadap

perlindungan konsumen yang diatur secara rinci.

Penumpang pesawat udara sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan

penumpang dan barang juga mempunyai hak dan kewajiban yang diatur dalam

undang-undang. Kewajiban penumpang pesawat udara sebagai konsumen diatur

dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan

konsumen, yaitu :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan secara patut.

Sebagai konsumen yang cermat, kewajiban utama penumpang pesawat

udara adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

23 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo,Hukum Perlindungan Konsumen. Raja Gravindo

(21)

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa dengan benar. Informasi

tersebut biasanya tertera dalam tiket Pesawat udara penumpang.

Di era globalisasi ini dengan maraknya penggunaan internet dalam segala

bidang, maka dewasa ini tiket pesawat udara sudah tidak lagi berbentuk kertas,

melainkan e-ticket. Dalam pembelian e-ticket, maka petunjuk informasi yang

harusnya ada di balik tiket pesawat udara, di kirim melalui email penumpang

sesaat setelah pembayaran tiket dilakukan. Sebagai konsumen yang cermat, maka

penumpang pesawat udara wajib membaca dan memahami syarat-syarat yang

diberikan oleh maskapai penerbangan tersebut.

Adapun pentingnya kewajiban ini karena pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggungjawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.

Namun jika produsen tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan itu, yang menyebabkan konsumen tidak membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti kerugian pada konsumen yang telah dirugikan.24

Dari uraian diatas, yang di maksud dengan pelaku usaha atau produsen

adalah maskapai penerbangan. Dalam hal ini maskapai penerbangan haruslah

menyampaikan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang jelas dan rinci

mengenai perjanjian pengangkutan yang akan di sepakati. Maskapai penerbangan

dalam memberikan ketentuan-ketentuan tersebut haruslah dalam cara yang wajar

dan mudah dibaca oleh penumpang pesawat udara selaku konsumen. Dengan

telah dicantumkannya ketentuan-ketentuan perjanjian pengangkutan oleh maskpai

penerbangan, maka kewajiban penumpang pesawat udara adalah membaca

(22)

ketentuan tersebut secara cermat agar tidak menimbulkan kerugian bagi

penumpang tersebut pada saat terjadinya proses pengangkutan.

Kewajiban penumpang pesawat udara selaku konsumen yang lain yang

tidak kalah penting adalah kewajiban untuk mengikuti upaya penyelesaian hukum

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak-hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut.25

Hak-hak penumpang pesawat udara sebagai konsumen juga diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yakni

dalam pasal 4 yang antara lain :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

(23)

Secara garis besar, hak-hak konsumen dapat dibagi kedalam tiga hak yang

menjadi prinsip dasar, yaitu:26

1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik

kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;

dan

3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap

permasalahan yang dihadapi.

Untuk melindungi hak-hak konsumen dan dapat memenuhi hah-hak

konsumen yang dalam hal ini adalah penumpang pesawat udara, maka diperlukan

keseriusan maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut dalam menjalankan

tugas dan kewajibannya. Maskapai penerbangan dalam menjalankan kegiatan

usahanya haruslah selalu beritikad baik dan tunduk pada Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2009 tentang Penerbangan serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen yang telah mengatur mengenai hak-hak dan

kewajiban-kewajiban para pihak.

2.2. Kerugian Konsumen Pengguna Bagasi Pesawat udara

Beberapa berita yang tengah beredar dan membuat masyarakat resah

adalah tentang banyaknya kasus kehilangan barang di bagasi penumpang saat

bepergian menggunakan pesawat udara. Hilangnya barang penumpang di bagasi

(24)

pesawat udara tersebut merupakan suatu kerugian yang di derita oleh penumpang

pesawat udara selaku konsumen.

Menurut Nieuwenheis, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang kesatu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.27

Kerugian yang dialami oleh penumpang pesawat udara selama

pengangkutan berlangsung disebut dengan kerugian selama pengangkutan.

