PERKAWINAN SEJENIS (HOMOSEKSUAL) DALAM
PERSEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM
(STUDI KASUS DI DESA SAMBONGREJO KECAMATAN
SUMBERREJO KABUPATEN BOJONEGORO)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
Farikhatul Ulya
NIM : 21213001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI
’
AH
MOTTO
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
➢
Kedua orang tuaku Bapak Salim dan Ibu Intini yang telah mencurahkan
seluruh kasih sayangnya kepadaku, merawatku hingga aku dewasa,
memberikan dukungan dan do’anya tanpa henti padaku.
Terimakasih atas
kesabaran dan kasih sayang yang kalian berikan untukku selama ini.
➢
Kepada adikku Muhamad Alfian Nur Hafid yang telah menjadi
KATA PENGANTAR
Ya Allah, dzat yang maha segalanya. Alhamdulillahi robbil’alamin, segala
puji dan Syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Taufiq serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Perkawinan Sejenis (Homoseksual) dalam Persektif HAM
Dan Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo
Kabupaten Bojonegoro)”
Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi utusanMu Muhammad
Rasul KekasihMu sang pembawa risalah Uswatun Khasanah beserta keluarga dan
para sahabatnya. Mudah-mudahan kita diakui sebagai umatnya dan mendapat
syafaat di yaumul qiyamah kelak.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dan tugas untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga. Skripsi ini berjudul “Perkawinan Sejenis (Homoseksual) dalam Perspektif
HAM Dan Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Sambongrejo Kecamatan
Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro)”
Penulis skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari
berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
3. Bapak Syukron Ma’mun, M.Si. Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Islam IAIN Salatiga
4. Ibu Luthfiana Zahriani, S.H, M.H. Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu
pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Karyawan-karyawati IAIN Salatiga yang telah memberikan layanan serta
bantuan.
7. Kedua orang tua saya yang telah mengasuh, mendidik, membimbing
penulis, baik moral maupun spiritual.
8. Bapak H.Sulastam Kepala Desa Sambongrejo beserta stafnya yang telah
memberikan ijin penelitian di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo.
9. Bapak dan Ibu yang ada di Desa Sambongrejo yang telah bersedia menjadi
responden dalam penelitian ini.
10.Januri Sudjak S.Pd, Indhah Setiawati S.Psi dan Eni Daryani S.Pd
terimakasih atas motivasi yang selalu diberikan kepadaku, yang banyak
mengajarkanku tentang kehidupan.
11.Kakak-kakakku Alfyatul Jamilah, Siti Nilna Faizah, Lynda Fitri Ariyanti,
Nova Rodiana, dan Syaiful Aziz yang selalu ada untukku, memberikan
menjadi orang tua keduaku. Sungguh aku sangat bersyukur dipertemukan
dengan seseorang yang luar biasa seperti kalian.
12.Untuk jagoan-jagoan kecilku Azkal Azkiya, Rahayu Ajeng, dan Rayyan
Hayyan Al Ayyubi kalian adalah semangat baru untuk kami semua.
13.Bunda-bunda PAUD Wafdaa Kids Center yang sudah banyak
mengajarkanku tentang banyak hal, memberiku sebuah keluarga baru yang
penuh kebahagian.
14.Untuk sahabatku tercinta, Aida Berliana Cahyaningrum Arifin yang selalu
siap sedia dalam keadaan apapun, Rangga Pradikta, Rimanur Sa’diyah,
Fatkur Fanni, Mita Alfira R, Agus Ali Lutfvi M, Budi Waluyo, dan Dwi
Ariyanto. Bersyukur dapat bersahabat dengan kalian para manusia yang luar
biasa.
15.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna
bagi penulis khususnya serta para pembaca pada umumnya.
Salatiga, 20 September 2017
ABSTRAK
Ulya, Farikhatul. 2017. Perkawinan Sejenis Dalam Perspektif HAM Dan Hukum
Islam (Studi Kasus Di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo
Kabupaten Bojonegoro). Fakultas Syari’ah. Program Studi Hukum
Keluarga Islam. Instutut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing Luthfiana Zahriani, S.H, M.H.
Kata kunci: pernikahan sejenis, pasal 10 undang-undang Hak Asasi Manusia dan Hukum islam.
Penikahan menurut hukum Islam merupakan ketentuan yang mengikat setiap muslim. Pernikahan yang sah dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Seiring dengan modernitas zaman yang mengalami perubahan merupakan bagian dari teori stimulus value role yang menjelaskan bahwa perkawinan terjadi karena situasi yang bebas.Salah satu kebebasan perkawinan yang dimaksud adalah kebebasan perkawinan sesama jenis sebagaimana yang terjadi di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro. Hal ini ketika dikaitkan dengan HAM dan hukum dalam islam, apakah sesuai dengan ketentuan hukum yang terkadung dalam undang-undang HAM dan Hukum Islam. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui lebih dalam Bagaimana pelaksanaan perkawinan sejenis di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegroro, Bagaimana sikap dan upaya pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh Agama, dan Kantor Urusan Agama pada pasangan perkawinan Homoseksual di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro, serta Bagaimana perspektif HAM dan hukum islam terhadap pasangan perkawinan Homoseksual di desa Sambongrejo kecamatan Sumberejo kabupaten Bojonegoro.
Metode yang dilakukan adalah metode kualitatif. Peneliti menggunakan penelitian lapangan (field research), dan pendekatan yuridis sosiologis. Data yang ingin diperoleh adalah adanya pasangan laki-laki dengan laki-laki homoseksual
dalam sebuah pernikahan studi kasus di Desa Sambongrejo Kec. Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro. Informan berjumlah dua pasang pelaku pernikahan sejenis. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan interview (wawancara) kemudian data ditranskip menjadi data yang lengkap.
Hasil yang diperoleh dari penelitian adalah bahwa pasangan perkawinan sejenis (homoseksual) yang ada di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro tidak melangsungkan pernikahan tetapi mereka memilki
Adapun upayanya hanya menasehati. Sedangkan Pihak KUA Kecamatan Sumberrejo tidak melayani pernikahan sejenis, pihak KUA berupaya melakukan pendekatan persuasif kepada pasangan perkawinan sejenis yang ada di desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro tersebut dengan dibantu oleh P3N setempat dengan menjelaskan kepada pasangan sejenis tersebut bahwa perkawinan sesama jenis tidak dapat dilegalkan di negara Indonesia dan dilarang dalam hukum Islam.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING….………. ii
HALAMAN PENGESAHAN.……… iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN………. iv
HALAMAN MOTO………...………. v
HALAMAN PERSEMBAHAN………..……… vi
KATA PENGANTAR………. vii
ABSTRAK……….. ix
DAFTAR ISI………... xi
BAB. I : PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah……….. 1
B. Rumusan Masalah.……….... 5
C. Tujuan Penelitian ………. 6
D. Kegunaan Penelitian ………... 6
E. Penegasan Istilah ……….. 7
F. Kajian Pustaka……….. 9
G. Metode Penelitian ……….... 11
H. Sistematika Penulisan BAB. II : KAJIAN TEORI A. Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Islam……….. 19
B. Perkawinan sejenis menurut UU No 1 Tahun 1974………….. 30
C. Perkawinan sejenis menurut UU No. 39 tahun 1999 33 BAB. III : HASIL PENELITIAN A. Gambaran umum desa Sambongrejo Kec. Sumberrejo Kab. Bojonegoro……….. 45 1.Letak Geografis desa Sambongrejo………... 45
2.Struktur organisasi desa Sambongrejo………. 46
B. Perkawinan Sejenis di Desa Sambongrejo Kec. Sumberrejo
Kab. Bojonegoro……….…..
