TESIS
PELATIHAN LARI-LOMPAT DI PASIR LIMA REPETISI
EMPAT SET MENINGKATKAN JARAK CAPAIAN LOMPAT
JAUH LEBIH PANJANG DARIPADA LARI RINTANGAN LIMA
REPETISI EMPAT SET PADA SISWA SMPN-11 DENPASAR
I WAYAN SUGIANTA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
PELATIHAN LARI-LOMPAT DI PASIR LIMA REPETISI
EMPAT SET MENINGKATKAN JARAK CAPAIAN LOMPAT
JAUH LEBIH PANJANG DARIPADA LARI RINTANGAN LIMA
REPETISI EMPAT SET PADA SISWA SMPN-11 DENPASAR
I WAYAN SUGIANTA NIM : 1290361009
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
PELATIHAN LARI-LOMPAT DI PASIR LIMA REPETISI
EMPAT SET MENINGKATKAN JARAK CAPAIAN LOMPAT
JAUH LEBIH PANJANG DARIPADA LARI RINTANGAN LIMA
REPETISI EMPAT SET PADA SISWA SMPN-11 DENPASAR
Tesis Untuk memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana Universitas Udayana
I WAYAN SUGIANTA NIM : 1290361009
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 7 JULI 2014
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc. Sp.And Prof. Dr. dr. N. Adiputra, PFK, M.OH
NIP. 19440201 196409 1 001 NIP. 19470704 197903 1 001
Mengetahui
Ketua Program Fisiologi Olahraga Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Dr. dr. Susy Purnawati, M. KK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19680929 199903 2001 NIP. 19590215 198510 2 001
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal : 7 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No : 1749/UN.14.4/HK/2014, Tanggal 16 Juni 2014
Panitia Penguji Kelayakan Tesis Adalah:
Ketua : Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc. Sp.And Sekretaris : Prof. Dr. dr. N. Adiputra, PFK, M.OH
Anggota :
1. Prof. dr. N. T. Suryadhi, M.PH, P.HD 2. Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.Biok 3. Dr. Ketut Karna, PFK, M.Kes, AIFO
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : I Wayan Sugianta
NIM : 1290361009 Program Studi : Fisiologi Olahraga
Judul Tesis : Pelatihan Lari-Lompat Di Pasir Lima Repetisi Empat Set Meningkatkan Jarak Capaian Lompat Jauh Lebih Panjang Daripada Lari Rintangan Lima Repetisi Empat Set Pada Siswa SMPN-11 Denpasar
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar,
Yang membuat pernyataan Materai
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini dalam upaya memenuhi syarat untuk mencapai derajat Magister Fisiologi Olahraga (M.Fis) pada Program Studi Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tesis ini berjudul “Pelatihan Lari Lompat di Pasir Lima Repetisi Empat Set Meningkatkan Jarak Capaian lompat Jauh Lebih Panjang daripada Lari Rintangan Lima Repetisi Empat Set pada Siswa SMP Negeri-11 Denpasar”.
Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari dorongan, semangat, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S.(K). dan Ketua Program Studi Pascasarjana Fisiologi Olahraga Universitas Udayana Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And, sekaligus sebagai pembimbing I atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pascasarjana di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, M.OH, sebagai Pembimbing II yang telah dengan sabar membimbing penulis. Kepada Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, M.PH, P.HD, Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp. Biok, dr. Ketut Karna, PFK, M.Kes, AIFO, sebagai penguji yang telah meluangkan waktunya dan memberikan masukan demi kesempurnaan tesis ini. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS.AIFO sebagai Kepala Laboratorium Fisiologi atas bantuan peminjaman alat-alat laboratorium serta para Dosen Program Magister Fisiologi Olahraga, atas segala dorongan, semangat dan bimbingannya.
Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Kepala Sekolah SMP Negeri-11 Denpasar, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Magister Fisiologi Olahraga di Universitas Udayana. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada guru-guru SMP Negeri-11 Denpasar, serta rekan-rekan mahasiswa yang telah ikut membantu dalam memberikan semangat dan meminjamkan buku-bukunya. Semua staf dosen Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, yang telah banyak membantu dan meminjamkan alat-alatnya selama
pendidikan dan pihak lain yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu, yang telah banyak membantu dalam penyusunan tesis ini.
Penulis sadar bahwa isi dari tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga bila terdapat kesalahan-kesalahan dalam penulisan dan lain-lain, penulis sangat mengharapkan saran dan masukan sehingga usulan penelitian ini menjadi lebih baik. Sebagai penutup penulis sampaikan semoga tesis ini bermanfaat bagi dunia kependidikan terutama bidang fisiologi olahraga.
Denpasar, Mei 2014 Penulis
PELATIHAN LARI-LOMPAT DI PASIR LIMA REPETISI EMPAT SET MENINGKATKAN JARAK CAPAIAN LOMPAT JAUH LEBIH PANJANG
DARIPADA LARI RINTANGAN LIMA REPETISI EMPAT SET PADA SISWA SMPN-11 DENPASAR
ABSTRAK
Lompat jauh adalah cabang atletik yang bertujuan memindahkan titik berat tubuh ke depan tanpa jatuh ke belakang saat mendarat. Keberhasilan dalam lompat jauh sangat dipengaruhi oleh daya ledak otot tungkai. Peningkatan daya ledak ini akan meningkatkan jarak capaian lompat jauh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa pelatihan lari lompat di pasir meningkatkan jarak capaian lompat jauh lebih panjang daripada lari rintangan. Pada penelitian ini dilakukan dengan dua tipe pelatihan yaitu pelatihan lari lompat di pasir dan lari rintangan, yang masing-masing dilakukan sebanyak lima repetisi empat set. Pelatihan dilakukan di lapangan SMP Negeri-11 Denpasar mulai pukul 16.00 sampai dengan 17.30 Wita selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali perminggu.
Sampel dipilih secara acak sederhana sebanyak 20 orang yang telah memenuhi persyaratan inklusi dan eksklusi, dibagi menjadi dua kelompok, sehingga masing-masing kelompok berjumlah 10 orang, kemudian setiap kelompok diberikan pelatihan yang berbeda. Kelompok-1 deberikan pelatihan lari lompat rintangan pada lintasan berpasir sebanyak lima repetisi empat set dan Kelompok-2 diberikan pelatihan lari lompat rintangan pada lintasan tanah dengan lima repetisi empat set. Data berupa hasil lompatan yang diambil setelah pelatihan selesai, dianalisis dengan program SPSS. Uji t berpasangan dipakai untuk menganalisis perbedaan jarak capaian lompat jauh antara sebelum dan sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok dan uji t tidak berpasangan dipakai untuk menganalisis perbedaan jarak capaian lompat jauh antar kelompok pelatihan baik pada tes awal maupun tes akhir dengan kemaknaan 0,05.
Rerata jarak capaian lompat jauh pada pelatihan lari lompat di pasir sebelum pelatihan adalah 3,86 ± 0,33 meter dan sesudah pelatihan 4,38 ± 0,34 meter yang secara statistik berbeda bermakna p = 0,000 (p<0,05). Rerata jarak capaian lompat jauh sebelum pelatihan pada pelatihan lari rintangan adalah 3,62 ± 0,37 meter dan sesudah pelatihan 3,92 ± 0,37 meter yang juga menunjukkan perbedaan bermakna p = 0,000 (p < 0,05). Perbedaan jarak capaian lompat jauh sebelum pelatihan antar kedua kelompok tidak bermakna p = 0,190 (p > 0,05) sedangkan setelah pelatihan antar kelompok menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna p = 0,010 (p<0,05) dengan pelatihan lari lompat di pasir menghasilkan rerata jarak capaian lebih jauh.
Didapatkan bahwa pelatihan lari lompat di pasir dan pelatihan lari lompat rintangan dapat meningkatkan jarak capaian lompat jauh pada siswa SMP Negeri-11 Denpasar, di mana pelatihan lari lompat di pasir menghasilkan jarak capaian lebih panjang dibandingkan dengan lompat rintangan. Sehingga diharapkan kepada para guru olahraga dan pelatih lompat jauh untuk menerapkan pelatihan lari lompat di pasir lima repetisi empat set dalam memberikan pelatihan.
RUN-JUMP TRAINING IN THE SAND FIVE REPS AND FOUR SET INCREASING ACHIEVEMENT JUMP LONGER THAN OBSTACLES RUN
FIVE SET AND FOUR REPS IN STUDENTS SMP-11 DENPASAR ABSTRACT
Long jump is a part of the athletics branches which requires moving the central gravity of the body forward to avoid falling back when landing. Success in the long jump is strongly influenced by the explosive power of the leg muscles. Increasing this explosive power will increase the distance long jump performance. Aim of this research is to know that the run-jump training in the sand increasing achievement jump longer than obstacles run. In this study conducted with two types: that is run on the track in the sand and obstacles run, each of which performed a total of five sets and four reps. Training is done in the field SMP-11 Denpasar from 16:00 to 17:30 pm for six weeks with a frequency of three times in a week.
Samples were selected randomly as many as 20 people who have met the requirements of inclusion and inclusion. The selected sample was divided into two groups, so that each group of 10 people and each group is given different training. Group-1 are given training run on the track jumping hurdles sandy five reps and four sets and group-2 are given obstacles run training on the track of land with five reps and four sets. Data taken a leap results after the training is completed, analyzed with SPSS. Paired t test was used to analyze differences in the long jump achievement gap between before and after training in each group and the unpaired t test used to analyze differences in the long jump achievement gap between groups of training both on the pre test and post test. Limit of significance used was 0.05.
