BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian
Kata “pembuktian” berasal dari kata “bukti” artinya “sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa”, kemudian mendapat awalan “pem” dan akhiran “an”, maka pembuktian artinya “proses perbuatan, cara membuktikan sesuatu yang menyarakan kebenaran suatu peristiwa”, demikian pula pengertian membuktikan yang mendapat awalan “mem” dan akhiran “an”, artinya memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti.” (Andi Sofyan, 2014 : 230)
“Bukti-bukti” dalam Kamus Bahasa Indonesia dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan antara lain disebut :
“m.1.sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa“. Bukti dalam Bahasa Inggris : evidence. Di dalam The Lexicon Webster Dictionary diartikan antara lain : indication of something or establishes the truth. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk menentukan “kebenaran”. (Leden Marpaung, 2009 : 22-23) b. Tujuan Pembuktian
Yang dimaksudkan dengan membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa atau perbuatan yang dilakukan oleh sesorang. Dengan demikian, tujuan pembuktian adalah untuk dijadikan dasar dalam menjatuhkan putusan hakim kepada terdakwa tentang bersalah atau tidaknya sebagaimana yang telah didakwan oleh penuntut umum. Namun tidak semua hal harus dibuktikan, sebab meurut Pasal 184 ayat (2) KUHAP, bahwa “hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan.”
Dengan demikian, hakim di dalam memeriksa suatu perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha membuktikan :
1. Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi ?
2. Apakah betul peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana ? 3. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi ?
4. Siapakah orangnya yang telah bersalah berbuat peristiwa itu ? Maka tujuan pembuktian di atas, adalah untuk mencari menemukan, dan menetapkan kebenaran-kebenaran yang ada dalam perkara itu, dan bukanlah semata-mata mencari kesalahan seseorang. c. Alat Bukti dan Barang Bukti
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.
Sedangkan, barang bukti menurut Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :
1. Merupakan objek materiil 2. Berbicara untuk diri sendiri
3. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya
4. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa
d. Asas-Asas Pembuktian
1. Peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan; 2. Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence); 3. Inquisitoir dan accusatoir;
5. Sidang terbuka untuk umum;
6. Peradilan dilakukan oleh Hakim karena jabatannya; 7. Pemeriksaan langsung;
8. Komunikasi dan tanya jawab langsung;
9. Semua orang diperlakukan sama di depan hakim;
10. Tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum. e. Jenis-jenis Alat Bukti Menurut KUHAP
Jenis alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, adalah: (1) Keterangan Saksi
(a) Pengertian saksi yang diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP
Saksi adalah seorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
(b) Syarat sahnya keterangan saksi
(i) Harus mengucap janji atau sumpah
Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberikan keterangan “wajib mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janjinya adalah dilakukan menurut cara agamanya masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sesebenar-benarnya. Akan tetapi, Pasal 160 ayat (4) memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji
setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan sumpah atau janji, pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan, dan tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangan (M. Yahya Harahap, 2012: 286).
(ii) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti
Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyainilai adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP, yaitu: yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu (M. Yahya Harahap, 2012: 287).
(iii) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan
Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang dinyatakan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1), karena keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside court) bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 287).
(iv) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau unus testis
nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. (M. Yahya Harahap, 2012: 288).
(v) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri Dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa, namun pendapat yang demikian keliru, karena keterangan saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan secara kuantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan mereka secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka saling berdiri sendiri tanpa adanya hubungan antara yang satu dengan yang lain (M. Yahya Harahap, 2012: 289). (2) Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli disebut alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP. Ini berbeda dengan HIR dahulu yang tidak mencantumkan keterangan ahli sebagai alat bukti. Keterangan ahli sebagai alat bukti tersebut sama dengan Ned.S.v. dan hukum acara pidana modern di banyak negeri.
(3) Alat Bukti Surat
Selain Pasal 184 yang menyebutkan alat-alat bukti, maka hanya ada satu pasal saja dalam KUHAP yang mengatur tentang alat bukti surat, yaitu Pasal 187.
(4) Alat Bukti Petunjuk
Alat bukti petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah: petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk hanya dapat diperoleh dari:
(a) Keterangan saksi, (b) Surat, dan
(c) Keterangan terdakwa.
2. Tinjauan Umum tentang Pertimbangan Hakim
Terdapat 2 (dua) kategori pertimbangan Hakim dalam memutus suatu perkara yang khususnya putusan yang mengandung pemidanaan, yaitu pertimbangan Hakim yang bersifat yuridis dan pertimbangan Hakim yang bersifat non yuridis. Berikut adalah penjelasan mengenai pertimbangan yang bersifat yuridis dan yang bersifat non yuridis.
a. Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu: 1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa yang disimpulkan dan
ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi identitas Terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat Pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).
