• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN SEJENIS (HOMOSEKSUAL) DALAM PERSEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI DESA SAMBONGREJO KECAMATAN SUMBERREJO KABUPATEN BOJONEGORO) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERKAWINAN SEJENIS (HOMOSEKSUAL) DALAM PERSEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI DESA SAMBONGREJO KECAMATAN SUMBERREJO KABUPATEN BOJONEGORO) - Test Repository"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

PERKAWINAN SEJENIS (HOMOSEKSUAL) DALAM

PERSEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM

(STUDI KASUS DI DESA SAMBONGREJO KECAMATAN

SUMBERREJO KABUPATEN BOJONEGORO)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Salatiga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Farikhatul Ulya

NIM : 21213001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI

AH

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

(6)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

Kedua orang tuaku Bapak Salim dan Ibu Intini yang telah mencurahkan

seluruh kasih sayangnya kepadaku, merawatku hingga aku dewasa,

memberikan dukungan dan do’anya tanpa henti padaku.

Terimakasih atas

kesabaran dan kasih sayang yang kalian berikan untukku selama ini.

Kepada adikku Muhamad Alfian Nur Hafid yang telah menjadi

(7)

KATA PENGANTAR









Ya Allah, dzat yang maha segalanya. Alhamdulillahi robbil’alamin, segala

puji dan Syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan Taufiq serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Perkawinan Sejenis (Homoseksual) dalam Persektif HAM

Dan Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo

Kabupaten Bojonegoro)”

Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi utusanMu Muhammad

Rasul KekasihMu sang pembawa risalah Uswatun Khasanah beserta keluarga dan

para sahabatnya. Mudah-mudahan kita diakui sebagai umatnya dan mendapat

syafaat di yaumul qiyamah kelak.

Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dan tugas untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Salatiga. Skripsi ini berjudul “Perkawinan Sejenis (Homoseksual) dalam Perspektif

HAM Dan Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Sambongrejo Kecamatan

Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro)”

Penulis skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari

berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

(8)

2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga

3. Bapak Syukron Ma’mun, M.Si. Ketua Program Studi Hukum Keluarga

Islam IAIN Salatiga

4. Ibu Luthfiana Zahriani, S.H, M.H. Dosen Pembimbing yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu

pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Karyawan-karyawati IAIN Salatiga yang telah memberikan layanan serta

bantuan.

7. Kedua orang tua saya yang telah mengasuh, mendidik, membimbing

penulis, baik moral maupun spiritual.

8. Bapak H.Sulastam Kepala Desa Sambongrejo beserta stafnya yang telah

memberikan ijin penelitian di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo.

9. Bapak dan Ibu yang ada di Desa Sambongrejo yang telah bersedia menjadi

responden dalam penelitian ini.

10.Januri Sudjak S.Pd, Indhah Setiawati S.Psi dan Eni Daryani S.Pd

terimakasih atas motivasi yang selalu diberikan kepadaku, yang banyak

mengajarkanku tentang kehidupan.

11.Kakak-kakakku Alfyatul Jamilah, Siti Nilna Faizah, Lynda Fitri Ariyanti,

Nova Rodiana, dan Syaiful Aziz yang selalu ada untukku, memberikan

(9)

menjadi orang tua keduaku. Sungguh aku sangat bersyukur dipertemukan

dengan seseorang yang luar biasa seperti kalian.

12.Untuk jagoan-jagoan kecilku Azkal Azkiya, Rahayu Ajeng, dan Rayyan

Hayyan Al Ayyubi kalian adalah semangat baru untuk kami semua.

13.Bunda-bunda PAUD Wafdaa Kids Center yang sudah banyak

mengajarkanku tentang banyak hal, memberiku sebuah keluarga baru yang

penuh kebahagian.

14.Untuk sahabatku tercinta, Aida Berliana Cahyaningrum Arifin yang selalu

siap sedia dalam keadaan apapun, Rangga Pradikta, Rimanur Sa’diyah,

Fatkur Fanni, Mita Alfira R, Agus Ali Lutfvi M, Budi Waluyo, dan Dwi

Ariyanto. Bersyukur dapat bersahabat dengan kalian para manusia yang luar

biasa.

15.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini.

Skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik

dan saran yang bersifat membangun dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna

bagi penulis khususnya serta para pembaca pada umumnya.

Salatiga, 20 September 2017

(10)

ABSTRAK

Ulya, Farikhatul. 2017. Perkawinan Sejenis Dalam Perspektif HAM Dan Hukum

Islam (Studi Kasus Di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo

Kabupaten Bojonegoro). Fakultas Syari’ah. Program Studi Hukum

Keluarga Islam. Instutut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing Luthfiana Zahriani, S.H, M.H.

Kata kunci: pernikahan sejenis, pasal 10 undang-undang Hak Asasi Manusia dan Hukum islam.

Penikahan menurut hukum Islam merupakan ketentuan yang mengikat setiap muslim. Pernikahan yang sah dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Seiring dengan modernitas zaman yang mengalami perubahan merupakan bagian dari teori stimulus value role yang menjelaskan bahwa perkawinan terjadi karena situasi yang bebas.Salah satu kebebasan perkawinan yang dimaksud adalah kebebasan perkawinan sesama jenis sebagaimana yang terjadi di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro. Hal ini ketika dikaitkan dengan HAM dan hukum dalam islam, apakah sesuai dengan ketentuan hukum yang terkadung dalam undang-undang HAM dan Hukum Islam. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui lebih dalam Bagaimana pelaksanaan perkawinan sejenis di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegroro, Bagaimana sikap dan upaya pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh Agama, dan Kantor Urusan Agama pada pasangan perkawinan Homoseksual di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro, serta Bagaimana perspektif HAM dan hukum islam terhadap pasangan perkawinan Homoseksual di desa Sambongrejo kecamatan Sumberejo kabupaten Bojonegoro.

Metode yang dilakukan adalah metode kualitatif. Peneliti menggunakan penelitian lapangan (field research), dan pendekatan yuridis sosiologis. Data yang ingin diperoleh adalah adanya pasangan laki-laki dengan laki-laki homoseksual

dalam sebuah pernikahan studi kasus di Desa Sambongrejo Kec. Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro. Informan berjumlah dua pasang pelaku pernikahan sejenis. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan interview (wawancara) kemudian data ditranskip menjadi data yang lengkap.

Hasil yang diperoleh dari penelitian adalah bahwa pasangan perkawinan sejenis (homoseksual) yang ada di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro tidak melangsungkan pernikahan tetapi mereka memilki

(11)

Adapun upayanya hanya menasehati. Sedangkan Pihak KUA Kecamatan Sumberrejo tidak melayani pernikahan sejenis, pihak KUA berupaya melakukan pendekatan persuasif kepada pasangan perkawinan sejenis yang ada di desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro tersebut dengan dibantu oleh P3N setempat dengan menjelaskan kepada pasangan sejenis tersebut bahwa perkawinan sesama jenis tidak dapat dilegalkan di negara Indonesia dan dilarang dalam hukum Islam.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………... i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING….………. ii

HALAMAN PENGESAHAN.……… iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN………. iv

HALAMAN MOTO………...………. v

HALAMAN PERSEMBAHAN………..……… vi

KATA PENGANTAR………. vii

ABSTRAK……….. ix

DAFTAR ISI………... xi

BAB. I : PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah……….. 1

B. Rumusan Masalah.……….... 5

C. Tujuan Penelitian ………. 6

D. Kegunaan Penelitian ………... 6

E. Penegasan Istilah ……….. 7

F. Kajian Pustaka……….. 9

G. Metode Penelitian ……….... 11

H. Sistematika Penulisan BAB. II : KAJIAN TEORI A. Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Islam……….. 19

B. Perkawinan sejenis menurut UU No 1 Tahun 1974………….. 30

C. Perkawinan sejenis menurut UU No. 39 tahun 1999 33 BAB. III : HASIL PENELITIAN A. Gambaran umum desa Sambongrejo Kec. Sumberrejo Kab. Bojonegoro……….. 45 1.Letak Geografis desa Sambongrejo………... 45

2.Struktur organisasi desa Sambongrejo………. 46

(13)

B. Perkawinan Sejenis di Desa Sambongrejo Kec. Sumberrejo

Kab. Bojonegoro……….…..

