• Tidak ada hasil yang ditemukan

PASAL 50 AYAT (3) SISTEM ARTIKEL. Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PASAL 50 AYAT (3) SISTEM ARTIKEL. Oleh:"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

IMP NOM U

Dia

No. Re

PLIKASI P MOR 5/PU NDANG-U

ajukan G

U

Prog

eg. : 10/HT

PUTUSAN UU-X/201 UNDANG P

Guna Unt

ntuk Me

AD

ram Ke

UN

TN/02/IX-N MAHKAM 12 MENGE NOMOR PENDIDIK

AR

tuk Mele

encapai

O

DI SUHEN

NPM : 0

khusus

FAKUL

NIVERSIT

PA

-2013

MAH KON ENAI PEN 20 TAHUN KAN NASI

RTIKEL

engkapi

Gelar S

Oleh:

NDRA RI

9100121

an Huk

LTAS HUK

TAS BUNG

ADANG

2013

NSTITUSI NGUJIAN N 2003 TE IONAL

Sebagi

Sarjana

ITONGA

11043

kum Tat

KUM

G HATTA

DALAM P PASAL 50 ENTANG

ian Pers

Hukum

A

ta Nega

A

PERKARA 0 AYAT (3 SISTEM

syaratan

ara

A )

n

(2)
(3)

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA NOMOR 5/PUU-X/2012 MENGENAI PENGUJIAN PASAL 50 AYAT (3) UNDANG-UNDANG

NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Adi Suhendra Ritonga1, Nurbeti1, Sanidjar Pebrihariati R1 1

Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Email : Hendraritonga.hr@gmail.com

Abstrak

System Law of Education Number. 20 of 2003 Chapter 2 Article (3). as a vanguard in advancing civilization. Advance and retreat of civilization of a country depends on the education in the country. In reality, the Constitutional Court dissolved international school is projected to advance education.The formulation of the problem studied in this thesis, is 1). Consideration Is the legal basis of the Constitutional Court in deciding cases 5/PUU-X/2012 Number?. 2). How Implications of the Constitutional Court decision in case number 5/PUU-X/2012 of Education Institutions in Indonesia?The research method in this thesis manifold normative legal research is research that aims to examine the legal principles, legal systematics, synchronization law, legal history and comparative law.The results and discussion of the legal basis for consideration by the Constitutional Court dissolved international school is Article 50 paragraph (3), which regulates the international school contrary to Article 31 paragraph (1), paragraph (2), subsection (3), paragraph (4), and paragraph (5) and Article 28C (1) and Section 28E (1) of the 1945 Constitution. thus have implications more specifically the legal certainty of implementation of the provisions of international schools that are tested. Government in the future can no longer meneyelenggarakan international education unit

Key Word: Stubs School Standard International, Education, Decision of the ConstitutionaCourt

A. Latar Belakang 1. Pendahuluan

Sistem pendidikan nasional merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional di antara bidang kehidupan lainnya seperti: ideologi, hukum, ekonomi, dan pertahanan keamanan nasional. Untuk mewujudkan pembangunan nasional di bidang pendidikan diperlukan peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Pendidikan nasional perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan pendidikan nasional sebagai satu sistem.( Tim Pembina Mata Kuliah Pengantar Pendidikan, 2006)

Program SBI pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan SDM yang berkualitas yaitu Warga Negara yang unggul secara intelektual, moral, kompeten dalam IPTEKS, produktif, dan memiliki komitmen yang tinggi dalam berbagai peran sosial,

(4)

ekonomi dan kebudayaan, serta mampu bersaing dengan bangsa lain di era globalisasi. Terkait dengan tujuan SBI tersebut, dalam ketentuan Pasal 50 Ayat (3) Undang-undang .Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Lebih lanjut dikemukakan pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) Pasal 61 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Di samping itu, dalam Renstra Depdiknas 2005-2009 Bab V dikemukakan pula bahwa pembangunan SBI dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing bangsa perlu dikembangkan SBI pada tingkat Kabupaten/Kota melalui kerjasama yang konsisten antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, untuk mengembangkan SD, SMP, SMA dan SMK

yang bertaraf Internasional sebanyak 112 di seluruh Indonesia.