Kerugian selama pengangkutan adalah kerugian yang terjadi pada barang atau orang yang diangkut sejak barang diterima oleh pengangkut sampai dengan penyerahan barang di tempat tujuan. Sedang untuk pengangkutan penumpang adalah dimulai sejak penumpang berada pada pengawasan pengangkut yaitu sejak menaiki kendaraan atau alat angkut sampai turun dari alat angkut di tempat tujuan.28

Kerugian terhadap barang milik penumpang di bagasi pesawat udara bisa

terjadi dalam beberapa bentuk kemungkinan, antara lain :

1. Barang di bagasi rusak

2. Barang di bagasi hilang

3. Barang di bagasi terlambat sampai di bandara tujuan akhir penumpang

4. Barang di bagasi tertukar dengan milik penumpang lain

5. Barang di bagasi tertukar di tujuan lain, sehingga penumpang

terpisah/berbeda tempat dengan barangnya

Namun demikian, macam-macam kerugian selama pengangkutan yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab

27 Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih,

Universitas Airlangga, Surabaya, h. 57

(25)

Pengangkut Angkutan Udara hanya ada tiga macam bentuk kerugian yaitu hilang,

musnah, dan rusak.

Hilang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)29 berarti tidak ada lagi, lenyap, tidak kelihatan. Yang dimaksud barang dalam bagasi hilang disini

bisa barangnya yang hilang atau lenyap, bisa juga kemungkinan lainnya adalah isi

dari barang itu yang hilang. Misalkan isi suatu koper yang hilang.

Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun

2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, mendefinisikan

bahwa yang dimaksud dengan hilang adalah apabila tidak diketemukan dalam

waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan

penumpang di Bandar udara tujuan.

Musnah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)30 berarti lenyap,

binasa. Yang dimaksud musnah adalah apabila barang penumpang pesawat udara

yang dititpkan dalam bagasi itu tidak ada wujudnya lagi, tidak dapat diketemukan.

Sedangkan yang dimaksud dengan rusak dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI)31 adalah sudah tidak sempurna lagi, sudah tidak baik lagi, atau sudah tidak utuh lagi.

Menghitung besarnya ganti kerugian merupakan sesuatu yang tidak mudah

untuk dilakukan. Maka dari itu penggantian kerugian harus dilakukan secara

29 Ebta Setiawan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring

(Dalam Jaringan)”, http;//kbbi.web.id/hilang, 2012-2014, dikunjungi pada tanggal 8 November 2014.

30 Ebta Setiawan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring

(Dalam Jaringan)”, http;//kbbi.web.id/musnah, 2012-2014, dikunjungi pada tanggal 8 November 2014.

31 Ebta Setiawan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring

(26)

obyektif dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan besarnya

kerugian yang dapat dialami oleh penumpang terhadap barangnya yang ada di

bagasi pesawat udara. Keobyektifan dalam menghitung besarnya ganti rugi dari

maskapai ke penumpang pesawat udara atas kerugian hilang, musnah, dan

rusaknya bagasi pesawat udara diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan

Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

Pembedaan kerugian selama pengangkutan dalam 3 golongan ini bertujuan

untuk membedakan besar ganti kerugian yang nantinya diberikan oleh maskapai

penerbangan terhadap penumpang pesawat udara yang mengalami kerugian. Ganti

rugi atas barang rusak di bagasi pesawat udara tentu tidak sebesar ganti rugi

barang yang hilang atau musnah dalam bagasi pesawat udara. Hal itu diatur secara

rinci dalam pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011

tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

Dalam pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77

Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan

bahwa ganti kerugian untuk barang yang hilang atau musnah di bagasi pesawat

udara yaitu sebesar Rp 200.000,- tiap Kg, atau maksimal Rp 4.000.000,- per

penumpang. Sedangkan dalam pasal 5 ayat (1) huruf b menyebutkan untuk barang

yang rusak di bagasi pesawat udara, akan diberi ganti kerugian sesuai jenis,

bentuk, ukuran dan merek barang yang hilang di bagasi pesawat udara tersebut.

