LAPORAN
ANALISIS IMPOR PRODUK MINUMAN BERALKOHOL
MELALUI PELABUHAN TERTENTU
PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2016
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN ii KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, laporan akhir Analisis Impor Produk Minuman Beralkohol Melalui Pelabuhan Tertentu dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Permasalahan pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol telah lama menjadi masalah yang sensitif di Indonesia. Hal ini karena produk Minuman beralkohol selain bertentangan dengan norma agama dan jiwa bangsa Indonesia yang religius, juga telah terbukti menelan korban jiwa yang jumlahnya tidak sedikit. Produk Minuman Beralkohol berdampak negatif dan berbahaya terhadap masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol guna melaksanakan Ketentuan Pasal 9 Perpres No. 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol melalui pintu masuk tertentu, yakni pelabuhan laut Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, Bitung di Manado, dan Soekarno Hatta di Makassar; atau bandar udara internasional. Oleh karena itu, Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri melakukan analisis untuk mengetahui dampak kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui pelabuhan tertentu terhadap struktur dan kinerja impor produk Minuman Beralkohol Indonesia serta industri pariwisata dan produsen sejenis.
Dengan selesainya laporan ini, tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu sampai dengan terwujudnya laporan. Ucapan terimakasih secara khusus kami sampaikan kepada Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri yang telah senantiasa memberikan bimbingan baik substansi maupun motivasi,.
Harapan kami, laporan analisis ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi perumusan kebijakan.
Jakarta, Maret 2016
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN iii ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui Pelabuhan Tertentu terhadap struktur dan kinerja impor produk Minuman Beralkohol Indonesia serta dampak penetapan kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui Pelabuhan Tertentu terhadap industri pariwisata, konsumen dan produsen sejenis dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui pelabuhan tertentu telah menggeser struktur impor produk Minuman Beralkohol Indonesia dalam hal penggunaan moda transportasi dan pelabuhan bongkar serta menimbulkan ketidakselarasan di antara jumlah alokasi impor dengan realisasi impor. Selain itu, penetapan pelabuhan tertentu sebagai Pelabuhan Tertentu memiliki pengaruh terhadap penurunan pemasokan dan meningkatkan biaya atas pembelian produk Minuman Beralkohol bagi industri pariwisata, menurunkan penjualan dan meningkatkan persaingan usaha bagi produsen sejenis, dan meningkatkan harga di tingkat konsumen.
Kata kunci: impor, produk Minuman Beralkohol, pelabuhan
ABSTRACT
This study aims to analyze the impact of alcoholic beverages import policy through certain ports on the Indonesia’s alcoholic beverages import structure and performance, Indonesia’s tourism industry, consumers and producers using a qualitative descriptive method. Based on the analysis, the import policy of alcoholic beverages products through certain ports have shifted the structure of imports in terms of the use of modes of transportation and the port. It also caused disharmony between imports allocation and its realization. In addition, the determination of certain ports decreased alcoholic beverages supply for tourism industry in Indonesia and increased additional fee for purchasing of acoholic beverages, lower sales and increased competition for producers, and increased price at the consumer level.
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ... ii ABSTRAK ... iii ABSTRACT ... iii DAFTAR ISI ... iv DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan ... 3 1.4 Output ... 3 1.5 Dampak/Manfaat... 4 1.6 Ruang Lingkup ... 4 1.7 Sistematika Laporan ... 4 BAB II ... 6 TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Tinjauan tentang Perdagangan Internasional ... 6
2.2 Definisi Impor ... 12
2.3 Hambatan Perdagangan Internasional ... 14
2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif ... 15
2.3.2 Hambatan Perdagangan Non-tarif ... 18
2.4 Pengkajian Sebelumnya ... 20
2.4.1 Pengkajian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2012) ... 20
2.4.2 Pengkajian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2013) ... 22
2.4.3 Pengkajian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2014) ... 23
BAB III ... 25
METODE PENGKAJIAN ………..24
3.1 Metode Analisis... 25
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN v
3.3 Jenis dan Sumber Data ... 25
BAB IV ... 26
GAMBARAN UMUM TINGKAT PRODUKSI, KONSUMSI DAN PERDAGANGAN PRODUK MINUMAN BERALKOHOL INDONESIA ….26 4.1 Kinerja Produksi Industri Minuman Beralkohol Indonesia ... 26
4.2 Kinerja Konsumsi Produk Minuman Beralkohol Indonesia ... 30
4.3 Kinerja Perdagangan Produk Minuman Beralkohol Indonesia ... 37
BAB V ... 49
HASIL ANALISIS ………49
5.1 Dampak Kebijakan Impor Produk Minuman Beralkohol Melalui Pelabuhan Tertentu Terhadap Struktur dan Kinerja Impor Produk Minuman Beralkohol Indonesia ………..49
5.2 Dampak Penetapan Kebijakan Impor Produk Minuman Beralkohol Melalui Pelabuhan Tertentu terhadap Industri Pariwisata, Konsumen dan Produsen Sejenis ………. 60
BAB VI ………. 64
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ………... 64
6.1 Kesimpulan ………... 64
6.2 Rekomendasi ……….. 65 DAFTAR PUSTAKA
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN vi DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Perkembangan Nilai Output Industri Minuman Beralkohol Indonesia Tahun 2010-2013
29 Tabel 4.2 Perkembangan Nilai Produksi Industri Minuman
Beralkohol Indonesia Tahun 2010-2013
30 Tabel 4.3 Tingkat Konsumsi Minuman Beralkohol Perkapita 33 Tabel 4.4 Tingkat Konsumsi Minuman Beralkohol Perkapita 34 Tabel 4.5 Tingkat Konsumsi Minuman Beralkohol Perkapita
Indonesia
35 Tabel 4.6 Tingkat Konsumsi Minuman Beralkohol Perkapita
Indonesia, Hanya Peminum, Tahun 2010
35 Tabel 4.7 Perkembangan Nilai Ekspor Produk Minuman
Beralkohol Indonesia Berdasarkan Jenis Produk
41 Tabel 4.8 Perkembangan Volume Ekspor Produk Minuman
Beralkohol Indonesia Berdasarkan Jenis Produk
42 Tabel 4.9 Kinerja Nilai Ekspor Produk Minuman Beralkohol
Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan
43 Tabel 4.10 Kinerja Volume Ekspor Produk Minuman Beralkohol
Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan
44 Tabel 4.11 Perkembangan Nilai Impor Produk Minuman
Beralkohol Indonesia Berdasarkan Jenis Produk
46 Tabel 4.12 Perkembangan Volume Impor Produk Minuman
Beralkohol Indonesia Berdasarkan Jenis Produk
47 Tabel 4.13 Perkembangan Nilai Impor Produk Minuman
Beralkohol Indonesia Berdasarkan Negara Asal
48 Tabel 4.14 Perkembangan Volume Impor Produk Minuman
Beralkohol Indonesia Berdasarkan Negara Asal
48 Tabel 5.1 Jumlah Importir Terdaftar Minuman Beralkohol
(IT-MB) Berdasarkan Provinsi Tahun 2010-2015
54 Tabel 5.2 Kinerja Nilai Impor Produk Minuman Beralkohol
Indonesia Berdasarkan Pelabuhan Bongkar
56 Tabel 5.3 Kinerja Volume Impor Produk Minuman Beralkohol
Indonesia Berdasarkan Pelabuhan Bongkar
57 Tabel 5.4 Perkembangan Alokasi dan Realisasi Impor Produk
Minuman Beralkohol
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN vii DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional 6 Gambar 2.2 Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari
Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil
16 Gambar 2.3 Dampak Kebijakan Pembatasan Impor terhadap
Kesejahteraan
19 Gambar 4.1 Perkembangan Jumlah Perusahaan dalam Industri
Minuman Beralkohol Indonesia Tahun 2010-2013
