BAB II
TANGGUNG GUGAT MASKAPAI PENERBANGAN ATAS HILANG,
MUSNAH, DAN RUSAKNYA BARANG KONSUMEN DI BAGASI
PESAWAT UDARA
2.1. Hubungan Hukum antara Maskapai Penerbangan dengan Konsumen
2.1.1. Perjanjian Pengangkutan sebagai Dasar Perjanjian antara
Maskapai Penerbangan dengan Konsumen
Hubungan hukum antara Maskapai Penerbangan dengan Penumpang
Pesawat udara terjadi karena adanya perjanjian pengangkutan.
“Perjanjian Pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan”8
Dalam pengertian perjanjian pengangkutan tersebut diatas, dapat diketahui
bahwa objek dalam hukum pengangkutan dapat berupa orang (manusia) dan dapat
berupa barang. Dan atas objek hukum pengangkutan tersebut, pihak pengangkut
harus bertanggungjawab atas keselamatannya.
Perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara maskapai
penerbangan dengan penumpang pesawat udara harus memenuhi syarat sah
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 BW, yaitu :
1. Kesepakatan para pihak
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, Citra Aditya
3. Adanya suatu hal tertentu, dan
4. Causa yang diperbolehkan
Empat syarat sah perjanjian menurut BW tersebut dapat diuraikan menjadi
berikut :
1. Kesepakatan antara kedua belah pihak
Dimaksud dengan kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu ketika
mereka sepakat untuk mengikatkan dirinya kedalam suatu perjanjian.
Kesepakatan terjadi ketika Maskapai penerbangan memberikan penawaran kepada
penumpang berupa jasa pengangkutan orang dan barang melalui jalur udara, dan
penumpang bersedia untuk menggunakan jasa pengangkutan tersebut, maka
dalam hal demikian telah terjadi kesepakatan. Selanjutnya pihak maskapai
penerbangan dengan kesepakatan tersebut, bersedia menyelenggarakan jasa
pengangkutan yang aman bagi penumpang atas diri penumpang dan barang
penumpang. Begitu pula halnya dengan penumpang, wujud dari kesepakatan
tersebut adalah penumpang pesawat udara bersedia membayar harga tiket pesawat
udara sesuai dengan harga yang diberikan maskapai penerbangan tersebut.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Dimaksud dengan kecakapan yaitu kemampuan seseorang untuk bertindak
dan bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang telah dialakukannya. Dalam
perjanjian pengangkutan penumpang dan barang ini melibatkan maskapai
penerbangan yang merupakan subyek hukum yang berbentuk badan hukum. Suatu
badan hukum berdiri dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
dan mempunyai tanggung jawab untuk mengadakan jasa pengangkutan udara
dengan aman. Kecakapan untuk subyek hukum berupa orang, diatur dalam Pasal
1329 BW yang berbunyi : “Setiap orang cakap untuk membuat perikatan, kecuali
ia dinyatakan tak cakap untuk hal itu”, sedangkan dalam Pasal 1330 mengatur
tentang yang termasuk tidak cakap hukum.
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
(1) Orang-orang yang belum dewasa (jo pasal 330 BW)
(2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
(3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu
Batas usia dewasa juga diatur dalam Pasal 330 BW yaitu dewasa adalah
seseorang telah berumur 21 tahun atau seseorang yang sudah kawin meskipun
belum berumur 21 tahun.
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, batas usia kedewasaan seseorang diatur dalam pasal 47 juncto pasal
50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 tentang Perkawinan. Dalam pasal 47
ayat (1) mengatakan bahwa seseorang yang belum berumur 18 tahun atau belum
kawin berada dalam kekuasaan orangtuanya. Sedangkan pasal 47 ayat (2)
mengatakan bahwa perbuatan hukum anak belum dewasa tersebut diwakili oleh
orangtuanya baik di dalam maupun diluar pengadilan. Dalam pasal 50 ayat (1)
mengatur bahwa anak yang belum berumur 18 tahun atau belum kawin yang tidak
Sedangkan menurut pasal 50 ayat (2), kekuasaan atas perwalian tersebut
menyangkut tentang pribadi anak serta segala hartanya.
Berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia memuat ketentuan
yang berbeda mengenai batas usia kedewasaan seseorang, namun pada umumnya
banyak para ahli berpendapat bahwa batas usia kedewasaan seseorang mengacu
pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yaitu saat berusia 18 Tahun.
Dalam prakteknya, seorang penumpang pesawat udara wajib memiliki
KTP sebagai identitas penumpangnya. Ketentuan lainnya bila tidak memiliki KTP
maka dapat memakai SIM sebagai identitas penumpang. Baik KTP maupun SIM
hanya dapat diperoleh oleh Warga Negara Indonesia yang telah berumur 17
Tahun atau sudah kawin. Maka dengan kata lain, batas minimal usia seseorang
dapat menjadi penumpang pesawat udara adalah 17 tahun.
Batas usia yang diterapkan kepada penumpang Pesawat udara tersebut
sama halnya seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2008 tentang Pemilu. Dalam ketentuan ini dikatakan bahwa
seseorang dapat menggunakan hak pilihnya jika telah berusia 17 Tahun atau
sudah menikah.
Batas usia yang diterapkan baik untuk penumpang pesawat udara maupun
untuk seseorang yang mengikuti pemilu tersebut bukanlah batas usia dewasa,
melainkan batas usia minimal untuk seseorang dapat melakukan perbuatan
hukum. Dengan kata lain, penumpang pesawat udara dianggap telah mampu atau
dengan pihak maskapai saat berusia 17 tahun keatas, walaupun belum mencapai
batas usia dewasa. Batas usia kecakapan tersebut dibuktikan dengan KTP atau
SIM milik penumpang.
Dikaitkan dengan batas minimal usia penumpang pesawat udara ini lantas
menimbulkan pertanyaan mengenai penumpang pesawat udara yang berada di
bawah umur 17 tahun, padahal, seorang bayi yang belum genap berusia 1 tahun
pun dapat menjadi penumpang pesawat udara.
Seorang anak dapat menjadi penumpang pesawat udara jika dengan
pengawasan orang tua atau walinya. Hal ini sesuai dengan perwujudan pasal 47
dan pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal itu
dibuktikan dengan tata cara pembelian tiket bagi anak belum cakap hukum.
Untuk anak yang belum cakap dan belum memiliki kartu identitas berupa
KTP dan SIM, maka pemesanan tiketnya harus dengan menggunakan KTP atau
SIM orangtua atau walinya. Hal ini berarti bahwa segala tindakan hukum atas
anak belum cakap tersebut ada dibawah kekuasaan dan didalam tanggung jawab
orang tua atau walinya.