The mean distance long jump performance on the training run around in the sand before training was 3.86 ± 0.33 meters and after training was 4.38 ± 0.34 meter showed a statistically significant difference, p = 0.000 (p<0.05). The average distance of achievement results before training on obstacles run training was 3.62 ± 0.37 meters and after training was 3.92 ± 0.37, also showed a significant difference p = 0.000 (p<0.05). Differences long jump distance before training outcomes between the two groups was not significant p = 0.190 (p>0.05), while after training between groups showed a significant difference p = 0.010 (p<0.05) with a training run around in the sand resulted in a mean further distance achievements.
So that, training run around in the sand and obstacles run training can increase the distance of the long jump in student SMP-11 Denpasar, where training run jump in the sand produce longer distance performance compared to obstacles run. So expect to teachers and sports trainers to implement the training long jump with run jump in sand five reps and four sets in training.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viiii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
DAFTAR SINGKATAN-SINGKATAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA... 6
2.1 Lompat Jauh ... 6
2.2 Gerakan Pada Lompat Jauh ... 7
2.2.1 Ancang-ancang ... 7
2.2.2 Lepas Landas ... 8
2.2.3 Fase Melayang ... 8
2.2.4 Fase Pendaratan ... 10
2.3 Konsep Biomekanika Lompat Jauh ... 11
2.3.1 Kecepatan Arah Vertikal ... 11
2.3.2 Kecepatan Arah Horisontal ... 12
2.3.3 Gerak Parabola Lompat Jauh ... 12
2.4 Pelatihan ... 13
2.3.1 Pelatihan Fisik ... 14
2.3.3 Pelatihan Taktik ... 15
2.3.4 Pelatihan Mental ... 15
2.5 Prinsip-Prinsip Pelatihan ... 16
2.6 Tujuan Pelatihan Fisik ... 18
2.7 Tahapan Pelatihan Fisik ... 18
2.7.1 Pemanasan ... 19
2.7.2 Pelatihan Inti ... 20
2.7.3 Pendinginan ... 20
2.8 Daya Ledak Otot ... 21
2.9 Pelatihan Pliometrik ... 23
2.10 Takaran Pelatihan ... 26
2.11 Pelatihan Lompat Rintangan ... 30
2.12 Metabolisme Energi ... 31
2.13 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Lompatan ... 33
2.13.1 Faktor Internal ... 34
2.13.2 Faktor Eksternal ... 36
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 38
3.1 Kerangka Berpikir ... 38
3.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 39
3.3 Hipotesis Penelitian ... 40
BAB IV METODE PENELITIAN ... 41
4.1 Rancangan Penelitian ... 41
4.2 Tempat Dan Waktu Penelitian ... 42
4.3 Populasi Dan Sampel ... 42
4.3.1 Populasi... 42
4.3.2 Sampel ... 42
4.3.3 Besar Sampel ... 43
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 44
4.4 Variabel Penelitian ... 45
4.5 Definisi Operasional Variabel ... 45
4.6 Alat Pengumpulan Data ... 49
4.7 Prosedur Penelitian ... 50
4.7.1 Tahap Persiapan ... 51
4.7.2 Tahap Penelitian Pendahuluan, Tahap Pemilihan, dan Penentuan Sampel ... 51
4.7.3 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 52
4.8 Analisis Data ... 54
BAB V HASIL PENELITIAN ... 57
5.1 Karakteristik Sbjek penelitian ... 57
5.2 Karakteristik lingkungan Penelitian ... 58
5.3 hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Hasil penelitian ... 58
5.4 Hasil Uji Beda Rerata Lompatan Antar Kelompok Pelatihan ... 59
5.5 Hasil Uji Beda Rerata Lompatan Antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan 60 BAB VI PEMBAHASAN ... 62
6.1 Kondisi Fisik Subjek ... 62
6.2 Lingkungan Tempat Penelitian ... 65
6.3 Distribusi dan Varian Hasil Lompatan ... 65
6.4 Hasil Lompatan Sebelum Pelatihan ... 66
6.5 Pengaruh Pelatihan lari Lompat di Pasir dan Lari Rintangan Lima Repetisi Empat Set Terhadap Hasil Lompatan ... 66
6.6 Perbedaan Efek pelatihan Lari Lompat di Pasir dan Lompat Rintangan Lima Repetisi Empat Set Terhadap Hasil Lompatan ... 69
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 72
7.1 Simpulan ... 72
7.2 Saran ... 72
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 5.1. Karakteristik Fisik Siswa SMP Negeri-11 Denpasar ……….. 57 Tabel 5.2. Data Karakteristik Suhu dan Kelembaban Relatif Udara ………... 58 Tabel 5.3. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Hasil Lompatan
Sebelum dan Sesudah Pelatihan Siswa SMP Negeri-11 Denpasar ……. 59 Tabel 5.4. Hasil Uji Beda Rerata Lompatan Sebelum dan Sesudah Pelatihan
Antar Kelompok Siswa SMP Negeri-11 Denpasar ………. 59 Tabel 5.5. Hasil Uji Beda Rerata Lompatan antara Sebelum dan Sesudah
Pelatihan Siswa SMP Negeri-11 denpasar ……….. 60 Tabel 5.6. Persentase Peningkatan Hasil Lompatan antara Sebelum dan
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Cara Melakukan Teknik Menggantung ……… 10 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ………... 40
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ……… 41
Gambar 4.2 Disain Pelatihan Lompat Lintasan Berpasir Lima Repetisi Empat Set .. 46 Gambar 4.3 Disain Pelatihan Lompat Rintangan Lima Repetisi Empat Set ……… 47
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran-1 Surat Izin Penelitian ……… 76
Lampiran-2 Data Hasil Pengukuran Karakteristik Fisik Subjek ………... 78
Lampiran-3 Data Lingkungan Penelitian ……… 79
Lampiran-4 Data Hasil Lompatan ……… 80
Lampiran-5 Hasil Analisis Data ……… 81
Lampiran-6 Peralatan Penelitian ……… 84
DAFTAR SINGKATAN-SINGKATAN SMPN : Sekolah Menengah Pertama Negeri
D : Daya ledak otot tungkai Ky : Percepatan ke arah vertical B : Berat badan
Kx : Kecepatan lari (m/dt) Jx : Jarak lari (m)
W : Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak lari (dt)
% : Persen
Cm : Centi meter Dkk : Dan kawan-kawan m/dt : Menit per detik
ATP : Adenosine triphosphate
ATP-PC : Adenosine triphosphate - Phosphocreatine ADP : Adenosine diphosphate
P : Populasi R : Randomisasi S : Sampel
RA : Random alokasi
P1 : Perlakuan I, pelatihan lari lompat pada lintasan berpasir 5 repetisi 4 set P2 : Perlakuan II, pelatihan lari rintangan (30 cm) 5 repetisi 4 set
O1 : Observasi hasil lompatan Kelompok-1 sebelum pelatihan O2 : Observasi hasil lompatan Kelompok-1 setelah enam minggu pelatihan O3 : Observasi hasil lompatan sebelum pelatihan pada Kelompok-2
O4 : Observasi hasil lompatan setelah enam minggu pelatihan Kelompok-2. n : Jumlah sampel atau besar sampel
α : Batas kemaknaan diambil 5% atau 0,05. σ : Standar deviasi
1-β : Kekuatan (power) penelitian 0,95, (β = 0,05) μ1 : Rerata hasil lompatan sebelum pelatihan μ2 : Harapan peningkatan hasil lompatan Km : Kilo meter
o
C : Derajat Celcius
mmHg : Milimeter merkuri hidrargyrum Kg : Kilo gram
M : Meter
SB : Simpang baku
KLP II : Kelompok-2 (pelatihan lari rintangan setinggi 30 cm sebanyak lima repetisi empat set) > : Lebih besar < : Lebih kecil p : Nilai Probabilitas ± : Plus minus s/d : Sampai dengan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan prestasi dalam olahraga merupakan salah satu tujuan dari pelatihan fisik. Prestasi ini akan terwujud melalui suatu program pelatihan yang terarah, teratur, sistematis dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pelatihan harus dikembangkan sejak usia dini yaitu mulai Sekolah Dasar dan tidak menutup kemungkinan sampai ke perguruan tinggi.
Untuk mencapai prestasi puncak dalam olahraga seorang atlet harus memperhatikan beberapa faktor seperti kondisi fisik, teknik, taktik, mental faktor lingkungan, sarana prasarana dan lain-lain. Upaya untuk meningkatkan semua itu diperlukan pelatihan yang terprogram dan sistematis (Bompa dan Haff, 2009).
Pelatihan fisik merupakan unsur terpenting yang harus diperlukan dalam pelatihan olahraga untuk mencapai prestasi yang tertinggi (Soetopo, 2007). Dengan melakukan pelatihan fisik maka fungsi sistem organ tubuh akan meningkat dibandingkan dengan sebelum diberikan pelatihan, yang tentunya sangat diperlukan untuk memenuhi penampilan dalam beraktivitas (Astrand dan Rodahl, 2003). Kondisi fisik adalah tingkat kemampuan fisik yang terdiri dari sepuluh komponen biomotorik yaitu: kekuatan, daya tahan, kecepatan, daya ledak, kelentukan, keseimbangan, waktu reaksi, kelincahan, ketepatan, dan koordinasi (Sajoto, 2002).
Pada cabang olahraga lompat jauh daya ledak otot tungkai sangat dibutuhkan. Lompat jauh ini adalah bagian dari nomor lompat yang bertujuan untuk memindahkan titik berat tubuh sejauh-jauhnya ke depan (arah horisontal). Ini berarti bahwa atlet berusaha sejauh-jauhnya menempatkan kakinya ke depan tanpa jatuh ke belakang saat mendarat (Hay, 1978: Sajoto, 2002).