51

1. Pasangan Karmin dan Mbak Chandra alias Ali 51

2. Pasangan Romi dan Mbak Harnik 55

BAB. IV : PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Perkawinan Sejenis di Desa Sambongrejo Kab.

Bojonegoro………

59

B. Sikap dan upaya pemeritah desa terhadap pasangan sejenis di

Desa Sambongrejo

61

5. Perkawinan sejenis dalam perspektif HAM dan Hukum islam 78

BAB. V : PENUTUP

A. Kesimpulan……… 96

B. Saran……….. 96

DAFTAR PUSTAKA………. 97

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam dengan perangkat ajarannya (syariat) telah mengatur manusia

dalam segala aspek kehidupan, dari masalah ubudiyah, muamalah, jinayah,

munakahat dan lain sebagainya. Dengan demikian syariat Islam adalah konsep

kehidupan yang komprehensip karena mencakup seluruh kehidupan manusia.

Salah satu dari ajaran Islam yaitu disyariatkannya perkawinan dengan

tujuan terwujudnya hubungan yang harmonis antara pasangan laki-laki dan

perempuan dalam satu wadah. Menikah merupakan sunnah agama. Perkawinan

merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluaga yang sakinah, mawadah,

warahmah, serta kekal berdasarkan keTuhanan yang Maha Esa(Anggota

IKAPI,2011: 76). Hukum perkawinan dalam Islam adalah hukum yang tidak

terlepas dari akidah dan akhlak Islami sehingga dalam perkawinan dapat

mewujudkan keluarga yang bertauhid dan berkakhlak. Sebagaimana dijelaskan

dalam Alquran surat Ar-Rum:21



(15)

hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikannya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya Yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang Yang berfikir”(Tohir, 2009: 406).

Dalam perkawinan mengandung nilai ubudiyah, karena itu menikah

merupakan satu ikatan yang kokoh “mitsaqaan gholidza” oleh karenanya

dalam memperhatikan keabsahannya adalah menjadi suatu kewajiban yang

prinsipil (Anshary, 2010: 10).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sangat

berpegang teguh kepada aturan-aturan yang diatur dalam hukum Islam,

walaupun tidak secara tegas mengatur tentang rukun perkawinan, tetapi

Undang-Undang tersebut menyerahkan persyaratan sahnya perkawinan kepada

ketentuan yang diatur oleh agama orang yang akan melangsungkan perkawinan

tersebut.

Namun demikian Undang-Undang tersebut mengatur tentang secara

jelas tentang syarat-syarat perkawinan. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam

secara jelas mengatur tentang rukun perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 14

yang secara keseluruhan sama seperti dengan yang ada dalam hukum Islam.

Keseluruhan rukun perkawinan tersebut menurut Amir Syarifudin mengikuti

fikih Syafi’i dengan tidak mengikutkan mahar dalam rukun nikah. Di dalam

hukum Islam rukun nikah terdiri dari:

a. Calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan

b. Wali dari calon mempelai perempuan

c. Dua orang saksi

(16)

Dalam rukun nikah diatas sudah jelas pernikahan sah jika dilakukan oleh

seorang laki-laki dengan perempuan, Allah SWT sudah merancang dengan

begitu indahnya bahwa setiap makhluk di dunia ini diciptakan untuk

berpasang-pasangan sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang

“ Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu Dengan Yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang Yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan Yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha mendalam pengetahuannya (akan keadaan dan amalan kamu)”

( Tohir, 2009: 516).

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara laki-laki

dengan perempuan (Salim, 2002: 61). Adapun faktor-faktor yang mendorong

seseorang untuk melakukan ikatan perkawinan yaitu:

1. Adanya saling suka dan menanggapi

2. Untuk melindungi kehormatan seseorang

3. Waktu dan uang

4. Adanya keterlibatan emosional

5. Adanya rasa aman.

Kelima faktor tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda tergantung

bagaimana adat istiadat masing-masing daerah. Yang pada intinya tujuan

(17)

Seiring dengan modernitas zaman yang mengalami perubahan

merupakan bagian dari teori stimulus value role yang menjelaskan bahwa

perkawinan terjadi karena situasi yang bebas dalam memilih akibat stimulus

ketertarikan fisik .

Salah satu kebebasan perkawinan yang dimaksud adalah kebebasan

perkawinan sesama jenis atau sering disebut dengan perkawinan gay atau

homoseksual. Perkawinan sejenis adalah perkawinan yang dilakukan oleh

pasangan yang memiliki jenis kelamin yang sama yaitu antara laki-laki dengan

laki-laki atau bisa juga perempuan dengan perempuan.

Namun di dalam kehidupan masyarakat hubungan seksual yang

menyimpang menjadi perhatian khusus yang dilakukan oleh beberapa orang.

perbuatan hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki yang disebut

dengan sodomi dan pelaku tersebut disebut dengan homoseksual serta

hubungan seksual yang dilakukan antara perempuan dengan perempuan

melalui oral seks yang pelakunya disebut dengan lesbian (Jurnal Cendekia

Vol.12 :69).

Akhir- akhir ini LGBT ( Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender)

banyak menjadi bahan perbincangan dalam masyarakat, antara pihak pro dan

kontra yang tak henti-hentinya berdebat mengenai gerakan LGBT ini serta

mengenai keabsahnnya dari berbagai sudut pandang baik dari segi budaya,

legalitas maupun segi agama.

Bagi mereka kaum lesbian, gay, biseksual dan transeksual meyakini

(18)

para tokoh seperti Professor Musdah Mulia Yang mendukung adanya

pernikahan sesama jenis. Menurut beliau menjadi seorang lesbian, gay,

biseksual, dan transgender adalah kodrati, dalam bahasa fikih disebut dengan

sunatulah.

Sebagaimana kasus perkawinan yang ada di desa Sambongrejo

kecamatan Sumberejo kabupaten Bojonegoro, dimana ada dua pasangan yang

memiliki jenis kelamin yang sama yaitu laki-laki dengan laki-laki yang

melakukan perkawinan. Berangkat dari latar belakang masalah diatas, penulis

tertarik untuk meneliti masalah tersebut ke dalam sebuah judul skripsi yang

berjudul PERKAWINAN SEJENIS (HOMOSEKSUAL) DALAM

PERSPEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM (studi kasus di Desa

Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan perkawinan sejenis di Desa Sambongrejo

Kecamatan Sumberrejo Kabupeten Bojonegoro?