3. Adanya suatu hal tertentu
Dalam suatu perjanjian, haruslah dimuat sesuatu yang konkrit, rinci, dan
jelas. Sesuatu yang konkrit, rinci, dan jelas tersebut biasanya termuat dalam suatu
surat atau akta yang menjadi dasar pelaksanaan terjadinya perjanjian tersebut.
Misalnya dalam tiket penumpang pesawat udara termuat dengan jelas identitas
penumpang, bandara keberangkatan dan bandara tujuan penumpang, serta seat
harusnya memuat secara detail barang milik penumpang yang diangkut di bagasi
tercatat pesawat udara.
Dalam tiket pesawat udara juga seharusnya memuat suatu hal tertentu
tersebut secara rinci, yaitu mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak
baik pihak maskapai penerbangan maupun penumpang, baik mengenai
keselamatan nyawa maupun keamanan barang di bagasi tercatat. Sehingga dengan
suatu hal tertentu dalam sebuah perjanjian pengangkutan ini, maka para pihak
akan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sesuai yang telah
mereka sepakati dalam perjanjian.
4. Causa yang diperbolehkan
Suatu perjanjian yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang, kesusilaan, dan ketentuan umum. Jadi perjanjian pengangkutan
penumpang dan barang antara maskapai penerbangan dengan penumpang tidak
boleh berisi klausula-klausula ataupun mempunyai tujuan yang bertentangan
dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketentuan umum.
Perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara Maskapai
Penerbangan dengan penumpangnya mempunyai karakteristik yaitu bersifat
konsensual, timbal balik, dan pelayanan berkala.
Bersifat konsensual artinya adalah perjanjian pengangkutan terbentuk
sesaat setelah para pihak menyatakan sepakat untuk mengikatkan diri pada
penawaran (offer) oleh pihak maskapai, dan penerimaan (acceptance) oleh
penumpang.
Perjanjian pengangkutan dikatakan bersifat konsensuil, karena hanya dengan adanya kata sepakat (konsensus) saja perjanjian secara hukum dianggap sah. Tetapi kapan dianggap telah terjadinya suatu konsensus adalah sangat penting terkait dengan penentuan saat dimulainya hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian; agar hak dan kewajiban itu dapat segera dilaksanakan.9
Pemberitahuan harga sebuah tiket pesawat udara dengan rute perjalanan
tertentu yang dilakukan oleh maskapai penerbangan, dapat dianggap sebagai suatu
penawaran (offer), sedangkan kesetujuan penumpang dengan harga yang diajukan
tersebut disertai kesanggupan membeli dan membayar harga tiket tersebut adalah
merupakan sebuah penerimaan dari penumpang. Konsensus terjadi pada saat
penumpang membeli dan membayar tiket dari maskapai penerbangan tersebut.10
Untuk mengadakan sistem hukum yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia, untuk mengadakan perjanjian pengangkutan barang atau orang tidak diisyaratkan harus secara tertulis. Jadi cukup diwujudkan dengan persetujuan kehendak secara lisan saja.11
Namun demikian, kata sepakat saja tidak cukup untuk menjadi landasan di
mulai suatu perjanjian pengangkutan. Pada kenyataannya, sangat sulit
membuktikan kapan terjadinya kesepakatan secara tepat. Oleh karena itu untuk
menjamin kepastian hukum bagi para pihak, dalam perjanjian pengangkutan
penumpang dan barang dibuatlah suatu dokumen perjanjian sebagai bukti adanya
hubungan hukum antara para pihak dalam perjanjian pengangkutan penumpang
dan barang. Dokumen tersebut dinamakan tiket pesawat udara.
9 Wuri Adriyani, H Samzari Boentoro, Hukum Pengangkutan (Transportation Law).,
Universitas Airlangga, 2007. h. 9
10Ibid h. 10
11 Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, Hari Pramono, Hukum Pengangkutan di
Dokumen yang menjadi wujud dari kesepakatan antara penumpang
pesawat udara dengan maskapai penerbangan tersebut diatur dalam Pasal 150
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dokumen angkutan
udara terdiri atas :
a. Tiket Penumpang pesawat udara
b. Pas masuk pesawat udara (boarding pass)
c. Tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag)
d. Surat muatan udara (airway bill)
Dokumen angkutan tersebut sangat penting untuk dimiliki oleh
penumpang, dan pihak maskapai wajib memberikan ketiga dokumen tersebut
kepada calon penumpangnya sesuai kebutuhan penumpangnya. Namun
keberadaan dokumen pengangkutan bukan menjadi dasar dimulainya kesepakatan
perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai alat bukti yang kuat.
Tiket penumpang pesawat udara merupakan suatu tanda bukti bahwa
seseorang telah membayar biaya pengangkutan sehingga seseorang tersebut
berhak naik pesawat udara sebagai penumpang. Tiket pesawat udara juga
merupakan tanda bukti telah ditutupnya perjanjian pengangkutan udara, tetapi
bukan merupakan syarat mutlak. Disebutkan dalam pasal 5 ayat 2 Ordonansi
Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonantie, S. 1939 -100) bahwa tidak
adanya tiket penumpang bukan berarti tidak adanya perjanjian pengangkutan
udara. Dengan kata lain, perjanjian pengangkutan udara ini bersifat konsensual,
namun apabila tiket penumpang tidak ada atau hilang, maka perjanjian
pengangkutan udara dapat dibuktikan dengan alat bukti yang lain.12
Begitu pula halnya dengan keberadaan tiket bagasi. Bagasi adalah hak
setiap penumpang pesawat udara. Sesaat setelah ditutupnya perjanjian
pengangkutan penumpang dan barang antara maskapai penerbangan dengan
penumpang pesawat udara, maka saat itu pula seorang penumpang berhak untuk
mendapatkan jatah bagasi dari pihak maskapai. Jatah bagasi yang diberikan oleh
pihak maskapai kepada setiap penumpangnya bermacam-macam, antara 5 – 20
Kg. Untuk barang-barang bagasi penumpang yang melebihi batas berat yang
diberikan oleh maskapai penerbangan, maka dikenakan biaya tambahan.
Seorang punumpang yang telah memiliki tiket pesawat udara, maka
dirinya juga berhak atas tiket bagasi pesawat udara. Tanpa tiket bagasi pun
penumpang tersebut berhak menitipkan barangnya di bagasi pesawat udara sesuai
kuota muatan yang disediakan, namun untuk ketertiban dan keamanan baik pihak
maskapai maupun pihak penumpang, tiket bagasi tetap perlu di terbitkan bagi
penumpang yang ingin menitipkan barangnya di bagasi pesawat udara selama
penerbangan berlangsung. Dengan kata lain, tiket bagasi bukan sebagai dasar
perjanjian pengangkutan barang penumpang di pesawat udara, melainkan sebagai
salah satu alat bukti yang kuat atas adanya perjanjian pengangkutan penumpang
dan barang di bagasi pesawat udara tersebut.