51
1. Pasangan Karmin dan Mbak Chandra alias Ali 51
2. Pasangan Romi dan Mbak Harnik 55
BAB. IV : PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Perkawinan Sejenis di Desa Sambongrejo Kab.
Bojonegoro………
59
B. Sikap dan upaya pemeritah desa terhadap pasangan sejenis di
Desa Sambongrejo
61
5. Perkawinan sejenis dalam perspektif HAM dan Hukum islam 78
BAB. V : PENUTUP
A. Kesimpulan……… 96
B. Saran……….. 96
DAFTAR PUSTAKA………. 97
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam dengan perangkat ajarannya (syariat) telah mengatur manusia
dalam segala aspek kehidupan, dari masalah ubudiyah, muamalah, jinayah,
munakahat dan lain sebagainya. Dengan demikian syariat Islam adalah konsep
kehidupan yang komprehensip karena mencakup seluruh kehidupan manusia.
Salah satu dari ajaran Islam yaitu disyariatkannya perkawinan dengan
tujuan terwujudnya hubungan yang harmonis antara pasangan laki-laki dan
perempuan dalam satu wadah. Menikah merupakan sunnah agama. Perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluaga yang sakinah, mawadah,
warahmah, serta kekal berdasarkan keTuhanan yang Maha Esa(Anggota
IKAPI,2011: 76). Hukum perkawinan dalam Islam adalah hukum yang tidak
terlepas dari akidah dan akhlak Islami sehingga dalam perkawinan dapat
mewujudkan keluarga yang bertauhid dan berkakhlak. Sebagaimana dijelaskan
dalam Alquran surat Ar-Rum:21
hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikannya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya Yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang Yang berfikir”(Tohir, 2009: 406).
Dalam perkawinan mengandung nilai ubudiyah, karena itu menikah
merupakan satu ikatan yang kokoh “mitsaqaan gholidza” oleh karenanya
dalam memperhatikan keabsahannya adalah menjadi suatu kewajiban yang
prinsipil (Anshary, 2010: 10).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sangat
berpegang teguh kepada aturan-aturan yang diatur dalam hukum Islam,
walaupun tidak secara tegas mengatur tentang rukun perkawinan, tetapi
Undang-Undang tersebut menyerahkan persyaratan sahnya perkawinan kepada
ketentuan yang diatur oleh agama orang yang akan melangsungkan perkawinan
tersebut.
Namun demikian Undang-Undang tersebut mengatur tentang secara
jelas tentang syarat-syarat perkawinan. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam
secara jelas mengatur tentang rukun perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 14
yang secara keseluruhan sama seperti dengan yang ada dalam hukum Islam.
Keseluruhan rukun perkawinan tersebut menurut Amir Syarifudin mengikuti
fikih Syafi’i dengan tidak mengikutkan mahar dalam rukun nikah. Di dalam
hukum Islam rukun nikah terdiri dari:
a. Calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan
b. Wali dari calon mempelai perempuan
c. Dua orang saksi
Dalam rukun nikah diatas sudah jelas pernikahan sah jika dilakukan oleh
seorang laki-laki dengan perempuan, Allah SWT sudah merancang dengan
begitu indahnya bahwa setiap makhluk di dunia ini diciptakan untuk
berpasang-pasangan sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang
“ Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu Dengan Yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang Yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan Yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha mendalam pengetahuannya (akan keadaan dan amalan kamu)”
( Tohir, 2009: 516).
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.
Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara laki-laki
dengan perempuan (Salim, 2002: 61). Adapun faktor-faktor yang mendorong
seseorang untuk melakukan ikatan perkawinan yaitu:
1. Adanya saling suka dan menanggapi
2. Untuk melindungi kehormatan seseorang
3. Waktu dan uang
4. Adanya keterlibatan emosional
5. Adanya rasa aman.
Kelima faktor tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda tergantung
bagaimana adat istiadat masing-masing daerah. Yang pada intinya tujuan
Seiring dengan modernitas zaman yang mengalami perubahan
merupakan bagian dari teori stimulus value role yang menjelaskan bahwa
perkawinan terjadi karena situasi yang bebas dalam memilih akibat stimulus
ketertarikan fisik .
Salah satu kebebasan perkawinan yang dimaksud adalah kebebasan
perkawinan sesama jenis atau sering disebut dengan perkawinan gay atau
homoseksual. Perkawinan sejenis adalah perkawinan yang dilakukan oleh
pasangan yang memiliki jenis kelamin yang sama yaitu antara laki-laki dengan
laki-laki atau bisa juga perempuan dengan perempuan.
Namun di dalam kehidupan masyarakat hubungan seksual yang
menyimpang menjadi perhatian khusus yang dilakukan oleh beberapa orang.
perbuatan hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki yang disebut
dengan sodomi dan pelaku tersebut disebut dengan homoseksual serta
hubungan seksual yang dilakukan antara perempuan dengan perempuan
melalui oral seks yang pelakunya disebut dengan lesbian (Jurnal Cendekia
Vol.12 :69).
Akhir- akhir ini LGBT ( Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender)
banyak menjadi bahan perbincangan dalam masyarakat, antara pihak pro dan
kontra yang tak henti-hentinya berdebat mengenai gerakan LGBT ini serta
mengenai keabsahnnya dari berbagai sudut pandang baik dari segi budaya,
legalitas maupun segi agama.
Bagi mereka kaum lesbian, gay, biseksual dan transeksual meyakini
para tokoh seperti Professor Musdah Mulia Yang mendukung adanya
pernikahan sesama jenis. Menurut beliau menjadi seorang lesbian, gay,
biseksual, dan transgender adalah kodrati, dalam bahasa fikih disebut dengan
sunatulah.
Sebagaimana kasus perkawinan yang ada di desa Sambongrejo
kecamatan Sumberejo kabupaten Bojonegoro, dimana ada dua pasangan yang
memiliki jenis kelamin yang sama yaitu laki-laki dengan laki-laki yang
melakukan perkawinan. Berangkat dari latar belakang masalah diatas, penulis
tertarik untuk meneliti masalah tersebut ke dalam sebuah judul skripsi yang
berjudul PERKAWINAN SEJENIS (HOMOSEKSUAL) DALAM
PERSPEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM (studi kasus di Desa
Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan perkawinan sejenis di Desa Sambongrejo
Kecamatan Sumberrejo Kabupeten Bojonegoro?