27 Gambar 4.2 Perkembangan Utilisasi Industri Minuman Beralkohol
Indonesia Tahun 2010-2013
28 Gambar 4.3 Perkembangan Konsumsi Produk Minuman
Beralkohol Per Kapita Penduduk Berusia Di Atas 15 Tahun
31
Gambar 4.4 Perkembangan Konsumsi Produk Minuman
Beralkohol Per Kapita Penduduk Berusia Di Atas 15 Tahun, 2010 (dalam Liter)
32
Gambar 4.5 Konsumsi Minuman Beralkohol Per Kapita (Penduduk Berusia Di Atas 15 Tahun) Tahun 1961-2010
32 Gambar 4.6 Rerata dan Proporsi Konsumsi Minuman Beralkohol
Indonesia, 2014
36 Gambar 4.7 Perkembangan Nilai Neraca Perdagangan Produk
Minuman Beralkohol Indonesia Tahun 2006-2015 (dalam Juta US$)
38
Gambar 4.8 Perkembangan Volume Neraca Perdagangan Produk Minuman Beralkohol Indonesia Tahun 2006-2015 (dalam Ribu Ton)
39
Gambar 5.1 Pangsa Impor Produk Minuman Beralkohol Indonesia Berdasarkan Pelabuhan Bongkar Tahun 2006 dan 2009
50
Gambar 5.2 Struktur Impor Produk Minuman Beralkohol Indonesia Berdasarkan Pintu Masuk Tertentu Tahun 2010 dan 2013
51
Gambar 5.3 Struktur Impor Produk Minuman Beralkohol Indonesia Berdasarkan Pintu Masuk Tertentu Tahun 2014 dan 2015
53
Gambar 5.3 Perkembangan Volume, Alokasi dan Realisasi Produk Minuman Beralkohol Indonesia Tahun 2010-2015
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol telah lama menjadi masalah yang sensitif di Indonesia. Hal ini karena produk Minuman beralkohol selain bertentangan dengan norma agama dan jiwa bangsa Indonesia yang religius, juga telah terbukti menelan korban jiwa yang jumlahnya tidak sedikit. Produk Minuman Beralkohol berdampak negatif dan berbahaya terhadap masyarakat. Produk Minuman Beralkohol secara klinis mengganggu kesehatan sebab menimbulkan gangguan mental organik, merusak syaraf dan daya ingat, odema otak, sirosis hati, gangguan jantung, gastrinitis, paranoid, dan dalam jangka panjang akan memicu penyakit kronis. Secara psikologis, produk Minuman Beralkohol dapat merusak secara permanen jaringan otak sehingga menimbulkan gangguan daya ingat, kemampuan penilaian, kemampuan belajar dan gangguan jiwa tertentu. Selain dampak yang ditimbulkan terhadap kesehatan dan psikologis, Minuman Beralkohol dianggap menjadi faktor pemicu tingginya kriminalitas di beberapa daerah di Indonesia.
Dampak negatif yang diakibatkan produk Minuman Beralkohol begitu kompleks, namun faktanya Minuman Beralkohol masih banyak diproduksi, diimpor, dan diperjualbelikan secara bebas sementara penegakan hukum terhadap masalah yang diakibatkan Minuman Beralkohol masih lemah. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat mendorong pemerintah untuk mengatur produksi, pendistribusian, dan penjualan produk Minuman Beralkohol.
Oleh karena itu, Peraturan Presiden (Perpres) No. 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol memandang perlu untuk mengatur pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol, termasuk di dalamnya pengadaan Minuman yang berasal dari impor sehingga dapat memberikan
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2
perlindungan serta menjaga kesehatan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dari dampak buruk penyalahgunaan minuman beralkohol. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dalam Perpres No. 74 Tahun 2013, produk Minuman Beralkohol yang berasal dari impor hanya dapat diimpor oleh pelaku usaha yang telah memiliki perizinan impor dari menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perdagangan. Di samping itu, produk Minuman Beralkohol yang berasal dari impor harus memenuhi standar mutu produksi serta standar keamanan dan mutu pangan dan wajib mencantumkan label.
Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol guna melaksanakan Ketentuan Pasal 9 Perpres No. 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Dengan adanya Permendag No. 20/M-DAG/PER/4/2014, pemerintah menetapkan pengadaan Minuman Beralkohol asal impor hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah memiliki penetapan sebagai Importir Terdaftar Minuman Beralkohol (IT-MB) dan melalui pintu masuk tertentu, yakni pelabuhan laut Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, Bitung di Manado, dan Soekarno Hatta di Makassar; atau bandar udara internasional. Impor Minuman Beralkohol ke dalam kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Selain itu, kebijakan impor produk Minuman Beralkohol ini mengatur mengenai alokasi jenis dan jumlah Minuman Beralkohol yang dapat diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ditetapkan berdasarkan pola pembagian pemenuhan kebutuhan konsumsi Minuman Beralkohol yang penjualannya dikenai pajak (duty paid) dan tidak dikenai pajak (duty not paid).
Untuk mengetahui gambaran sampai sejauhmana efektivitas pengimplementasian kebijakan impor produk Minuman Beralkohol
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 3
Indonesia yang ada, maka Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri menyelenggarakan kegiatan Analisis Kebijakan Impor Produk Minuman
Beralkohol Melalui Pelabuhan Tertentu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, berikut ini adalah rumusan masalah yang akan dibahas dalam analisis:
1. Bagaimana dampak kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui pelabuhan tertentu terhadap struktur dan kinerja impor produk Minuman Beralkohol Indonesia?
2. Bagaimana dampak penetapan kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui Pelabuhan Tertentu terhadap industri pariwisata dan produsen sejenis?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari analisis ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis dampak kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui Pelabuhan Tertentu terhadap struktur dan kinerja impor produk Minuman Beralkohol Indonesia
2. Menganalisis dampak penetapan kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui Pelabuhan Tertentu terhadap industri pariwisata, konsumen dan produsen sejenis
1.4 Output
Analisis ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa output, yakni tersusunnya gambaran dampak kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui pelabuhan tertentu terhadap strukur dan kinerja impor produk Minuman Beralkohol Indonesia dan dampak penetapan kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui Pelabuhan Tertentu terhadap industri pariwisata, konsumen dan produsen sejenis
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 4 1.5 Dampak/Manfaat
Analisis ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pengevaluasian dan penyusunan kebijakan impor produk Minuman Beralkohol di Indonesia dan sebagai bahan referensi bagi para pemangku kepentingan terkait.
1.6 Ruang Lingkup
Analisis ini hanya membahas pengimplementasian kebijakan impor produk Minuman Beralkohol Indonesia melalui Permendag No. 43/M-DAG/PER/9/2009 dan Permendag No. 20/M-DAG/PER/4/2014. Sementara itu kegiatan kunjungan lapangan atau survei dengan metode wawancara dilaksanakan di Provinsi Banten, Provinsi Bali, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Adapun kegiatan diskusi terbatas dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta.
1.7 Sistematika Laporan
Laporan analisis ini terbagi menjadi enam bab dengan isi masing-masing Bab sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan masalah umum yang berkaitan dengan dampak produk Minuman Beralkohol dan kebijakan impor produk Minuman Beralkohol. Dalam pendahuluan juga diuraikan rumusan masalah, tujuan, output, dampak/manfaat, ruang lingkup dan sistematika laporan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan studi literatur yang berkaitan dengan studi ini. Pada bagian pertama dari tinjauan pustaka dibahas yang terkait dengan definisi impor dan kebijakan kuota impor. Terakhir, pembahasan sub bab selanjutnya dijelaskan mengenai hasil studi empiris sebelumnya.