Tiket bagasi itu merupakan tanda bukti penitipan barang, yang nanti bila penumpang turun dari pesawat udara, barang bagasi itu akan diminta kembali. Dipandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka perjanjian penitipan bagasi ini merupakan accessoire verbintennis. Jadi, tiket bagasi
itu hubungannya erat sekali dengan perjanjian pengangkutan. Tetapi meskipun begitu tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan didalamnya atau hilangnya tiket bagasi tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya adanya perjanjian pengangkutan udara yang tetap akan tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam pasal 6 ayat 5 Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonantie, S. 1939 -100).13
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa tiket bagasi bukanlah sebagai
penentu adanya perjanjian pengangkutan, tiket bagasi hanyalah merupakan bukti
kepemilikan barang di bagasi. Tidak adanya tiket bagasi tidak mempengaruhi
proses perjanjian pengangkutan yang berlangsung antara maskapai penerbangan
dengan penumpang pesawat udara.
Menurut pasal 6 ayat (4) Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer
Ordonantie, S. 1939 -100), tiket bagasi harus berisi :
1) Tempat dan tanggal pemberian;
2) Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan; 3) Nama dan alamat pengangkut;
4) Nomor tiket penumpang;
5) Pemberitahuan bahwa bagasi akan diserahkan kepada pemegang tiket bagasi;
6) Pemberitahuan jumlah dan berat barang; 7) Harga yang diberitahukan oleh penumpang;
8) Pemberitahuan bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk kepada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam ordonansi ini atau traktat (Lvervoer 1, 25 dst.)
Sedangkan menurut pasal 153 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan, tanda pengenal bagasi paling sedikit harus memuat :
a. Nomor tanda pengenal bagasi;
b. Kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan; dan c. Berat bagasi.
Mengingat pentingnya dokumen pengangkutan udara tersebut yaitu
sebagai alat bukti yang kuat bagi para pihak atas disepakatinya suatu perjanjian
pengangkutan udara, maka dokumen pengangkutan tersebut wajib diterbitkan oleh
maskapai penerbangan untuk diserahkan kepada penumpang. Dengan kata lain,
dokumen pengangkutan penting eksistensinya terutama bagi pengangkut, sebab
dokumen pengangkutan bermanfaat sebagai14 :
a. Dasar pelaksanaan (hak dan kewajiban) perjanjian pengangkutan; b. Dasar tuntutan ganti rugi atau dasar perhitungan ganti rugi dalam hal
terjadi kerugian pada barang selama pengangkutan;
c. Alat bukti untuk membuktikan telah terbentuknya suatu perjanjian pengangkutan; walaupun bukan satu-satunya alat bukti;
d. Alat bukti yang dapat dikemukakan masing-masing pihak dalam hal terjadi sengketa tentang pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak;
e. Dasar untuk mengecek dan membuat catatan tentang keadaan barang, jumlah, berat, harga, dan sebagainya.
Perjanjian pengangkutan penumpang dan barang yang bersifat konsensual
sering menimbulkan pertanyaan mengenai kapan mulai berlakunya perjanjian
pengangkutan penumpang dan barang. Dalam pasal 18 ayat (1) Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Angkutan Udara menyatakan bahwa tanggung gugat pengangkut yang dalam hal
ini maskapai penerbangan terhadap penumpang dimulai sejak penumpang
meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan
penumpang memasuki terminal kedatangan di bandar udara tujuan, sedangkan
saat dimulainya perjanjian pengangkutan barang penumpang yang diangkut
dengan bagasi pesawat udara diatur dalam pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Angkutan Udara yang menyatakan bahwa tanggung gugat pengangkut terhadap
bagasi tercatat dimulai sejak pengangkut menerima bagasi tercatat pada saat
pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi tercatat oleh penumpang
di bandar udara tujuan.
Karakteristik perjanjian pengangkutan selanjutnya adalah bersifat timbal
balik. Yang dimaksud dengan sifat timbal balik disini yaitu sejak terjadi
kesepakatan antara pihak maskapai penerbangan dengan penumpang pesawat
udara untuk mengadakan perjanjian pengangkutan penumpang dan barang, maka
sejak saat itu pula timbullah hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak secara
timbal balik.
Sifat perjanjian pengangkutan selanjutnya yaitu bersifat pelayanan berkala,
yang artinya setelah pengangkutan penumpang dan barang selesai dilaksanakan
oleh maskapai penerbangan, maka hak dan kewajiban masing-masing telah selesai
dilaksanakan, dengan kata lain, perjanjian pengangkutan penumpang dan barang
antara maskapai penerbangan dengan penumpang pesawat udara berakhir pada
saat itu.
Pendapat lain tentang sifat pelayanan berkala yaitu kesetaraan kedudukan
antara pihak pengangkut dengan pihak pemakai pengangkutan.
Pada umumnya hubungan hukum antara pengangkut dengan pihak yang memakainya itu adalah bermacam-macam yaitu sama tinggi-sama rendah atau kedua belah pihak adalah “gecoordineerd”. Tidak ada imbangan majikan terhadap buruh (atasan terhadap bawahan) atau imbangan “gesubordineerd” pada hubungan hukum antara pemakai pengangkutan dengan pengangkut. Karena itu sifat perjanjian pengangkutan adalah sebuah perjanjian untuk melakukan pelayanan (atau jasa) berkala (een overeenkomst tot het verrichten van enkele diensten).15
Ruang lingkup perjanjian pengangkutan di Indonesia ini sangat luas sekali.
Perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara maskapai penerbangan
dengan penumpang pesawat udara ini hanya merupakan salah satu dari bentuk
perjanjian pengangkutan.
Perjanjian pengangkutan yang lainnya salah satunya adalah perjanjian
pengiriman barang. Dalam perjanjian pengangkutan pengiriman barang ini lebih
kompleks karena memakai sistim ekspedisi yang melibatkan lebih dari dua pihak.