Keberhasilan dalam lompat jauh perlu memperhatikan empat faktor yaitu: lari awalan (ancang-ancang), tumpuan atau tolakan, sikap di udara (melayang), dan mendarat (Sajoto, 2002: Hay, 1978). Gerakan tolakan merupakan bagian yang terpenting dalam teknik gerak lompat jauh dan untuk dapat melakukan gerakan menolakkan tubuh ke udara dibutuhkan daya ledak otot dan kekuatan tungkai yang maksimal (Jarver, 1999). Kecepatan awalan yang setinggi–tingginya sambil tetap mampu melakukan tolakan yang kuat ke atas dengan satu kaki untuk meraih ketinggian saat melayang yang memadai sehingga dapat menghasilkan jarak lompatan yang maksimal (Anne, 2010).
Daya ledak adalah kemampuan tubuh atau bagian tubuh untuk mengatasi tahanan dengan kontraksi yang sangat cepat untuk dapat melakukan aktivitas secara tiba-tiba (Harsono, 1993). Daya ledak otot tungkai merupakan daya ledak dari tungkai untuk melakukan gerakan secara tiba-tiba yang tentunya dalam waktu yang sangat singkat. Daya ledak ini disebut dengan kekuatan eksplosif, yang ditandai dengan adanya gerakan tubuh secara tiba-tiba, dimana tubuh terdorong ke atas atas, depan atau ke arah diagonal (membentuk sudut) dengan mengerahkan otot maksimal (Giriwijoyo, 2007).
Daya ledak adalah kombinasi dari kekuatan dengan kecepatan (kekuatan dalam kg dikalikan kecepatan dalam m/dt) dan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan lompat jauh (Azmi, 2000). Daya ledak yang dibutuhkan dalam lompat jauh adalah daya ledak ke arah depan (Hay, 1978). Sedangkan kecepatan gerak adalah kemampuan seseorang untuk melakukan gerakan berkesinambungan dengan bentuk yang sama dalam waktu sesingkat-singkatnya (Sajoto, 2002).
Di sampingkekuatan otot dan kecepatan lari, lompat jauh juga dipengaruhi oleh unsur lain yaitu gerak tolakan dan ancang-ancang. Gerak tolakan dipengaruhi oleh kemampuan melakukan sudut tolakan atau sudut lepas landas untuk mencapai tinggi yang optimal agar dapat dicapai jarak lompatan sejauh-jauhnya (Azmi, 2000). Sudut lepas landas yang menghasilkan lompatan terjauh berkisar di antara 30o (Linthorne, 2003).
Pelatihan pliometrik adalah merupakan salah satu usaha yang ditujukan untuk mengembangkan daya ledak eksplosif dalam cabang lompat jauh yang berhubungan dengan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot yang secara langsung dapat mempengaruhi kontraksi otot (Nala, 2011). Pelatihan pliometrik merupakan suatu pelatihan yang mempunyai ciri khusus yaitu kontraksi otot yang kuat yang merupakan respons dari pembebanan dinamik atau regangan yang cepat dari otot terkait (Bompa dan Haff, 2009).
Dari hasil pengamatan di lapangan, umumnya pelatihan lompat jauh yang diterapkan pada atlet menggunakan metode lompat rintangan dengan ancang-ancang dan tinggi rintangan yang tidak disesuaikan dengan kemampuan awal dan umur atlet. Sebelum membuat suatu program pelatihan terlebih dahulu harus dilakukan tes awal untuk mengetahui kemampuan maksimal atlet dan ini merupakan salah satu prinsip yang harus diterapkan dalam suatu program pelatihan, untuk mengahasilkan suatu pelatihan yang maksimal (Bompa, 1994).
Bertitik tolak dari hasil capaian lompat jauh putra Provinsi Bali tahun 2013 juara emas direbut oleh atlet asal kabupaten Gianyar anas nama I Made Wirtawan dengan jarak lompatan 6,06 meter (Dinas pendidikan Pemuda dan Olahraga provinsi Bali, 2013). Jarak ini masih jauh
dibandingkan dengan pemenang medali emas lompat jauh putra PON Riau tahun 2012 atas nama Noval Kurniawan dari Sulawesi Tengah dengan lompatan 7,48 meter (Aditya, 2012). Apalagi kalau dibandingkan dengan pemegang rekor dunia lompat jauh atas nama Mike Powell dari Amerika serikat dengan jarak lompatan 8,95 meter (Wikipedia, 2013). Walaupun anak tingkat SMP tidak dapat dibandingkan dengan atlet junior akan tetapi dapat dipakai sebagai perbandingan untuk dapat membuat suatu program pelatihan yang dapat meningkatkan hasil lompatan setelah dewasa nanti.
Dari uraian di atas perlu dicobakan tipe pelatihan yang berbeda dan disesuaikan dengan kebutuhan komponen biomotorik pada cabang olahraga yang akan dilatih, serta takarannya disesuaikan dengan kemampuan individu, yang disesuaikan dengan umur atlet, sehingga menghasilkan pelatihan yang efektif.
Pelatihan yang diterapkan pada penelitian ini adalah pelatihan lari lompat pada lintasan berpasir dengan jarak ancang-ancang 13 m yang dilakukan sebanyak lima repetisi empat set dan pelatihan pada lintasan lurus tanah dengan ancang-ancang 13 meter yang dilengkapi dengan rintangan pada pada akhir lintasan. Setiap sesi latihan dilakukan sebanyak lima repetisi empat set.
Tinggi rintangan disesuaikan dengan kemampuan maksimum dari orang coba yang kemampuannya paling rendah kemudian diambil 80% sehingga mendapatkan hasil 30cm. Sedangkan jarak berlari (ancang-ancang) adalah 13 meter yang disesuaikan dengan jarak ancang-ancang untuk umur 13 tahun yaitu sejauh 13 meter (Linthorne, 2003).
Takaran pelatihan yang dipergunakan adalah lima repitisi empat set dengan istirahat antar set selama lima menit (kembali ke denyut nadi istirahat). Dengan pertimbangan, takaran pelatihan yang dianjurkan untuk meningkatkan komponen daya ledak antara lain : repitisi (ulangan) 1–5 kali, set terdiri dari 3-5 set bagi pemula atau 5-8 set bagi atlet terlatih dengan istirahat antar set 2-5 menit, dan frekuensi pelatihan tiga kali seminggu (Bompa dan Haff, 2009). Pelatihan berlangsung selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali seminggu (yaitu hari Senin, Rabu, dan hari Jumat). Pelatihan yang dilangsungkan selama 6–8 minggu memberikan efek sebesar 10–20% dari sebelum pelatihan (Pate dkk., 1984).
Penelitian ini diterapkan pada siswa kelas VII dan VIII dengan usia antara 13-14 tahun pada SMP negeri-11 Denpasar, dengan pertimbangan siswa kelas IX sedang berkonsentrasi pada persiapan Ujian Nasional sehingga tidak terganggu. Pertimbangan lain adalah karena peneliti
merupakan guru olahraga subjek penelitian. Sehingga siswa akan semangat, dan disiplin dalam melakukan pelatihan, selain pertimbangan teknis, dan kemudahan peneliti untuk memperoleh subjek penelitian serta tempat penelitian yang dekat dengan tempat tinggal orang coba.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: apakah pelatihan lari lompat pada lintasan berpasir sebanyak lima repetisi empat set meningkatkan jarak capaian lompat jauh lebih panjang daripada lari rintangan lima repetsi empat set siswa SMP Negeri-11 Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa pelatihan lari lompat pada lintasan berpasir sebanyak lima repetisi empat set meningkatkan jarak capaian lompat jauh lebih panjang daripada lari rintangan lima repetsi empat set siswa SMP Negeri-11 Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritis: pengembangan teori dan wawasan atlet maupun pelatih serta memperoleh konsep ilmiah tentang metode pelatihan dalam meningkatkan hasil lompatan pada nomor lompat jauh
2. Secara praktis: dipergunakan sebagai pedoman oleh para pelatih, guru olahraga serta para atlet untuk diterapkan di lapangan dalam meningkatkan hasil lompatan pada nomor lompat jauh.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Prestasi Lompat Jauh
Lompat jauh adalah nomor lompat bertujuan untuk berusaha memindahkan titik berat tubuh sejauh-jauhnya ke arah horisontal. Dalam hal ini atlet berusaha untuk menempatkan kakinya sejauh-jauhnya ke depan tanpa jatuh ke belakang saat mendarat (Carr, 2003). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lompatan yang terjauh tanpa jatuh ke belakang yang dicapai oleh seorang atlet adalah merupakan keberhasilan atlet tersebut mencapai target yang diharapkan.
Lompat jauh adalah suatu yang diawali dengan berlari untuk mengambil awalan (ancang-ancang), yang dilanjutkan dengan menolak atau bertumpu dengan satu kaki, melayang di udara dan mendarat dengan dua kaki secara bersamaan (Azmi (2000). Sedangkan gerakan dalam nomor lompat jauh terdiri dari: lari awalan (ancang-ancang), fase tolakan atau persiapan lompat (lepas landas), fase melayang dan fase pendaratan (Bernhard, 1993: Carr, 2003).
Faktor-faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan dari atlet lompat jauh adalah; kondisi fisik terutama kecepatan dan daya ledak, dan faktor teknik yang menyangkut ancang-ancang, lepas landas, saat melayang, dan pendaratan (Bernhard, 1993; Jarver, 1999). Kecepatan pada saat awalan atau ancang-ancang, teknik pendaratan dan teknik melompat dari papan adalah dasar-dasar keberhasilan lompat jauh (Carr, 2003).