2. Bagaimana sikap dan upaya pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh
Agama, dan kantor urusan agama (KUA) pada pasangan perkawinan
sejenis (Homoseksual) di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo
Kabupaten Bojonegoro?
3. Bagaimana perspektif HAM dan hukum Islam terhadap perkawinan sejenis
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan perkawinan sejenis (homoseksual) di Desa
Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.
2. Untuk mengetahui sikap dan upaya pemerintah desa, tokoh agama, dan
KUA pada pasangan perkawinan sejenis (Homoseksual) di Desa
Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.
3. Untuk mengetahui perspektif HAM dan hukum Islam terhadap pasangan
perkawinan sejenis (Homoseksual) di Desa Sambongrejo Kecamatan
Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat ataupun kegunaan penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wacana keilmuan
khususnya dalam bidang pengetahuan hukum dan juga menambah bahan
pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
2. Secara Praktis
a. Untuk KUA, agar KUA lebih meningkatkan sosialisasinya terhadap
masyarakat agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.
b. Untuk pengurus desa setempat, agar lebih memperhatikan warga
desanya dan memberikan sosialisasi agar kejadian tersebut tidak terjadi
c. Untuk jurusan syari’ah, sebagai tambahan referensi dan bahan kajian
serta memperkaya wawasan di bidang pernikahan.
E. Penegasan Istilah
Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda
dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah dalam
judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa disebut
dengan dua kata yaitu Nakaha (nikah) dan zawaj. Kedua kata-kata ini yang
dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat
dalam Alquran dan hadis Nabi. Sebagaimana dalam surat An-Nuur ayat 32:
“Dan kahwinkanlah orang-orang bujang (lelaki dan perempuan) dari kalangan kamu, dan orang-orang Yang soleh dari hamba-hamba kamu, lelaki dan perempuan. jika mereka miskin, Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari limpah kurniaNya kerana Allah Maha Luas (rahmatNya dan limpah kurniaNya), lagi Maha
mengetahui”. (Tohir, 2009: 354).
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
berbunyi:
“ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan yang maha
Esa”.
Dalam At- Tanzil Al-Hakim perkawinan disebutkan dalam dua
landasan pokok yaitu Landasan kedua adalah karena berdasarkan
ijtimaiyyah) hubungan seksual (mihwar Al-Alaqah Al- jinsiyyah).
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mu’minun ayat 5-7:
isterinya atau hamba sahayanya maka Sesungguhnya mereka tidak tercela:Kemudian, sesiapa Yang mengingini selain dari Yang
demikian, maka merekalah orang-orang Yang melampaui batas;”
2. Homoseksual
Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan seksual antara pelaku yang
memiliki jenis kelamin yang sama atau gender yang sama.
Homoseksualitas merupakan salah satu dari tiga kategori utama orientasi
seksual, bersama dengan biseksualitas, dan heteroseksualitas.
Istilah umum dalam homoseksualitas yaitu lesbian untuk perempuan
pecinta sesama jenis dan Gay untuk laki-laki pecinta sesama jenis.
Hubungan homoseksual setara dengan hubungan heteroseksual dalam
hal-hal penting secara psikologis. Hubungan ini telah dikagumi akan tetapi
menjadi hubungan yang dikutuk sepanjang sejarah. sejak abad ke -19 telah
ada gerakan menuju pengakuan akan keberadaan pelaku homoseksual
yang mencakup hak untuk pernikahan dan kesatuan sipil, hak adopsi dan
pengasuhan, hak kerja, hak untuk memberikan pelayanan militer, dan hak
untuk mendapatkan jaminan sosial kesehatan.
F. Kajian Pustaka
Judul skripsi Pandangan Hukum Islam Tentang Pernikahan Sesama
Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi Dan Perlindungan Kaum Homo Seksual
karya Fatchurrochman , dijelaskan bahwa sesuatu yang terjadi pada kaum
Homoseksual adalah sesuatu yang fitrah, sehingga masyarakat tidak perlu
mengucilkan dan seharusnya bersikap sebaliknya untuk mendukung segala
hak-hak kaum Homoseksual. Selain itu dijelaskan pula bahwa khoirul Adib
juga menyuarakan perubahan Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 yang menyatakan bahwa perkawinan harus antara laki-laki dan
perempuan.
Judul skripsi yang berjudul “Kawin Sesama Jenis Dalam Pandangan
Siti Musdah Mulia” karya Abdul Haq Syawqi, dalam karya skripsinya, Abdul
banyak membahas pemikiran tentang dukungan terhadap perkawinan sejenis
yang dikemukakan oleh tokoh Siti Musdah Mulia yang mendukung atas adanya
perkawinan sesama jenis. Alasan dibolehkannya perkawinan sejenis tersebut
adalah tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, salah satu berkah
Tuhan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sederajat tanpa memandang
etnis, kekayaan, posisi sosial, ataupun orientasi sosial baik antar lesbian
maupun non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan manusia hanya dibedakan
mengenai ketaatannya saja.
Artikel yang berjudul “ Suami-Suami Part I Dan Suami-Suami Part II”
karya Fe yang menjelaskan tentang kehidupan sehari-harinya sebagai seorang
yang menyukai pasangan sejenis. Dia menjelaskan bahwa perkawinan sejenis
masih pada tahapan marriage-like yaitu komitmen antara kedua pihak untuk
pasangan suami istri. pembagian peran dalam sebuah komitmen pernikahan
tidak didasari oleh jenis kelamin tapi bisa juga didasari oleh aspek lain.
Homoseksual Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Hukum Islam Studi
Komparatif Normatif karya Aziz Ramadhani menjelaskan tentang perbedaan
pandangan Homoseksual antara hukum Islam dengan hukum pidana dan
perbedaan dari segi pemberian hukuman bagi pelaku homoseksual.
Menurutnya perlindungan hukum terhadap hak asasi pihak-pihak yang menjadi
korban dalam KUHP masih kurang maksimal sedangkan dalam hukum pidana
Islam sudah maksimal. Jenis hukuman yang diberikan menurut KUHP dijatuhi
ancaman pidana 5 tahun sedangkan dalam hukum Islam bagi yang sudah
menikah dirajam sampai mati dan bagi yang belum menikah dipukul 100 kali.
Dari beberapa penelitian yang telah dikemukakan diatas yang menjadi
perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini tentang
perkawinan sejenis dalam perspektif Pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999
tentang HAM , hukum Islam dan menguraikan sikap dan upaya pemerintah,
tokoh masyarakat dan KUA setempat terhadap adanya perkawinan
homoseksual di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten
Bojonegoro.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk melakukan penelitian ini
adalah sebgai berikut:
Jenis penelitian yang digunakan penyusun adalah penelitian lapangan
(field research), yaitu penelitian dilakukan di objek penelitian yaitu di
Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro. Dan
menggunakan pendekatan yuridis sosiologis.
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini penyusun menggunakan penelitian yang bersifat
dreskriptif, yaitu memberikan penilaian terhadap perilaku sebagian warga
Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro yang
melakukan perkawinan sejenis. dan sikap pemerintah Desa Sambongrejo
kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro dengan adanya perkawinan
homoseksual.