2) Tuntutan Pidana
Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada Terdakwa, dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas.
Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum sampai pada tuntutannya di dalam requisitoir itu biasanya Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada Terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.
3) Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Keterangan saksi merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan alami sendiri, yang harus disampaikan dalam sidang pengadilan
dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sabagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. 4) Keterangan Terdakwa
Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e memuat bahwa keterangan Terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan Terdakwa adalah apa yang dinyatakan Terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan Terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. 5) Barang-barang Bukti
Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh Terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan Hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa dan sudah barang tentu Hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh Terdakwa maupun para saksi. 6) Pasal-pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
Rumusan Pasal 197 huruf e KUHAP menyatakan salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan.
b. Pertimbangan Non Yuridis
Hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis, disamping pertimbangan yang bersifat yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis.
Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana, dengan demikian Hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku.
Pertimbangan non yuridis meliputi pertimbangan pada hal-hal yangmemberatkan ataupun yang meringankan hukuman bagi terdakwa. Seorang Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan apakah Terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Lalu Hakim juga harus mempertimbangkan juga hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, Hakim dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang, jangan sampai penentuan pidana oleh Hakim itu akan berdampak buruk dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan hukum itu sendiri pada khususnya.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, dalam hal Hakim diberi kebebasan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, tentunya Hakim juga terikat oleh alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan secara tegas
bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa, ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh Hakim, yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan.
1) Pertimbangan yang Memberatkan
a) Hal-hal yang Memberatkan Pidana dalam KUHP
KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP) dimana pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
“bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena
jabatannya, pidananya dapat ditambah
sepertiganya”
Yang kedua yaitu recidive atau pengulangan dimana dalam KUHP menganut sistem Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, dan yang terakhir yaitu gabungan atau semenloop (adalah orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana).
b) Hal-hal yang Memberatkan pada Putusan Pengadilan
Meresahkan masyarakat adalah hal yang dijadikan dasar alasan memberatkan pidana tersebut.
2) Hal-hal yang Meringankan
KUHP memuat alasan-alasan yang dapat meringankan pidana, yaitu sebagai berikut:
a) Percobaan (Pasal 53 ayat (2 dan 3));
b) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1 dan 2)); c) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47).
Hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut:
a) Sikap correct dan hormat Terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan;
b) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik;
c) Dalam persidangan, Terdakwa telah menyatakan penyesalan atas perbuatannya.
3. Tinjauan Umum tentang Putusan a. Pengertian Putusan Hakim
Pengertian Putusan Hakim menurut Andi Hamzah (2009:485) adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk suatu putusan tertulis maupun lisan.
Sedangkan dalam Bab I angka 11 KUHAP menyebutkan “putusan pengadilan” adalah “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Menurut Lilik Mulyadi (2007:203) “Putusan Pengadilan” adalah:
“Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbukan untuk umum setelah melakukan proses dan procedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan ammar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya”.
Adapun mengenai putusan yang bukan putusan akhir dalam praktik dapat berupa “penetapan” atau “putusan sela” yang bersumber pada ketentuan dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Putusan ini secara formal dapat mengakhiri perkara apabila terdakwa/penasihat hukum dan penutut umum telah menerima putusan itu. Akan tetapi, secara materiil perkara tersebut dapat dibuka kembali apabila salah satu pihak (terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum) mengajukan perlawanan dan perlawanan tersebut oleh pengadilan tinggi dibenarkan sehingga peradilan tinggi memerintahkan pengadilan negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
b. Dasar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim
Pengambilan keputusan oleh majelis hakim dilakukan setelah masing-masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara lalu dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis berusaha agar diperoleh pemufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2) KUHAP). Jika pemufakaran bulat tidak diperoleh, putusan diambil dengan suara terbanyak. Adakalanya para hakim berbeda pendapat atau pertimbangan sehingga suara terbanyak pun tidak diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih adalah pendapat yang paling menguntungkan terdakwa (Pasal 182 ayat(6) KUHAP). Pelaksanaan (proses)
pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia.
Dalam hal pengambilan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian. Pembuktian dalam sidang pengadilan perkara pidana merupakan sesuatu yang sangat penting karena tugas utama dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan menemukan sesuatu kebenaran materiil.
Pembuktian di sidang pengadilan untuk dapat menjatuhkan pidana, sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat bukti yang sah didukung oleh keyakinan hakim. Hal ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut: “Hakim ridak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari ketentuan di atas ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah menurut undang-undang yang berlaku;
2) Atas dasar alat bukti yang sah tersebut hakim berkeyakinan bahwa perbuatan pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah.