2.2 Gerakan Pada Lompat Jauh
Pada nomor lompat jauh, ada beberapa gerakan yang antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Gerakan tersebut terdiri dari: gerakan berlari untuk mengambil awalan atau ancang-ancang, tolakan atau lepas landas, saat melayang di udara, dan fase pendaratan (Azmi, 2000).
2.2.1 Ancang-Ancang
Lari awalan atau yang dikenal umum dengan ancang-ancang merupakan adalah usaha mengambil posisi optimal untuk lepas landas dengan usaha secepat-cepatnya atau dengan kecepatan penuh serta dapat mengontrol bagian-bagian dari gerak lompat. Ancang-ancang bertujuan untuk mendapatkan kecepatan yang setinggi-tingginya agar dorongan massa tubuh ke depan lebih meningkat (Hay, 1978).
Faktor yang mempengaruhi ancang-ancang adalah kecepatan lari, yang merupakan syarat terpenting dalam usaha pencapaian prestasi lompat jauh (Bernhard, 1993: Carr, 2003). Jarak ancang-ancang juga berpengaruh. Hal ini tergantung dari umur dan kedewasaaan atlet. Makin meningkat umur, ancang-ancang yang dibutuhkan meningkat, begitu juga makin dewasa atau makin berpengalaman atlet, ancang-ancang semakin meningkat ( Anne, 2010).
Jarak ancang-ancang disesuaikan dengan panjang langkah. Tentunya orang yang langkahnya panjang membutuhkan jarak ancang-ancang yang lebih jauh, begitu juga orang yang langkahnya lebih pendek akan sebaliknya. Jadi hal ini akan berkaitan erat dengan umur. Makin tinggi umur seseorang jarak ancang-ancang yang dibutuhkan untuk mencapai lompatan maksimal semakin panjang, begitu pula sebaliknya makin rendah umurnya ancang-ancang semakin pendek. Pada umur 11 tahun ancang-ancang yang diperlukan sebanyak 11 langkah, umur 13 tahun sebanyak 13 langkah, umur 15 tahun sebanyak 15 langkah, di bawah umur 17 tahun sebanyak 17 langkah, dan di 17 tahun membutuhkan jarak ancang-ancang 21 langkah (Mackenzie, 2005).
2.2.2 Lepas Landas
Lepas landas merupakan kecepatan gerak vertikal atau mengangkat tubuh yang besarnya menyamai kecepatan horizontal (Hay, 1978: Mackenzie, 2005). Jadi lepas landas dalam lompat jauh adalah mengubah gerakan lari menjadi suatu lompatan, dengan melakukan lompatan tegak lurus sambil mempertahankan kecepatan horisontal semaksimal mungkin (Jarver, 1999: Carr, 2003).
Lepas landas yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan dorongan ke atas yang melawan pusat gravitasi tubuh dengan tetap menjaga keseimbangan (Carr, 2003). Fase lepas landas ini merupakan bagian gerakan yang paling penting dari lompat jauh untuk menentukan hasil lompatan diinginkan (sejauh-jauhnya). Tolakan pada papan tumpuan sebaiknya menggunakan kaki yang terkuat dengan mengubah kecepatan horizontal menjadi kecepatan vertikal (Anne, 2010: Bernhard, 1993).
2.2.3 Fase Melayang
Tujuan utama dari fase melayang adalah persiapan pendaratan dengan tanpa kehilangan keseimbangan (Bernhard, 1993: Carr, 2003). Pada fase melayang ini, keseimbangan tubuh harus tetap terjaga dengan ayunan ke dua tangan yang juga dapat membantu menjaga keseimbangan (Carr, 2003). Pada saat berada di udara tertuju pada bagaimana posisi tubuh mendarat dengan sempurna dengan menghilangkan rotasi ke depan. Rotasi tubuh ke depan akan mengakibatkan kakinya berada di bawah pusat gravitasi tubuh sehingga memungkinkan tubuh lebih cepat mendarat (Anne, 2010: Bernhard, 1993).
Ada tiga teknik melayang yang digunakan oleh para atlet lompat jauh yaitu; teknik terbang, menggantung, dan menendang. Teknik ini merupakan gerakan yang digunakan oleh atlet lompat jauh.
Teknik-teknik tersebut ditujukan untuk mengurangi kemungkinan cidera dan tentunya meningkatkan hasil lompatan (Hay, 1978: Carr, 2003).
1. Teknik Terbang
Teknik ini merupakan teknik yang paling banyak digunakan oleh atlet pemula karena kesederhananya, walaupun teknik ini mempunyai kelemahannya yang sangat besar (Hay, 1978). Kelemahan dari teknik ini adalah timbulnya rotasi ke depan sehingga atlet jatuh ke belakang pada saat mendarat tidak akan terjadi, tetapi mengakibatkan kaki terlalu cepat mendarat sehingga hasil lompatan akan lebih pendek. Cara melakukannya adalah atlet membawa kedua tungkainya ke depan setelah lepas landas seperti pada posisi duduk dengan lutut sedikit bengkok.
2. Teknik Menggantung
Teknik ini, kaki atlet menggantung ke bawah dengan posisi badan tegak lurus serta kedua gerakan ini memerlukan keseimbangan badan yang sempurna (Anne, 2010). Kaki tumpu dibiarkan tergantung lurus. badan tegak kemudian disusul oleh kaki tumpu dengan sikap lutut ditekuk sambil pinggul didorong ke depan. Kemudian ke-dua lengan direntangkan ke atas. Keseimbangan tubuh perlu diperhatikan agar tetap tepelihara hingga mendarat (Carr, 2003). Segera setelah menyentuh pasir, lutut ditekuk dan badan bergerak ke depan di atas kaki, dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah.
Gambar 2.1 Cara melakukan teknik menggantung (Carr, 2003) 3. Teknik Menendang
Teknik menendang adalah teknik yang paling populer digunakan dari kedua teknik di atas. Teknik ini menjamin lepas landas yang lebih efisien dan mempunyai kesempatan mempersiapkan pendapatan yang lebih awal (Hay, 1978). Cara melakukan teknik ini adalah; Lutut dari tungkai yang memimpin (tungkai yang tidak bertumpu) ditekuk saat lepas landas, kemudian diluruskan sehingga atlet menirukan gerakan melangkah. Tungkai yang memimpin diputar ke belakang dalam keadaan lurus dan kedua lutut ditekuk dan digerakkan ke depan untuk mendarat. Lengan diputar ke depan searah jarum jam yang bertujuan untuk mengimbangi gerakan tungkai. Atlet meluruskan kedua tungkai untuk mendarat, dan saat bersamaan, lengan diputar ke depan dan ke belakang. Setelah menyentuh pasir lutut ditekuk dan badan bergerak mendahului tungkai (Carr, 2003).
2.2.4 Fase pendaratan
Gerakan pada saat pendaratan harus dilakukan dengan kedua kaki yang dijatuhkan secara bersamaan dengan posisi tubuh condong ke depan. Ketika kaki menyentuh pasir, kepala ditundukkan dan lengan diayunkan ke belakang sehingga membawa tubuh ke depan mendekati titik berat tubuh melawati titik pendaratan di pasir sehingga badan tidak cenderung jatuh ke belakang. Jatuh ke belakang akan merugikan atlet (Anne, 2010: Carr, 2003).
2.3 Konsep Biomekanika Lompat Jauh
Biomekanika merupakan cabang dari ilmu yang mempelajari kekuatan gaya internal dan gaya eksternal terhadap tubuh manusia dan dampak yang diakibatkan oleh kekuatan gaya tersebut. Gaya eksternal adalah gaya yang berasal dari luar tubuh manusia yang berupa gaya gravitasi bumi dan gaya tarik atau dorong baik oleh lawan atau kecepatan angin, gaya internal adalah gaya yang melawan kekuatan gaya eksternal yang berasal dari kekuatan otot (Hay, 1978). Menurut Soetopo (2007),
biomekanika adalah bidang ilmu yang menyelidiki kekuatan internal dan kekuatan eksternal dalam tubuh manusia yang bergerak serta akibat yang dihasilkan oleh kekuatan tersebut.
Jarak capaian atau lompatan dalam lompat jauh dipengaruhi oleh dua factor yaitu kecepatan kea rah horizontal dan kecepatan kea rah vertical. Kecepatan kea rah horizontal dipengaruhi oleh kecepatan lari dan kecepatan tubuh kea rah vertical dipengaruhi oleh daya ledak otot tungkai (Mackenzie’s, 2005).
3.2.1 Kecepatan ke arah Vertikal
Kecepatan tubuh bergerak ke arah vertical (ke atas) ditentukan melalui persamaan sebagai berikut (Alonso dan Finn, 2002):
D = Ky/B
Di mana:
D = daya ledak otot tungkai (kgm/dt)
Ky = percepatan kea rah vertical)
B = berat badan
Kecepatan kea rah vertical dipengaruhi oleh daya ledak otot tungkai dan dipengaruhi oleh berat badan. makin tinggi berat badan, kecepatan kea rah vertical semakin rendah. Begitu juga sebaliknya, makin kecil berat badan kecepatan kea rah vertical semakin tinggi.