3. Ruang Lingkup Penelitian
a. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah individu yang dijadikan sebagai sumber
informasi yang berkaitan dengan penelitian. Subyek penelitian pada
penelitian ini yaitu pihak yang melakukan perkawinan sejenis
(homoseksual) .
Obyek penelitian adalah fokus dari penelitian. objek penelitian
pada penelitian ini adalah para pihak yang melakukan perkawinan
sejenis (homoseksual).
c. Pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan
metode-metode sebagai berikut:
1.) Observasi Atau Pengamatan
Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa observasi merupakan
suatu proses yang kompleks. Suatu proses yang tersusun dari
berbagai proses biologis dan psikhologis. Teknik observasi
digunakan berkaitan dengan perilaku manusia, proses gejala alam
dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. Dalam hal ini
penyusun menggunakan jenis observasi non partisipan dimana
penulistidak terlibat langsung dalam kehidupan aktivitas
sehari-hari objek yang diamati (Sugiyono, 2012: 145).
Observasi ini dilakukan dengan melakukan serangkaian
pengamatan dengan menggunakan alat indera penglihatan dan
pendengaran secara langsung terhadap objek yang diteliti. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan observasi yang berperan pasif
dimana observasi dapat dilakukan langsung maupun tidak
Dalam penelitian ini penyusun melakukan observasi langsung
di objek penelitian yaitu di Desa Sambongrejo Kecamatan
Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.
2.) Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab secara lisan antara dua orang
atau lebih secara langsung. Dalam hal ini penyusun mewawancarai
pelaku perkawinan sejenis, tokoh agama, masyarakat, dan pejabat
desa setempat menegenai perkawinan sejenis tersebut.
Dalam metode ini penulis menggunakan tehnik interview
guide yaitu cara mengumpulkan data dengan menyampaikan
secara langsung. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara
mendalam yang diarahkan pada masalah tertentu dengan para
informan yang sudah dipilih untuk mendapatkan data yang
diperlukan. Teknik wawancara ini dilakukan secara tidak
terstruktur, dimana penulis tidak melakukan wawancara dengan
cara yang ketat kepada informan agar informasi yang diperoleh
memiliki kapasitas yang cukup tentang berbagai aspek dalam
penelitian ini (Koentjaraningrat, cet IV: 138).
3.) Dokumentasi
Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencari data
tentang hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku,
Dalam melaksanakan metode dokumentasi,
penulismenyelidiki benda-benda tertulis seperti, peraturan rapat,
catatan harian dan lain hidup dan sebagainya.
4. Sumber Data
Data merupakan suatu keterangan fakta dari objek yang diteliti. Sumber
data dari penelitian kualitatif adalah kata-kata, tindakan, selebihnya adalah
data tambahan seperti dokumen lain (sumber data tertulis, foto, dan statistik)
(Moleong, 2007: 157).
Sumber data dibedakan menjadi 2:
a. Data Primer
Sumber dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata dan
tindakan subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman dari
subjek yang diteliti sebagai sumber utama melakukan interprestasi
data. Data atau informasi diperoleh langsung dari orang-orang yang
dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji dan bersedia
memberikan data atau informasi yang diperlukan. Sedangkan untuk
pengambilan data dilakukan dengan bantuan catatan yang diperoleh
dari lapangan berupa bantuan foto atau rekaman suara dari handphone
atau alat lainnya. Sedangkan observasi dilakukan dengan cara
mengamati aktivitas yang dilakukan oleh pasangan perkawinan
homoseksual serta sikap dan upaya dari pemerintah, masyarakat Desa
Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.
Data sekunder adalah data yag diperoleh dari sumber-sumber lain
selain data primer. Diantaranya dari berbagai literatur, majalah,
internet, jurnal ilmiah,arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi
lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Data-data tersebut
diantaranya adalah buku referensi.
Buku referensi adalah koleksi buku yang memuat informasi yang
spesifik, paling umum serta saking banyak digunakan sebagai bahan
rujukan untuk keperluan cepat. Yang termasuk buku-buku referensi
diantaranya kamus baik umum maupun biografi, buku indeks, buku
yang berisi informasi buku-buku bidang tertentu, dan lain sebagainya.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis adalah suatu cara penanganan terhadap objek ilmiah
tertentu dengan jalan memilah antara pengertian yang satu dengan
pengertian yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru. Data yang
dihimpun akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menerapkan metode
berfikir induktif, yaitu suatu metode berfikir yang bertolak dari fenomena
khusus dan kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum (Daymon,
2008: 369).
6. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan terhadap keabsahan suatu data harus dilakukan secara tepat.
Teknik pengecekan dalam penelitian ini harus ada sebuah kredibilitas yang
triangulas, pengecekan sejawat, kecukupan referensia, adanya kriteria
kepastian dengan teknik uraian rinci dan audit kepastian.
Untuk mengetahui perolehan data dalam suatu penelitian yang telah
dikumpulkan memiliki tingkat kebenaran atau tidak. Maka dilakukan
pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin
validitas data dilakukan trianggulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2007:
330).
Validitas data akan membuktikan apakah data yang diperoleh sesuai
dengan apa yang ada di lapangan. Dengan demikian data yang diperoleh
akan dikontrol oleh data yang sama dengan sumber yang berbeda.
7. Tahap-Tahap Penelitian
a. Penelitian Pendahuluan
Penulis mengkaji buku-buku tentang nikah dan buku yang lain
yang berkaitan dengan homoseksual.
b. Pengembangan Desain
Setelah penulis banyak mengkaji tentang hukum pernikahan,
kemudian penulis melakukan observasi ke objek penelitian untuk
melihat secara langsung pasangan pernikahan sejenis homoseksual Di
Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.
Dalam penelitian ini penulis terjun langsung ke lokasi penelitian
untuk meneliti secara lebih mendalam tentang kasus yang sebenarnya
terjadi mengenai pasangan pernikahan sejenis homoseksual di Desa
Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.
H. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menyusun sistematikanya sebagai
berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan sebagai gambaran tentang
pembahasan penelitian ini. Bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, fokus penelitian, manfaat hasil penelitian dan metode
penelitian.
Bab dua, berisi tentang kajian teori mengenai perkawinan sejenis
menurut hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan UU Nomor
39 tahun 1999 tentang HAM .
Bab tiga adalah berisi tentang hasil penelitian mengenai gambaran
umum objek penelitian perkawinan sejenis (Homoseksual) di Desa
Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro. Serta
menguraikan hasil wawancara dengan pasangan perkawinan sejenis, keluarga,
dan tetangga.
Bab empat, berisi pembahasan atau analisis mengenai pelaksanaan
perkawinan sejenis di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten
Bojonegoro, perkawinan sejenis (homoseksual) dalam perspektif HAM dan
masyarakat dan KUA pada pasangan perkawinan sejenis (Homoseksual) di
Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Islam
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berasal dari kata
nakaha yang berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini sudah menjadi bahasa
keseharian orang Arab. Kata nakaha banyak terdapat dalam Alquran maupun
Hadis.