Tingginya harapan dan keinginan Pemerintah terhadap pembaharuan pendidikan, jika tidak disertai dengan peningkatan kemampuan dalam mengelola perubahan yang didukung oleh perangkat manajemen yang memadai. Tantangan berat yang berkaitan dengan sistem manajemen SBI, pada pelaksanaannya menjadi jauh lebih tidak sederhana. Keberagaman karakteristik peserta didik sebagai akibat pengaruh letak geografis masyarakat, dengan aneka ragam budaya, adat istiadat, dan bahasa, menuntut adanya isi dan pola pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang tidak seragam. Dengan demikian, proses pelaksanaan kegiatan pembelajaran SBI terdapat beberapa permasalahan antara lain :

1. Seleksi penerimaan siswa pada sekolah SBI ini yang semestinya berdasarkan potensi dan prestasi siswa ternyata di lapangan lebih banyak didasarkan pada tingkat kemampuan siswa untuk membayar uang sekolah yang tinggi. Semakin tinggi kemampuan membayarnya semakin tinggi pula kemungkinan diterima.

2. Sekolah bertaraf internasional yang menggunakan bahasa asing,

(5)

khususnya bahasa Inggris, sebagai pengantar dalam pengajaran siswanya, dinilai dapat mengancam kecintaan dan rasa bangga generasi muda terhadap bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris dinilai juga dapat mengancam keberadaan bahasa daerah dan tidak mencerminkan nasionalisme, karena posisi kedua bahasa tersebut akan tergeser oleh bahasa asing.

3. Penggunaan bahasa asing dalam SBI tidaklah mencerminkan sikap nasionalisme. Westernisasi dunia pendidikan juga menjadi salah satu hal yang dikhawatirkan, karena hal itu tidak akan sesuai dengan arah pendidikan nasional

4. Liberalisasi dan komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan hak warga negara. Sekolah-sekolah yang menjadi SBI memang adalah sekolah unggulan yang biayanya memang sudah relatif mahal.(

http://www.mahkamahkonstitusi.co m,resume permohonan perkara Nomor 5/PUU-X/2012)

Dari Beberapa permasalahan di atas, beberapa wali murid yang tergabung dalam “Tim Advokasi Anti Komersialisasi

Pendidikan” di Jakarta yang anaknya bersekolah di SBI mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan eksistensi pasal 50 ayat (3) Undang-undang.No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Setelah melalui persidangan, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mencabut Pasal 50 ayat (3) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi karena diputuskan bertentangan dengan UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait perkara-perkara yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi diantaranya perkara tentang pengujian undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945,sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum, memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.( Moh. Mahfud, 2009).

Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: declaratoir, constitutif,

dan condemnatoir.( Tim Penyusun Hukum

Acara Mahkamah Konstitusi, 2010). 1. Declaratoir

(6)

Putusan declaratoir adalah hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu benda atau pada saat hakim memutuskan sesuatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum.

2. Constitutif

Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru

3. Condemnatoir

Putusan Condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya putusan yang menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang ganti rugi.

Dalam mengambil keputusan, putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim. Dalam proses pengambilan putusan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. Putusan harus diupayakan semaksimal mungkin diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila tetap

tidak dicapai mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Di dalam penjelasan Pasal 45 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 ditentukan bahwa dalam sidang permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara abstain. Rapat Permusyawaratan Hakim pengambilan putusan adalah bagian dari proses memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, oleh karena itu RPH harus diikuti ke-9 hakim konstitusi, kecuali dalam kondisi yang luar biasa putusan dapat diambil oleh 7 hakim konstitusi. Yang dimaksud dengan kondisi luar biasa adalah halangan yang tidak dapat dihindari yang menyebabkan seorang hakim konstitusi tidak dapat menghadiri RPH, misalnya karena alasan sakit. Dalam kondisi yang luar biasa, dimungkinkan putusan diambil oleh 8 atau 7 hakim konstitusi.

Pada saat diikuti oleh 8 hakim konstitusi dan putusan tidak dapat diambil secara mufakat maka terdapat kemungkinan perbandingan suara dalam pengambilan putusan adalah 4 berbanding 4. Dalam kondisi seperti ini, suara ketua sidang yang akan menentukan putusan MK. Selain bagian-bagian di atas, Pasal 45 ayat (10) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengamanatkan

(7)

bahwa pendapat seorang anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan. terjadi, karena putusan dapat diambil dengan suara terbanyak jika musyawarah tidak dapat mencapai mufakat. Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal tersebut, maka terjadilah kekosongan hukum dalam hal pelaksanaan Sekolah Bertaraf Internasional.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini berjenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.(Soerjono Soekanto, 2007). Hal ini dikarenakan yang menjadi sumber utama analisa dalam penelitian ini adalah Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, antara lain:

a. oleh para sarjana hukum, literatur hasil penelitian yang telah dipublikasikan. jurnal-jurnal hukum, artikel, makalah dan situs internet

b. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan-bahan tersier terdiri dari :

1. Kamus Hukum

2. Kamus Bahasa Indonesia 3. Kamus Bahasa Inggris.

Data yang bermanfaat bagi penulisan ini diperoleh dengan cara study dokumen atau bahan pustaka, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau data tertulis, terutama yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas lalu menganalisa data tersebut

Dalam Penulisan ini, penulis memperoleh data dari penelitian kepustakaan Kemudian dianalisis Setelah data terkumpul dari penelitian kepustakaan, data tersebut dianalisis secara kualitatif yaitu dengan memperhatikan fakta-fakta dan data hukum yang dianalisis dengan uraian kualitatif sehingga nantinya dapat memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis tentang analisis dari putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 5/PUU- X/2012.

A.Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap Pengujian Pasal 50 ayat (3)

(8)

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pengujian terhadap undang-undang merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk menguji kembali undang-undang yang telah ada, apakah undang-undang tersebut bertentangan atau tidak dengan Undang-undang Dasar 1945, pengujian ini dapat dimulai dengan adanya permohonan dari warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu undang-undang. Dalam pengujian undang-undang, ada beberapa lembaga yang berwenang dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang yaitu:

a. Lembaga eksekutif (executive review)

Eksekutif review merupakan pengujian atau peninjauan atas peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif sendiri tanpa adanya permohonan judicial review kepada lembaga yudisial karena ada kekeliruan atau ada

kebutuhan baru untuk meninjaunya

b. Lembaga legislatif (legislative review)

Legislatif review merupakan peninjauan atau perubahan Undang-undang dan Peraturan Daerah oleh lembaga legislatif (DPR/DPRD dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah) sesuai dengan tingkatannya karena isinya dianggap tidak sesuai dengan hukum atau falsafah yang mendasarinya atau karena terjadinya perubahan kebutuhan yang tidak bertentangan dengan hukum yang mendasarinya. c. Lembaga yudikatif (judicial

review)

Judicial review merupakan pengujian yang

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang secara teknis pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi biasa juga disebut dengan constitutional review sedangkan pengujian terhadap peraturan

(9)

perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh Mahkamah Agung biasa disebut judicial review tetapi keduanya secara umum disebut judicial review dalam arti pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial. Pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 5/PUU-X/2012 adalah Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana yang diuji adalah Pasal 50 ayat (3) yang berkaitan dengan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Materi muatan yang diuji dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah Pasal 50 ayat (3) yang berbunyi: ‘’Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional’’

Dalam mempertimbangkan perkara yang diajukan oleh ketujuh pemohon tersebut, para hakim yang ada di Mahkamah Konstitusi, memberikan penafsiran terhadap

kasus yang diadili di Mahkamah Konstitusi. Secara garis besar interptretasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu : (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010)

1) Interpretasi harfiah yang merupakan interpretasi yang semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya. Dengan kata lain, interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang tidak keluar dari literalegis

2) Interpretasi fungsional yaitu interpretasi bebas, disebut bebas di sini karena penafsiran ini tidak mengikat dari sepenuhnya kepada kalimat dan kata-kata peraturan, dimana penafsiran ini mencoba memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap bisa memberikan penjelasan yang lebih memuaskan. Dalam pokok permohonan, ada hal-hal yang menjadi pertimbangan oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara dengan Nomor 5/PUU-X/2012. Pasal 50 ayat (3) bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) serta Pasal 28C ayat (1) dan

(10)

Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Dari permohonan yang diajukan oleh para pemohon, Hakim Konstitusi memberikan penafsiran struktural yang merupakan metode penafsiran yang cara mengaitkan aturan dalam Undang-Undang dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Selain mengajukan bukti-bukti tertulis, para pemohon juga menghadirkan para ahli, yang salah satunya adalah ahli Winarno Surahma yang berpendapat bahwa:

Rintisan sekolah bertaraf internasional adalah konsep yang tidak ada di dunia, kecuali Indonesia saja. Konsep ini tidak pernah, tidak dikaitkan dengan konsep sistem pendidikan nasional. Undang-Undang Sisdiknas memang memungkinkan orang menafsirkan semacam itu. Tetapi, dilihat dari segi nasionalisme, maka konsep tidak menguntungkan berdirinya suatu sistem pendidikan yang nasional. ( Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012).