BAB III METODE PENGKAJIAN
Bab ini diawali dengan metode analisis, kemudian dilanjutkan dengan penguraian metode pengumpulan data dan jenis data serta sumber data yang digunakan dalam analisis ini.
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 5 BAB IV GAMBARAN UMUM KINERJA INDUSTRI, KONSUMSI, DAN PERDAGANGAN PRODUK MINUMAN BERALKOHOL INDONESIA Sub bab awal dari bab ini akan dibahas mengenai kinerja industri minuman beralkohol yang ada di Indonesia selama ini. Selanjutnya, kinerja konsumsi produk Minuman Beralkohol Indonesia akan dipaparkan secara singkat. Terakhir, kinerja perdagangan produk Minuman Beralkohol Indonesia akan diulas secara komprehensif dalam bab ini.
BAB V HASIL ANALISIS
Bagian pertama dalam bab ini akan membahas mengenai dampak kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui Pelabuhan Tertentu terhadap struktur dan kinerja impor produk Minuman Beralkohol Indonesia. Bagian kedua mengulas mengenai dampak penetapan kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui pelabuhan tertentu terhadap industri pariwisata, konsumen dan produsen sejenis
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Kesimpulan dalam Bab ini merupakan sintesa dari bab-bab sebelumnya terutama mengenai hasil analisis dampak kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui Pelabuhan Tertentu terhadap struktur dan kinerja impor produk Minuman Beralkohol Indonesia serta dampak penetapan kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui pelabuhan tertentu terhadap industri pariwisata, konsumen dan produsen sejenis. Pada sub bab berikutnya dibahas dengan rekomendasi kebijakan dan implikasi kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui pelabuhan tertentu
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan tentang Perdagangan Internasional
Salvatore (1997) berpendapat bahwa terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar negara (Gambar 2.1). Perbedaan ini terjadi karena: (a) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Krugman dan Obstfeld (2003) mengenai dua alasan utama setiap negara melakukan perdagangan internasional. Dalam dunia nyata, adanya interaksi yang terus-menerus dari kedua motif dasar di atas tercermin dalam pola-pola perdagangan internasional.
Gambar 2.1 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore (1997)
Menurut Krugman dan Obstfeld (2003), perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang mereka kuasai keunggulan komparatifnya.
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 7
Sementara, Sadono Sukirno berpendapat bahwa manfaat-manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan teknologi dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
3. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
4. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern
Secara historis, teori-teori berkenaan dengan konsep-konsep perdagangan internasional atau aktivitas ekspor dan impor antar wilayah/negara dimulai dari teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif. Teori keunggulan absolut yang diperkenalkan oleh Adam Smith dinyatakan bahwa perdagangan didasarkan kepada keunggulan absolut (absolute advantage), yaitu jika sebuah negara lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 8
negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dan memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkan dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut (Salvatore, 1997). Menurut Adam Smith suatu negara akan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan biaya yang secara mutlak lebih murah dari pada negara lain, yaitu karena memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut. Adapun keunggulan mutlak menurut Adam Smith merupakan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan suatu barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit dibanding kemampuan negara-negara lain. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dengan cara yang paling efisien. Output yang diproduksi pun akan meningkat.
Menurut teori keunggulan komparatif yang diperkenalkan David Ricardo tahun 1817 (Salvatore, 1997), nilai penukaran suatu barang didasarkan pada biaya komparatif dan nilai kegunaan/manfaat. Dengan teori keunggulan komparatif, masing-masing negara akan mengambil sesuatu yang relatif efisien. Perdagangan antarnegara akan terjadi jika masing-masing negara memperoleh manfaat dengan spesialisasi yang lebih efisien. Dengan adanya spesialisasi, maka akan terjadilah pembagian kerja internasional yang makin efisien, realokasi faktor-faktor produksi, dan mobilitas faktor-faktor produksi di dalam negeri yang pada akhirnya mendorong terjadinya persaingan di pasar faktor produksi. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan absolut, perdagangan akan tetap menguntungkan bagi kedua negara.
John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan komparatif dengan menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor barang yang memiliki ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata lain, dasar tukar perdagangan internasional yang
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 9
sebenarnya ditentukan oleh permintaan timbal balik. Hal ini akan stabil bilamana nilai ekspor suatu negara cukup untuk membayar nilai impornya. Berdasarkan teori ini, nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut sedangkan dasar nilai pertukaran ditentukan dengan batas-batas nilai tukar masing-masing barang di dalam negeri (Masngudi, 2006).
Teori perdagangan lainnya adalah konsep proporsi faktor produksi atau dikenalkan dengan Teori Heckscher-Ohlin. Intisari Teorema Hecksher-Ohlin (H-O) adalah: Sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan ia akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Intisari dari teori Hecksher-Ohlin adalah mengupas dan memprediksikan pola perdagangan, dan teori penyamaan harga faktor
(factor-price equalization theorem) yang mengupas dampak-dampak yang
ditimbulkan oleh perdagangan internasional (ekspor-impor) terhadap harga faktor produksi di negara yang terlibat.
Teorema penyamaan harga faktor (teorema Heckscher-Ohlin-Samuelson) sebagai berikut: Perdagangan internasional akan mendorong terjadinya penyamaan harga-harga faktor, baik secara relatif maupun secara absolut, di antara negara-negara yang terlibat di dalamnya.
Perdagangan internasional dapat berfungsi sebagai pengganti atau substitusi bagi mobilitas faktor internasional. Ada tiga asumsi penting dalam memprediksi penyamaan harga-harga faktor yang sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang ada. Ketiga asumsi itu adalah :
1. Kedua negara memproduksi selalu kedua jenis barang sekaligus. 2. Adanya kesamaan dalam teknologi.
3. Hubungan perdagangan benar-benar menyamakan harga-harga barang di kedua negara.
Perdagangan antar negara cenderung meningkatkan harga faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di suatu negara dan dalam waktu yang bersamaan akan menurunkan harga faktor produksi yang relatif
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 10
langka dan mahal. Seluruh faktor produksi tenaga kerja dan modal diasumsikan telah terdayaguna secara penuh (full employment) sebelum maupun sesudah perdagangan,maka pendapatan rill tenaga kerja dan suku bunga rill bagi para pemilik modal akan bergerak ke arah yang dituju oleh pergerakan harga-harga faktor produksi itu sendiri. Teori Hecksher-Ohlin memberikan konklusi bahwa perdagangan cenderung memperbesar tingkat pendapatan atau tingkat upah para pekerja dan menurunkan suku bunga rill modal di negara yang kaya tenaga kerja dan yang mengalami kelangkaan modal. Perdagangan (ekspor dan impor) akan memberikan keuntungan bagi negara-negara yang melakukannya.
Namun demikian, dalam perkembangannya teori Heckscher-Ohlin (Teori H-O) mengalami pertentangan. Alasan utamanya adalah adanya ketidaksesuaian antara teori Heckscher-Ohlin-Samuelson dengan kondisi nyata, yaitu: asumsi-asumsi yang digunakan dalam teori tersebut terlampau restriktif dan cenderung menyederhanakan kenyataan-kenyataan yang ada. Sebagai contoh, tingkat teknologi setiap negara tidak sama, sedangkan biaya-biaya dan hambatan perdagangan diabaikan yang dalam prakteknya merupakan ganjalan utama bagi berlangsungnya perdagangan internasional sehingga proses penyamaan harga-harga relatif komoditi tidak pernah berjalan sempurna.