Demikian pula banyak terdapat kata zawaja dalam Alquran dalam arti
kawin, seperti dalam surat al-Ahzab ayat 37 yang berbunyi:
orang Yang telah dikurniakan oleh Allah (dengan nikmat Islam) dan Yang Engkau juga telah berbuat baik kepadanya: "Jangan ceraikan isterimu itu dan bertaqwalah kepada Allah", sambil Engkau menyembunyikan Dalam hatimu perkara Yang Allah akan menyatakannya; dan Engkau pula takut kepada (cacian manusia padahal Allah jualah Yang berhak Engkau takuti (melanggar perintahNya). kemudian setelah Zaid selesai habis kemahuannya terhadap isterinya (dengan menceraikannya), Kami kahwinkan Engkau dengannya supaya tidak ada keberatan atas orang-orang Yang beriman untuk berkahwin Dengan isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah selesai habis
kemahuannya terhadap isterinya (lalu menceraikannya). dan
sememangnya perkara Yang dikehendaki Allah itu tetap berlaku”. (Amir: 2014, 35)
اَي ( ملسو هيلع الله ىلص ِ ه َاَللَ ُلوُس َر اَنَل َلاَق هنع الله يضر ٍدوُعْسَم ِنْب ِ ه َاَللَ ِدْبَع ْنَع
Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.
Dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa Perkawinan
menurut hukum Islam adalah suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah,mawaddah, dan rahmah. (Tim Redaksi Nuansa Aulia: 2012, 2).
Ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan menurut syari’at Islam
mengikat kepada setiap muslim, dan setiap muslim harus menyadari bahwa
didalam perkawinan mengandung nilai ubudiyah, maka memperhatikan
keabsahannya menjadi hal yang sangat prinsipil (Anshary: 2010, 11).
Allah menciptakan manusia sesuai fitrahnya, yaitu makhluk hidup yang
berpasang-pasangan dan mengatur tentang kecenderungan orientasi seksualnya
didasarkan pada pasangannya, dan mengembangkan keturunan antara suami
dan istri melalui pernikahan. Ketentuan ini sesuai dengan firman Allah dalam
Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 1 antara lain:
“Wahai sekalian manusia! bertaqwalah kepada Tuhan kamu Yang telah menjadikan kamu (bermula) dari diri Yang satu (Adam), dan Yang menjadikan daripada (Adam) itu pasangannya (isterinya - Hawa), dan juga Yang membiakkan dari keduanya - zuriat keturunan - lelaki dan perempuan Yang ramai. dan bertaqwalah kepada Allah Yang kamu selalu meminta
Dengan menyebut-yebut namaNya, serta peliharalah hubungan
(silaturrahim) kaum kerabat; kerana Sesungguhnya Allah sentiasa
memerhati (mengawas) kamu”.
Pernikahan merupakan sarana menyatukan dua insan manusia atas dasar
kesukarelaan demi mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman lahir dan
bathin. Dengan adanya pernikahan seseorang memiliki partner hidup yang
dapat menemani disetiap perjuangan kehidupannya.
Para ulama mendefinisikan istilah perkawinan dengan berbagai versi.
Menurut Mazhab Hanafi nikah merupakan akad yang memberikan faedah yang
mengakibatkan seseorang mempunyai hak bersenang-senang secara sadar atau
sengaja terhadap seorang pria maupun wanita terutama guna mendapatkan
kenikmatan biologis.
Menurut Mazhab Malikiyah, nikah merupakan suatu akad yang
bertujuan untuk meraih kenikmatan seksual saja. Sedangkan Mazhab Syafi’i
memberikan batasan nikah sebagai akad yang menjamin kepemilikan untuk
bersetubuh dengan menggunakan redaksi inkah/ tazwij. Hal tersebut juga sama
dikemukakan oleh Mazhab Hanbali (Abdur:1990, 2-3).
Menurut Sajuti Thalib pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci,
kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara laki-laki dan perempuan
dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun- menyantuni,
Sedangkan definisi pernikahan menurut Tahir Mahmod adalah sebuah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami
dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun
keluarga dalam sinaran ilahi (Amiur, dkk: 2006, 4).
Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum Islam serta harus
memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun dan syarat menentukan suatu
perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan
syarat tidak boleh tertinggal.
Dalam hal hukum perkawinan, dalam menentukan mana yang menjadi
rukun dan syarat terdapat perbedaan dikalangan ulama yang perbedaan ini tidak
bersifat substansial. Hal ini disebabkan karena perbedaan dalam melihat fokus
perkawinan itu. ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang
berlaku dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu,
yang menjadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang
dilakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang
lain seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan ke dalam syarat
perkawinan. Adapun syarat perkawinan menurut ulama Hanafiyah diantaranya:
1. Syuruth al-in’iqad yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad
perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan tergantung pada akad.
Sehingga syarat disini adalah syarat yang harus dipenuhi. Jika syarat
2. Syuruth al-shihhah, yaitu suatu yang keberadaannya menentukan dalam
perkawinan. Syarat ini harus di penuhi untuk menimbulkan akibat hukum.
Jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut tidak sah.
3. Syuruth al-nufuz, yaitu syarat yang menentukan kelangsungan perkawinan.
Akibat hukum yang ditimbulkan dan sahnya perkawinan tergantung
kepada adanya syarat-syarat, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka
akan menyebabkan fasadnya perkawinan.
4. Syuruth al-luzum, yaitu syarat yang menentukan kepastian suatu
perkawinan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi maka
perkawinan dapat dibatalkan. Seperti suami harus sekufu dengan istrinya
(Amir: 2014, 60)
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud perkawinan yaitu
keseluruhan yang berkaitan dengan perkawinan tersebut dengan segala
unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Menurut mazhab ini, rukun
perkawinan harus terwujud dalam suatu perkawinan. Unsur pokok perkawinan
adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri,
wali yang melangsungkan akad nikah dengan si suami, dua orang saksi yang
akan menyaksikan berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat
ini rukun perkawinan tersebut yaitu:
1. Calon mempelai laki-laki
2. Calon mempelai perempuan
3. Wali dari mempelai perempuan
5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.
diantaranya harus ada calon mempelai yaitu laki-laki dan perempuan
sebagai suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab kabul. Rukun
dan syarat merupakan dua unsur yang harus terwujud untuk sahnya sebuah
pernikahan. (Amir: 2009, 59).
Tujuan pernikahan adalah unutuk memperoleh keturunan dan
melestraikan kehidupan manusia. Manusia hanya dapat diwujudkan jika
pernikahan dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan. Sebagaimana
dalam Firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 berikut ini:
Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu Dengan Yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang Yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan Yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha mendalam pengetahuannya (akan keadaan dan amalan kamu).
Tanpa pernikahan maka akan sulit untuk memperoleh keturunan,
keturunan yang dihasilkan melalui hubungan yang tidak baik maka akan
berpengaruh pada kualitas manusia itu sendiri. Jika perkawinan yang dilakukan
adalah perkawinan sesama jenis maka akan lebih mustahil untuk mendapatkan
keturunan. Apabila perkawinan sejenis dibenarkan maka lambat laun manusia
akan punah.