Berbeda dengan perjanjian pengankutan penumpang dan barang antara maskapai
penerbangan dengan penumpang Pesawat udara yang hanya terdiri dari dua pihak,
maka perjanjian pengiriman barang ini terdiri dari sedikitnya 4 (empat) pihak,
yaitu :
1) Pengirim barang
2) Pengangkut
3) Ekspeditur, biro jalan
4) Penerima barang
Pengirim barang (consigner) adalah pihak yang mengikatkan diri untuk
membayar biaya pengangkutan. Pengirim adalah pihak pemilik barang yang akan
mengirimkan barangnya melalui jasa pengangkutan.16
Pengangkut (Carrier) adalah pihak yang mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang dari suatu tempat
ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Singkatnya, pengangkut adalah pihak
penyelenggara pengangkutan.17
Ekspeditur dinyatakan sebagai subjek perjanjian pengangkutan karena
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengirim, atau pengangkut, atau
penerima, walaupun ia bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan. Ekspeditur
berfungsi sebagai “perantara” dalam perjanjian pengangkutan. Ekspeditur adalah
pengusaha yang menjalankan perusahaan persekutuan badan hukum dalam bidang
usaha ekspedisi muatan barang, seperti ekspedisi muatan kereta api (EMKA),
ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), dan ekspedisi muatan kapal udara
(EMKU).18
Penerima (Consignee) dalam perjanjian pengangkutan mungkin bisa
pengirim sendiri mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal
penerima adalah pengirim, maka penerima adalah pihak dalam perjanjian
pengangkutan. Dalam hal penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan,
penerima bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan, tetapi tergolong juga
sebagai subjek hukum pengangkutan.19
Perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara pihak maskapai
penerbangan dengan penumpang pesawat udara tentunya tidak lebih kompleks
bila dibandingkan dengan perjanjian pengiriman barang. Salah satu contoh
perjanjian pengiriman barang adalah antara pihak pengirim dengan PT. Pos
Indonesia.
Perjanjian pengiriman barang melalui PT. Pos Indonesia ini tunduk pada
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos. Menurut pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos, Pos adalah layanan
komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistic,
layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum.
Perbedaan perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara
maskapai penerbangan dengan penumpang Pesawat udara dengan perjanjian
pengiriman barang yang diselenggarakan oleh para PT. Pos Indonesia selain
terletak pada para pihaknya, juga terletak pada obyek perjanjiannya.
Dalam perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara maskapai
penerbangan dengan penumpang Pesawat udara yang menjadi obyek perjanjian
adalah penumpang itu sendiri dan juga barang milik penumpang. Sedangkan
dalam perjanjian pengiriman yang diselenggarakan oleh PT. Pos Indonesia, yang
menjadi obyek perjanjian adalah sesuatu yang dikirimkan oleh pengirim, dapat
berupa surat, barang, ataupun uang.
2.1.2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan
Penumpang dan Barang
Sesaat setelah berlakunya perjanjian pengangkutan antara maskapai
penerbangan dengan penumpang pesawat udara, maka sejak saat itu timbul hak
dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
Secara umum, kewajiban pengangkut yang utama adalah :20
1. Menyelenggarakan pengangkutan barang-barang yang dipercayakan kepadanya dengan aman, utuh, dan selamat sampai tempat tujuan; 2. Mengganti kerugian apabila terjadi kerugian atas kesalahan
pengangkut
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan diatur
tentang Kewajiban Pengangkut terhadap Penumpang dan/atau Pengirim Kargo
yang termuat dalam pasal 141 – 147. Dalam pasal – pasal tersebut memuat
kewajiban dan tanggung jawab pengangkut kepada penumpang, barang
penumpang (bagasi), maupun kargo.
Pasal 144 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
berbunyi : “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh
penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan
oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan
pengangkut”. Sedangkan dalam pasal 146 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan berbunyi : “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian
yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo,
kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut
disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.”
Kewajiban maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ini sudah jelas
mengatur kewajibannya berkaitan dengan bagasi pesawat udara. Pengaturan
kewajiban ini dimaksudkan agar pihak maskapai penerbangan tidak lagi
menimbulkan kerugian terhadap barang milik penumpang di bagasi pesawat
udara.
Kewajiban pengangkut sebagai pelaku usaha juga diatur dalam pasal 7
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, pemeliharaan;
4. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut yang paling
utama adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) BW. Bahwa perjanjian harus harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan Arrest H.R. di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan ditempatkan dibawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.21
Kewajban untuk beritikad baik harus dimiliki oleh pihak pengangkut yang
dalam hal ini maskapai penerbangan mulai dari awal pembentukan perjanjian,
sampai dengan perjanjian pengangkutan penumpang dan barang tersebut berakhir.
Pihak maskapai penerbangan sejak menjual tiket kepada penumpang, sampai pada
saat pelaksanaan penerbangan dan hingga sampai ditujuan akhir, harus senantiasa
menjaga itikad baiknya. Begitu pula dengan bagasi pesawat udara. Pihak
maskapai harus menjaga semua barang penumpang yang ada di bagasi pesawat
udara dengan itikad baik.
Unsur itikad baik ini sangat penting dalam hal terjadi keugian penumpang
akibat hilang atau rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara. Jika
terjadi kehilangan atau kerusakan barang milik penumpang yang ada di bagasi
pesawat udara, maka harus dapat dibuktikan apakah pihak maskapai penerbangan
sudah beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan penumpang
dan barang tersebut, ataukah tidak ada itikad baik dari pihak maskapai
penerbangan. Apabila memang kerugian tersebut akibat kesalahan dari pihak
maskapai penerbangan, maka maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut
wajib mengganti kerugian yang di derita oleh penumpang pesawat udara.
Sebagai kewajiban hukum, maka produsen harus memenuhinya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika produsen bersalah tidak memenuhi kewajibannya itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu. Artinya, produsen harus bertanggungjawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya itu.22
Berdasarkan uraian diatas, yang dimaksud produsen dalam hal ini adalah
pihak maskapai penerbangan. Jika pihak maskapai dalam melaksanakan
perjanjian pengangkutan penumpang dan barang tersebut tidak beritikad baik,
maka apabila terjadi kerugian pada penumpang, maskapai penerbangan dapat
digugat untuk memenuhi ganti kerugian.
Kewajiban maskapai penerbangan selanjutnya adalah memberikan
informasi secara benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, pemeliharaan.
Dalam hal ini pihak maskapai penerbangan harus memberikan informasi yang
jelas kepada penumpang mengenai hal-hal yang akan berlangsung selama berada
di penerbangan. Maskapai penerbangan tidak boleh menutupi atau
menyembunyikan informasi apa pun terkait penerbangan kepada penumpang
pesawat udara.
Selanjutnya maskapai peerbangan sebagai pengangkut juga harus
memperlakukan konsumen dengan jujur dan benar, serta tidak boleh melakukan
22 Janus Sidabulok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
diskriminasi terhadap penumpang. Dalam hal ini maskapai penerbangan harus
melayani semua penumpang dengan adil, tidak peduli suku, agama, ras, dan status
social yang lain, maka penumpang harus diperlakukan dengan sama sepanjang
penumpang pesawat udara tersebut juga telah memenuhi kewajibannya sebagai
konsumen.
Yang terakhir, maskapai penerbangan berkewajiban untuk mengganti
kerugian yang dialami konsumen yang timbul sebagai akibat dari kesalahannya.
Dalam hal terjadi hilang atau rusaknya barang penumpang yang dititipkan di
bagasi pesawat udara, maka maskapai wajib untuk memberikan ganti rugi kepada
penumpang pesawat udara tersebut.