Keunggulan suatu negara di dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif (teori-teori klasik dan H-O) yang dimilikinya juga karena adanya produksi atau bantuan fasilitas dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Keunggulan ini sifatnya lebih dinamis dengan perubahan-perubahan, misalnya teknologi dan SDM yang sangat cepat. Hal ini mendorong suatu konsep baru mengenai perdagangan internasional, yaitu teori keunggulan kompetitif.
Menurut Porter (1990), keunggulan persaingan suatu negara tidak berkorelasi langsung antara dua faktor produksi (sumber daya alam yang tinggi dan sumber daya manusia yang murah) yang dimiliki suatu negara
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 11
untuk dimanfaatkan menjadi daya saing dalam perdagangan. Banyak negara di dunia ini yang jumlah tenaga kerjanya sangat besar secara proporsional dengan luar negeri tetapi terbelakang dalam daya saing internasional. Begitu juga tingkat upah yang relatif murah daripada negara lainnya, begitu pula berkorelasi erat dengan rendahnya motivasi bekerja keras dan berprestasi. Porter menyebutkan bahwa peranan pemerintah sangat mendukung selain faktor produksi. Porter mengungkapkan ada empat atribut utama yang menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat mencapai sukses internasional, keempat atribut itu adalah kondisi faktor produksi, kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri, eksistensi industri pendukung, dan kondisi persaingan strategi dan struktur perusahaan dalam negeri.
Negara yang sukses dalam skala internasional pada umumnya didukung oleh kondisi faktor yang baik, permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri yang tinggi, industri hulu atau hilir yang maju dan persaingan domestik yang ketat. Keunggulan kompetitif yang hanya didukung oleh 1/2 atribut saja biasanya tidak akan dapat bertahan, sebab keempat atribut saling berinteraksi positif dalam negara yang sukses. Di samping keempat atribut di atas, peran pemerintah juga merupakan variabel yang cukup signifikan.
Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan devisa, transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja.
Komposisi, arah dan bentuk perdagangan internasional atau kegiatan perdagangan internasional suatu negara tidak terlepas dari segala tindakan pemerintahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan perdagangan internasional memiliki implikasi yang sangat luas,
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 12
tidak hanya dalam volume dan komposisi impor dan ekspor, tetapi juga pola investasi dan arah pengembangan, tetapi juga kondisi persaingan, kondisi biaya, sikap pebisnis dan wirausahawan, pola konsumsi, dsb. Oleh karena itu, kebijakan perdagangan internasional sangat penting dalam keputusan kebijakan ekonomi suatu negara dan kebijakan ini hanya salah satu bagian kebijakan makroekonomi yang harus dikombinasikan dan bersifat mendorong pembangunan perekonomian suatu negara.
Kebijakan perdagangan internasional juga dapat ditujukan untuk melindungi industri dalam negeri yang sedang tumbuh (infant industry) dan persaingan-persaingan barang-barang impor. Adapun tujuan kebijakan perdagangan internasional yang bersifat proteksi adalah memaksimalkan produksi dalam negeri, memperluas lapangan kerja, memelihara tradisi nasional, menghindari resiko yang mungkin timbul jika hanya menggantungkan diri pada satu komoditi dikhawatirkan akan terganggu jika bergantung pada negara lain. Proteksi dapat dilakukan dengan penerapan berbagai instrumen kebijakan perdagangan internasional berupa hambatan perdagangan tarif maupun non tarif. Kebijakan perdagangan internasional tidak hanya bersifat untuk melindungi, tetapi juga mendukung kebijakan perdagangan bebas.
Di sisi lain, perdagangan internasional juga dapat menimbulkan tantangan dan kendala yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tantangan dan kendala tersebut antara lain eksploitasi terhadap negara-negara berkembang, ambruknya industri lokal, keamanan barang menjadi rendah, ancaman ketahanan pangan, dan keamanan konsumen dan sebagainya. Untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, negara-negara di dunia berupaya untuk menciptakan hambatan perdagangan terutama hambatan untuk impor.
2.2 Definisi Impor
Impor merupakan kegiatan mendatangkan barang maupun jasa dari luar negeri ke dalam wilayah pabean suatu negara. Pada dasarnya, impor suatu produk terjadi karena tiga alasan. Pertama, produksi dalam negeri terbatas sedangkan permintaan domestik tinggi. Impor hanya sebagai
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 13
pelengkap. Keterbatasan produksi dalam negeri tersebut dikarenakan dua hal, yakni (a) kapasitas produksi terbatas (titik optimum dalam skala ekonomi telah tercapai) atau (b) pemakaian kapasitas terpasang masih di bawah kapasitas maksimal. Kedua, impor lebih murah dibandingkan dengan harga dari produk sendiri yang dikarenakan ekonomi biaya tinggi atau tingkat efisiensi yang rendah. Ketiga, impor lebih menguntungkan karena produksi dalam negeri ditujukan untuk ekspor dan harga ekspornya lebih tinggi sehingga dapat mengkompensasi biaya yang dikeluarkan untuk impor.
Selain itu, impor yang akan dilakukan oleh suatu negara bergantung pada banyak faktor. Permintaan impor sangat ditentukan faktor-faktor harga atau keseimbangan harga baik yang terdapat di dalam negeri maupun keseimbangan harga internasional. Selain itu, suatu negara dapat melakukan impor atau pembelian dari negara lain apabila barang-barang yang diperlukan di dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh pemilik faktor-faktor produksi di dalam negeri. Kesanggupan atau kemampuan dalam menghasilkan barang-barang yang bersaing dengan buatan luar negeri adalah faktor lainnya yang memengaruhi impor yang berarti nilai impor tergantung dari nilai tingkat pendapatan nasional negara tersebut. Makin tinggi pendapatan nasional, semakin rendah menghasilkan barang-barang tersebut, maka impor pun semakin tinggi sehingga pada akhirnya pendapatan nasional menjadi terkikis. Perubahan nilai impor di Indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial politik, pertahanan dan keamanan, inflasi, kurs valuta asing serta tingkat pendapatan dalam negeri yang diperoleh dari sektor-sektor yang mampu memberikan pemasukan selain perdagangan internasional. Besarnya nilai impor Indonesia antara lain ditentukan oleh kemampuan Indonesia dalam mengolah dan memanfaatkan sumber yang ada dan juga tingginya permintaan impor dalam negeri.
Kebijakan impor merupakan salah satu instrumen strategis untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Penerbitan kebijakan impor digunakan sebagai instrumen menertibkan arus barang
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 14
masuk dan melindungi kepentingan nasional dari pengaruh masuknya barang-barang negara lain dengan tujuan untuk menjaga dan mengamankan aspek K3LM (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan meningkatkan pendapatan petani, mendorong penggunaan barang dalam negeri, dan meningkatkan ekspor nonmigas (Widayanto, 2011).
Pada umumnya, kebijakan impor dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni kebijakan tarif dan kebijakan hambatan non-tarif. Tarif merupakan pengenaan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Kebijakan hambatan non-tarif adalah kebijakan perdagangan selain kebijakan tarif yang dapat menimbulkan distorsi sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional. Kebijakan hambatan non-tarif juga dapat didefinisikan sebagai langkah-langkah kebijakan yang memiliki efek membatasi perdagangan tanpa melanggar hukum perdagangan internasional. Penggunaan kebijakan hambatan non-tarif bertujuan untuk mencapai efektivitas, konsistensi, kepastian, dan perlindungan perdagangan. Selain itu, kebijakan hambatan non-tarif tersebut ditujukan untuk melindungi kesehatan, keamanan, keselamatan, sanitasi, nutrisi, keagamaan, atau untuk melindungi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan tidak menciptakan hambatan perdagangan yang tidak berguna. Kebijakan hambatan non-tarif (non tariff measures, NTMs) mencakup berbagai jenis, yakni kuota impor, subsidi pemerintah, SPS, hambatan teknis, larangan, dan lain-lain.