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan
perempuan. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan
yang akan kawin ialah:
1. Keduanya jelas identitasnya dan dapat di bedakan dengan yang lainnya,
baik meyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal-hal lain yang
menyangkut tentang dirinya.
2. Keduanya sama-sama beragama Islam.
3. Antara keduanya tidak ada hal-hal yang dilarang untuk melangsungkan
perkawinan.
4. Kedua belah pihak sama-sama setuju untuk melangsungkan perkawinan
(Amir: 2014, 64).
Allah memerintahkan manusia untuk menjalankan segala sesuatu sesuai
dengan sebenarnya. Pernikahan bukan hanya sarana untuk melampiaskan
hawa nafsu, dan kesenangan semata, namun didalamnya terdapat misi yang
sangat mulia yaitu mewujudkan keturunan yang unggul dan berkualitas. Jadi
bukan hanya dari pandangan agama, gagasan pernikahan sejenis juga tidak
masuk dalam logika yang benar.
Orientasi seksual dalam pandangan Musdah Mulia mengandung arti
yang sangat luas karena mencakup aspek kehidupan yang menyeluruh terkait
dengan jenis kelamin biologis maupun sosial (gender), orientasi seksual,
identitas gender dan perilaku seksual. Seksualitas adalah proses sosial yang
menciptakan dan mengarahkan hasrat manusia (the socially constructed
biologis, psikologis, sosial, ekonomi, agama dan spiritual (Jurnal Gandrung
Vol. 1, 2010:11).
Adapun perilaku seksual, sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial,
tidak bersifat kodrati, dan tentu saja dapat dipelajari. Perilaku seksual adalah
cara seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya. Terdapat banyak
varian, diantaranya oral seks dan anal seks (disebut juga sodomi atau liwāṭ
dalam bahasa Arab). Sodomi atau liwāṭadalah memasukkan alat kelamin
laki-laki ke dalam dubur, baik dubur sesama lelaki-laki maupun dubur perempuan. Islam
telah mengatur bagaimana tata cara menyalurkan atau mengekspresikan
orientasi seksual dengan perilaku seksual yang benar. Dalam Alqur'an
ditemukan banyak perintah agar manusia menjaga kemaluannya serta
menyalurkan hasrat seksual hanya dengan cara yang dibenarkan syar’i,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam surat An-Nur ayat 30-31
beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (daripada memandang Yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka; Sesungguhnya Allah amat mendalam pengetahuannya tentang apa Yang mereka kerjakan.Dan Katakanlah kepada perempuan-perempuan Yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang Yang haram), dan memelihara kehormatan mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali Yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya Dengan tudung kepala mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka, atau bapa mereka atau bapa mertua mereka atau anak-anak mereka, atau anak-anak tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka Yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka Yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari orang-orang lelaki Yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau kanak-kanak Yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan; dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa Yang tersembunyi dari perhiasan mereka; dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Wahai orang-orang Yang beriman, supaya kamu berjaya.
Dari ayat di atas menjelaskan betapa Islam telah mengatur penyaluran
orientasi seksualitas hamba-Nya sesuai dengan ketentuan Allah yaitu hanya
terhadap suami istri dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah. Terkait dengan
LGBT, Quraish Shihab mengatakan, pernikahan atau hubungan seks sesama
jenis tidak dibenarkan dalam ajaran Islam (jurnal Al-Ahkam Vol. 26, 2016:
231).
Islam sendiri dengan mengusung paham yang tidak memaksa seorang
untuk memasukinya (agama Islam). Namun ajaran Islam yang bersumber dari
dalil Quran dan Hadis menegaskan bahwa peraturan dalam Islam juga meliputi
aspek sosial dan politik kehidupan umat muslim itu sendiri. Artinya setiap
muslim harus mengikuti segala ketentuan yang berlaku termasuk larangan
pernikahan sesama jenis. Ajaran homoseksual meruapakan sisa virus kaum
Sodom yang telah dihancurkan pada masa Nabi Luth yang diutus oleh Allah
untuk meluruskan perilaku menyimpang tersebut. Sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-A’raaf ayat 80-81 yang berbunyi:
“Dan Nabi Lut juga (Kami utuskan). ingatlah ketika ia berkata kepada kaumnya: "Patutkah kamu melakukan perbuatan Yang keji, Yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari penduduk alam ini sebelum kamu?. "Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk memuaskan nafsu syahwat kamu Dengan meninggalkan perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum Yang melampaui batas".
Dengan mendasarkan kepada al-Qur’an dan Hadis sebagaimana tersebut
di atas, maka ulama sepakat (ijma') bahwa liwāṭ dan aktivitas seksual sesama
berat sampai pada hukuman mati, sebagaimana dijelaskan dalam hadis
sebelumnya. Menyikapi tentang perilaku homoseksual para ulama berpendapat,
bahwa homoseksual adalah perbuatan dosa besar. Terbukti Allah
memusnahkan kaum Nabi Luth dengan bencana yang besar. Untuk para pelaku
Homoseksual, hukuman yang berat merupakan salah satu cara untuk
menimbulkan efek jera. Oleh sebab itu ancaman bagi pelaku homoseksual lebih
berat dari ancaman terhadap para pezina normal.
Syari’at Islam memandang bahwa perbuatan homoseks itu haram, dan
para ulama juga telah sepakat tentang keharamannya. Mereka hanya berbeda
pendapat mengenai hukuman yang layak diberlakukan kepada pelaku.
Berikut beberapa pendapat dari para ulama mengenai hukuman pelaku
Homoseks:
1. Imam Syafi’i, pasangan homoseks dihukum mati berdasarkan hadits Nabi:
نَم
ِهِب ِ ُلْوُعْفَﻤلاَو ُﻞِعاَف ُ اْوُلُتْقاَف َﻁْوُل مْوَقْ َﻞَﻤَع ُﻞَﻤْعَي ﻩْوُﻤُﺗْدَجَو
“Barang siapa orang yang menjumpai berbuat homoseks seperti praktek kaum Luth, maka bunuhlah si pelaku dan yang diperlakukan (pasangannya)”
2. Menurut al-Mundziri, khalifah Abu Bakar dan Ali pernah menghukum
mati terhadap pasangan homoseks.
Dan telah dijelaskan pula dalam Alquran surat Al-A’raaf ayat 84 Allah
telah berfirman:
Hujan batu disini merupakan siksaan bagi kaum yang melakukan
homoseks dan ini dapat di qiyaskan dengan hukuman rajam pada umatnya nabi
Muhammad SAW, bahkan lebih berat lagi karena batunya dari neraka
(Sa’dullah, 1984: 90).