2.3.2 Kecepatan ke arah horizontal
Kecepatan kea rah horizontal dipengaruhi oleh kecepatan lari. Kecepatan lari merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan lompat jauh (Keefer dan College, 2005). Kecepatan ke arah horizontal (kecepatan lari) dinyatakan dalam persamaan (Alonso dan Finn, 2002);
Kx = Jx/W
Di mana:
Kx = kecepatan lari (m/dt) Jx = jarak lari (m)
W = waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak lari (dt)
2.3.3 Gerak parabola lompat jauh
Keberhasilan dalam lompat jauh dipengaruhi oleh beberapa hal. Disamping kecepatan ke arah vertikal dan arah horizontal, juga dipengaruhi oleh sudut lompatan. Sudut lompatan yang menghasilkan lompatan terjauh adalah berkisar pada sudut 30o (Linthorne, 2003). Besarnya sudut lompatan ini tergantung dari letak pusat gravitasi tubuh pada saat lepas landas dan rendahnya pusat gravitasi tubuh pada saat pendaratan atau disebabkan karena perbedaan antara letak pusat gravitasi tubuh pada ssat lepas landas dan pada saat pendaratan (Luna, 2005). Jauhnya lompatan dipengaruhi oleh tiga komponen jarak yaitu jarak lepas landas, jarak melayang dan jarak pendaratan (Hay, 1978: Linthorne, 2003).
1. Jarak lepas landas
Jarak lepas landas adalah jarak ke arah mendatar (horisontal) antara tumpuan dan proyeksi pusat gravitasi pada lantai saat lepas landas. Jarak ini tergantung dari tinggi badan, panjang tungkai, dan kelentukan otot tungkai.
2. Jarak melayang
Jarak melayang adalah jarak horisontal proyeksi pusat gravitasi tubuh pada saat blepas landas sampai proyeksi pusat gravitasi tubuh pada saat pendaratan. Jarak ini tergantung dari kecepatan lepas landas, tinggi pusat gravitasi tubuh pada saat lepas landas, sudut lepas landas, dan hambatan udara.
3. Jarak pendaratan
Jarak pendaratan adalah jarak ke arah horisontal antara proyeksi pusat gravitasi tubuh pada lantai saat pendaratan dengan tanda tumit pada pasir. Jarak ini tergantung dari panjang tungkai dan teknik yang diterapkan pada saat pendaratan.
2.4 Pelatihan
Pelatihan adalah merupakan suatu aktivitas atau suatu kinerja fisik dari atlet yang dilakukan secara sistematis dalam durasi yang panjang, progresif dan berjenjang secara individual (Bompa, 1993: Bompa dan Haff, 2009). Pelatihan dapat juga diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaiki sistema organ atau alat tubuh dan fungsinya yang bertujuan untuk mengoptimalkan penampilan dan kinerjanya (Astrand dan Rodahl, 2003).
Dengan demikian pelatihan adalah suatu gerakan fisik dan atau aktifitas mental yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang dalam waktu yang lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan individual, yang bertujuan untuk memperbaiki sistema serta fungsi fisiologis dan psikologis tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai penampilan yang optimal (Nala, 2011). Pelatihan yang dibutuhkan dalam meningkatkan penampilan seorang atlit yaitu: pelatihan fisik, pelatihan teknik, pelatihan taktik, serta pelatihan mental.
2.4.1 Pelatihan Fisik
Pelatihan fisik dilakukan secara teratur, sistematis dan berkesinambungan yang dituangkan dalam program pelatihan akan meningkatkan kemampuan fisik secara signifikan. Agar pelatihan fisik ini berlangsung secara efektif, mencapai hasil maksimum sesuai dengan sasaran dan tanpa menimbulkan efek samping (cedera), beban pelatihan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, pemilihan tipe pelatihan yang spesifik sesuai dengan tujuan pelatihan perlu diperhatikan (Fox dkk, 1988).
Pemanasan yang dilakukan sebelum melakukan pelatihan fisik sangat perlu diadakan, hal ini merupakan syarat umum dan harus menjadikan bagian dari pelatihan (Pate dkk., 1984). Tujuan pemanasan adalah untuk mempersiapkan fisik dan mental untuk mencapai tujuan pelatihan berikutnya (Bompa dan Harf, 2009). Cara melakukan pemanasan adalah dengan kalistenik, peregangan, dan pelemasan yang berubungan dengan aktivitas saraf otot untuk mengantisipasi gerakan berikutnya (McArdle dkk., 2010). Perkembangan kondisi fisik sangatlah penting untuk dapat mengikuti pelatihan dan perlombaan dengan sempurna. Kondisi fisik ini menyangkut: daya tahan kardiovaskuler, daya tahan otot, kekuatan, kelentukan, kecepantan, kelincahan, daya ledak, ketepatan, keseimbangan, waktu reaksi, dan koordinasi (Giriwijoyo, 2007).
2.4.2 Pelatihan Teknik
Pelatihan teknik adalah gerakan yang diperlukan untuk mempermahir teknik gerakan. Bagian ini bertujuan untuk dapat melaksanakan gerakan cabang olahraga tertentu. Pelatihan teknik merupakan pelatihan yang khusus untuk membentuk dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan motorik. Kesempurnaan teknik dasar dari setiap gerakan sangat penting dikuasai oleh karena akan menentukan gerak keseluruhan. Sehingga setiap gerakan-gerakan dasar dari bentuk teknik yang diperlukan dari caban olahraga yang bersangkutan harus dapat dikuasai secara sempurna (Nossek, 1982).
2.4.3 Pelatihan Taktik.
Pelatihan taktik adalah cara-cara yang diperlukan untuk memenangkan suatu pertandingan secara sportif sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelatihan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan daya tafsir pada atlet. Teknik gerakan yang sudah dikuasai dengan baik harus dituangkan dan diorganisir dalam setiap tahap pelatihan (Suharno, 1993).
2.4.4 Pelatihan Mental
Kemajuan mental tidak kalah pentingnya kalau dibandingkan dengan ke tiga faktor pelatihan di atas, karena betapapun sempurnanya perkembangan fisik, teknik dan juga taktik seorang atlet, apabila
mentalnya tidak turut dikembangkan, maka prestasi maksimal tidak mungkin akan tercapai. Pelatihan mental menekankan pada perkembangan kedewasaan atlet serta penekanan emosi serta implusif, misalnya: semangat bertanding, sikap pantang menyerah, keseimbangan emosi walaupun berada pada keadaan tertekan, sportivitas dan percaya diri serta dijunjung oleh kejujuran (Bompa dan Harf, 2009).
2.5 Prinsip-Prinsip Pelatihan
Prinsip dari pelatihan adalah suatu petunjuk dan aturan yang disusun secara sistematis, dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif, yang harus ditaati dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan. Prinsip dasar ini merupakan langkah awal dalam kegiatan penyusunan program pelatihan yang optimal dan efektif untuk dapat diaplikasikan (Soetopo, 2007). Untuk itu pelatih dituntut untuk memiliki pengetahuan kepelatihan, fisiologi dan pengalaman dalam menentukan bentuk pelatihan serta beban pelatihan bagi atletnya (Fox dkk., 1988).
Prinsip-prinsip dasar pelatihan diuraikan oleh Bompa dan Haff (2009), terdiri dari 7 prinsip di antaranya:
1. Prinsip Aktif dan bersungguh-sungguh
Prinsip ini diterapkan bertujuan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam suatu pelatihan sehingga atlet dituntut untuk selalu bertindak aktif dan mengikuti pelatihan dengan bersungguh-sungguh tanpa ada paksaan dan tidak hanya berlatih ketika didampingi oleh pelatih.
2. Prinsip pengembangan multilateral
Pelatihan fisik umum atau pelatihan multilateral yang dilaksanakan sebelum pelatihan mengarah kepada spesifikasi hendaknya dibekali terlebih dahulu pelatihan dasar-dasar kebugaran fisik dan komponen biomotorik. Selain itu dikembangkan pula seluruh organ dan sistema yang ada dalam tubuh, baik yang menyangkut proses fisiologis maupun psikologisnya.
Setelah pelatihan pengembangan multilateral dilatih, dilanjutkan dengan pengembangan fisik khusus atau spesialisasi yang tentunya disesuaikan dengan cabang olahraga yang dilatih. Pelatihan spesialisasi dapat dimulai setelah sesuai dengan umur untuk cabang olahraga yang dipilih oleh anak atau atlet bersangkutan. Untuk melatih cabang olahraga atletik termasuk lompat jauh, spesialisasi umur yang dilatih antara 13-14 tahun.
4. Prinsip pelatihan individualisasi
Setiap orang mempunyai kemampuan, potensi, karakter belajar dan spesifikasi dalam olahraga, yang berbeda satu sama lainnya, sehinggga cara pelatihannyapun akan berbeda.
5. Prinsip variasi atau keserbaragaman
Pelatihan yang bersifat monoton dan dilakukan secara terus menerus akan cukup membosankan. Untuk menghindari hal tersebut maka dalam pelaksanaan pelatihan perlu dibuatkan variasi pelatihan, tentunya mempunyai tujuan yang sama yaitu tetap mengacu pada tujuan pelatihan dan tidak ke luar dari program pelatihan yang ditetapkan, sehingga atlet tetap bergairah dan semangat dalam berlatih.
6. Prinsip mempergunakan model proses pelatihan
Model yang dimaksud dalam prinsip ini adalah imitiasi, suatu simulasi dari kenyataan yang dibuat dari elemen atau unsur spesifik dari fenomena yang diamati yang mendekati keadaan sebenarnya.
7. Prinsip peningkatan beban progresif
Beban pelatihan dimulai dengan beban awal yang ringan, kemudian ditingkatkan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan atlet bersangkutan. Dapat pula dilakukan dengan diawali dengan gerakan sederhana kemudian ditingkatkan menjadi gerakan yang semakin rumit.