Ganti kerugian atas kerugian yang diderita konsumen pada hakikatnya berfungsi sebagai:32

a. Pemulihan hak-hak nya yang telah dilanggar

(27)

b. Pemulihan atas kerugian materiil maupun immaterial yang telah di deritanya

c. Pemulihan pada keadaan semula

Ganti kerugian sebagaimana yang terdapat pada pasal 5 ayat (1) Peraturan

Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab

Pengangkut Angkutan Udara tidak memberikan kepastian hukum bagi konsumen

atas kerugian hilang, musnah dan rusaknya barang di bagasi pesawat udara. Untuk

barang penumpang yang hilang atau musnah, pemberian ganti ruginya dalam tiap

satuan kilogram (Kg) sebesar Rp 200.000,- (Dua ratus ribu rupiah) dan maksimal

hanya Rp 4.000.000,- (Empat juta rupiah). Penggantian dalam satuan Kg tersebut

sangat tidak logis karena tidak semua barang milik penumpang yang hilang atau

musnah tersebut antara 1 Kg yang satu dengan satu Kg yang lainnya, belum tentu

sama nilainya. Misalnya saja 1 Kg barang penumpang berupa pakaian sehari-hari,

tidak sama nilainya dengan 1 Kg barang penumpang berupa barang-barang

elektronik. Maka penggantian kerugian dalam satuan Kg ini tidak sesuai untuk

diterapkan dalam kerugian penumpang berupa hilang atau musnahnya barang di

bagasi pesawat udara.

Selain itu, mengenai pembedaan ganti kerugian antara barang hilang atau

musnah dengan barang rusak milik penumpang yang diangkut menggunakan

bagasi pesawat, malah menimbulkan kerugian bagi penumpang selaku konsumen.

Misalnya saja penumpang yang mengalami kerusakan barangnya pada saat

diangkut dengan bagasi pesawat udara yaitu sebuah kamera dengan harga Rp

8.000.000,- (Delapan juta rupiah) maka sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1)

(28)

tercatat diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi

tercatat, dapat diartikan bahwa penumpang yang mengalami kerusakan kamera

tersebut mendapat ganti kerugian berupa kamera baru dengan bentuk, ukuran, dan

merk yang sama dari maskapai penerbangan. Berbeda halnya apabila barang

penumpang berupa kamera seharga Rp 8.000.000,- (Delapan juta rupiah) tersebut

hilang pada saat diangkut dengan bagasi pesawat udara, maka sesuai ketentuan

pasal 5 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011

tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, penumpang hanya akan

mendapat ganti kerugian maksimal Rp 4.000.000,- (Empat juta rupiah). Hal itu

tidak sesuai dengan asas keadilan dalam Hukum Perlindungan Konsumen dan

tidak memberikan kepastian hukum, serta merugikan penumpang selaku

konsumen.

Kerugian yang di derita oleh penumpang pesawat udara atas barang di

bagasi kadang kala juga merupakan dampak dari di terapkannya suatu klausula

baku oleh pihak maskapai penerbangan dalam suatu perjanjian pengangkutan

penumpang dan barang.

Pengertian dari klausula baku terdapat dalam pasal 1 angka 10

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu “Setiap

aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan

terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu

dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Larangan untuk membentuk klausula baku yang merugikan konsumen

(29)

Perlindungan konsumen. Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan konsumen menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang

mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terbaca atau tidak

dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.”

Pada nyatanya klausula baku yang dibentuk oleh maskapai penerbangan

berupa syarat dan ketentuan yang harus dipatuhi penumpang Pesawat udara

diletakkan dibalik tiket Pesawat udara, hal ini sangat menyulitkan penumpang

Pesawat udara untuk membacanya. Klausula baku tersebut disusun dalam

rangkaian huruf yang kecil-kecil sehingga menyulitkan penumpang untuk

membaca klausula baku tersebut. Hal tersebut melanggar pasal 18 ayat (2)

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Klausula baku terkadang menempatkan penumpang Pesawat udara selaku

konsumen pada posisi sebagi pihak yang tidak dapat menggugat ganti rugi karena

sebelumnya maskapai penerbangan selaku pelaku usaha telah membatasi

tanggung gugatnya. Klausula seperti itu disebut dengan klausul eksonerasi.