2.3 Hambatan Perdagangan Internasional
Perbedaan komparatif dan kompetitif antar negara dan pengamanan kepentingan nasional mendasari penerapan kebijakan perdagangan internasional. Hampir seluruh negara di dunia memiliki hambatan perdagangan untuk mengendalikan impor. Hambatan perdagangan tersebut merupakan intervensi pemerintah dalam mengurangi kebebasan perdagangan internasional. Pada umumnya hambatan perdagangan internasional dibedakan menjadi 2 (dua), yakni:
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 15 2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif
Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Dilihat dari aspek asal komoditi, tarif terbagi menjadi dua macam (Salvatore,1997) : 1. Tarif impor, adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi
yang diimpor dari negara lain.
2. Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor. Sementara bila ditinjau dari mekanisme perhitungannya, tarif terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. 2. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang
diimpor.
3. Tarif campuran adalah gabungan antara tarif ad valorem dengan tarif spesifik.
Dampak-dampak pemberlakuan tarif terhadap tingkat produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di sebuah negara kecil yang hubungan dagang atau kekuatan ekonominya terbatas sehingga tidak mampu memengaruhi harga yang berlaku di pasaran internasional dapat dijelaskan melalui analisis keseimbangan umum. Ketika sebuah negara kecil memberlakukan tarif terhadap barang-barang impornya, yang berubah hanya harga barang tersebut di pasar domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus menghadapi segala implikasi kenaikan harga itu adalah konsumen dan produsen di negara kecil yang bersangkutan.
Walaupun setiap produsen dan konsumen menghadapi kenaikan harga komoditi impor meningkat sebesar tarif yang dikenakan, namun harganya bagi perekonomian negara kecil secara keseluruhan tetap konstan, karena kenaikan harga akibat tarif itu diimbangi oleh terciptanya pemasukan pajak bagi pemerintah.
Gambar 2.2 menggambarkan bagaimana dampak-dampak keseimbangan umum yang dihasilkan dari pemberlakuan tarif di
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 16
sebuah negara kecil seperti Indonesia. Negara kecil dimaksudkan sebagai negara yang tidak memiliki kekuatan untuk memengaruhi harga di pasar dunia.
Gambar 2.2 Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari
Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil Sumber: Nicholson (1994)
Pada Px/Py = 1 di pasar dunia, negara 2 akan berproduksi di
titik B dan berkonsumsi di titik E. Namun ketika pemerintah negara 2 mengenakan tarif ad valorem (sekian persen dari nilai impor harus dibayarkan pengimpor ke kas negara sebagai pajak) sebesar 100 persen terhadap komoditi X, harga komoditi tersebut bagi para konsumen dan produsen domestik langsung melonjak menjadi Px/Py
= 2, sehingga para produsen domestik di negara 2 akan terdorong untuk berproduksi di titik F. Itu berarti negara 2 akan mengekspor 30Y, dan mengimpor 30X; separuh diantaranya, yakni GH atau 15X, akan langsung terarah ke konsumen domestik, sedangkan selebihnya, yakni HH’ yang juga bernilai 15X, akan menjelma sebagai pendapatan pajak bagi pemerintah yang bersumber dari pengenaan tarif ad valorem 100 persen terhadap komoditi X yang diimpor. Karena kita berasumsi bahwa pemerintah negara 2
140 - 120 - 85 - 60 - 55 - 40 - I 40 I 80 I 65 I 100 I 95 X Y 0 A F B H’ E II III PF = 2 PW = 1 G H
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 17
menggunakan kebijakan tarif tersebut dalam rangka meredistribusikan pendapatan yang diperolehnya bagi warganya (agar beban pajak mereka tidak terlalu besar), maka tingkat konsumsi setelah tarif dikenakan akan bergeser ke kurva indiferen II’, tepatnya di titik H’ (titik berpotongan antara dua garis putus-putus). Itu berarti, tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik E) dalam perdagangan bebas lebih tinggi ketimbang tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik H’) yang ada setelah tarif tersebut diberlakukan.
Kesimpulan pokok dari penjelasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dengan adanya tarif, tingkat kesejahteraan negara yang bersangkutan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kondisinya di masa perdagangan bebas. Hal ini dibuktikan dengan bergesernya konsumsi dari titik E ke titik H’ yang terletak pada kurva indiferen yang lebih rendah daripada sebelumnya. 2. Penurunan kesejahteraan bersumber dari dua sebab: (a)
Perekonomian tidak lagi berproduksi pada titik yang memaksimumkan nilai pendapatan dan harga dunia. (b) Konsumen tidak dapat lagi berkonsumsi pada kurva indiferen tertinggi yang memaksimumkan kesejahteraan. Baik (a) maupun (b) diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen dan produsen domestik menghadapi harga yang berbeda dengan harga dunia. Penurunan kesejahteraan (the loss in welfare) terjadi karena kegiatan produksi yang tidak efisien. Hal ini merupakan kondisi (a) padanan keseimbangan umum dari kerugian akibat produksi (production distortion loss) yang telah dijelaskan dalam pendekatan keseimbangan parsial. Penurunan kesejahteraan sebagai akibat dari konsumsi yang tidak efisien juga merupakan (b) padanan dari kerugian akibat konsumsi (consumption distortion loss).
3. Volume perdagangan mengalami kemerosotan dengan adanya tarif. Volume serta nilai-nilai ekspor dan impor sama-sama turun
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 18
segera setelah dilaksanakannya pengenaan tarif itu dibandingkan dengan sebelumnya ketika perdagangan masih berlangsung secara bebas.
Semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin besar kerugian yang timbul. Pengenaan tarif yang terlalu besar akan mendorong perekonomian yang bersangkutan menuju kondisi autarki (semua komoditi dibuat sendiri, dan perdagangan internasional lenyap). Tarif impor yang mematikan perdagangan internasional ini biasa disebut dengan tarif prohibitif (prohibitive tariff). Tarif yang terlalu tinggi akan memaksa suatu perekonomian terus-menerus berproduksi dan berkonsumsi di titik A, dan jelas merugikan negara itu sendiri.
2.3.2 Hambatan Perdagangan Non-tarif
Salah satu bentuk hambatan perdagangan internasional non-tarif adalah kuota impor. Kuota adalah pembatasan secara langsung jumlah fisik terhadap barang yang masuk (kuota impor) dan keluar (kuota ekspor). Pemberlakuan kuota impor memberikan dampak-dampak terhadap konsumsi dan produksi seperti yang ditimbulkan oleh penerapan tarif impor yang setara. Penyesuaian terhadap setiap pergeseran dalam kurva permintaan atau kurva penawaran sehubungan dengan adanya kuota impor akan terjadi pada harga-harga domestik. Sedangkan jika yang diberlakukan adalah tarif impor, maka penyesuaian tersebut akan terjadi pada kuantitas impor. Secara umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif impor yang setara. Kuota impor biasanya dikenakan terhadap bahan mentah sebagai barang perdagangan penting serta di bawah suatu pengawasan badan internasional.
Hambatan kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca pembayaran pembayaran yang defisit. Pemberlakuan hambatan non-tarif akan meningkatkan harga produk sehingga pada dasarnya proteksi terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi produsen namun merugikan bagi konsumen
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 19
dan pada akhirnya akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore 1997).
Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan akan memengaruhi kesejahteraan (welfare). Wall (1999) mendeskripsikan dampak pembatasan impor dalam analisis keseimbangan parsial dengan mengilustrasikan supply dan demand
suatu negara seperti terlihat dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Dampak Kebijakan Pembatasan Impor Terhadap Kesejahteraan
Sumber: Wall (1999)
Jika terjadi perdagangan bebas, barang yang diimpor akan berada pada harga dunia yaitu Pw. Negara akan mengkonsumsi sebesar QD0 dan produksi sebesar QS0. Jumlah yang akan diimpor
dari negara lain sebesar QD0-QS0. Ketika ada proteksi impor maka
harga akan meningkat menjadi PM?. Sehingga negara tersebut akan
produksi sebesar QS1 dan jumlah impor akan berkurang menjadi QD1
-QS1. Konsumen akan dirugikan karena menanggung harga yang
lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan harga tinggi. Surplus kondumen akan berkurang sebesar area A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen yang ditransfer ke produsen. Area B dan D adalah Dead Weight Loss
(DWL) yang merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif karena
Pp pp Kuantitas s PW QS0 A B C D S D QS1 QD1 QD0 Harga
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 20
pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini diukur sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan pemerintah yang berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare loss to economy. Penerimaan dapat meningkat melalui penjualan lisensi kuota sehingga dengan menggunakan θ yang mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C.
Berbagai macam restriksi atau hambatan non-tarif itu telah menggantikan peranan tarif di masa sebelumnya, ini merupakan ancaman bagi kelangsungan dan perkembangan perdagangan internasional yang bebas. Penggunaan hambatan perdagangan ini pada intinya bertentangan dengan semangat pasar bebas (liberalisasi) yang diusung WTO. Indonesia sebagai salah satu anggota WTO harus bisa melakukan pengelolaan hambatan impor agar dapat menjaga kepentingan nasionalnya, terutama yang terkait dengan kesehatan, keamanan, keselamatan lingkungan dan moral bangsa.
2.4 Pengkajian Sebelumnya
2.4.1 Pengkajian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2012) Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2012) telah mengadakan Pengkajian untuk mengidentifikasi kriteria ideal penetapan pelabuhan yang ditetapkan sebagai pintu masuk impor produk hasil industri dan pertanian/hortikultura, menganalisis kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan ditetapkan dengan sentra produksi dan sentra industri dan potensi dampak ekonomi dari kebijakan penetapan pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu masuk impor produk hasil industri dan pertanian/ hortikultura. Hasil Pengkajian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2012) menyimpulkan bahwa beberapa kriteria utama yang dapat dijadikan rujukan sebagai pintu masuk impor produk industri/ hortikultura adalah (1) Kriteria keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 21
Pelabuhan, (2) kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia, (3) kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut, (4) kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal , dan (5) kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Kemudian, Pengkajian tersebut menyimpulkan bahwa secara umum pelabuhan-pelabuhan tertentu untuk pintu masuk impor produk industri dan pertanian/ hortikultura (seperti pelabuhan Batam, Belawan, Tanjung Perak, Soekarno-Hatta, dan Bitung) telah memenuhi standar pada kriteria prioritas pertama (Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan) dan kriteria prioritas kedua (Ketersediaan Sumberdaya Manusia), akan tetapi pelabuhan-pelabuhan tersebut belum mampu memenuhi standar kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut dan kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal dan kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut.
Berdasarkan analisis kesesuaian Penentuan Pelabuhan yang akan Ditetapkan dengan Sentra Produksi dan Sentra Industri, maka wilayah yang sangat sensitif dijadikan pintu masuk impor buah-buahan dan sayuran segar berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 89 Tahun 2011 adalah Tanjung Perak (Jawa Timur) dan Belawan (Sumatera Utara) karena kedua wilayah tersebut merupakan produsen utama yang menempati wilayah produsen terbesar kedua dan ketiga dari produksi buah-buahan dan sayuran segar di Indonesia. Apabila dilihat dari data nilai sensitivitas terhadap daya saing produk lokal, maka pelabuhan dengan nilai sensitivitas tinggi adalah Batam (Riau), Belawan (Sumut) dan Tanjung Perak (Surabaya). Dua pelabuhan lainnya yaitu Bitung (Manado) dan Sukarno Hatta (Makasar), nilai sensitivitasnya medium sehingga diperkirakan tidak memberikan dampak negatif yang besar terhadap daya saing produk lokal.
Penetapan pelabuhan-pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan, Tanjung Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado) sebagai pintu masuk produk-produk hortikultura dan
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 22
industri perlu adanya perbaikan di seluruh willayah pelabuhan tersebut adalah peningkatan daya saing produk lokal.
Kebijakan penetapan pelabuhan-pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk impor Hortikultura dan produk industri ini diperkirakan tetap dapat memberikan dampak positif secara nasional. Oleh karena itu, pengimplementasian secara efektif, pengevaluasian secara periodik, penyempurnaan dan memperkuat dengan peraturan-peraturan lainnya dalam rangka meningkatkan efektifitas dan meningkatkan daya saing produk-produk hortikultura dan industri lokal. Di samping itu, peraturan perdagangan yang lain dalam bentuk non-tariff barriers, antara lain persyaratan sertifikat halal dan keamanan pangan untuk produk-produk makanan dan minuman, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib, dan pemberian ijin impor yang lebih selektif.
2.4.2 Pengkajian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2013) Terkait dengan surat Gubenur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) No. 513/3299 yang memohon agar Pelabuhan Krueng Geukueh di Aceh Utara dan Pelabuhan Kuala Langsa dapat dijadikan sebagai pelabuhan impor produk tertentu dengan harapan dapat mempercepat pertumbuhan perekonomian, menekan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan inflasi di NAD. Untuk menganalisis kesesuaian Pelabuhan Krueng Geukueh dan Pelabuhan Langsa sebagai pelabuhan impor produk tertentu dan menganalisis dampak ekonomi dan dampak hukum dari penetapan Pelabuhan Krueng Geukueh dan Pelabuhan Langsa sebagai pelabuhan impor produk tertentu, maka Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri melakukan Analisis Usulan Impor Produk Tertentu Melalui Pelabuhan Krueng Geukueh Aceh Utara dan Pelabuhan Kuala Langsa.
Berdasarkan analisis baik dari kriteria penentuan kelayakan pelabuhan sebagai pelabuhan ekspor impor dan aspek ekonomi dapat disimpulkan bahwa secara umum pelabuhan Krueng Geukueh
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 23
telah memenuhi seluruh aspek yang dipersyaratkan dalam penyelenggaraan Pelabuhan laut dibandingkan pelabuhan Kuala Langsa. Meskipun ekspor Indonesia yang melewati pelabuhan Krueng Geukueh mengalami penurunan rata-rata sebesar 20,6% per tahun, ekspor Indonesia melalui Pelabuhan Krueng Geukueh pada periode Januari-Februari 2013 sebesar USD 2,2 juta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ekspor melalui pelabuhan Kuala Langsa sebesar USD 14,4 ribu pada periode yang sama. Sementara itu, nilai Impor Indonesia melalui pelabuhan Krueng Geukueh selama tahun 2012 mencapai USD 25,2 juta sedangkan pelabuhan Kuala Langsa selama tahun 2012 mencapai USD 3,1 juta. Hasil Pengkajian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2013) mengusulkan produk impor yang dapat masuk melalui pelabuhan Krueng Geukeh adalah produk Makanan Minuman dan Pakaian Jadi.