Setelah mendengarkan pemaparan dari para ahli, maka Hakim Konstitusi memberikan penafsiran etika yang merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan cara menurunkan prinsip-prinsip moral dan etik sebagaimana terdapat

dalam konstitusi atau undang-undang dasar. Metode penafsiran ini di konstruksi dari tipe berpikir konstitusional yang menggunakan pendekatan filsafat, aspirasi atau moral. Dengan demikian metode penafsiran ini dapat digunakan untuk isu-isu yang menekankan pada pentingnya hak-hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kekuasaan negara atau pemerintahan. Dalam metode penafsiran etikal ini, moralitas konvensional dan filsafat moral merupakan 2 (dua) aspek yang sangat relevan sekali apabila digunakan sebagai metode pendekatan.

Keberadaan Pasal 50 ayat (3) UU SPN menimbulkan disparitas yang sangat mencolok antara siswa dari keluarga mampu dan tidak mampu sebab yang kemudian mengenyam pendidikan RSBI dari kalangan berada. “Memang ada ketentuan RSBI harus menyediakan kuota 20 persen yang

RSBI bagi siswa kurang mampu selama ini tak pernah terpenuhi sebab anak dari keluarga tidak mampu secara psikologis akan berpikir ulang untuk masuk ke RSBI, secara falsafah pendidikan nasional memang tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan juga tidak dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan

(11)

sebelumnya. Dengan kata lain, rumusan falsafah pendidikan nasional memang tidak ada secara tersurat dalam undang-undang sistem pendidikan nasional atau produk hukum yang lainnya.

Hal itu bukan berarti Indonesia tidak memiliki dasar pendidikan nasional dan tujuan pendidikan nasional, karena dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) di Indonesia jelas tercantum tentang: 1) rumusan tentang pendidikan dan pendidikan nasional; 2) dasar pendidikan nasional; dan 3) fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Bahkan, Indonesia juga telah merumuskan apa yang disebut sebagai sistem pendidikan nasional, serta prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional dengan pengertian pendidikan , “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negaranya” (Pasal 1 butir 1 UU Sisdiknas).

2. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 5/PUU-X/2012 terhadap Lembaga Pendidikan di Indonesia.

Dalam menangani suatu perkara,

Mahkamah Konstitusi selalu mengedepankan asas-asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum secara bersamaan. Dengan adanya putusan MK yang bersifat final dan mengikat maka MK langsung mengkonfirmasi konstitusionalitas dari materi yang diuji sehingga memiliki implikasi lebih tegasnya kepastian hukum dari ketentuan penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional yang diuji tersebut. Dengan demikian memerlukan dukungan sosialisasi dan distribusi secara menyeluruh terhadap setiap putusan MK, baik oleh pemerintah maupun media. Khususnya putusan yang membatalkan pasal, ayat, ataupun materi yang diuji materilkan.

Dengan dikabulkannya permohonan para pemohon oleh

Mahkamah Konstitusi, maka Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak dapat diberlakukan lagi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia, sehingga berimplikasi tidak adanya lagi payung hukum terhadap keberadaan sekolah

(12)

bertaraf internasional,secara otomatis hanya ada satu sistem pendidikan. memberikan perlakuan yang sama antar sekolah dan antar peserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah.

Negara dalam memajukan serta meningkatkan kualitas sekolah yang dibiayai oleh negara, maka negara harus memperlakukan sama dengan meningkatkan sarana, prasarana serta pembiayaan bagi semua sekolah yang dimiliki oleh pemerintah, sehingga menghapus pembedaan perlakuan antara berbagai sekolah yang ada. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin seluruh warga negara Indonesia menjadi cerdas yang salah satunya ditandai dengan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang dapat diakses seluruh warga negara tanpa terkecuali dan tanpa pembedaan. Akses ini dapat terbuka apabila sistem yang dibangun diarahkan untuk seluruh warga negara, dengan mempertimbangkan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh warga negara, pengakuan dan perlindungan hak atas pendidikan ini berimplikasi pada adanya tanggung jawab dan kewajiban negara untuk menjamin bagi semua orang tanpa adanya

pembedaan perlakuan dan harus menghilangkan semua ketidaksetaraan yang ada, sehingga akan muncul pendidikan yang dapat diakses oleh setiap warga negara secara adil dan merata.