2. Bagaimana sikap dan upaya pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh

Agama, dan kantor urusan agama (KUA) pada pasangan perkawinan

sejenis (Homoseksual) di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo

Kabupaten Bojonegoro?

3. Bagaimana perspektif HAM dan hukum Islam terhadap perkawinan sejenis

(19)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan perkawinan sejenis (homoseksual) di Desa

Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.

2. Untuk mengetahui sikap dan upaya pemerintah desa, tokoh agama, dan

KUA pada pasangan perkawinan sejenis (Homoseksual) di Desa

Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.

3. Untuk mengetahui perspektif HAM dan hukum Islam terhadap pasangan

perkawinan sejenis (Homoseksual) di Desa Sambongrejo Kecamatan

Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat ataupun kegunaan penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu

sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wacana keilmuan

khususnya dalam bidang pengetahuan hukum dan juga menambah bahan

pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

2. Secara Praktis

a. Untuk KUA, agar KUA lebih meningkatkan sosialisasinya terhadap

masyarakat agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.

b. Untuk pengurus desa setempat, agar lebih memperhatikan warga

desanya dan memberikan sosialisasi agar kejadian tersebut tidak terjadi

(20)

c. Untuk jurusan syari’ah, sebagai tambahan referensi dan bahan kajian

serta memperkaya wawasan di bidang pernikahan.

E. Penegasan Istilah

Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda

dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah dalam

judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa disebut

dengan dua kata yaitu Nakaha (nikah) dan zawaj. Kedua kata-kata ini yang

dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat

dalam Alquran dan hadis Nabi. Sebagaimana dalam surat An-Nuur ayat 32:

“Dan kahwinkanlah orang-orang bujang (lelaki dan perempuan) dari kalangan kamu, dan orang-orang Yang soleh dari hamba-hamba kamu, lelaki dan perempuan. jika mereka miskin, Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari limpah kurniaNya kerana Allah Maha Luas (rahmatNya dan limpah kurniaNya), lagi Maha

mengetahui”. (Tohir, 2009: 354).

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

berbunyi:

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan yang maha

Esa”.

Dalam At- Tanzil Al-Hakim perkawinan disebutkan dalam dua

landasan pokok yaitu Landasan kedua adalah karena berdasarkan

(21)

ijtimaiyyah) hubungan seksual (mihwar Al-Alaqah Al- jinsiyyah).

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mu’minun ayat 5-7:

isterinya atau hamba sahayanya maka Sesungguhnya mereka tidak tercela:Kemudian, sesiapa Yang mengingini selain dari Yang

demikian, maka merekalah orang-orang Yang melampaui batas;”

2. Homoseksual

Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan seksual antara pelaku yang

memiliki jenis kelamin yang sama atau gender yang sama.

Homoseksualitas merupakan salah satu dari tiga kategori utama orientasi

seksual, bersama dengan biseksualitas, dan heteroseksualitas.

Istilah umum dalam homoseksualitas yaitu lesbian untuk perempuan

pecinta sesama jenis dan Gay untuk laki-laki pecinta sesama jenis.

Hubungan homoseksual setara dengan hubungan heteroseksual dalam

hal-hal penting secara psikologis. Hubungan ini telah dikagumi akan tetapi

menjadi hubungan yang dikutuk sepanjang sejarah. sejak abad ke -19 telah

ada gerakan menuju pengakuan akan keberadaan pelaku homoseksual

yang mencakup hak untuk pernikahan dan kesatuan sipil, hak adopsi dan

pengasuhan, hak kerja, hak untuk memberikan pelayanan militer, dan hak

untuk mendapatkan jaminan sosial kesehatan.

F. Kajian Pustaka

Judul skripsi Pandangan Hukum Islam Tentang Pernikahan Sesama

(22)

Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi Dan Perlindungan Kaum Homo Seksual

karya Fatchurrochman , dijelaskan bahwa sesuatu yang terjadi pada kaum

Homoseksual adalah sesuatu yang fitrah, sehingga masyarakat tidak perlu

mengucilkan dan seharusnya bersikap sebaliknya untuk mendukung segala

hak-hak kaum Homoseksual. Selain itu dijelaskan pula bahwa khoirul Adib

juga menyuarakan perubahan Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 yang menyatakan bahwa perkawinan harus antara laki-laki dan

perempuan.

Judul skripsi yang berjudul “Kawin Sesama Jenis Dalam Pandangan

Siti Musdah Mulia” karya Abdul Haq Syawqi, dalam karya skripsinya, Abdul

banyak membahas pemikiran tentang dukungan terhadap perkawinan sejenis

yang dikemukakan oleh tokoh Siti Musdah Mulia yang mendukung atas adanya

perkawinan sesama jenis. Alasan dibolehkannya perkawinan sejenis tersebut

adalah tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, salah satu berkah

Tuhan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sederajat tanpa memandang

etnis, kekayaan, posisi sosial, ataupun orientasi sosial baik antar lesbian

maupun non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan manusia hanya dibedakan

mengenai ketaatannya saja.

Artikel yang berjudul “ Suami-Suami Part I Dan Suami-Suami Part II”

karya Fe yang menjelaskan tentang kehidupan sehari-harinya sebagai seorang

yang menyukai pasangan sejenis. Dia menjelaskan bahwa perkawinan sejenis

masih pada tahapan marriage-like yaitu komitmen antara kedua pihak untuk

(23)

pasangan suami istri. pembagian peran dalam sebuah komitmen pernikahan

tidak didasari oleh jenis kelamin tapi bisa juga didasari oleh aspek lain.

Homoseksual Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Hukum Islam Studi

Komparatif Normatif karya Aziz Ramadhani menjelaskan tentang perbedaan

pandangan Homoseksual antara hukum Islam dengan hukum pidana dan

perbedaan dari segi pemberian hukuman bagi pelaku homoseksual.

Menurutnya perlindungan hukum terhadap hak asasi pihak-pihak yang menjadi

korban dalam KUHP masih kurang maksimal sedangkan dalam hukum pidana

Islam sudah maksimal. Jenis hukuman yang diberikan menurut KUHP dijatuhi

ancaman pidana 5 tahun sedangkan dalam hukum Islam bagi yang sudah

menikah dirajam sampai mati dan bagi yang belum menikah dipukul 100 kali.

Dari beberapa penelitian yang telah dikemukakan diatas yang menjadi

perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini tentang

perkawinan sejenis dalam perspektif Pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999

tentang HAM , hukum Islam dan menguraikan sikap dan upaya pemerintah,

tokoh masyarakat dan KUA setempat terhadap adanya perkawinan

homoseksual di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten

Bojonegoro.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk melakukan penelitian ini

adalah sebgai berikut:

(24)

Jenis penelitian yang digunakan penyusun adalah penelitian lapangan

(field research), yaitu penelitian dilakukan di objek penelitian yaitu di

Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro. Dan

menggunakan pendekatan yuridis sosiologis.

2. Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini penyusun menggunakan penelitian yang bersifat

dreskriptif, yaitu memberikan penilaian terhadap perilaku sebagian warga

Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro yang

melakukan perkawinan sejenis. dan sikap pemerintah Desa Sambongrejo

kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro dengan adanya perkawinan

homoseksual.

3. Ruang Lingkup Penelitian

a. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah individu yang dijadikan sebagai sumber

informasi yang berkaitan dengan penelitian. Subyek penelitian pada

penelitian ini yaitu pihak yang melakukan perkawinan sejenis

(homoseksual) .