Sedangkan hak-hak pelaku usaha yang dalam hal ini adalah maskapai
penerbangan sebagai pihak pengangkut, diatur dalam pasal 6 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, yaitu :
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak maskapai penerbangan sebagai pengangkut yang paling utama adalah
hak untuk menerima pembayaran dari penumpang pesawat udara sesuai dengan
harga tiket yang telah disetujui oleh penumpang sebelumnya. Selain itu, maskapai
beritikad tidak baik. Hak-hak maskapai penerbangan yang lainnya yaitu hak yang
dapat digunakan jika adanya gugatan yang ditujukan kepada maskapai
penerbangan kelak.
Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari. Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen dalam mengikuti upaya penyelesaian sengketa.23 Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa tujuan diaturnya hak-hak pelaku
usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah agar kepentingan pelaku usaha tidak terabaikan terhadap
perlindungan konsumen yang diatur secara rinci.
Penumpang pesawat udara sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan
penumpang dan barang juga mempunyai hak dan kewajiban yang diatur dalam
undang-undang. Kewajiban penumpang pesawat udara sebagai konsumen diatur
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan
konsumen, yaitu :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan secara patut.
Sebagai konsumen yang cermat, kewajiban utama penumpang pesawat
udara adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
23 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo,Hukum Perlindungan Konsumen. Raja Gravindo
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa dengan benar. Informasi
tersebut biasanya tertera dalam tiket Pesawat udara penumpang.
Di era globalisasi ini dengan maraknya penggunaan internet dalam segala
bidang, maka dewasa ini tiket pesawat udara sudah tidak lagi berbentuk kertas,
melainkan e-ticket. Dalam pembelian e-ticket, maka petunjuk informasi yang
harusnya ada di balik tiket pesawat udara, di kirim melalui email penumpang
sesaat setelah pembayaran tiket dilakukan. Sebagai konsumen yang cermat, maka
penumpang pesawat udara wajib membaca dan memahami syarat-syarat yang
diberikan oleh maskapai penerbangan tersebut.
Adapun pentingnya kewajiban ini karena pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggungjawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.
Namun jika produsen tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan itu, yang menyebabkan konsumen tidak membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti kerugian pada konsumen yang telah dirugikan.24
Dari uraian diatas, yang di maksud dengan pelaku usaha atau produsen
adalah maskapai penerbangan. Dalam hal ini maskapai penerbangan haruslah
menyampaikan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang jelas dan rinci
mengenai perjanjian pengangkutan yang akan di sepakati. Maskapai penerbangan
dalam memberikan ketentuan-ketentuan tersebut haruslah dalam cara yang wajar
dan mudah dibaca oleh penumpang pesawat udara selaku konsumen. Dengan
telah dicantumkannya ketentuan-ketentuan perjanjian pengangkutan oleh maskpai
penerbangan, maka kewajiban penumpang pesawat udara adalah membaca
ketentuan tersebut secara cermat agar tidak menimbulkan kerugian bagi
penumpang tersebut pada saat terjadinya proses pengangkutan.
Kewajiban penumpang pesawat udara selaku konsumen yang lain yang
tidak kalah penting adalah kewajiban untuk mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak-hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut.25
Hak-hak penumpang pesawat udara sebagai konsumen juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yakni
dalam pasal 4 yang antara lain :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Secara garis besar, hak-hak konsumen dapat dibagi kedalam tiga hak yang
menjadi prinsip dasar, yaitu:26
1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik
kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;
dan
3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap
permasalahan yang dihadapi.
Untuk melindungi hak-hak konsumen dan dapat memenuhi hah-hak
konsumen yang dalam hal ini adalah penumpang pesawat udara, maka diperlukan
keseriusan maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya. Maskapai penerbangan dalam menjalankan kegiatan
usahanya haruslah selalu beritikad baik dan tunduk pada Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2009 tentang Penerbangan serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang telah mengatur mengenai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para pihak.
2.2. Kerugian Konsumen Pengguna Bagasi Pesawat udara
Beberapa berita yang tengah beredar dan membuat masyarakat resah
adalah tentang banyaknya kasus kehilangan barang di bagasi penumpang saat
bepergian menggunakan pesawat udara. Hilangnya barang penumpang di bagasi
pesawat udara tersebut merupakan suatu kerugian yang di derita oleh penumpang
pesawat udara selaku konsumen.
Menurut Nieuwenheis, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang kesatu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.27
Kerugian yang dialami oleh penumpang pesawat udara selama
pengangkutan berlangsung disebut dengan kerugian selama pengangkutan.
Kerugian selama pengangkutan adalah kerugian yang terjadi pada barang atau orang yang diangkut sejak barang diterima oleh pengangkut sampai dengan penyerahan barang di tempat tujuan. Sedang untuk pengangkutan penumpang adalah dimulai sejak penumpang berada pada pengawasan pengangkut yaitu sejak menaiki kendaraan atau alat angkut sampai turun dari alat angkut di tempat tujuan.28
Kerugian terhadap barang milik penumpang di bagasi pesawat udara bisa
terjadi dalam beberapa bentuk kemungkinan, antara lain :
1. Barang di bagasi rusak
2. Barang di bagasi hilang
3. Barang di bagasi terlambat sampai di bandara tujuan akhir penumpang
4. Barang di bagasi tertukar dengan milik penumpang lain
5. Barang di bagasi tertukar di tujuan lain, sehingga penumpang
terpisah/berbeda tempat dengan barangnya
Namun demikian, macam-macam kerugian selama pengangkutan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
27 Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih,
Universitas Airlangga, Surabaya, h. 57
Pengangkut Angkutan Udara hanya ada tiga macam bentuk kerugian yaitu hilang,
musnah, dan rusak.
Hilang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)29 berarti tidak ada lagi, lenyap, tidak kelihatan. Yang dimaksud barang dalam bagasi hilang disini
bisa barangnya yang hilang atau lenyap, bisa juga kemungkinan lainnya adalah isi
dari barang itu yang hilang. Misalkan isi suatu koper yang hilang.
Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun
2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, mendefinisikan
bahwa yang dimaksud dengan hilang adalah apabila tidak diketemukan dalam
waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan
penumpang di Bandar udara tujuan.
Musnah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)30 berarti lenyap,
binasa. Yang dimaksud musnah adalah apabila barang penumpang pesawat udara
yang dititpkan dalam bagasi itu tidak ada wujudnya lagi, tidak dapat diketemukan.
Sedangkan yang dimaksud dengan rusak dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)31 adalah sudah tidak sempurna lagi, sudah tidak baik lagi, atau sudah tidak utuh lagi.
Menghitung besarnya ganti kerugian merupakan sesuatu yang tidak mudah
untuk dilakukan. Maka dari itu penggantian kerugian harus dilakukan secara
29 Ebta Setiawan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring
(Dalam Jaringan)”, http;//kbbi.web.id/hilang, 2012-2014, dikunjungi pada tanggal 8 November 2014.