Lembaga pendidikan yang harus menghasilkan siswa-siswa yang memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia global dan memiliki kemampuan berbahasa asing, tidak harus diberi lebel berstandar internasional. Di samping tidak ada standar internasional yang menjadi rujukan, istilah “internasional” pada SBI/RSBI sebagaimana dipahami dan dipraktikkan selama ini dapat melahirkan output pendidikan nasional yang lepas dari akar budaya bangsa Indonesia. Apabila standar pendidikan diukur dengan standar internasional, artinya standar yang dipergunakan juga oleh negara-negara lain (walaupun menurut keterangan pemerintah

RSBI tetap harus memenuhi standar nasional) hal demikian bertentangan dengan maksud dan tujuan pendidikan nasional yang harus membangun kesadaran nasional yang melahirkan manusia Indonesia yang beriman, berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

(13)

Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yang mengatur keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, berdasarkan putusan Nomor 5/PUU-X/2012 .

1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi

Hakim Konstitusi memberikan penafsiran struktural yang mengaitkan Pasal 50 ayat (3) dengan Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) serta Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Sehingga Mahkamah berpendapat “Pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jiwa Bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada Rintisan Sekolah bertaraf internasional (RSBI) akan menjauhkan pendidikan nasional dari akar budaya dan jiwa bangsa indonesia. Walaupun RSBI adalah sekolah nasional yang sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara maju, tetapi tidak dapat dihindari pemahaman dan praktik bahwa yang menonjol dalam RSBI iadalah bahasa

internasional atau lebih spesifik bahasa Inggris”.

2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam menangani suatu perkara, Mahkamah Konstitusi selalu mengedepankan asas-asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum secara bersamaan. Dengan adanya putusan MK yang bersifat final dan mengikat maka MK langsung mengkonfirmasi konstitusionalitas dari materi yang diuji sehingga memiliki implikasi lebih tegasnya kepastian hukum dari ketentuan penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional yang diuji tersebut. Dengan demikian memerlukan dukungan sosialisasi dan distribusi secara menyeluruh terhadap setiap putusan MK, baik oleh pemerintah maupun media. Khususnya putusan yang membatalkan pasal, ayat, ataupun materi yang diuji materilkan.

Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak dapat diberlakukan lagi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia, sehingga berimplikasi tidak adanya lagi payung hukum terhadap keberadaan sekolah bertaraf internasional,secara otomatis hanya ada satu sistem pendidikan.

(14)

memberikan perlakuan yang sama antar sekolah dan antar peserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Pendidikan Nasional, Jakarta, 2009

Mahfud MD, Moh, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007.

Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, 2010.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Sumber Lain

http://www.mahkamahkonstitusi.com,resum e,permohonan perkara Nomor 5/PUU-X/2012, April 2013 

Irianto, Yoyon Bahtiar, ‘’Membangun Sekolah Bertaraf Internasional’’, http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR, April 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Guru mengajak siswa dan menanyakan kepada siswa sesuai materi. Sesi selanjutnya setelah siswa telah menyelesaikan tugas yang diberikan guru maka guru memulai kegiatan

Pada ruas jalan Kawi, arahan pengelolaan lalu lintas dengan penerapan skenario penataan parkir on-street di sisi utara dan sisi selatan, penertiban angkutan kota

Penelitian ini dilakukan di Indonesia dan hasil penelitian ini adalah untuk meningkatkan penjualan dengan mengalisa faktor internal dan eksternal perusahaan, lalu

Kabupaten Tanah Datar merupakan salah satu daerah penghasil jeruk nipis di Sumatera Barat dengan petani yang dahulunya menanam jeruk nipis sebagai usaha tanaman pekarangan

Bersedia untuk dilakukan peninjauan terhadap sarana dan alat yang akan digunakan dalam proses Pemeriksaan Kesehatan Berkala oleh pihak PT PJB UP Gresik

Sedangkan tanah (soil) berarti bahan atau material di permukaan atau di bawah permukaan yang menyusun dan membentuk lahan di permukaan bumi. Berdasarkan pengertian tersebut,

Pemeliharaan berkala yang bersifat perbaikan dimaksudkan untuk memperbaiki sebagian prasarana sungai yang telah mengalami kerusakan agar kembali berfungsi sesuai dengan