(25)

Obyek penelitian adalah fokus dari penelitian. objek penelitian

pada penelitian ini adalah para pihak yang melakukan perkawinan

sejenis (homoseksual).

c. Pengumpulan data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan

metode-metode sebagai berikut:

1.) Observasi Atau Pengamatan

Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa observasi merupakan

suatu proses yang kompleks. Suatu proses yang tersusun dari

berbagai proses biologis dan psikhologis. Teknik observasi

digunakan berkaitan dengan perilaku manusia, proses gejala alam

dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. Dalam hal ini

penyusun menggunakan jenis observasi non partisipan dimana

penulistidak terlibat langsung dalam kehidupan aktivitas

sehari-hari objek yang diamati (Sugiyono, 2012: 145).

Observasi ini dilakukan dengan melakukan serangkaian

pengamatan dengan menggunakan alat indera penglihatan dan

pendengaran secara langsung terhadap objek yang diteliti. Dalam

penelitian ini penulis menggunakan observasi yang berperan pasif

dimana observasi dapat dilakukan langsung maupun tidak

(26)

Dalam penelitian ini penyusun melakukan observasi langsung

di objek penelitian yaitu di Desa Sambongrejo Kecamatan

Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.

2.) Wawancara

Wawancara adalah tanya jawab secara lisan antara dua orang

atau lebih secara langsung. Dalam hal ini penyusun mewawancarai

pelaku perkawinan sejenis, tokoh agama, masyarakat, dan pejabat

desa setempat menegenai perkawinan sejenis tersebut.

Dalam metode ini penulis menggunakan tehnik interview

guide yaitu cara mengumpulkan data dengan menyampaikan

secara langsung. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara

mendalam yang diarahkan pada masalah tertentu dengan para

informan yang sudah dipilih untuk mendapatkan data yang

diperlukan. Teknik wawancara ini dilakukan secara tidak

terstruktur, dimana penulis tidak melakukan wawancara dengan

cara yang ketat kepada informan agar informasi yang diperoleh

memiliki kapasitas yang cukup tentang berbagai aspek dalam

penelitian ini (Koentjaraningrat, cet IV: 138).

3.) Dokumentasi

Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencari data

tentang hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku,

(27)

Dalam melaksanakan metode dokumentasi,

penulismenyelidiki benda-benda tertulis seperti, peraturan rapat,

catatan harian dan lain hidup dan sebagainya.

4. Sumber Data

Data merupakan suatu keterangan fakta dari objek yang diteliti. Sumber

data dari penelitian kualitatif adalah kata-kata, tindakan, selebihnya adalah

data tambahan seperti dokumen lain (sumber data tertulis, foto, dan statistik)

(Moleong, 2007: 157).

Sumber data dibedakan menjadi 2:

a. Data Primer

Sumber dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata dan

tindakan subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman dari

subjek yang diteliti sebagai sumber utama melakukan interprestasi

data. Data atau informasi diperoleh langsung dari orang-orang yang

dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji dan bersedia

memberikan data atau informasi yang diperlukan. Sedangkan untuk

pengambilan data dilakukan dengan bantuan catatan yang diperoleh

dari lapangan berupa bantuan foto atau rekaman suara dari handphone

atau alat lainnya. Sedangkan observasi dilakukan dengan cara

mengamati aktivitas yang dilakukan oleh pasangan perkawinan

homoseksual serta sikap dan upaya dari pemerintah, masyarakat Desa

Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.

(28)

Data sekunder adalah data yag diperoleh dari sumber-sumber lain

selain data primer. Diantaranya dari berbagai literatur, majalah,

internet, jurnal ilmiah,arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi

lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Data-data tersebut

diantaranya adalah buku referensi.

Buku referensi adalah koleksi buku yang memuat informasi yang

spesifik, paling umum serta saking banyak digunakan sebagai bahan

rujukan untuk keperluan cepat. Yang termasuk buku-buku referensi

diantaranya kamus baik umum maupun biografi, buku indeks, buku

yang berisi informasi buku-buku bidang tertentu, dan lain sebagainya.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis adalah suatu cara penanganan terhadap objek ilmiah

tertentu dengan jalan memilah antara pengertian yang satu dengan

pengertian yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru. Data yang

dihimpun akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menerapkan metode

berfikir induktif, yaitu suatu metode berfikir yang bertolak dari fenomena

khusus dan kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum (Daymon,

2008: 369).

6. Pengecekan Keabsahan Data

Pengecekan terhadap keabsahan suatu data harus dilakukan secara tepat.

Teknik pengecekan dalam penelitian ini harus ada sebuah kredibilitas yang

(29)

triangulas, pengecekan sejawat, kecukupan referensia, adanya kriteria

kepastian dengan teknik uraian rinci dan audit kepastian.

Untuk mengetahui perolehan data dalam suatu penelitian yang telah

dikumpulkan memiliki tingkat kebenaran atau tidak. Maka dilakukan

pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin

validitas data dilakukan trianggulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan

data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2007:

330).

Validitas data akan membuktikan apakah data yang diperoleh sesuai

dengan apa yang ada di lapangan. Dengan demikian data yang diperoleh

akan dikontrol oleh data yang sama dengan sumber yang berbeda.

7. Tahap-Tahap Penelitian

a. Penelitian Pendahuluan

Penulis mengkaji buku-buku tentang nikah dan buku yang lain

yang berkaitan dengan homoseksual.

b. Pengembangan Desain

Setelah penulis banyak mengkaji tentang hukum pernikahan,

kemudian penulis melakukan observasi ke objek penelitian untuk

melihat secara langsung pasangan pernikahan sejenis homoseksual Di

Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.

(30)

Dalam penelitian ini penulis terjun langsung ke lokasi penelitian

untuk meneliti secara lebih mendalam tentang kasus yang sebenarnya

terjadi mengenai pasangan pernikahan sejenis homoseksual di Desa

Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.

H. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menyusun sistematikanya sebagai

berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan sebagai gambaran tentang

pembahasan penelitian ini. Bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, fokus penelitian, manfaat hasil penelitian dan metode

penelitian.

Bab dua, berisi tentang kajian teori mengenai perkawinan sejenis

menurut hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan UU Nomor

39 tahun 1999 tentang HAM .

Bab tiga adalah berisi tentang hasil penelitian mengenai gambaran

umum objek penelitian perkawinan sejenis (Homoseksual) di Desa

Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro. Serta

menguraikan hasil wawancara dengan pasangan perkawinan sejenis, keluarga,

dan tetangga.

Bab empat, berisi pembahasan atau analisis mengenai pelaksanaan

perkawinan sejenis di Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten

Bojonegoro, perkawinan sejenis (homoseksual) dalam perspektif HAM dan

(31)

masyarakat dan KUA pada pasangan perkawinan sejenis (Homoseksual) di

Desa Sambongrejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.

(32)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Islam

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berasal dari kata

nakaha yang berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini sudah menjadi bahasa

keseharian orang Arab. Kata nakaha banyak terdapat dalam Alquran maupun

Hadis.