Klausul eksonerasi (exemption clause) adalah klausul yang mengandung

kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang

semestinya dibebankan kepada pihak produsen yang dalam hal ini adalah pihak

maskapai penerbangan.33

Penerapan klausula baku oleh maskapai penerbangan selaku pihak yang

memiliki kedudukan yang lebih tinggi, yang mengakibatkan kerugian bagi

33 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

(30)

penumpang pesawat udara sebagai pihak yang lemah biasa dikenal dengan

penyalahgunaan keadaan.

Penyalahgunaan kedaadaan berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada salah satu pihak berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Itu sebabnya, ada ahli yang berpendapat penyalah gunaan keadaan ini sebagai salah satu bentuk dari cacat kehendak juga.34

Penyalahgunaan keadaan yang merupakan bentuk dari cacat kehendak ini

tentunya bertentangan dengan syarat subyektif pembentukan perjanjian dalam

pasal 1320 BW yang telah di kemukakan sebelumnya. Jika terjadi cacat kehendak,

maka unsur kesepakatan yang terdapat dalam pasal 1320 BW tidak terpenuhi,

sehingga akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Dengan adanya pembatasan tanggung gugat maskapai penerbangan atas

kerugian yang di derita oleh penumpang pesawat udara, sebenarnya merupakan

suatu bentuk klausul eksonerasi. Namun dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77

Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara mengakui

pembatasan tanggung gugat maskapai penerbangan tersebut. Sehingga yang

termasuk tanggung gugat maskapai penerbangan atas kerugian penumpang

pesawat udara hanyalah sebatas pada hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang

penumpang di bagasi pesawat udara saja. Kerugian yang lain yang mungkin

terjadi berupa tertukarnya atau terlambatnya bagasi penumpang pesawat udara,

tidak diatur bagaimana tanggung gugat maskapai dalam menanganinya.

34 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta

(31)

Bentuk ganti rugi yang diatur dalam dalam pasal 19 ayat (2)

undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi:

1. Pengembalian sejumlah uang

2. Penggantian barang

3. Perawatan kesehatan

Ganti rugi yang memungkinkan untuk diberikan oleh maskapai

penerbangan terhadap penumpang pesawat udara atas kerugian hilang, musnah,

dan/atau rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara adalah

pengembalian sejumlah uang dan penggantian barang sebagaimana yang telah

diatur dalam pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011

tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang telah disebutkan

sebelumnya. Sedangkan ganti rugi perawatan kesehatan tidak relevan jika

dikaitkan dengan kerugian atas hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang

penumpang di bagasi pesawat udara.

2.3. Tanggung Gugat Maskapai Penerbangan Menurut Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia

Hubungan hukum yang terjadi di antara maskapai penerbangan dengan

penumpang pesawat udara telah melahirkan hak dan kewajiban bagi

masing-masing pihak. Segala sesuatu yang merupakan kewajiban bagi maskapai

penerbangan, merupakan hak bagi penumpang pesawat udara. Begitu pula

sebaliknya, kewajiban penumpang pesawat udara merupakan hak bagi maskapai

(32)

Jika maskapai penerbangan tidak melaksanakan kewajibannya, hal itu

berarti ada hak penumpang pesawat udara yang dilanggar atau tidak dipenuhi. Jika

ada hak yang tidak terpenuhi, maka itu merupakan suatu kerugian bagi

penumpang pesawat udara. Atas hak yang tidak terpenuhi tersebut, maka

maskapai penerbangan harus bertanggung gugat terhadap kerugian yang di derita

penumpang pesawat udara.