2.6 Tujuan Pelatihan Fisik
Tujuan dari pelatihan fisik adalah untuk memperbaiki struktur dan fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet mencapai optimal (Bompa dan Harf, 2009). Setiap penyusunan program pelatihan, terlebih dahulu ditetapkan tujuan pelatihan sehingga perencanaan dan pelaksanaan pelatihan dapat disesuaikan dengan tujuan (Nala, 2011). Secara garis besar tujuan pelatihan olahraga menurut Bompa (1993) adalah: 1). Mengembangkan komponen fisik umum atau multilateral, yang meliputi pengembangan seluruh kemampuan komponen biomotorik, yang menyangkut sepuluh komponen biomotorik. 2). Mengembangkan komponen fisik khusus, yang disesuaikan dengan tipe atau spesialisasi cabang olahraga yang dilatih. 3). Memperbaiki teknik atau ketrampilan sesuai dengan spesialisasi olahraga yang ditekuninya. 4). Memperbaiki strategi dan teknik bermain. Dalam hal ini diperhitungkan juga kekuatan dan kelemahan serta watak dari lawan yang dihadapi sehingga strategi dapat dipersiapkan dengan matang. 5). Meningkatkan kualitas kemauan atlet.
2.7 Prosedur Pelatihan Fisik
Prosedur pelatihan fisik terdiri dari tiga bagian yaitu bagian pendahuluan, bagian inti dan bagian pendinginan (Fox dkk, 1988).
2.7.1 Pemanasan
Pemanasan sangat perlu dilakukan oleh setiap atlet baik sebelum berlatih maupun sebelum pertandingan. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan fisik dan psikis dalam menghadapi pelatihan inti dan untuk menghindari atau untuk mencegah terjadinya cidera. Efek yang paling nyata manfaatnya dari pemanasan ini adalah peningkatan komponen biomotorik kecepatan berlari, kecepatan gerakan lengan, kekuatan otot, daya tahan otot, daya ledak dan daya tahan kardio-vaskular (Fox, 1983).
Selain itu pemanasan akan merangsang aktivitas sistem saraf yang akan mengkoordinasikan kerja sistema organ tubuh lainnya sehingga menjadi lebih baik dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk merambatnya rangsangan melalui saraf mototrik ke otot skeletal atau meningkatnya infuls saraf, sehingga
mempercepat timbulnya reaksi motorik, meningkatkan refleks dan kontraksi otot dan meningkatkan koordinasinya (Astrand dan Rodahl, 2003).
Intensitas dan durasi pemanasan setiap aktivitas olahraga bervariasi, tergantung dari aktivitas yang dilakukan, misalnya lama pemanasan untuk mengerahkan seluruh otot tubuh berkisar antara 20-30 menit (Bompa, 1994). Ada pula dengan memakai patokan frekuensi denyut nadi, yaitu bila frekuensi denyut nadi telah meningkat 20-40 denyut di atas denyut nadi istirahat. Selain itu durasi pemanasan tergantung pula dari berbagai faktor yaitu: suhu dan kelembaban lingkungan, umur, kebugaran fisik, berat ringannya aktivitas dan lain-lain (Powers dan Howley, 1990).
Tipe dari pemanasan yang dilakukan tergantung dari cabang olahraga yang diperagakan. Tipe pemanasan ada tiga antara lain 1) peregangan yang merupakan aktivitas otot pertama kali dilakukan dalam pemanasan; 2) kalistenik dengan cara menggerakkan sekelompok otot yang secara aktif berulang-ulang yang bertujuan meningkatkan suhu dan aliran darah pada otot yang bersangkutan; 3) aktivitas spesifik merupakan aktivitas yang disesuaikan dengan jenis olahraga yang dilatih (Bompa dan Hff, 2009).
2.7.2 Pelatihan inti
Takaran pelatihan merupakan metode kepelatihan yang sangat berperan dalam meningkatkan dan mengembangkan kondisi fisik olahragawan terutama kemampuan komponen biomotorik secara tepat dan efisien. Takaran pelatihan terdiri dari intensitas, volume dan frekuensi (Soetopo, 2007).
Metode pelatihan inti yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua tipe pelatihan yaitu kelompok satu dengan pelatihan lari lompat di pasir sebanyak lima repetisi empat set dan kelompok dua dengan pelatihan lompat rintangan sebanyak lima repetisi empat set dengan tinggi rintangan 30 cm.
Pelatihan ini berlangsung selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali seminggu (Senin, Rabu, Jumat). Pelatihan yang berlangsung selama 6-8 minggu dikatakan oleh Pate dkk. (1984) akan
memberikan efek yang cukup berarti bagi atlet yang akan mengalami peningkatan sebesar 10%-20%. Selanjutnya Fox (1983), menyatakan pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu adalah sesuai untuk pemula dan akan menghasilkan peningkatan yang berarti.
2.7.3 Pendinginan
Pendinginan dilakukan untuk mengembalikan kondisi tubuh ke dalam keadaan semula. Tujuan utama dari pendinginan adalah menarik kembali secepatnya darah yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif sebelumnya ke peredaran sentral. Selain itu pemanasan berfungsi pula untuk membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot dan darah (Nala, 2011).
Bentuk pendinginan yang dianjurkan adalah dengan istirahat aktif. Istirahat aktif menyebabkan asam laktat cepat di metabolisme secara aerobik sehingga menghasilkan CO2 + H2O yang menyebabkan
berkurangnya asam laktat dengan cepat. Begitu selesai melakukan aktivitas atau pelatihan tidak langsung duduk tetapi melakukan gerakan-gerakan ringan seperti jalan-jalan atau mengerak-gerakkan anggota tubuh mulai dari anggota gerak atas dan dilanjutkan anggota gerak bawah secara ringan. Lamanya pendinginan berkisar antara 10–15 menit (Powers dan Howley, 1990).
Pelatihan pendinginan yang dalam penelitian ini dilakukan selama 15 menit yang diawali dengan gerakan-gerakan lambat dimulai dari kepala, leher, bahu, lengan, pinggang, dan anggota gerak bawah dengan hitungan sepuluh kali pada masing-masing gerakan. Selanjutnya dilakukan peregangan mulai dari leher, lengan, bahu, pinggang dan anggota gerak bawah sebanyak delapan kali hitungan pada masing-masing serta menarik nafas panjang secara perlahan dan diakhiri dengan menghebuskan napas juga secara perlahan.
2.8 Daya Ledak Otot
Daya ledak otot adalah salah satu komponen yang penting di dalam melakukan aktivitas yang berat seperti meloncat, melempar, memukul, dan sebagainya (Jensen dan Fisher, 1983). Daya ledak
merupakan hasil dari kekuatan maksimum dan kecepatan maksimum (Bompa, 1994). Ditinjau dari aspek beban yang harus diatasi pada waktu melakukan gerakan daya ledak dapat dibedakan atas dua bagian yaitu daya ledak absolut dan daya ledak relatif. Daya ledak absolut adalah daya ledak untuk mengatasi beban luar yang maksimum, sedangkan daya ledak relatif berhubungan dengan berat badan sendiri (Berger, 1982).
Berdasarkan jenis gerakan yang dilakukannya, daya ledak dibagi menjadi dua bagian yaitu: daya ledak asiklik dan daya ledak siklik (Bompa, 1994). Daya ledak asiklik digunakan pada cabang olahraga yang gerakannya tidak sama seperti pada cabang olahraga atletik (lempar dan lompat) dan olahraga yang membutuhkan loncatan ke atas (bola voli, boal basket dan lain-lain), sedangkan daya ledak siklik biasanya digunakan pada cabang olahraga yang gerakannya sama dan berulang-ulang seperti lari cepat, berenang, balap sepeda serta olahraga yang memerlukan kecepatan tinggi Bompa (1994).
Nala (2011), sesuai dengan spesifikasinya membagi daya ledak menjadi empat bagian yaitu: daya ledak eksplosif (eksplosif power), daya ledak cepat (speed power), daya ledak kuat (strength power) dan daya ledak tahan lama (endurance power). Dalam kepentingan olahraga daya ledak yang dimaksud adalah daya ledak eksplosif, yang terdiri atas dua komponen biomotorik yaitu unsur kekuatan dan kecepatan. Juga dinyatakan, apabila pelatihan ditekankan pada komponen kekuatan maka terjadilah daya ledak kekuatan (strength power), yang penekanannya pada komponen kecepatan maka terjadilah daya ledak cepat (speed power) dan penekan pada daya tahan maka terjadilah daya ledak tahan lama (endurance power).
Daya ledak adalah kemapuan otot untuk mengatasi tahanan dengan kontraksi yang sangat cepat untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan sangat penting untuk cabang-cabang olahraga yang eksplosif seperti: sprint, lari gawang, nomor-nomor lempar dan nomor-nomor lompat dalam atletik. Juga dikatakan bahwa power adalah hasil dari force x velocity, dimana force adalah sepadan (equivalen) dengan strength dan velocity dengan speed) (Harsono, 1993).
Daya ledak berkaitan dengan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot yang dinamis dan ekplosif, yang melibatkan pengeluaran kekuatan otot maksimal dalam satu durasi waktu yang singkat (Sudaryanto, 2009). Daya ledak ini sering pula disebut kekuatan ekplosif, ditandai dengan adanya gerakan tiba-tiba yang cepat di mana tubuh terdorong ke atas atau vertikal atau tedorong ke depan (horisontal, lari cepat, lompat jauh) dengan menggerakan kekuatan maksimal (Radcliffe dan Farentinos, 1985).