30 Ebta Setiawan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring
(Dalam Jaringan)”, http;//kbbi.web.id/musnah, 2012-2014, dikunjungi pada tanggal 8 November 2014.
31 Ebta Setiawan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring
obyektif dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan besarnya
kerugian yang dapat dialami oleh penumpang terhadap barangnya yang ada di
bagasi pesawat udara. Keobyektifan dalam menghitung besarnya ganti rugi dari
maskapai ke penumpang pesawat udara atas kerugian hilang, musnah, dan
rusaknya bagasi pesawat udara diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
Pembedaan kerugian selama pengangkutan dalam 3 golongan ini bertujuan
untuk membedakan besar ganti kerugian yang nantinya diberikan oleh maskapai
penerbangan terhadap penumpang pesawat udara yang mengalami kerugian. Ganti
rugi atas barang rusak di bagasi pesawat udara tentu tidak sebesar ganti rugi
barang yang hilang atau musnah dalam bagasi pesawat udara. Hal itu diatur secara
rinci dalam pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
Dalam pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77
Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan
bahwa ganti kerugian untuk barang yang hilang atau musnah di bagasi pesawat
udara yaitu sebesar Rp 200.000,- tiap Kg, atau maksimal Rp 4.000.000,- per
penumpang. Sedangkan dalam pasal 5 ayat (1) huruf b menyebutkan untuk barang
yang rusak di bagasi pesawat udara, akan diberi ganti kerugian sesuai jenis,
bentuk, ukuran dan merek barang yang hilang di bagasi pesawat udara tersebut.
Ganti kerugian atas kerugian yang diderita konsumen pada hakikatnya berfungsi sebagai:32
a. Pemulihan hak-hak nya yang telah dilanggar
b. Pemulihan atas kerugian materiil maupun immaterial yang telah di deritanya
c. Pemulihan pada keadaan semula
Ganti kerugian sebagaimana yang terdapat pada pasal 5 ayat (1) Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara tidak memberikan kepastian hukum bagi konsumen
atas kerugian hilang, musnah dan rusaknya barang di bagasi pesawat udara. Untuk
barang penumpang yang hilang atau musnah, pemberian ganti ruginya dalam tiap
satuan kilogram (Kg) sebesar Rp 200.000,- (Dua ratus ribu rupiah) dan maksimal
hanya Rp 4.000.000,- (Empat juta rupiah). Penggantian dalam satuan Kg tersebut
sangat tidak logis karena tidak semua barang milik penumpang yang hilang atau
musnah tersebut antara 1 Kg yang satu dengan satu Kg yang lainnya, belum tentu
sama nilainya. Misalnya saja 1 Kg barang penumpang berupa pakaian sehari-hari,
tidak sama nilainya dengan 1 Kg barang penumpang berupa barang-barang
elektronik. Maka penggantian kerugian dalam satuan Kg ini tidak sesuai untuk
diterapkan dalam kerugian penumpang berupa hilang atau musnahnya barang di
bagasi pesawat udara.
Selain itu, mengenai pembedaan ganti kerugian antara barang hilang atau
musnah dengan barang rusak milik penumpang yang diangkut menggunakan
bagasi pesawat, malah menimbulkan kerugian bagi penumpang selaku konsumen.
Misalnya saja penumpang yang mengalami kerusakan barangnya pada saat
diangkut dengan bagasi pesawat udara yaitu sebuah kamera dengan harga Rp
8.000.000,- (Delapan juta rupiah) maka sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1)
tercatat diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi
tercatat, dapat diartikan bahwa penumpang yang mengalami kerusakan kamera
tersebut mendapat ganti kerugian berupa kamera baru dengan bentuk, ukuran, dan
merk yang sama dari maskapai penerbangan. Berbeda halnya apabila barang
penumpang berupa kamera seharga Rp 8.000.000,- (Delapan juta rupiah) tersebut
hilang pada saat diangkut dengan bagasi pesawat udara, maka sesuai ketentuan
pasal 5 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, penumpang hanya akan
mendapat ganti kerugian maksimal Rp 4.000.000,- (Empat juta rupiah). Hal itu
tidak sesuai dengan asas keadilan dalam Hukum Perlindungan Konsumen dan
tidak memberikan kepastian hukum, serta merugikan penumpang selaku
konsumen.
Kerugian yang di derita oleh penumpang pesawat udara atas barang di
bagasi kadang kala juga merupakan dampak dari di terapkannya suatu klausula
baku oleh pihak maskapai penerbangan dalam suatu perjanjian pengangkutan
penumpang dan barang.
Pengertian dari klausula baku terdapat dalam pasal 1 angka 10
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu “Setiap
aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Larangan untuk membentuk klausula baku yang merugikan konsumen
Perlindungan konsumen. Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan konsumen menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terbaca atau tidak
dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.”
Pada nyatanya klausula baku yang dibentuk oleh maskapai penerbangan
berupa syarat dan ketentuan yang harus dipatuhi penumpang Pesawat udara
diletakkan dibalik tiket Pesawat udara, hal ini sangat menyulitkan penumpang
Pesawat udara untuk membacanya. Klausula baku tersebut disusun dalam
rangkaian huruf yang kecil-kecil sehingga menyulitkan penumpang untuk
membaca klausula baku tersebut. Hal tersebut melanggar pasal 18 ayat (2)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Klausula baku terkadang menempatkan penumpang Pesawat udara selaku
konsumen pada posisi sebagi pihak yang tidak dapat menggugat ganti rugi karena
sebelumnya maskapai penerbangan selaku pelaku usaha telah membatasi
tanggung gugatnya. Klausula seperti itu disebut dengan klausul eksonerasi.
Klausul eksonerasi (exemption clause) adalah klausul yang mengandung
kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang
semestinya dibebankan kepada pihak produsen yang dalam hal ini adalah pihak
maskapai penerbangan.33
Penerapan klausula baku oleh maskapai penerbangan selaku pihak yang
memiliki kedudukan yang lebih tinggi, yang mengakibatkan kerugian bagi
33 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
penumpang pesawat udara sebagai pihak yang lemah biasa dikenal dengan
penyalahgunaan keadaan.