2.4.3 Pengkajian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2014) Analisis Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (2014) menyimpulkan bahwa pelabuhan Bitung Sulawesi Utara dapat dibuka dan ditetapkan sebagai pelabuhan impor Produk tertentu karena pelabuhan Bitung telah memenuhi 5 (lima) aspek persyaratan pelabuhan terbuka bagi perdagangan ekspor-impor sebagaimana kriteria aspek persyaratan penyelenggaraan Pelabuhan Laut sebagai pelabuhan Ekspor-Impor dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 54 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut dan merekomendasikan agar pelabuhan Bitung Sulawesi Utara dapat dibuka dan ditetapkan sebagai pelabuhan impor Produk tertentu dengan dasar pertimbangan bahwa pelabuhan Bitung telah memenuhi 5 (lima) aspek persyaratan pelabuhan terbuka bagi perdagangan ekspor-impor. Produk Tertentu yang diusulkan untuk dapat diizinkan masuk melalui pelabuhan Bitung adalah produk Makanan dan Minuman, Pakaian Jadi, dan Elektronika yang diharapkan tidak hanya dapat
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 24
memenuhi kepentingan masyarakat Sulawesi Utara tetapi juga Kawasan Indonesia Timur (seperti Papua Barat dan Maluku).
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 25 BAB III
METODE PENGKAJIAN
3.1 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam Pengkajian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif untuk digunakan untuk menganalisis dampak penetapan kebijakan impor produk Minuman Beralkohol Melalui pelabuhan Tertentu terhadap struktur dan kinerja impor produk Minuman Beralkohol Indonesia, dampak penetapan alokasi impor produk Minuman Beralkohol Melalui Pelabuhan Tertentu terhadap kinerja impor produk Minuman Beralkohol Indonesia, dan potensi dampak penetapan pelabuhan lainnya sebagai pelabuhan tertentu.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam Pengkajian ini adalah penggunaan kuesioner, wawancara, dan survei lapangan, dan diskusi terbatas guna mengetahui dan menganalisis lebih mendalam, termasuk penilaian terhadap dampak dan manfaat kebijakan impor produk Minuman Beralkohol melalui pelabuhan tertentu.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam Pengkajian ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu data primer dan sekunder. Adapun data primer dikumpulkan melalui diskusi terbatas dan survei lapangan, wawancara serta hasil penyebaran kuesioner kepada responden yang merupakan pemangku kepentingan terkait di Provinsi Banten, Provinsi Bali, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Survei dan diskusi terbatas memiliki tujuan untuk mendapatkan konfirmasi atas desk research. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari berbagai publikasi yang diterbitkan oleh berbagai instansi (Badan Pusat Statistik Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, dan lainnya
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 26 BAB IV
GAMBARAN UMUM TINGKAT PRODUKSI, KONSUMSI DAN PERDAGANGAN PRODUK MINUMAN BERALKOHOL INDONESIA
4.1 Kinerja Produksi Industri Minuman Beralkohol Indonesia
Industri minuman beralkohol adalah salah satu bidang usaha yang tertutup mutlak untuk penanaman modal di Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan pada tanggal 24 April 2014. Dalam Perpres No. 39 Tahun 2014 tersebut industri minuman mengandung alkohol yang menjadi bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal dan tertutup bagi penanaman modal asing secara langsung, meliputi industri minuman keras (KBLI 11010), industri anggur dan sejenisnya (KBLI 11020), dan industri minuman mengandung malt (KBLI 11030). Kebijakan mengenai penanaman modal tersebut tidak jauh berbeda dengan Perpres No. 36 Tahun 2010.
Dengan kebijakan ketertutupan penanaman modal tersebut, jumlah perusahaan dalam industri minuman beralkohol di Indonesia adalah tetap selama tahun 2010-2013. Perubahan yang terjadi pada industri minuman alkohol di Indonesia tersebut hanya bersifat perubahan dalam komposisi jumlah unit usaha. Pada tahun 2013 jumlah unit usaha yang terdapat di dalam industri Minuman Beralkohol Indonesia sebanyak 19 unit usaha yang terdiri dari 14 unit usaha industri minuman keras dan 5 unit usaha industri anggur dan sejenisnya. Pada tahun sebelumnya industri minuman keras memiliki 15 unit usaha sedangkan industri anggur dan sejenisnya memiliki 4 unit usaha (Gambar 4.1).
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 27 Gambar 4.1 Perkembangan Jumlah Perusahaan dalam Industri
Minuman Beralkohol Indonesia Tahun 2010-2013 Sumber: Kementerian Perindustrian (2016), diolah Puska Daglu
Dari segi utilisasi produksi, utilisasi industri minuman keras dan industri minuman anggur dan sejenisnya masih berada di bawah kapasitas industri. Utilisasi produksi industri minuman anggur dan sejenisnya Indonesia selama tahun 2010-2013 berkisar di antara 70,5 persen sampai dengan 84,5 persen sedangkan utilisasi produksi industri minuman keras berada di antara 62,4 persen sampai dengan 65,6 persen (Gambar 4.2). Tingginya utilisasi produksi pada industri minuman anggur dan sejenisnya lebih dipicu oleh meningkatnya produktivitas pada industri tersebut sedangkan peningkatan utilisasi produksi pada industri minuman keras didorong oleh naiknya jumlah unit usaha dalam industri tersebut.
13 12 15 14 5 7 4 5 18 19 19 19 2010 2011 2012 2013
Industri Minuman Keras Anggur dan sejenisnya Industri Minuman Keras dari Malt dan Malt Total
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 28 Gambar 4.2 Perkembangan Utilisasi Industri Minuman Beralkohol
Indonesia Tahun 2010-2013 Sumber: Kementerian Perindustrian (2016), diolah Puska Daglu
Sejalan dengan peningkatan jumlah unit usaha dan utilisasi produksi pada industri minuman beralkohol Indonesia, nilai output industri minuman beralkohol juga mengalami kenaikan rata-rata sebesar 65,2 persen seperti yang tercantum dalam Tabel 4.1. Nilai output industri minuman beralkohol Indonesia pada tahun 2010 mencapai Rp 1,4 triliun dimana industri minuman keras menghasilkan output senilai Rp 1,3 triliun dan industri minuman anggur dan sejenisnya menghasilkan output senilai Rp 0,1 triliun. Pada tahun 2013 nilai output industri minuman beralkohol Indonesia mengalami lonjakan yang signifikan dari semula sebesar Rp 2,0 triliun menjadi Rp 5,8 triliun. Kenaikan yang signifikan pada nilai output di industri minuman keras serta industri minuman anggur dan sejenisnya menjadi penyebab utama kenaikan nilai output industri minuman beralkohol di Indonesia. Nilai output industri minuman keras pada tahun 2012 yang berkisar Rp 1,9 triliun, naik sekitar 177 persen hingga menjadi Rp 5,4 triliun pada tahun 2013. Sementara itu, nilai output pada industri minuman anggur dan sejenisnya pada tahun 2013 naik menjadi 4,4 kali lipat dari tahun 2012 hingga menjadi Rp 0,4 triliun.
62.8% 62.8% 65.6% 62.4% 70.5% 76.5% 60.5% 84.5% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 2010 2011 2012 2013
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 29 Tabel 4.1 Perkembangan Nilai Output Industri Minuman Beralkohol
Indonesia Tahun 2010-2013
Sumber: Kementerian Perindustrian (2016), diolah Puska Daglu
Tidak jauh berbeda dengan perkembangan nilai output, nilai produksi industri minuman beralkohol di Indonesia juga cenderung meningkat sebesar 31,8 persen per tahunnya (Tabel 4.2). Pertumbuhan nilai produksi industri minuman beralkohol Indonesia dipicu oleh tingginya pertumbuhan nilai produksi pada industri minuman anggur dan sejenisnya sebesar 42,3 persen dan industri minuman keras sebesar 30,8 persen.Nilai produksi industri minuman beralkohol Indonesia pada tahun 2010 mencapai Rp 1,4 triliun, naik menjadi Rp 2,9 triliun pada tahun 2013.