2.9 Pelatihan Pliometrik
Pelatihan pliometrik adalah pelatihan yang cukup favorit yang dilakukan oleh pelatih saat ini, terutama pada cabang olahraga yang membutuhkan kemampuan daya ledak otot tungkai atau daya ledak otot lengan. Pelatihan pliometrik adalah latihan atau ulangan yang bertujuan menghubungkan gerakan kecepatan dan kekuatan untuk menghasilkan gerakan-gerakan eksplosif. Istilah ini sering digunakan dalam menghubungkan gerakan lompat yang berulang-ulang atau latihan reflek regang untuk menghasilkan reaksi yang eksplosif (Anne, 2010).
Pelatihan pliometrik adalah bentuk pelatihan fisik untuk mengembangkan sistem neuro-muskular. Pliometrik adalah model pelatihan daya ledak otot tungkai yang diartikan sebagai menambah ukuran daya ledak otot (Bompa, 1993).
Pelatihan pliometrik mempunyai ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang kuat dan yang merupakan respons dari pembebanan dinamik atau regangan yang cepat dari otot terkait. Istilah lainnya ; reflek regangan. Pelatihan pliometrik ditujukan pada tiga kelompok otot besar dalam tubuh, yaitu: kelompok otot tungkai dan pinggul, kelompok otot bagian tengah tubuh (otot perut dan punggung), dan kelompok otot dada, bahu serta lengan (Radcliffe dan Farentinos, 1985).
Latihan pliometrik mempergunakan tenaga gravitasi untuk menyimpan energi dalam otot dan dengan segera melepaskan energi yang berlawanan (Dintiman, Ward dan Tellez dalam
Radcliffe dan Farentinos, 1985). Selanjutnya menyatakan bahwa pelatihan pliometrik adalah metode latihan untuk meningkatkan daya ledak otot dengan bentuk kombinasi latihan isometrik dan isotonik (eksentrik-kosentrik) yang mempergunakan pembebanan dinamik. Regangan yang terjadi secara mendadak sebelum otot berkontraksi kembali atau suatu latihan yang memungkinkan otot-otot untuk mencapai kekuatan maksimal dalam waktu yang singkat
.
Dasar fisiologis dari pelatihan pliometrik diawali dengan fase kontraksi yang menimbulkan peregangan dari tendon, ligamen, elemen elastis dan elemen kontraksi otot. Peregangan yang terjadi akan memacu aktivitas sistem saraf sensoris dan motoris otot. Peningkatan aktivitas sistem saraf akan membangkitkan kontraksi otot dan peregangan yang terjadi akan memacu aktivitas sistem saraf sensoris dan motoris otot. Selanjutnya peningkatan aktivitas sistem saraf akan membangkitkan kontraksi kosentrik yang lebih kuat dan cepat (eksplosif). Gerakan yang berulang-ulang akan menambah kepekaan dari sistem neuromousculer. Pelatihan pliometrik berhubungan langsung dengan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot, maka secara langsung juga akan mempengaruhi daya ledak otot (Nala, 2011).
Pelatihan pliometrik ini bersifat anaerobik. Energi yang dipakai untuk menunjang aktivitas berasal dari sistem energi asam laktat (adenosin tri fosfat- kreatin fosfat) dan asam laktat. Maksimal tenaga anaerobik ini akan habis dalam waktu 34 detik (Suharno, 1993). Karena bersifat anaerobik proses pemulihan memerlukan waktu yang berkisar 3-5 menit. Ada dua kelompok besar dari aspek benturan terhadap bidang tumpuan kaitannya dengan pelatihan pliometrik yaitu ; kelompok low impact exercises dan high impact exercises (Bompa, 1993). Aktivitas yang termasuk benturan tinggi antara lain lompat jauh dengan awalan. Aktivitas seperti skipping, rope, lompat langkah pendek dan rendah termasuk pelatihan pliometik benturan rendah.
Peningkatan daya ledak otot bergantung pada pemakaian takaran pelatihan. Takarannya meliputi tipe aktivitas, jangka waktu pelatihan dan fase pelatihan yaitu pemanasan, peregangan dan pendinginan. Takaran pelatihan pliometrik biasa dimulai dari intensitas rendah, dengan volume (6-10 repetisi, tiga set, dan istirahat antar set dua menit) dan frekuensi latihan 3-4 kali seminggu (Soetopo, 2003).
Secara bertahap tubuh akan mengadaptasi beban pelatihan. Selama jangka waktu pelatihan akan terjadi perubahan pada kapasitas fungsi tubuh seperti fungsi sistem vaskuler, sistem neuro-muskular dan sistem penyediaan energi (Soepartono, 1990). Besarnya perubahan ditentukan oleh kapasitas fungsi organ dalam mengantisipasi beban-beban pelatihan seperti peningkatan kekuatan, kecepatan fungsional organ (Bompa dan Haff, 2009).
Intensitas pelatihan adalah kualitas beban pelatihan terdiri dari ; repetisi, volume, interval istrahat (Harsono, 1993). Tingkatan-tingkatan intensitas beban pelatihan adalah ;
- Intensitas rendah 30 – 50 % dari kemampuan maksimal - Intensitas ringan 51 – 60 % dari kemampuan maksimal - Intensitas sedang 61 – 75 % dari kemampuan maksimal - Intansitas sub maksimal 76 – 85 % dari kemampuan maksimal - Intensitas maksimal 86 – 100 % dari kemampuan maksimal - Intensitas super maksimal 100 – 105 %
Jumlah ulangan gerakan pada waktu melakukan pelatihan disebut repitisi. Repitisi maksimum adalah jumlah ulangan maksimum yang mampu dilakukan seseorang. Dalam kaitannya dengan beban pelatihan maka maksimum repitisi ditentukan berdasarkan tingkatan beban pelatihan. Pada pelatihan pliometrik kualitas intensitas pelatihan berbanding langsung dengan tinggi rintangan serta jauhnya jarak lompatan. Volume pelatihan berhubungan dengan
kualitas beban pelatihan yang dapat dinyatakan dengan jumlah lompatan (berapa kali), jarak (meter), waktu (menit), dan set (jumlah giliran). Interval istrahat dibebankan antara set yang satu dengan set yang berikutnya (Pate dkk., 1984).
2.10 Takaran Pelatihan
Sebuah program pelatihan akan membuahkan hasil yang baik, apabila disusun berdasarkan atas pengembangan kemampuan fisiologis khusus yang dibutuhkan dalam penampilan suatu cabang dengan takaran yang tepat. Takaran dalam dunia olahraga dipergunakan sebagai suatu ukuran untuk menentukan kuantitas dan kualitas pelatihan yang menjadi bagian dari metodologi kepelatihan. Oleh karena itu sangat penting peranannya dalam meningkatkan dan mengembangkan fisik olahragawan, terutama kemampuan komponen biomotorik secara tepat dan efisien. Suatu takaran pelatihan akan mencapai sasaran atau tujuan, jika dalam program pelatihannya sudah mencakup: 1) jenis atau tipe pelatihan yang dipilih, 2) unsur intensitas (presentase beban dan kecepatan), 3) volume (durasi, jarak dan jumlah repetisi), serta 4) densitas (kekerapan, frekuensi) pelatihan (Soetopo, 2007).
1. Tipe Pelatihan
Tipe pelatihan dipilih terlebih dahulu sebelum ditetapkan besar kecilnya takaran pelatihan berupa: intensitas, volume, densitas atau frekuensi. Tipe pelatihan yang akan dipilih disesuaikan dengan komponen biomotorik yang diutuhkan pada cabang olahraga yang akan dilatih. Untuk meingkatkan daya ledak otot jenis pelatihan yang paling efektif adalah pelatihan pliometrik salah satunya adalah pelatihan lompat rintangan (Bompa, 1993). Pelatihan lompat rintangan yang diterapkan pada penelitian ini dengan tinggi rintangan 30 cm. Penentuan tinggi rintangan ini diperoleh dari hasil penelitian pendahuluan terhadap enam orang siswa, yaitu kemampuan maksimal melompati rintangan dikalikan 80%.
2. Intensitas Pelatihan
Intensitas pelatihan menunjukkan komponen kualitatif yang harus ditetapkan sebelum menentukan volume dan frekuensi suatu pelatihan. Derajat intensitas dapat diukur sesuai dengan tipe pelatihan atau aktivitas yang dilakukan. Tingkat intensitas berdasarkan kualitas yang menyangkut kecepatan atau kekuatan dari suatu aktivitas ditentukan oleh besar kecilnya persentase dari kemampuan maksimalnya menurut Bompa (1993) terdiri dari intensitas rendah (30-50% dari kemampuan maksimal) sampai intensitas supermaksimal (100-105% dari kemampuan maksimal). Sedangkan intensitas berdasarkan atas durasi atau lamanya aktivitas dan sistem energi yang dipergunakan, misalnya membagi intensitas berdasarkan frekuensi denyut nadi selama kerja yaitu intensitas rendah (120-150 denyut per-menit), sedang (150-170 denyut menit), tinggi (170-185 denyut menit) dan maksimal (lebih besar dari 185 denyut per-menit). Intensitas pelatihan yang digunakan dalam peneltian ini adalah intensitas submaksimal (80%) sesuai untuk pemula.