Penyalahgunaan kedaadaan berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada salah satu pihak berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Itu sebabnya, ada ahli yang berpendapat penyalah gunaan keadaan ini sebagai salah satu bentuk dari cacat kehendak juga.34
Penyalahgunaan keadaan yang merupakan bentuk dari cacat kehendak ini
tentunya bertentangan dengan syarat subyektif pembentukan perjanjian dalam
pasal 1320 BW yang telah di kemukakan sebelumnya. Jika terjadi cacat kehendak,
maka unsur kesepakatan yang terdapat dalam pasal 1320 BW tidak terpenuhi,
sehingga akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Dengan adanya pembatasan tanggung gugat maskapai penerbangan atas
kerugian yang di derita oleh penumpang pesawat udara, sebenarnya merupakan
suatu bentuk klausul eksonerasi. Namun dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77
Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara mengakui
pembatasan tanggung gugat maskapai penerbangan tersebut. Sehingga yang
termasuk tanggung gugat maskapai penerbangan atas kerugian penumpang
pesawat udara hanyalah sebatas pada hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang
penumpang di bagasi pesawat udara saja. Kerugian yang lain yang mungkin
terjadi berupa tertukarnya atau terlambatnya bagasi penumpang pesawat udara,
tidak diatur bagaimana tanggung gugat maskapai dalam menanganinya.
34 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta
Bentuk ganti rugi yang diatur dalam dalam pasal 19 ayat (2)
undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi:
1. Pengembalian sejumlah uang
2. Penggantian barang
3. Perawatan kesehatan
Ganti rugi yang memungkinkan untuk diberikan oleh maskapai
penerbangan terhadap penumpang pesawat udara atas kerugian hilang, musnah,
dan/atau rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara adalah
pengembalian sejumlah uang dan penggantian barang sebagaimana yang telah
diatur dalam pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang telah disebutkan
sebelumnya. Sedangkan ganti rugi perawatan kesehatan tidak relevan jika
dikaitkan dengan kerugian atas hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang
penumpang di bagasi pesawat udara.
2.3. Tanggung Gugat Maskapai Penerbangan Menurut Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia
Hubungan hukum yang terjadi di antara maskapai penerbangan dengan
penumpang pesawat udara telah melahirkan hak dan kewajiban bagi
masing-masing pihak. Segala sesuatu yang merupakan kewajiban bagi maskapai
penerbangan, merupakan hak bagi penumpang pesawat udara. Begitu pula
sebaliknya, kewajiban penumpang pesawat udara merupakan hak bagi maskapai
Jika maskapai penerbangan tidak melaksanakan kewajibannya, hal itu
berarti ada hak penumpang pesawat udara yang dilanggar atau tidak dipenuhi. Jika
ada hak yang tidak terpenuhi, maka itu merupakan suatu kerugian bagi
penumpang pesawat udara. Atas hak yang tidak terpenuhi tersebut, maka
maskapai penerbangan harus bertanggung gugat terhadap kerugian yang di derita
penumpang pesawat udara.
Secara umum tanggung gugat maskapai penerbangan selaku pelaku usaha
adalah memberikan ganti kerugian kepada konsumen yang dirugikan seperti yang
diatur dalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Konsumen, yang antara lain :
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam pasalm 19 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat berupa :35 a. Pengembalian uang
b. Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya
c. Perawatan kesehatan
d. Pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Tanggung gugat maskapai penerbangan atas kerugian penumpang Pesawat
udara akibat hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang penumpang di bagasi
Pesawat udara diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
77 Tahun 2011 dalam pasal 5 yang menyatakan tanggung gugat maskapai
penerbangan untuk memberi ganti kerugian kepada penumpang yang mengalami
hilang, musnah dan/atau rusaknya barang di bagasi Pesawat udara dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. Kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp 200.000,00 per Kg dan paling banyak Rp 4.000.000,00 per penumpang
2. Kerusakan bagasi tercatat diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merek bagasi tercatat
3. Bagasi tercatat dianggap hilang apabila tidak ditemukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di Bandar udara tujuan
4. Pengangkut wajib memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat yang belum ditemukan dan belum dapat dinyatakan hilang sebesar Rp 200.000,00 per hari paling lama untu 3 hari kalender
Pengaturan tanggung gugat maskapai penerbangan selaku pelaku usaha
dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Angkutan Udara ini tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam
Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal 19 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur bahwa
Sedangkan dalam pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77
Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dinyatakan
bahwa bagasi dianggap hilang bila tidak ditemukan selama 14 hari sejak
penumpang datang di bandara udara tujuan. Hal itu berarti bahwa dalam Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara memberikan jangka waktu yang lebih lama untuk
maskapai penerbangan memberikan ganti rugi kepada penumpang pesawat udara
yang mengalami kerugian akibat hilang, musnah dan/atau rusaknya barang dalam
bagasi Pesawat udara. Selain itu, dalam pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Angkutan Udara dikatakan bahwa pihak maskapai wajib memberikan uang
tunggu atas barang milik penumpang yang belum diketemukan dan belum
dinyatakan hilang, namun paling lama hanya tiga hari saja. Dengan demikian,
penumpang udara selaku konsumen semakin di rugikan atas jangka waktu tunggu
yang lebih lama tersebut.
Tanggung gugat maskapai penerbangan terhadap penumpang yang
mengalami kerugian atas hilang, rusak, dan musnahnya barang penumpang di
bagasi pesawat udara, harus dapat dibuktikan terlebih dahulu bahwa maskapai
penerbangan benar-benar bersalah, sehingga patut untuk bertanggung jawab.
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapan yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.36
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung gugat dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut:
1. Prinsip tanggung gugat berdasarkan unsur kesalahan (liability based on
fault), yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat
dimintakan pertanggunggugatannya secara hukum jika ada unsur
kesalahan yang dilakukannya. Asas tanggung gugat ini dianggap tepat
karena dianggap adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti
kerugian yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, tidak adil jika orang
yang tidak bersalah harus menggantikan kerugian yang diderita orang
lain yang tidak ditimbulkan olehnya.
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung gugat (presumption of
liability), yaitu prinsip yang menyatakan bahwa tergugat selalu
dianggap bertanggung gugat, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia
tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada tergugat.
Berkaitan dengan prinsip tanggung gugat ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal 4 variasi:37
a. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung gugat kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya.
b. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung gugat jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.
c. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung gugat jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.
d. Pengangkut tidak bertanggung gugat jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik.
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung gugat (presumption
nonliability) yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang tidak
bertanggung gugat, sampai dapat dibuktikan bahwa ia bersalah.
Contoh penerapan prinsip ini adalah ketika penumpang kehilangan
atau kerusakan bagasi kabin yang berada di bawah pengawasan
penumpang itu sendiri, maka tanggung jawabnya ada di penumpang itu
sendiri, dan maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut tidak
dapat dimintai tanggung jawab, kecuali penumpang dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut karena kesalah pihak maskapai
penerbangan.
4. Prinsip tanggung gugat mutlak (strict liability), yaitu prinsip yang
menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun
ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan
dari tanggung gugat, misalnya karena adanya force majeur.