Demikian pula banyak terdapat kata zawaja dalam Alquran dalam arti

kawin, seperti dalam surat al-Ahzab ayat 37 yang berbunyi:

orang Yang telah dikurniakan oleh Allah (dengan nikmat Islam) dan Yang Engkau juga telah berbuat baik kepadanya: "Jangan ceraikan isterimu itu dan bertaqwalah kepada Allah", sambil Engkau menyembunyikan Dalam hatimu perkara Yang Allah akan menyatakannya; dan Engkau pula takut kepada (cacian manusia padahal Allah jualah Yang berhak Engkau takuti (melanggar perintahNya). kemudian setelah Zaid selesai habis kemahuannya terhadap isterinya (dengan menceraikannya), Kami kahwinkan Engkau dengannya supaya tidak ada keberatan atas orang-orang Yang beriman untuk berkahwin Dengan isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah selesai habis

kemahuannya terhadap isterinya (lalu menceraikannya). dan

sememangnya perkara Yang dikehendaki Allah itu tetap berlaku”. (Amir: 2014, 35)

(33)

اَي ( ملسو هيلع الله ىلص ِ ه َاَللَ ُلوُس َر اَنَل َلاَق هنع الله يضر ٍدوُعْسَم ِنْب ِ ه َاَللَ ِدْبَع ْنَع

Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.

Dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa Perkawinan

menurut hukum Islam adalah suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan

ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga

yang sakinah,mawaddah, dan rahmah. (Tim Redaksi Nuansa Aulia: 2012, 2).

Ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan menurut syari’at Islam

mengikat kepada setiap muslim, dan setiap muslim harus menyadari bahwa

didalam perkawinan mengandung nilai ubudiyah, maka memperhatikan

keabsahannya menjadi hal yang sangat prinsipil (Anshary: 2010, 11).

Allah menciptakan manusia sesuai fitrahnya, yaitu makhluk hidup yang

berpasang-pasangan dan mengatur tentang kecenderungan orientasi seksualnya

didasarkan pada pasangannya, dan mengembangkan keturunan antara suami

dan istri melalui pernikahan. Ketentuan ini sesuai dengan firman Allah dalam

Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 1 antara lain:

(34)







“Wahai sekalian manusia! bertaqwalah kepada Tuhan kamu Yang telah menjadikan kamu (bermula) dari diri Yang satu (Adam), dan Yang menjadikan daripada (Adam) itu pasangannya (isterinya - Hawa), dan juga Yang membiakkan dari keduanya - zuriat keturunan - lelaki dan perempuan Yang ramai. dan bertaqwalah kepada Allah Yang kamu selalu meminta

Dengan menyebut-yebut namaNya, serta peliharalah hubungan

(silaturrahim) kaum kerabat; kerana Sesungguhnya Allah sentiasa

memerhati (mengawas) kamu”.

Pernikahan merupakan sarana menyatukan dua insan manusia atas dasar

kesukarelaan demi mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman lahir dan

bathin. Dengan adanya pernikahan seseorang memiliki partner hidup yang

dapat menemani disetiap perjuangan kehidupannya.

Para ulama mendefinisikan istilah perkawinan dengan berbagai versi.

Menurut Mazhab Hanafi nikah merupakan akad yang memberikan faedah yang

mengakibatkan seseorang mempunyai hak bersenang-senang secara sadar atau

sengaja terhadap seorang pria maupun wanita terutama guna mendapatkan

kenikmatan biologis.

Menurut Mazhab Malikiyah, nikah merupakan suatu akad yang

bertujuan untuk meraih kenikmatan seksual saja. Sedangkan Mazhab Syafi’i

memberikan batasan nikah sebagai akad yang menjamin kepemilikan untuk

bersetubuh dengan menggunakan redaksi inkah/ tazwij. Hal tersebut juga sama

dikemukakan oleh Mazhab Hanbali (Abdur:1990, 2-3).

Menurut Sajuti Thalib pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci,

kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara laki-laki dan perempuan

dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun- menyantuni,

(35)

Sedangkan definisi pernikahan menurut Tahir Mahmod adalah sebuah

ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami

dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun

keluarga dalam sinaran ilahi (Amiur, dkk: 2006, 4).

Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum Islam serta harus

memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun dan syarat menentukan suatu

perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya

perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan

syarat tidak boleh tertinggal.

Dalam hal hukum perkawinan, dalam menentukan mana yang menjadi

rukun dan syarat terdapat perbedaan dikalangan ulama yang perbedaan ini tidak

bersifat substansial. Hal ini disebabkan karena perbedaan dalam melihat fokus

perkawinan itu. ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang

berlaku dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu,

yang menjadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang

dilakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang

lain seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan ke dalam syarat

perkawinan. Adapun syarat perkawinan menurut ulama Hanafiyah diantaranya:

1. Syuruth al-in’iqad yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad

perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan tergantung pada akad.

Sehingga syarat disini adalah syarat yang harus dipenuhi. Jika syarat

(36)

2. Syuruth al-shihhah, yaitu suatu yang keberadaannya menentukan dalam

perkawinan. Syarat ini harus di penuhi untuk menimbulkan akibat hukum.

Jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut tidak sah.

3. Syuruth al-nufuz, yaitu syarat yang menentukan kelangsungan perkawinan.

Akibat hukum yang ditimbulkan dan sahnya perkawinan tergantung

kepada adanya syarat-syarat, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka

akan menyebabkan fasadnya perkawinan.

4. Syuruth al-luzum, yaitu syarat yang menentukan kepastian suatu

perkawinan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi maka

perkawinan dapat dibatalkan. Seperti suami harus sekufu dengan istrinya

(Amir: 2014, 60)

Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud perkawinan yaitu

keseluruhan yang berkaitan dengan perkawinan tersebut dengan segala

unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Menurut mazhab ini, rukun

perkawinan harus terwujud dalam suatu perkawinan. Unsur pokok perkawinan

adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri,

wali yang melangsungkan akad nikah dengan si suami, dua orang saksi yang

akan menyaksikan berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat

ini rukun perkawinan tersebut yaitu:

1. Calon mempelai laki-laki

2. Calon mempelai perempuan

3. Wali dari mempelai perempuan

(37)

5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.

diantaranya harus ada calon mempelai yaitu laki-laki dan perempuan

sebagai suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab kabul. Rukun

dan syarat merupakan dua unsur yang harus terwujud untuk sahnya sebuah

pernikahan. (Amir: 2009, 59).

Tujuan pernikahan adalah unutuk memperoleh keturunan dan

melestraikan kehidupan manusia. Manusia hanya dapat diwujudkan jika

pernikahan dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan. Sebagaimana

dalam Firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 berikut ini:



Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu Dengan Yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang Yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan Yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha mendalam pengetahuannya (akan keadaan dan amalan kamu).

Tanpa pernikahan maka akan sulit untuk memperoleh keturunan,

keturunan yang dihasilkan melalui hubungan yang tidak baik maka akan

berpengaruh pada kualitas manusia itu sendiri. Jika perkawinan yang dilakukan

adalah perkawinan sesama jenis maka akan lebih mustahil untuk mendapatkan

keturunan. Apabila perkawinan sejenis dibenarkan maka lambat laun manusia

akan punah.

Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan

(38)

perempuan. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan

yang akan kawin ialah:

1. Keduanya jelas identitasnya dan dapat di bedakan dengan yang lainnya,

baik meyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal-hal lain yang

menyangkut tentang dirinya.

2. Keduanya sama-sama beragama Islam.

3. Antara keduanya tidak ada hal-hal yang dilarang untuk melangsungkan

perkawinan.

4. Kedua belah pihak sama-sama setuju untuk melangsungkan perkawinan

(Amir: 2014, 64).