Secara umum tanggung gugat maskapai penerbangan selaku pelaku usaha

adalah memberikan ganti kerugian kepada konsumen yang dirugikan seperti yang

diatur dalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Konsumen, yang antara lain :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam pasalm 19 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat berupa :35 a. Pengembalian uang

(33)

b. Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya

c. Perawatan kesehatan

d. Pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

Tanggung gugat maskapai penerbangan atas kerugian penumpang Pesawat

udara akibat hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang penumpang di bagasi

Pesawat udara diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor

77 Tahun 2011 dalam pasal 5 yang menyatakan tanggung gugat maskapai

penerbangan untuk memberi ganti kerugian kepada penumpang yang mengalami

hilang, musnah dan/atau rusaknya barang di bagasi Pesawat udara dengan

ketentuan sebagai berikut :

1. Kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp 200.000,00 per Kg dan paling banyak Rp 4.000.000,00 per penumpang

2. Kerusakan bagasi tercatat diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merek bagasi tercatat

3. Bagasi tercatat dianggap hilang apabila tidak ditemukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di Bandar udara tujuan

4. Pengangkut wajib memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat yang belum ditemukan dan belum dapat dinyatakan hilang sebesar Rp 200.000,00 per hari paling lama untu 3 hari kalender

Pengaturan tanggung gugat maskapai penerbangan selaku pelaku usaha

dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung

Jawab Pengangkut Angkutan Udara ini tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam

Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal 19 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur bahwa

(34)

Sedangkan dalam pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77

Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dinyatakan

bahwa bagasi dianggap hilang bila tidak ditemukan selama 14 hari sejak

penumpang datang di bandara udara tujuan. Hal itu berarti bahwa dalam Peraturan

Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab

Pengangkut Angkutan Udara memberikan jangka waktu yang lebih lama untuk

maskapai penerbangan memberikan ganti rugi kepada penumpang pesawat udara

yang mengalami kerugian akibat hilang, musnah dan/atau rusaknya barang dalam

bagasi Pesawat udara. Selain itu, dalam pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut

Angkutan Udara dikatakan bahwa pihak maskapai wajib memberikan uang

tunggu atas barang milik penumpang yang belum diketemukan dan belum

dinyatakan hilang, namun paling lama hanya tiga hari saja. Dengan demikian,

penumpang udara selaku konsumen semakin di rugikan atas jangka waktu tunggu

yang lebih lama tersebut.

Tanggung gugat maskapai penerbangan terhadap penumpang yang

mengalami kerugian atas hilang, rusak, dan musnahnya barang penumpang di

bagasi pesawat udara, harus dapat dibuktikan terlebih dahulu bahwa maskapai

penerbangan benar-benar bersalah, sehingga patut untuk bertanggung jawab.

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapan yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.36

(35)

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung gugat dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip tanggung gugat berdasarkan unsur kesalahan (liability based on

fault), yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat

dimintakan pertanggunggugatannya secara hukum jika ada unsur

kesalahan yang dilakukannya. Asas tanggung gugat ini dianggap tepat

karena dianggap adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti

kerugian yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, tidak adil jika orang

yang tidak bersalah harus menggantikan kerugian yang diderita orang

lain yang tidak ditimbulkan olehnya.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung gugat (presumption of

liability), yaitu prinsip yang menyatakan bahwa tergugat selalu

dianggap bertanggung gugat, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia

tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada tergugat.

Berkaitan dengan prinsip tanggung gugat ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal 4 variasi:37

a. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung gugat kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya.

b. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung gugat jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.

c. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung gugat jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.

d. Pengangkut tidak bertanggung gugat jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik.

(36)

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung gugat (presumption

nonliability) yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang tidak

bertanggung gugat, sampai dapat dibuktikan bahwa ia bersalah.

Contoh penerapan prinsip ini adalah ketika penumpang kehilangan

atau kerusakan bagasi kabin yang berada di bawah pengawasan

penumpang itu sendiri, maka tanggung jawabnya ada di penumpang itu

sendiri, dan maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut tidak

dapat dimintai tanggung jawab, kecuali penumpang dapat

membuktikan bahwa kerugian tersebut karena kesalah pihak maskapai

penerbangan.

4. Prinsip tanggung gugat mutlak (strict liability), yaitu prinsip yang

menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun

ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan

dari tanggung gugat, misalnya karena adanya force majeur.