5. Prinsip tanggung gugat dengan pembatasan (limitation of liability),
yaitu prinsip yang membatasi tanggung jawab pelaku usaha. Prinsip ini
sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul
eksonerasi dalam klausula baku yang di cetaknya. Namun sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak
menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi
maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus
Berdasarkan kelima prinsip tanggung gugat tersebut, tanggung gugat pihak
maskapai penerbangan atas kerugian penumpang berupa hilang, musnah, dan
rusaknya barang di bagasi pesawat udara yang dapat diterapkan yaitu prinsip
tanggung gugat berdasarkan prinsip praduga untuk selalu bertanggung gugat,
prinsip tanggung gugat mutlak, dan prinsip tanggung gugat terbatas.
Prinsip praduga untuk selalu bertanggung gugat diterapkan karena
sepanjang maskapai penerbangan tidak dapat membuktikan bahwa kerugian itu
bukan karena kesalahannya, maka pihak maskapai wajib bertanggung jawab atas
kerugian tersebut.
Prinsip tanggung gugat mutlak, diterapkan kepada pihak maskapai
penerbangan, karena maskapai penerbangan adalah pihak yang bertanggung gugat
atas kerugian berupa hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang penumpang di
bagasi pesawat udara, kecuali bila kerugian itu timbul dari suatu peristiwa yang
tidak diinginkan atau di luar kendali pihak maskapai penerbangan (force majeur).
Prinsip tanggung gugat mutlak maskapai penerbangan terhadap kerugian
hilang, musnah, dan rusaknya barang konsumen di pesawat udara terdapat pada
pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung
Gugat Pengangkut Angkutan Udara.
Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap :
a. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka; b. Hilang atau rusaknya bagasi kabin;
c. Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat; d. Hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
Dalam pasal 2 huruf c Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun
2011 tentang Tanggung Gugat Pengangkut Angkutan Udara tersebut menyatakan
kewajiban tanggung gugat maskapai penerbangan untuk bertanggung gugat atas
kerugian konsumen berupa hilang, musnah, dan rusaknya barang di bagasi tercatat
pesawat udara. Kata wajib dalam ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa
tanggung gugat maskapai penerbangan atas kerugian konsumen adalah tanggung
gugat mutlak (strict liability).
Dalam ketentuan pasal 141 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang penerbangan menyatakan bahwa pengangkut bertanggung gugat atas
kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang
diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun
pesawat udara, sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa apabila kerugian
tersebut merupakan tindakan sengaja atau kesalahan dari pihak pengangkut, maka
penganggkut bertanggunggugat atas kerugiannya dan tidak dapat mempergunakan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
untuk membatasi tanggung gugatnya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat
dikatakan bahwa maskapai penerbangan menganut prinsip tanggung gugat berupa
strict liability yang artinya maskapai penerbangan wajib bertanggunggugat secara
mutlak atas kerugian penumpang, bahkan mengesampingkan adanya prinsip
tanggung gugat terbatas (limitation of liability). Dalam pasal 141 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa ahli waris
dapat menuntut ganti kerugian tersebut kepada maskapai penerbangan.
menghapuskan hak ahli waris untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak
maskapai penerbangan.
Tanggung gugat maskapai penerbangan atas hilang, musnah, dan rusaknya
barang penumpang di bagasi pesawat udara juga diatur dalam pasal 144
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, namun baik Undang-Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan maupun Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Angkutan Udara tidak mengatur hak ahli waris untuk mengajukan gugatan ganti
rugi kepada pihak maskapai atas hilang, musnah, dan rusaknya barang milik
penumpang. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada kasus sebagai berikut :38
Air Asia: Barang Milik Penumpang Dikembalikan
Jumat, 09 Januari 2015, 19:28 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Direktur Keselamatan dan Keamanan AirAsia Indonesia, Kapten Achmad Sadiqin memastikan semua properti milik penumpang yang ditemukan akan dikembalikan jika ada keluarga korban yang mengenali.
"Untuk serpihan pesawat akan masuk investigasi KNKT, sedangkan barang milik penumpang seperti tas, sepatu, kacamata beberapa properti yang sudah ditemukan dikembalikan dan tidak akan diselidiki," kata Sadiqin di Surabaya, Jumat (9/1).
Kapten Achmad Sadiqin mengatakan, AirAsia juga sudah dipanggil Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pada saat penyerahan serpihan pesawat beberapa hari lalu setelah serpihan peswat ditemukan KRI Bung Tomo. "Saat ini, KNKT juga masih fokus membantu evakuasi dan identifikasi, dan soal asuransi belum dibicarakan," katanya.
Sebelumnya, serpihan pesawat AirAsia QZ8501 yang ditemukan KRI Bung Tomo dan dijadikan bahan pemeriksaan oleh KNKT meliputi pelampung yang masih terlipat rapi, sebuah survival kitbag warna kuning yang terdapat kartu dengan logo AirAsia, dua dinding kabin bagian jendela putih serta dua tutup bagasi kabin penumpang putih.
"Ada juga beberapa serpihan kecil merah, putih dan berlogo AirAsia, serta dua set kursi pesawat dengan tiga tempat duduk," katanya.
38
Sementara barang milik korban yang ditemukan antara lain satu koper merah berisi satu tas punggung, dua slop rokok, tiga bungkus snack dan sekotak kue. Kemudian, sebuah sobekan penutup koper merah dalam kondisi sobek dan terlepas dari bagian koper, sepasang sepatu abu-abu yang disimpan dalam tas.
Tidak itu saja, ada pula barang lain seperti satu tas punggung berisi kamera, kaca mata baca dan kunci rumah serta sebuah sleeping bed hijau dan sebuah tempat duduk tambahan untuk bayi warna hitam. Sementara itu, hingga kini sejumlah barang hasil temuan masih disimpan di Hanggar Merpati Juanda, Sidoarjo.
Berdasarkan kecelakaan pesawat AirAsia kode penerbangan QZ8501
tersebut yang terjadi pada tanggal 28 Desember 2014, terdapat beberapa kerugian
yang ditimbulkan antara lain seluruh penumpang dan kru penerbangan meninggal
dunia, serta barang-barang bagasi milik penumpang telah rusak dan bahkan ada
yang hilang.
Hak ahli waris untuk menuntut ganti rugi atas hilang, musnah, dan
rusaknya barang korban yang ada di bagasi pesawat udara akibat kecelakaan
pesawat udara tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan. Namun berdasarkan artikel tersebut, barang-barang milik
penumpang yang ditemukan selama proses evakuasi akan dikembalikan kepada
ahli warisnya. Hal itu berarti ahli waris memilik hak atas barang-barang
penumpang yang berada dalam bagasi pesawat. Dalam pasal 46 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur bahwa ahli
waris konsumen yang dirugikan atau dalam hal ini ahli waris penumpang yang
meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara AirAsia QZ 8501, dapat
mengajukan gugatan ganti rugi terhadap maskapai penerbangan selaku pelaku
usaha. Namun gugatan ahli waris atas hilang, musnah, dan rusaknya barang