3. Menurut Ibnu Qayyim, hukuman bagi pelaku sodomi adalah dibunuh.
menurutnya, sudah sesuai dengan hukum Allah. Karena semakin besar
perbuatan yang diharamkan maka semakin berat pula hukumannya, dalam
hal ini persetubuhan yang tidak dibolehkan sama sekali lebih besar dosanya
dari persetubuhan yang diperbolehkan dalam kondisi tertentu, oleh karena
itu hukumannya harus diperberat. (jurnal Al-Ahkam Vol. 26, 2016: 235)
Menururt Hukum Pidana Islam homoseksual (liwāṭ) termasuk dosa
besar, karena bertentangan dengan norma agama, norma susila dan
bertentangan pula dengan sunnatullah (God’s Law/ natural law) dan fitrah
manusia (human nature) (Masjfuk, 1991: 41).
B. Perkawinan Sejenis Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Manusia memiliki tujuan untuk melanjutkan keturunan dengan cara
perkawinan antara laki-laki dengan perempuan, serta untuk mewujudkan
kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman
dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.
Syarat perkawinan diatur dalam pasal 6 sampai pasal 12
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. yang terdiri dari syarat formiil dan syarat
materiil, adapun syarat formiil nya antara lain: a.) Laporan, b.) Pengumuman,
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 6
ayat 1).
2. Harus mendapatkan ijin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing
belum mencapai usia 21 tahun (pasal 6 ayat 2).
3. Usia menikah pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan usia
16 tahun kecuali ada dispensasi nikah yang diberikan oleh pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (pasal 7 ayat 1
dan 2) (R. Soetodjo, 1988: 39).
4. Pasangan calon pengantin adalah laki-laki dan perempuan (Munir, 2014:
14).
Asas-asas perkawinan diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 antara lain:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu pasangan suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi,
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu
dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
2. Suatu perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan
harus dicatat menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami. Hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat 1 dijelaskan:
“Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir bathin antara laki-laki dan
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan
kepercayaan masing-masing dan disamping itu perkawinan harus dicatatkan
menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sangat berpegang teguh kepada
aturan-aturan hukum Islam, walaupun tidak secara tegas mengatur tentang
rukun perkawinan, tetapi Undang-Undang tersebut menyerahkan persyaratan
sahnya perkawinan sepenuhnya kepada masing-masing agama calon pengantin
yang akan melangsungkan perkawinan. Undang-Undang ini mengatur tentang
syarat perkawinan sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur
masalah rukun perkawinan, hal ini diatur dalam pasal 14 yang secara
keseluruhan sama dengan yang terdapat dalam hukum Islam sebagaimana
tertera dibawah ini, dan keseluruhan rukun perkawinan tersebut , menurut Amir
Syarifudin mengikuti fiqh imam Syafi’I dengan tidak mencantumkan mahar
didalam rukun nikah.
Di dalam hukum Islam rukun nikah terdiri dari: (1.) Calon mempelai
laki-laki dan calon mempelai perempuan (2.)Wali dari mempelai perempuan
(3.) Dua orang saksi (4.) Ijab dan Kabul.
Perkawinan yang dilaksanakan dengan memenuhi rukun tersebut di atas,
telah memenuhi ketentuan bahwa perkawinan tersebut telah dianggap sah oleh
hukum. Dengan demikian, sahnya suatu perkawinan ditentukan oleh pasal 2
Terlepas dari adanya bermacam-macam masyarakat dengan berbagai
corak ragamnya dalam proses melaksanakan perkawinan sesuai dengan adat
mereka, namun dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang peraturan pelaksanaannya tidak lain adalah dimaksudkan sebagai
univikasi hukum khususnya di bidang Perkawinan di Indonesia. Mengingat
semakin mendesaknya tuntutan zaman dan kompleksnya permasalahan yang
terjadi dengan adanya perkawinan, sehingga dalam hal ini pencatatan
perkawinan sangatlah diperlukan (Jurnal Independent Vol. 2, 1982: 58).
Ketentuan dari pasal 2 tersebut tidak memberikan ruang bagi para kaum
LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) untuk melangsungkan
pernikahan sejenis. Karena pernikahan sejenis tidak direstui oleh agama
apapun.
Masyarakat Indonesia tidak akan menerima konsep perkawinan sejenis
tersebut karena konsep tersebut sangat diluar batas kewajaran dan jelas telah
menyalahi falsafah dasar Negara Indonesia. Sehingga mustahil perkawinan di
Indonesia bisa dibenarkan dan di legalkan.
Homoseksual di Indonesia dianggap sebagai perbuatan yang
terkutuk,dan yang tertangkap diajukan ke pengadilan. Meskipun petugas
hukum menyadari bahwa perbuatan tersebut diluar keinginan sang pelaku dan
merupakan penyakit yang diidapnya. Akan tetapi perilaku tersebut merupakan
naluri sehingga dia benar-benar tidak tertarik dengan perempuan, tetapi
nafsunya akan timbul jika bertemu dengan kelamin yang sejenisnya padahal ia
Gejala-gejala tersebut biasanya dimulai dari dalam penjara- penjara,
asrama-asrama, tempat penampungan lain yang isinya berjenis kelamin sama
yang tidak ada kesempatan untuk bebas serta iman yang kosong dalam
jiwanya. Orang yang biasanya melayani homoseks menurut pandangan umum
di Indonesia dikenal dengan istilah “WADAM” yaitu laki-laki yang berdandan
layaknya seorang wanita. Sebagian masyarakat tidak membencinya, menurut
mereka seseorang yang memilki penyakit abnormal patut dikasihani (Sa’dullah,
1984: 87).
Sebab-sebab penyimpangan ini adalah kompleks. Beberapa orang yang
mengalami penyakit tersebut dikarenakan oleh berbagai faktor seperti bawaan
dari lahir, cidra, dan mungkin rangsangan-rangsangan yang mendorong untuk
melakukan hal-hal tersebut. Yang lain memasuki kelakuan ini dari
kesalahan-kesalahan dan hal-hal yang luar biasa dalam hubungan keluarga, kesalahan-kesalahan
dalam pendidikan seks, pengalaman pahit tentang seks, pengalaman seks yang
abnormal dan sejenisnya.
Kecenderungan pada perilaku homoseks , tidak adanya dasar –dasar
fisik, mereka tidak dapat mengendalikan dirinya, kemudaian menjelma menjadi
homoseks akibat perubahan fisik atau tipe-tipe khusus dari lingkungan dan
pengalamannya. Dari kalangan bukan ahli dan Polisi kurang begitu memahami
tentang homoseks yang sesungguhnya. Masyarakat beranggapan bahwa ini
merupakan kemunduran dari generasi yang lebih dari penderitaan suatu
kesengsaraan yang bukan karena kesalahannya sendiri. Walaupun banyak di
adalah tidak wajar. Banyak kaum homoseks yang menciptakan karya yang
dengan caranya sendiri yang sama dengan kaum kelamin normal lainnya
(Sa’dullah, 1984: 88).
Kejahatan dalam penyalahgunaan seks telah diatur dalam KUHP,
dimana ancaman pidananya telah di klasifikasikan menurut bentuk
perbuatannya. Bagi tindak pidana homoseksual telah diatur oleh pasal 292
KUHP yang berbunyi:
“ orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa dari jenis kelamin yang sama dengan diketahuinya atau patut hal yang disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun”.