3. Volume Pelatihan
Volume pelatihan merupakan komponen takaran kuantitatif yang paling penting dalam setiap pelatihan. Unsur volume berupa durasi atau lama pelatihan, jarak tempuh atau jumlah suatu aktivitas serta jumlah repetisi dan set. Volume pelatihan merupakan jumlah seluruh aktivitas yang dilakukan selama pelatihan yang terdiri atas: a) durasi atau lama waktu (dalam detik, menit, jam, hari, minggu atau bulan); pelatihan, b) jarak tempuh (meter), berat badan (kilogram), jumlah angkatan daalam satuan waktu ( berapa kilogram dapat diangkat dalam satuan waktu) dan c) jumlah repetisi, set atau penampilan unsur teknik dalam satu kesatuan waktu yaitu: berapa kali ulangan dapat dilakukan dalam waktu semenit (Nala, 2011).
Repetisi adalah jumlah ulangan yang menyangkut suatu beban. Jumlah ulangan yang dimaksud adalah gerak yang dilakukan dalam satu seri pelatihan atau jumlah seri yang dilakukan selama pelatihan. Sedangkan set adalah suatu rangkaian kegiatan dari suatu repetisi. Penggunaan set amat penting dalam meningkatkan kemampuan komponen biomotorik (Sajoto, 2002).
Pelatihan yang diterapkan pada peneltian ini menggunakan unsur volume, lima repetisi tiga set untuk kelompok satu sedangkan kelompok dua (kelompok kontrol) menggunakan tiga repetisi lima set. Pelatihan dengan menggunakan pengulangan yang tinggi akan menjadikan pelatihan tersebut menjadi sangat intensif dan hal ini akan sangat baik untuk mengembangkan serabut otot tipe cepat yang merupakan salah satu komponen yang mendukung daya ledak yaitu kecepatan dan kekuatan (Fox, 1983). Pelatihan yang dirancang dengan repetisi tinggi akan mengahasilkan kecepatan lebih besar daripada pelatihan yang menggunakan repetisi rendah (Pate dkk., 1984). Daya ledak merupakan hasil dari kekuatan maksimum dan kecepatan maksimum (Bompa, 1993). Dengan demikian pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan daya ledak yang menggunakan repetisi lebih banyak akan lebih efektif dibandingkan dengan pelatihan yang menggunakan repetisi lebih sedikit dengan total volume yang sama.
4. Densitas Pelatihan
Densitas pelatihan menunjukkan kepadatan (densitas) atau kekerapan (frekuensi) dari suatu seri rangsangan per satuan waktu ketika sedang berlatih. Densitas bersifat kuantitatif menunjukkan hubungan antara pase aktivitas yang dilakukan dengan pase istirahat atau pase pemulihan. Suatu pelatihan yang densitasnya sesuai tidak akan menyebabkan kelelahan yang berlebihan (Soetopo, 2007).
Untuk melatih daya ledak, pase istirahat antar set yang digunakan pada kecepatan atau intensitas sedang adalah 2-5 menit, kecepatan sedang atau rendah (m/dt) adalah 2-4 menit,
dengan frekuensi. Frekuensi tiga kali seminggu adalah sesuai untuk pemula dan akan mengahasilkan peningkatan yang berarti. Waktu istirahat antar set yang digunakan pada pelatihan ini adalah 5 menit karena pelatihan ini menggunakan intensitas sedang (Fox, 1983).
Pelatihan yang berlangsung selama 6–8 minggu akan memberikan efek yang cukup berarti bagi olahragawan yaitu mengalami peningkatan 10-20%, maka sebaiknya evaluasi dilaksanakan setelah 6-8 minggu (Pate dkk., 1984). Sehingga pelatihan yang diterapkan pada penelitian ini berlangsung selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali seminggu, dengan pertimbangan selain waktu tersebut sudah dapat memberikan hasil pelatihan yang efektif juga terkait dengan pertimbangan waktu karena melibatkan pelajar sebagai subjek penelitian serta pertimbangan efisiensi dana atau biaya yang diperlukan selama penelitian.
2.11 Pelatihan Lompat Rintangan
Pelatihan lompat rintangan merupakan salah satu bentuk pelatihan untuk melatih daya ledak otot tungkai, dimana atlet melakukan pelatihan melompat tinggi ke atas ke depan dengan menggunakan rintangan. Lompat rintangan adalah suatu bentuk pelatihan pliometrik dengan cara berlari, melompati rintangan dengan tolakan (tumpuan) satu kaki dengan gerakan mengeper (Radcliffe dan Ferentinos, 1985).
Lari rintangan membutuhkan atlet bertubuh tinggi dengan memiliki teknik lari rintangan yang baik dikombinasikan dengan kemampuan sprint yang baik (Carr, 2003). Tinggi rintangan disesuaikan dengan tingkat kedewasaan atlet baik usia atau jenis kelamin. Atlet remaja menempuh jarak lebih pendek dengan menggunakan rintangan lebih sedikit dan lebih pendek dibandingkan dengan yang digunakan oleh orang dewasa. Tinggi rintangan dan jarak antar rintangan untuk atlet putri lebih pendek dari atlet putra.
Lari rintangan mengajarkan ritme, langkah dan tempo. Atlet belajar menghargai hitungan dan panjang langkah. Keuntungan dari pelatihan lari lompat rintangan ini adalah atlet diajarkan mengatur
panjang langkah dan menghitung langkah yang sangat dibutuhkan dalam ancang ancang lompat jauh (Carr, 2003).
2.12 Metabolisme Energi
Penampilan atlet sangat ditentukan dari kemampuannya mengeksplotasi energi yang dihasilkan melalui proses metabolisme energi di dalam tubuh (Hairy, 1998). Metabolisme adalah perubahan-perubahan kimiawi yang terjadi di dalam tubuh untuk melaksanakan berbagai fungsi vitalnya (Pearce, 2012). Upaya penyediaan energi untuk kelangsungan gerak ditinjau dari keterlibatan oksigen yang terdiri dari dua mekanisme yaitu metabolisme aerobik dan anaerobik (Giriwijoyo, 2007).
Sistem energi metabolisme anaerobik berasal dari sistem adenosin tri posfat – kreatin posfat yang sering disebut dengan sistem phospagen dan sistem laktat disebut juga sebagai sistem glikolisis. Sedangkan sistem metabolisme aerobik energinya berasal dari pembakaran glikogen otot oleh oksigen melalui proses glikogenolisis, glikolisis dan siklus krebs (Guyton dan Hall, 2012).
Energi adalah suatu kapasitas atau sumber yang dapat dipergunakan untuk melakukan kerja atau aktivitas (Fox, 1983). Dasar dalam penyusunan program pelatihan adalah mengetahui sistem energi yang utama digunakan yang dikenal dengan istilah sistem energi predominan. Pengetahuan ini perlu untuk menentukan model pelatihan yang dapat berpengaruh terhadap sistem energi yang dibutuhkan. Sistem energi dalam tubuh manusia dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: Sistem ATP-PC (phospat creatin), Sistem Asam Laktat dan Sistem Aerobik (Fox dkk, 1988).
Secara garis besarnya, energi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu energi kinetik dan energi potensial. Energi kinetik adalah energi yang berhubungan dengan obyek karena menghasilkan gerakan. Sedangkan energi potensial adalah yang berhubungan dengan subjek, karena struktur dan potensinya. Makanan yang dikomsumsi tidak dapat langsung digunakan untuk kontraksi otot. Oleh karena itu harus diubah menjadi energi kimia yang berbentuk ATP (Fox, 1983).
Selain digunakan untuk kontraksi otot, ATP juga digunakan untuk proses-proses lain yang vital bagi kehidupan manusia seperti sintesis protein, transport aktif dan aktivitas metabolisme. Apabila ATP pecah menjadi ADP dan Pi, maka sejumlah energi akan dikeluarkan, energi ini merupakan sumber tenaga yang dapat digunakan untuk kontraksi. Apabila salah satu senyawa dilepaskan dari ATP maka akan keluar energi sebesar 7–12 Kcal (Fox dkk., 1988).
Penampilan seorang atlet sangat tergantung dari penampilannya menggunakan energi yang dihasilkan melalui proses metabolisme energi (Carr, 2003). Pemahaman tentang metabolisme setiap gerakan sangat diperlukan sebelum merancang program pelatihan, karena untuk meningkatkan kinerja atlet membutuhkan pengetahuan tentang prinsip sistem energi yang dipergunakan selama berolahraga. Bila sistem energi anaerobik yang dominan, maka program pelatihannya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas anaerobik, demikian juga sebaliknya bila sistem aerobik yang lebih dominan, maka tujuan pelatihan adalah untuk peningkatan kapasitas aerobik. Melalui sistem penambahan beban (over load) diharapkan tubuh dapat memiliki persediaan energi secara terus menerus (Costill dan Wilmore, 1988).
Ketentuan dasar dalam setiap program pelatihan adalah mengetahui sistem energi utama yang digunakan atau yang lebih dikenal dengan sistem energi predominan pada cabang olahraga yang bersangkutan (Fox, 1983). Persediaan ATP menjadi lebih besar apabila otot terlatih lebih banyak, akan tetapi jumlah ATP yang tersedia dalam otot sangat terbatas. Oleh karena itu apabila menginginkan otot dapat berkontraksi berulang-ulang maka ATP yang digunakan oleh otot harus dibentuk kembali dengan bantuan phospo Creatine (Guyton dan Hall, 2012).
2.13 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hasil Lompatan
Daya ledak merupakan salah satu komponen biomotorik dominan yang dibutuhkan dalam cabang olahraga lompat jauh (Soetopo, 2007). Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Jensen dan Fisher (1983) yaitu, daya ledak dipengaruhi oleh kekuatan dan kecepatan yang berupa kekuatan kontraksi otot dan kecepatan baik kecepatan rangsangan syaraf maupun kekuatan