Allah memerintahkan manusia untuk menjalankan segala sesuatu sesuai

dengan sebenarnya. Pernikahan bukan hanya sarana untuk melampiaskan

hawa nafsu, dan kesenangan semata, namun didalamnya terdapat misi yang

sangat mulia yaitu mewujudkan keturunan yang unggul dan berkualitas. Jadi

bukan hanya dari pandangan agama, gagasan pernikahan sejenis juga tidak

masuk dalam logika yang benar.

Orientasi seksual dalam pandangan Musdah Mulia mengandung arti

yang sangat luas karena mencakup aspek kehidupan yang menyeluruh terkait

dengan jenis kelamin biologis maupun sosial (gender), orientasi seksual,

identitas gender dan perilaku seksual. Seksualitas adalah proses sosial yang

menciptakan dan mengarahkan hasrat manusia (the socially constructed

(39)

biologis, psikologis, sosial, ekonomi, agama dan spiritual (Jurnal Gandrung

Vol. 1, 2010:11).

Adapun perilaku seksual, sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial,

tidak bersifat kodrati, dan tentu saja dapat dipelajari. Perilaku seksual adalah

cara seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya. Terdapat banyak

varian, diantaranya oral seks dan anal seks (disebut juga sodomi atau liwāṭ

dalam bahasa Arab). Sodomi atau liwāṭadalah memasukkan alat kelamin

laki-laki ke dalam dubur, baik dubur sesama lelaki-laki maupun dubur perempuan. Islam

telah mengatur bagaimana tata cara menyalurkan atau mengekspresikan

orientasi seksual dengan perilaku seksual yang benar. Dalam Alqur'an

ditemukan banyak perintah agar manusia menjaga kemaluannya serta

menyalurkan hasrat seksual hanya dengan cara yang dibenarkan syar’i,

sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam surat An-Nur ayat 30-31

(40)



beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (daripada memandang Yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka; Sesungguhnya Allah amat mendalam pengetahuannya tentang apa Yang mereka kerjakan.

Dan Katakanlah kepada perempuan-perempuan Yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang Yang haram), dan memelihara kehormatan mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali Yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya Dengan tudung kepala mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka, atau bapa mereka atau bapa mertua mereka atau anak-anak mereka, atau anak-anak tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka Yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka Yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari orang-orang lelaki Yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau kanak-kanak Yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan; dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa Yang tersembunyi dari perhiasan mereka; dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Wahai orang-orang Yang beriman, supaya kamu berjaya.

(41)

Dari ayat di atas menjelaskan betapa Islam telah mengatur penyaluran

orientasi seksualitas hamba-Nya sesuai dengan ketentuan Allah yaitu hanya

terhadap suami istri dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah. Terkait dengan

LGBT, Quraish Shihab mengatakan, pernikahan atau hubungan seks sesama

jenis tidak dibenarkan dalam ajaran Islam (jurnal Al-Ahkam Vol. 26, 2016:

231).

Islam sendiri dengan mengusung paham yang tidak memaksa seorang

untuk memasukinya (agama Islam). Namun ajaran Islam yang bersumber dari

dalil Quran dan Hadis menegaskan bahwa peraturan dalam Islam juga meliputi

aspek sosial dan politik kehidupan umat muslim itu sendiri. Artinya setiap

muslim harus mengikuti segala ketentuan yang berlaku termasuk larangan

pernikahan sesama jenis. Ajaran homoseksual meruapakan sisa virus kaum

Sodom yang telah dihancurkan pada masa Nabi Luth yang diutus oleh Allah

untuk meluruskan perilaku menyimpang tersebut. Sebagaimana firman Allah

dalam surat Al-A’raaf ayat 80-81 yang berbunyi:



“Dan Nabi Lut juga (Kami utuskan). ingatlah ketika ia berkata kepada kaumnya: "Patutkah kamu melakukan perbuatan Yang keji, Yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari penduduk alam ini sebelum kamu?. "Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk memuaskan nafsu syahwat kamu Dengan meninggalkan perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum Yang melampaui batas".

Dengan mendasarkan kepada al-Qur’an dan Hadis sebagaimana tersebut

di atas, maka ulama sepakat (ijma') bahwa liwāṭ dan aktivitas seksual sesama

(42)

berat sampai pada hukuman mati, sebagaimana dijelaskan dalam hadis

sebelumnya. Menyikapi tentang perilaku homoseksual para ulama berpendapat,

bahwa homoseksual adalah perbuatan dosa besar. Terbukti Allah

memusnahkan kaum Nabi Luth dengan bencana yang besar. Untuk para pelaku

Homoseksual, hukuman yang berat merupakan salah satu cara untuk

menimbulkan efek jera. Oleh sebab itu ancaman bagi pelaku homoseksual lebih

berat dari ancaman terhadap para pezina normal.

Syari’at Islam memandang bahwa perbuatan homoseks itu haram, dan

para ulama juga telah sepakat tentang keharamannya. Mereka hanya berbeda

pendapat mengenai hukuman yang layak diberlakukan kepada pelaku.

Berikut beberapa pendapat dari para ulama mengenai hukuman pelaku

Homoseks:

1. Imam Syafi’i, pasangan homoseks dihukum mati berdasarkan hadits Nabi:

نَم

ِهِب ِ ُلْوُعْفَﻤلاَو ُﻞِعاَف ُ اْوُلُتْقاَف َﻁْوُل مْوَقْ َﻞَﻤَع ُﻞَﻤْعَي ﻩْوُﻤُﺗْدَجَو

“Barang siapa orang yang menjumpai berbuat homoseks seperti praktek kaum Luth, maka bunuhlah si pelaku dan yang diperlakukan (pasangannya)”

2. Menurut al-Mundziri, khalifah Abu Bakar dan Ali pernah menghukum

mati terhadap pasangan homoseks.

Dan telah dijelaskan pula dalam Alquran surat Al-A’raaf ayat 84 Allah

telah berfirman:

(43)

Hujan batu disini merupakan siksaan bagi kaum yang melakukan

homoseks dan ini dapat di qiyaskan dengan hukuman rajam pada umatnya nabi

Muhammad SAW, bahkan lebih berat lagi karena batunya dari neraka

(Sa’dullah, 1984: 90).

3. Menurut Ibnu Qayyim, hukuman bagi pelaku sodomi adalah dibunuh.

menurutnya, sudah sesuai dengan hukum Allah. Karena semakin besar

perbuatan yang diharamkan maka semakin berat pula hukumannya, dalam

hal ini persetubuhan yang tidak dibolehkan sama sekali lebih besar dosanya

dari persetubuhan yang diperbolehkan dalam kondisi tertentu, oleh karena

itu hukumannya harus diperberat. (jurnal Al-Ahkam Vol. 26, 2016: 235)

Menururt Hukum Pidana Islam homoseksual (liwāṭ) termasuk dosa

besar, karena bertentangan dengan norma agama, norma susila dan

bertentangan pula dengan sunnatullah (God’s Law/ natural law) dan fitrah

manusia (human nature) (Masjfuk, 1991: 41).

B. Perkawinan Sejenis Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Manusia memiliki tujuan untuk melanjutkan keturunan dengan cara

perkawinan antara laki-laki dengan perempuan, serta untuk mewujudkan

kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman

dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.

Syarat perkawinan diatur dalam pasal 6 sampai pasal 12

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. yang terdiri dari syarat formiil dan syarat

materiil, adapun syarat formiil nya antara lain: a.) Laporan, b.) Pengumuman,

(44)

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 6

ayat 1).