C. Perkawinan Sejenis Menurut UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
Tentang Hak Asasi Manusia.
Tuhan telah memberikan anugerah kepada manusia akal, budi, nurani,
memberikan kepada manusia kemampuan untuk membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan
perilaku kehidupannya. Dengan akal budi nya manusia bebas menentukan
sikap dan perilakunya. Manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung
jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan itulah yang disebut
dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia sudah ada sejak
manusia ada, HAM bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia, hanya saja
HAM baru dikodifikasikan dan diformulasikan pada abad ini.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada setiap
manusia dimanapun, kapanpun manusia itu berada tanpa memandang siapa
mendunia hadir bersamaan dengan perkembangan kesadaran umat manusia
akan pentingnya mengakui, menghormati, dan mewujudkan manusia yang
berdaulat dan utuh (Ellin, 2007: 7).
Hak-Hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut
berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara,
pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui
dan melindungi Hak Asasi Manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini
berarti bahwa Hak Asasi Manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung
pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang maha Esa dengan
menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek
sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi
oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban
mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku
bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah.
Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk
menghormati, melindungi, membela, dan menjamin Hak Asasi Manusia setiap
warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.
Kewajiban menghormati Hak Asasi Manusia tersebut, tercermin dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal
dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan
penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan
untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Deklarasi Universal tentang HAM (DUHAM) yang diselenggarakan
oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948 diantaranya berisi 30 pasal yang
berfungsi sebagai perangkat hukum internasional yang terdiri dari konvenan
sosial politik (Sipol) dan ekonomi sosial budaya (Ecosob), dasar-dasar filosofis
DUHAM adalah nilai-nilai humanisme, individualisme, dan liberalisme yang
tumbuh di Barat modern.
Pasal-pasal dalam Undang-Undang HAM ada yang bersifat ketat ada
juga yang bersifat longgar. Sebagaimana pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999
tentang HAM mengenai hak untuk menikah dan berkeluarga yang berbunyi:
1. “bahwa Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah”
2. bahwa Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas
kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Artinya Yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak
yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun
dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri. Yang dimaksud
dengan “perkawinan yang sah” adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal tersebut tidak secara eksplisit dibolehkannya perkawinan
sejenis, meskipun pasal tersebut bersifat longgar tetapi Negara Indonesia tidak
disesuaikan dengan hukum nasional dan kondisi Indonesia meskipun Indonesia
telah meratifikasi DUHAM. Beberapa pasal dalam DUHAM masih bersifat
longgar atau kurang jelas sehingga masih dibutuhkan penjelasan lebih lanjut
dalam konvensi dan hukum nasional.
Indonesia tidak dapat memberlakukan pernikahan sesama jenis ke
dalam bentuk regulasi, sebab pernikahan sejenis bertentangan dengan ideologi
Negara, pancasila dan Konstitusi Indonesia. Konstitusi Indonesia menganut
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai nilai pancasila yang menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama sehingga sudah
semestinya menolak pernikahan sesama jenis karena perilaku menyimpang.
Undang-Undang telah tegas menutup celah bagi pernikahan sesama
jenis. Sebagaimana dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai siuami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Undang- undang ini adalah wujud komitmen bangsa Indonesia untuk
membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengedepankan nilai
–nilai keTuhanan yang maha Esa. Budaya dan agama-agama di Indonesia juga
bersepakat perkawinan sesama jenis perkawinan sesama jenis merupakan
perbuatan amoral yang harus ditolak bahkan dikategorikan perbuatan
dosa.(
Homoseksual adalah pemuasan nafsu seksual dengan hubungan badan
dengan sesama jenisnya sendiri, yaitu laki-laki dengan laki-laki dan perempuan
dengan perempuan.
Perkembangan gay dan lesbi pada kenyataannya sudah mengalami
perkembangan, dulu seorang gay ataupun lesbian tidak berani mengekspose
dirinya berbeda dengan sekarang yang berani menampilkan dirinya (Samun:
2014, 323).
Komunitas LGBT seringkali dideskriditkan dalam berbagai ranah
sosial, hak-hak dasar meraka sebagai warga negara acap kali dihiraukan, dan
bahkan hinaan, cercaan dan perlakuan keji sering dialamatkan kepada mereka,
sekalipun mereka tidak melakukan tindakan kriminalitas yang mengganggu
ketertiban sosial. Mereka menyadari akan orientasi seksualnya yang berbeda
dengan mayoritas masyarakat disekitarnya. Namun, kelainan orientasi seksual
ini tidak berarti sebagai bentuk kriminalitas yang dapat menimbulkan berbagai
patologi sosial. Apalagi pada faktanya tidak sedikit dari anggota komunitas
LGBT yang lebih peka dan peduli terhadap persoalan-persoalan sosial.
Negara secara konstitusional telah melarang keberadaan dan aktivitas
kaum LGBT melalui UU Pornografi pasal 5 ayat 3 Pasal ini pada intinya
berbunyi tentang pelarangan atas tindakan seksual, penetrasi dan hubungan
seks pada pasangan sejenis, anak-anak, orang meninggal dan hewan. Efek
signifikan dari Undang-Undang ini adalah memarginalkan komunitas LGBT
secara sosial sekaligus menghilangkan hak-hak dasar mereka sebagai warga
Pelegalan perkawinan sesama jenis seringkali diakaitkan dengan HAM
(Hak Asasi Manusia), menurutnya manusia berhak menentukan hidupnya
sendiri, dengan siap ia menikah baik dengan lawan jenisnya maupun berbeda
jenis. Para kaum LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, dan Transgender) seringkali
menganggap bahwa kelompoknya selalu mendapatkan diskriminasi dari
masyarakat. Oleh karenanya mereka sering meminta perindungan atas nama
HAM. Bahkan merekapun mendatangi KOMNAS HAM untuk mengajukan
tuntutan agar eksistensi keberadaan mereka diakui oleh masyarakat.
Prinsip-prinsip dalam HAM memang sangat Universal atau
menekankan kebebasan secara umum. Dalam implemetasinya HAM sama
sekali tidak menghilangkan unsur relitas lokal. Penafsiran secara substansial
tentang HAM bukan mutlak sepenuhnya dari aliran liberal, ulitarian, maupun
hedonis. HAM memang menjamin kebebasan individu tetapi kebebasan
tersebut juga ada batasan berdasarkan hasil dari Declaration Of Human Right
yang tentunya sudah diratifikasikan agar tidak bertentangan dengan
Undang-Undang dasar 1945.
Dalam pasal 28J ayat 1 Undang-Undang dasar 1945 dijelaskan bahwa:
“Setiap orang wajib menghormati Hak Asasi Manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Berdasarkan bunyi pasal diatas Hak Asasi Manusia yang diinginkan
oleh masyarakat adalah hak asasi yang sesuai dengan norma dan tata tertib yang
tumbuh dalam masyarakat, sehingga tuntutan hak mengenai pemenuhan