Ditinjau dari kontribusinya, industri minuman keras adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan nilai produksi industri minuman beralkohol di Indonesia. Nilai produksi industri minuman keras Indonesia pada tahun 2013 mencapai Rp 2,5 triliun atau sekitar 84,8 persen dari nilai produksi industri minuman beralkohol pada tahun tersebut. Sekitar 15,2 persen dari nilai produksi industri minuman beralkohol Indonesia pada tahun yang sama adalah nilai produksi dari industri minuman anggur dan sejenisnya.
Nilai Output (Milyar Rp)
2010
2011
2012
2013
Trend (%)
'2010-2013
Minuman keras
1,281.7
784.5
1,945.2
5,387.5
68.5
Minuman Anggur dan sejenisnya
111.6
219.3
104.2
462.2
42.2
Minuman Keras dari Malt dan Malt
0.0
0.0
0.0
0.0
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 30 Tabel 4.2 Perkembangan Nilai Produksi Industri Minuman Beralkohol
Indonesia Tahun 2010-2013
Sumber: Kementerian Perindustrian (2016), diolah Puska Daglu
Seiring dengan peningkatan permintaan dan banyaknya produsen minuman beralkohol yang telah mencapai kapasitas produksi maksimum, perusahaan industri minuman beralkohol yang telah ada di Indonesia diizinkan untuk meningkatkan kapasitas produksinya sebagaimana Peraturan Menteri Perindustrian No. 63/M-IND/PER/7/2014. Pada akhir tahun 2014 perusahaan industri minuman beralkohol terdepan, Multi Bintang, telah menyelesaikan pembangunan pabrik ketiga di Jawa Timur dan dengan adanya pabrik baru tersebut menambah kapasitas produksi sekitar 500 ribu hektoliter.
4.2 Kinerja Konsumsi Produk Minuman Beralkohol Indonesia
WHO (2014) mencatat konsumsi produk minuman beralkohol per kapita oleh penduduk yang berusia 15 tahun ke atas di dunia cenderung meningkat selama tahun 2006-2010. Peningkatan tren konsumsi minuman beralkohol selama 5 tahun tersebut terjadi di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat, sementara tingkat konsumsi minuman beralkohol yang stabil terjadi di kawasan Afrika dan Amerika (Gambar 4.3).
Nilai Produksi (Milyar Rp)
2010
2011
2012
2013
Trend (%)
'2010-2013
Minuman keras
1,279.0
778.7
1,617.2
2,454.8
30.8
Minuman Anggur dan sejenisnya
107.6
211.9
106.3
439.0
42.3
Minuman Keras dari Malt dan Malt
0.0
0.0
0.0
0.0
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 31 Gambar 4.3 Perkembangan Konsumsi Produk Minuman Beralkohol
Per Kapita Penduduk Berusia Di Atas 15 Tahun Sumber: WHO (2014)
Pada tahun 2010 setiap orang di dunia ini yang memiliki umur 15 tahun ke atas mengkonsumsi rata-rata sekitar 6,2 liter produk minuman alkohol murni per tahunnya. Kurang dari setengah populasi dunia (38,3 persen) benar-benar meminum alkohol, hal ini berarti bahwa mereka mengkonsumsi produk minuman beralkohol murni rata-rata 17 liter per tahunnya. Secara global, kawasan Eropa adalah wilayah dengan konsumsi tertinggi produk minuman beralkohol per kapita di dunia, dengan beberapa negara seperti Belarus, Republik Moldova, Federasi Rusia memiliki tingkat konsumsi minuman alkohol yang sangat tinggi.
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 32 Gambar 4.4 Perkembangan Konsumsi Produk Minuman Beralkohol
Per Kapita Penduduk Berusia Di Atas 15 Tahun, 2010 (Dalam Liter)
Sumber: WHO (2014)
Tingkat konsumsi produk Minuman Beralkohol di Indonesia selama tahun 2006-2010 berdasarkan data WHO (2014) menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan sebagaimana yang terlihat dalam Gambar 4.3 dan Gambar 4.5. Tingkat konsumsi produk minuman beralkohol oleh penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas sendiri pada tahun 2010 tercatat sebesar 0,6 liter alkohol murni per kapita per tahun. WHO (2014) memprediksi konsumsi total produk Minuman Beralkohol Indonesia pada tahun 2015, 2020, dan 2025 tidak jauh berbeda dengan kondisi pada tahun 2010, yakni tingkat konsumsi diprediksikan tetap berkisar 0,6 liter per kapita per tahun.
Gambar 4.5 Konsumsi Minuman Beralkohol Indonesia Per Kapita (Penduduk Berusia Di Atas 15 Tahun) Tahun 1961-2010 Sumber: WHO (2014)
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 33
Tingkat konsumsi produk minuman beralkohol oleh penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas sendiri pada tahun 2008-2010 tercatat sebesar 0,6 liter alkohol murni per kapita per tahun. Jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi minuman beralkohol di negara ASEAN lainnya, tingkat konsumsi minuman beralkohol Indonesia termasuk relatif lebih rendah karena tingkat konsumsi minuman produk Minuman Beralkohol di kawasan Asia Tenggara rata-rata sebesar 3,5 liter alkohol murni per kapita per tahunnya (Tabel 4.3). Brunei Darussalam dan Malaysia yang juga mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki angka tingkat konsumsi produk minuman beralkohol yang lebih tinggi daripada Indonesia (Tabel 4.4).
Tabel 4.3 Tingkat Konsumsi Minuman Beralkohol Perkapita
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 34 Tabel 4.4 Tingkat Konsumsi Minuman Beralkohol Perkapita
Sumber: WHO (2014)
Dari catatan WHO (2014), tingkat konsumsi produk minuman beralkohol di Indonesia lebih didominasi oleh pria dibandingkan perempuan, dengan rata-rata konsumsi minumanerberalkohol sebesar 1,1 liter per kapita per tahunnya pada tahun 2010. Produk minuman beralkohol yang dikonsumsi oleh penduduk perempuan Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas berkisar 0,1 liter per kapita per tahun.
PUSKA DAGLU, BPPP, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 35 Tabel 4.5 Tingkat Konsumsi Minuman Beralkohol Perkapita Indonesia
Sumber: WHO (2014)
Berdasarkan data WHO (2014) yang hanya menghitung konsumsi per kapita produk minuman beralkohol oleh peminum alkohol saja, bukan peminum dikecualikan. Konsumsi per kapita penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas dan merupakan peminum pada tahun 2010 tercatat sebesar 7,1 liter per tahun. Bila dilihat menurut gender, konsumsi alkohol peminum pria sebesar 9,4 liter per kapita per tahun sedangkan perempuan 1,7 liter per kapita per tahun. Bila dilihat dari jenis minuman beralkohol yang dikonsumsi, sekitar 84,5 persen dari peminum alkohol Indonesia yang tercatat pada tahun 2010 memilih produk bir (beer), 15,3 persen memilih alkohol (spirits), dan 0,1 persen memilih produk minuman anggur (wine) (WHO, 2014).
Tabel 4.6 Tingkat Konsumsi Minuman Beralkohol Perkapita Indonesia, Hanya Peminum Tahun 2010
Sumber: WHO (2014)
Hasil Survei Konsumsi Makanan Individu: Studi Diet Total 2014 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (2014) menyimpulkan bahwa proporsi konsumsi minuman beralkohol oleh penduduk Indonesia pada