2. Harus mendapatkan ijin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing

belum mencapai usia 21 tahun (pasal 6 ayat 2).

3. Usia menikah pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan usia

16 tahun kecuali ada dispensasi nikah yang diberikan oleh pengadilan atau

pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (pasal 7 ayat 1

dan 2) (R. Soetodjo, 1988: 39).

4. Pasangan calon pengantin adalah laki-laki dan perempuan (Munir, 2014:

14).

Asas-asas perkawinan diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 antara lain:

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Untuk itu pasangan suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi,

agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu

dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

2. Suatu perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan

harus dicatat menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami. Hanya

apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat 1 dijelaskan:

“Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir bathin antara laki-laki dan

(45)

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan

kepercayaan masing-masing dan disamping itu perkawinan harus dicatatkan

menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sangat berpegang teguh kepada

aturan-aturan hukum Islam, walaupun tidak secara tegas mengatur tentang

rukun perkawinan, tetapi Undang-Undang tersebut menyerahkan persyaratan

sahnya perkawinan sepenuhnya kepada masing-masing agama calon pengantin

yang akan melangsungkan perkawinan. Undang-Undang ini mengatur tentang

syarat perkawinan sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur

masalah rukun perkawinan, hal ini diatur dalam pasal 14 yang secara

keseluruhan sama dengan yang terdapat dalam hukum Islam sebagaimana

tertera dibawah ini, dan keseluruhan rukun perkawinan tersebut , menurut Amir

Syarifudin mengikuti fiqh imam Syafi’I dengan tidak mencantumkan mahar

didalam rukun nikah.

Di dalam hukum Islam rukun nikah terdiri dari: (1.) Calon mempelai

laki-laki dan calon mempelai perempuan (2.)Wali dari mempelai perempuan

(3.) Dua orang saksi (4.) Ijab dan Kabul.

Perkawinan yang dilaksanakan dengan memenuhi rukun tersebut di atas,

telah memenuhi ketentuan bahwa perkawinan tersebut telah dianggap sah oleh

hukum. Dengan demikian, sahnya suatu perkawinan ditentukan oleh pasal 2

(46)

Terlepas dari adanya bermacam-macam masyarakat dengan berbagai

corak ragamnya dalam proses melaksanakan perkawinan sesuai dengan adat

mereka, namun dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang peraturan pelaksanaannya tidak lain adalah dimaksudkan sebagai

univikasi hukum khususnya di bidang Perkawinan di Indonesia. Mengingat

semakin mendesaknya tuntutan zaman dan kompleksnya permasalahan yang

terjadi dengan adanya perkawinan, sehingga dalam hal ini pencatatan

perkawinan sangatlah diperlukan (Jurnal Independent Vol. 2, 1982: 58).

Ketentuan dari pasal 2 tersebut tidak memberikan ruang bagi para kaum

LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) untuk melangsungkan

pernikahan sejenis. Karena pernikahan sejenis tidak direstui oleh agama

apapun.

Masyarakat Indonesia tidak akan menerima konsep perkawinan sejenis

tersebut karena konsep tersebut sangat diluar batas kewajaran dan jelas telah

menyalahi falsafah dasar Negara Indonesia. Sehingga mustahil perkawinan di

Indonesia bisa dibenarkan dan di legalkan.

Homoseksual di Indonesia dianggap sebagai perbuatan yang

terkutuk,dan yang tertangkap diajukan ke pengadilan. Meskipun petugas

hukum menyadari bahwa perbuatan tersebut diluar keinginan sang pelaku dan

merupakan penyakit yang diidapnya. Akan tetapi perilaku tersebut merupakan

naluri sehingga dia benar-benar tidak tertarik dengan perempuan, tetapi

nafsunya akan timbul jika bertemu dengan kelamin yang sejenisnya padahal ia

(47)

Gejala-gejala tersebut biasanya dimulai dari dalam penjara- penjara,

asrama-asrama, tempat penampungan lain yang isinya berjenis kelamin sama

yang tidak ada kesempatan untuk bebas serta iman yang kosong dalam

jiwanya. Orang yang biasanya melayani homoseks menurut pandangan umum

di Indonesia dikenal dengan istilah “WADAM” yaitu laki-laki yang berdandan

layaknya seorang wanita. Sebagian masyarakat tidak membencinya, menurut

mereka seseorang yang memilki penyakit abnormal patut dikasihani (Sa’dullah,

1984: 87).

Sebab-sebab penyimpangan ini adalah kompleks. Beberapa orang yang

mengalami penyakit tersebut dikarenakan oleh berbagai faktor seperti bawaan

dari lahir, cidra, dan mungkin rangsangan-rangsangan yang mendorong untuk

melakukan hal-hal tersebut. Yang lain memasuki kelakuan ini dari

kesalahan-kesalahan dan hal-hal yang luar biasa dalam hubungan keluarga, kesalahan-kesalahan

dalam pendidikan seks, pengalaman pahit tentang seks, pengalaman seks yang

abnormal dan sejenisnya.

Kecenderungan pada perilaku homoseks , tidak adanya dasar –dasar

fisik, mereka tidak dapat mengendalikan dirinya, kemudaian menjelma menjadi

homoseks akibat perubahan fisik atau tipe-tipe khusus dari lingkungan dan

pengalamannya. Dari kalangan bukan ahli dan Polisi kurang begitu memahami

tentang homoseks yang sesungguhnya. Masyarakat beranggapan bahwa ini

merupakan kemunduran dari generasi yang lebih dari penderitaan suatu

kesengsaraan yang bukan karena kesalahannya sendiri. Walaupun banyak di

(48)

adalah tidak wajar. Banyak kaum homoseks yang menciptakan karya yang

dengan caranya sendiri yang sama dengan kaum kelamin normal lainnya

(Sa’dullah, 1984: 88).

Kejahatan dalam penyalahgunaan seks telah diatur dalam KUHP,

dimana ancaman pidananya telah di klasifikasikan menurut bentuk

perbuatannya. Bagi tindak pidana homoseksual telah diatur oleh pasal 292

KUHP yang berbunyi:

orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang

belum dewasa dari jenis kelamin yang sama dengan diketahuinya atau patut hal yang disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun”.

C. Perkawinan Sejenis Menurut UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM

Tentang Hak Asasi Manusia.

Tuhan telah memberikan anugerah kepada manusia akal, budi, nurani,

memberikan kepada manusia kemampuan untuk membedakan mana yang baik

dan mana yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan

perilaku kehidupannya. Dengan akal budi nya manusia bebas menentukan

sikap dan perilakunya. Manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung

jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan itulah yang disebut

dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia sudah ada sejak

manusia ada, HAM bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia, hanya saja

HAM baru dikodifikasikan dan diformulasikan pada abad ini.

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada setiap

manusia dimanapun, kapanpun manusia itu berada tanpa memandang siapa

(49)

mendunia hadir bersamaan dengan perkembangan kesadaran umat manusia

akan pentingnya mengakui, menghormati, dan mewujudkan manusia yang

berdaulat dan utuh (Ellin, 2007: 7).

Hak-Hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut

berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara,

pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui

dan melindungi Hak Asasi Manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini

berarti bahwa Hak Asasi Manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan

dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung

pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang maha Esa dengan

menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek

sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi

oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban

mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku

bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah.

Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk

menghormati, melindungi, membela, dan menjamin Hak Asasi Manusia setiap

warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.