5. Prinsip tanggung gugat dengan pembatasan (limitation of liability),

yaitu prinsip yang membatasi tanggung jawab pelaku usaha. Prinsip ini

sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul

eksonerasi dalam klausula baku yang di cetaknya. Namun sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak

menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi

maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus

(37)

Berdasarkan kelima prinsip tanggung gugat tersebut, tanggung gugat pihak

maskapai penerbangan atas kerugian penumpang berupa hilang, musnah, dan

rusaknya barang di bagasi pesawat udara yang dapat diterapkan yaitu prinsip

tanggung gugat berdasarkan prinsip praduga untuk selalu bertanggung gugat,

prinsip tanggung gugat mutlak, dan prinsip tanggung gugat terbatas.

Prinsip praduga untuk selalu bertanggung gugat diterapkan karena

sepanjang maskapai penerbangan tidak dapat membuktikan bahwa kerugian itu

bukan karena kesalahannya, maka pihak maskapai wajib bertanggung jawab atas

kerugian tersebut.

Prinsip tanggung gugat mutlak, diterapkan kepada pihak maskapai

penerbangan, karena maskapai penerbangan adalah pihak yang bertanggung gugat

atas kerugian berupa hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang penumpang di

bagasi pesawat udara, kecuali bila kerugian itu timbul dari suatu peristiwa yang

tidak diinginkan atau di luar kendali pihak maskapai penerbangan (force majeur).

Prinsip tanggung gugat mutlak maskapai penerbangan terhadap kerugian

hilang, musnah, dan rusaknya barang konsumen di pesawat udara terdapat pada

pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung

Gugat Pengangkut Angkutan Udara.

Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap :

a. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka; b. Hilang atau rusaknya bagasi kabin;

c. Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat; d. Hilang, musnah, atau rusaknya kargo;

(38)

Dalam pasal 2 huruf c Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun

2011 tentang Tanggung Gugat Pengangkut Angkutan Udara tersebut menyatakan

kewajiban tanggung gugat maskapai penerbangan untuk bertanggung gugat atas

kerugian konsumen berupa hilang, musnah, dan rusaknya barang di bagasi tercatat

pesawat udara. Kata wajib dalam ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa

tanggung gugat maskapai penerbangan atas kerugian konsumen adalah tanggung

gugat mutlak (strict liability).

Dalam ketentuan pasal 141 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

tentang penerbangan menyatakan bahwa pengangkut bertanggung gugat atas

kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang

diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun

pesawat udara, sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa apabila kerugian

tersebut merupakan tindakan sengaja atau kesalahan dari pihak pengangkut, maka

penganggkut bertanggunggugat atas kerugiannya dan tidak dapat mempergunakan

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

untuk membatasi tanggung gugatnya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat

dikatakan bahwa maskapai penerbangan menganut prinsip tanggung gugat berupa

strict liability yang artinya maskapai penerbangan wajib bertanggunggugat secara

mutlak atas kerugian penumpang, bahkan mengesampingkan adanya prinsip

tanggung gugat terbatas (limitation of liability). Dalam pasal 141 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa ahli waris

dapat menuntut ganti kerugian tersebut kepada maskapai penerbangan.

(39)

menghapuskan hak ahli waris untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak

maskapai penerbangan.

Tanggung gugat maskapai penerbangan atas hilang, musnah, dan rusaknya

barang penumpang di bagasi pesawat udara juga diatur dalam pasal 144

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, namun baik Undang-Undang-undang

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan maupun Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut

Angkutan Udara tidak mengatur hak ahli waris untuk mengajukan gugatan ganti

rugi kepada pihak maskapai atas hilang, musnah, dan rusaknya barang milik

penumpang. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada kasus sebagai berikut :38

Air Asia: Barang Milik Penumpang Dikembalikan

Jumat, 09 Januari 2015, 19:28 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Direktur Keselamatan dan Keamanan AirAsia Indonesia, Kapten Achmad Sadiqin memastikan semua properti milik penumpang yang ditemukan akan dikembalikan jika ada keluarga korban yang mengenali.

"Untuk serpihan pesawat akan masuk investigasi KNKT, sedangkan barang milik penumpang seperti tas, sepatu, kacamata beberapa properti yang sudah ditemukan dikembalikan dan tidak akan diselidiki," kata Sadiqin di Surabaya, Jumat (9/1).