Kewajiban menghormati Hak Asasi Manusia tersebut, tercermin dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal

dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan

(50)

penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan

untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk

memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Deklarasi Universal tentang HAM (DUHAM) yang diselenggarakan

oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948 diantaranya berisi 30 pasal yang

berfungsi sebagai perangkat hukum internasional yang terdiri dari konvenan

sosial politik (Sipol) dan ekonomi sosial budaya (Ecosob), dasar-dasar filosofis

DUHAM adalah nilai-nilai humanisme, individualisme, dan liberalisme yang

tumbuh di Barat modern.

Pasal-pasal dalam Undang-Undang HAM ada yang bersifat ketat ada

juga yang bersifat longgar. Sebagaimana pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999

tentang HAM mengenai hak untuk menikah dan berkeluarga yang berbunyi:

1.bahwa Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah”

2. bahwa Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas

kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Artinya Yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak

yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun

dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri. Yang dimaksud

dengan “perkawinan yang sah” adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal tersebut tidak secara eksplisit dibolehkannya perkawinan

sejenis, meskipun pasal tersebut bersifat longgar tetapi Negara Indonesia tidak

(51)

disesuaikan dengan hukum nasional dan kondisi Indonesia meskipun Indonesia

telah meratifikasi DUHAM. Beberapa pasal dalam DUHAM masih bersifat

longgar atau kurang jelas sehingga masih dibutuhkan penjelasan lebih lanjut

dalam konvensi dan hukum nasional.

Indonesia tidak dapat memberlakukan pernikahan sesama jenis ke

dalam bentuk regulasi, sebab pernikahan sejenis bertentangan dengan ideologi

Negara, pancasila dan Konstitusi Indonesia. Konstitusi Indonesia menganut

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai nilai pancasila yang menunjukkan bahwa

bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama sehingga sudah

semestinya menolak pernikahan sesama jenis karena perilaku menyimpang.

Undang-Undang telah tegas menutup celah bagi pernikahan sesama

jenis. Sebagaimana dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita sebagai siuami istri dengan tujuan membentuk

keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Undang- undang ini adalah wujud komitmen bangsa Indonesia untuk

membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengedepankan nilai

–nilai keTuhanan yang maha Esa. Budaya dan agama-agama di Indonesia juga

bersepakat perkawinan sesama jenis perkawinan sesama jenis merupakan

perbuatan amoral yang harus ditolak bahkan dikategorikan perbuatan

dosa.(

(52)

Homoseksual adalah pemuasan nafsu seksual dengan hubungan badan

dengan sesama jenisnya sendiri, yaitu laki-laki dengan laki-laki dan perempuan

dengan perempuan.

Perkembangan gay dan lesbi pada kenyataannya sudah mengalami

perkembangan, dulu seorang gay ataupun lesbian tidak berani mengekspose

dirinya berbeda dengan sekarang yang berani menampilkan dirinya (Samun:

2014, 323).

Komunitas LGBT seringkali dideskriditkan dalam berbagai ranah

sosial, hak-hak dasar meraka sebagai warga negara acap kali dihiraukan, dan

bahkan hinaan, cercaan dan perlakuan keji sering dialamatkan kepada mereka,

sekalipun mereka tidak melakukan tindakan kriminalitas yang mengganggu

ketertiban sosial. Mereka menyadari akan orientasi seksualnya yang berbeda

dengan mayoritas masyarakat disekitarnya. Namun, kelainan orientasi seksual

ini tidak berarti sebagai bentuk kriminalitas yang dapat menimbulkan berbagai

patologi sosial. Apalagi pada faktanya tidak sedikit dari anggota komunitas

LGBT yang lebih peka dan peduli terhadap persoalan-persoalan sosial.

Negara secara konstitusional telah melarang keberadaan dan aktivitas

kaum LGBT melalui UU Pornografi pasal 5 ayat 3 Pasal ini pada intinya

berbunyi tentang pelarangan atas tindakan seksual, penetrasi dan hubungan

seks pada pasangan sejenis, anak-anak, orang meninggal dan hewan. Efek

signifikan dari Undang-Undang ini adalah memarginalkan komunitas LGBT

secara sosial sekaligus menghilangkan hak-hak dasar mereka sebagai warga

(53)

Pelegalan perkawinan sesama jenis seringkali diakaitkan dengan HAM

(Hak Asasi Manusia), menurutnya manusia berhak menentukan hidupnya

sendiri, dengan siap ia menikah baik dengan lawan jenisnya maupun berbeda

jenis. Para kaum LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, dan Transgender) seringkali

menganggap bahwa kelompoknya selalu mendapatkan diskriminasi dari

masyarakat. Oleh karenanya mereka sering meminta perindungan atas nama

HAM. Bahkan merekapun mendatangi KOMNAS HAM untuk mengajukan

tuntutan agar eksistensi keberadaan mereka diakui oleh masyarakat.

Prinsip-prinsip dalam HAM memang sangat Universal atau

menekankan kebebasan secara umum. Dalam implemetasinya HAM sama

sekali tidak menghilangkan unsur relitas lokal. Penafsiran secara substansial

tentang HAM bukan mutlak sepenuhnya dari aliran liberal, ulitarian, maupun

hedonis. HAM memang menjamin kebebasan individu tetapi kebebasan

tersebut juga ada batasan berdasarkan hasil dari Declaration Of Human Right

yang tentunya sudah diratifikasikan agar tidak bertentangan dengan

Undang-Undang dasar 1945.

Dalam pasal 28J ayat 1 Undang-Undang dasar 1945 dijelaskan bahwa:

“Setiap orang wajib menghormati Hak Asasi Manusia orang lain

dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.

Berdasarkan bunyi pasal diatas Hak Asasi Manusia yang diinginkan

oleh masyarakat adalah hak asasi yang sesuai dengan norma dan tata tertib yang

tumbuh dalam masyarakat, sehingga tuntutan hak mengenai pemenuhan

Gambar

Table 1
Table 2
Table 3 Keadaan penduduk Desa Sambongrejo berdasarkan keagamaan
Tabel 4

Referensi

Dokumen terkait

Kalau informasi yang didapat bahwa yang bersangkutan tidak bertempat tinggal lagi di rumah tersebut karena sudah pindah, maka jurusita harus bertanya pindah kemana dan

Peneliti sungguh bersyukur bahwa pada akhirnya skripsi yang berjudul Asertivitas remaja akhir ditinjau dari Jenis Kelamin pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UKWMS yang Berasal

Desa adalah Desa Pejambon Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk

ditetapkan untuk pembagian manfaat program REDD+ secara adil di antara dan di dalam kelompok pemangku hak dan pemangku kepentingan yang relevan dengan mempertimbangkan manfaat,

Untuk meningkatkan kepribadian muslim mahasiswa, UKM Lembaga Dakwah Kampus Al-Fattah STAIN Pekalongan memberikan kegiatan atau program-program sebagai upaya untuk

1) Pangembangan LKS elektronik ditindakake miturut model pangembangan 4-D miturute Thiagarajan, utawa bisa diadhaptasi dadi 4-P yaiku pendefisian (define),

IVONNE CHRISTIATY BUTAR BUTAR 198310132010012003 Penata Tingkat I, III/d UPTD PUSKESMAS KARANG KITRI DINAS KESEHATAN.. 278 IVA

Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without ads or interruptions.. Start Free Trial