Kapten Achmad Sadiqin mengatakan, AirAsia juga sudah dipanggil Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pada saat penyerahan serpihan pesawat beberapa hari lalu setelah serpihan peswat ditemukan KRI Bung Tomo. "Saat ini, KNKT juga masih fokus membantu evakuasi dan identifikasi, dan soal asuransi belum dibicarakan," katanya.

Sebelumnya, serpihan pesawat AirAsia QZ8501 yang ditemukan KRI Bung Tomo dan dijadikan bahan pemeriksaan oleh KNKT meliputi pelampung yang masih terlipat rapi, sebuah survival kitbag warna kuning yang terdapat kartu dengan logo AirAsia, dua dinding kabin bagian jendela putih serta dua tutup bagasi kabin penumpang putih.

"Ada juga beberapa serpihan kecil merah, putih dan berlogo AirAsia, serta dua set kursi pesawat dengan tiga tempat duduk," katanya.

38

(40)

Sementara barang milik korban yang ditemukan antara lain satu koper merah berisi satu tas punggung, dua slop rokok, tiga bungkus snack dan sekotak kue. Kemudian, sebuah sobekan penutup koper merah dalam kondisi sobek dan terlepas dari bagian koper, sepasang sepatu abu-abu yang disimpan dalam tas.

Tidak itu saja, ada pula barang lain seperti satu tas punggung berisi kamera, kaca mata baca dan kunci rumah serta sebuah sleeping bed hijau dan sebuah tempat duduk tambahan untuk bayi warna hitam. Sementara itu, hingga kini sejumlah barang hasil temuan masih disimpan di Hanggar Merpati Juanda, Sidoarjo.

Berdasarkan kecelakaan pesawat AirAsia kode penerbangan QZ8501

tersebut yang terjadi pada tanggal 28 Desember 2014, terdapat beberapa kerugian

yang ditimbulkan antara lain seluruh penumpang dan kru penerbangan meninggal

dunia, serta barang-barang bagasi milik penumpang telah rusak dan bahkan ada

yang hilang.

Hak ahli waris untuk menuntut ganti rugi atas hilang, musnah, dan

rusaknya barang korban yang ada di bagasi pesawat udara akibat kecelakaan

pesawat udara tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan. Namun berdasarkan artikel tersebut, barang-barang milik

penumpang yang ditemukan selama proses evakuasi akan dikembalikan kepada

ahli warisnya. Hal itu berarti ahli waris memilik hak atas barang-barang

penumpang yang berada dalam bagasi pesawat. Dalam pasal 46 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur bahwa ahli

waris konsumen yang dirugikan atau dalam hal ini ahli waris penumpang yang

meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara AirAsia QZ 8501, dapat

mengajukan gugatan ganti rugi terhadap maskapai penerbangan selaku pelaku

usaha. Namun gugatan ahli waris atas hilang, musnah, dan rusaknya barang

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 menjelaskan tentang evaluasi dan penilaian kinerja dari aspek keuangan sebagaimana dimaksud

: Mereka juga tidak memiliki tanggapan fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut.. kering, tegang,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4, Pasal 8 ayat (1), dan Pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum

Uji multikolineritas dalam penelitian ini dengan menggunakan dasar pengambilan keputusan, Jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) tidak lebih dari 10 dan nilai Tolerance

Program Peningkatan dan Pengembangan Pengelolaan keuangan Daerah Program Pembinaan dan Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Kabupaten/ Kota Program Penataan penguasaan, pemilikan,

, sedangkan padi merah Aek Sibundong dapat menghasilkan gabah pada musim kemarau pada musim penghujan, sehingga lebih menguntungkan untuk para Tumbuhan liar yang

batasan adalah: (a) Jangan mendiamkan, sebaiknya orang tua atau guru menyampaikan kepada anak bahwa ia telah melakukan kesalahan, (b) Jelaskan keinginan orang tua

tersebut tidak dapat mengeneralisasikan kondisi yang ada mengingat data volume impor produk Minuman Beralkohol yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik Indonesia (2016)