Yang dimaksud dengan sekurang-kurangnya dia alat bukti, yaitu dua di antara alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut. Alat bukti yang sah ialah:
1) Keterangan saksi, 2) Keterangan ahli, 3) Surat,
4) Petunjuk, dan
Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian negatif, yang berarti hanya mengakui adanya alat-alat bukti yang sah yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di luar ketentuan tersebut bukan merupakan alat bukti yang sah (Evi Hartanti, 2012:54-55).
c. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim dalam Perkara Pidana 1) Putusan yang Menyatakan Tidak Berwenang Mengadili
Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan, maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan).
Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun secara absolut untuk mengadili perkara tersebut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).
2) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Batal Demi Hukum Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan dengan memenuhi syarat-syarat yang ada. Syarat dakwaan batal demi hukum dicantumkan dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP yang rumusannya sebagai berikut.
“Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) batal demi hukum.”
Hal ini dapat terjadi karena jaksa penuntut umum dalam menyusun dakwaan. Mengenai surat dakwaan yang batal demi hukum dapat didasari oleh yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor: 808/K/Pid/1984 tanggal 6-6-1985 yang menyatakan:
“Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum.”
3) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Tidak Dapat Diterima
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurang cermatan penuntut umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena:
a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada,
b) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem), dan
c) Hak untuk penuntutan telah hilag karena daluwarsa (verjaring) sah (Evi Hartanti, 2012:55-56).
4) Putusan Bebas (Vrijspraak)
Putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa Kontinental lazim disebut dengan putusan “Vrijspraak”, sedangkan dalam rumpun Anglo-Saxon disebut putusan “Aquittal”. Pada asasnya, esensi dari putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dala surat dakwaan. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwaka kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas daasr pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
5) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag van alle Rechtsvervolging)
Pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengatur secara Eksplisit tentang “putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum” atau “Onslag van alle Rechtsvervolging”. Pada ketentuan Pasal tersebut, putusan
lepas dari segala tuntutan hukum dirumuskan dengan redaksional bahwa
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
Dengan demikian, bahwa putusan pelepasan, tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum memang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi terdakwa tidak dapat dipidana dikarenakan perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan “perbuatan pidana”, tetapi perbuatan lain misalnya termasuk dalam yurisdiksi hukum perdata ataukah hukum dagang (Lilik Mulyadi, 2007:223-224).
6) Putusan Pemidanaan
Putusan Pemidanaan diatur oleh ketentuan dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Apabila dijabarkan lebih detail, terhadap putusan pemidanaan dapat terjadi jika:
a) Dari hasil pemeriksaan di depan persidangan b) Majelis hakim berpendapat, bahwa:
(1) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan oleh jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; (2) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup
tindak pidana (kejahatan / misdrijven atau pelanggaran / overtredingen)
(3) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di persidangan (Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP) Oleh karena itu majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa.
Putusan hakim dapat dieksekusi bila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang telah diterima oleh para
pihak yang bersangkutan. Putusan yang berupa penghukuman terdakwa dapat berupa pidana seperti yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:
(a) Pidana pokok i. Pidana mati ii. Pidana penjara iii. Kurungan iv. Denda (b) Pidana tambahan
i. Pencabutan hak-hak tertentu ii. Perampasan barang-barang tertentu iii. Pengumuman putusan hakim.
Untuk mencapai penjatuhan yang setimpal dan adil hakim harus memperhatikan:
(a) Sifat tindak pidana,
(b) Ancaman hukuman terhadap tindak pidana,
(c) Keadaan dan suasana waktu dilakukannya tindak pidana, (d) Pribadi terdakwa,
(e) Sebab-sebab melakukan tindak pidana, (f) Sikap terdawka dalam pemeriksaan, dan
(g) Kepentingan umum sah (Evi Hartanti, 2012:57).
4. Tinjauan Umum tentang Penipuan a. Pengertian Penipuan
Berdasarkan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
b. Unsur-Unsur Penipuan
Menurut M.Sudrajat Bassar menyebutkan unsur-unsur dari penipuan, sebagai berikut : (Sudrajat Bassar, 1986 : 81)
i. Menggunakan nama palsu
Nama palsu adalah nama yang berlainan dengan nama yang sebenarnya, akan tetapi kalau si penipu itu menggunakan nama orang lain yang sama namanya dengan ia sendiri, maka ia tidak dapat dikatakan menggunakan nama palsu, tetapi ia dapat dipersalahkan melakukan "tipu muslihat" atau "susunan belit dusta".
ii. Menggunakan kedudukan palsu
Seseorang dapat dipersalahkan menipu dengan menggunakan kedudukan palsu.
iii. Menggunakan tipu muslihat
Yang dimaksud dengan tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kepercayaan atas pengakuan-pengakuan yang sebenarnya bohong, dan atas gambarang peristiwa-peristiwa yang sebenarnya dibuat sedemikian rupa sehingga kepalsuan itu dapat mengelabuhi orang yang biasanya berhati-hati.
iv. Menggunakan susunan belit dusta
Kebohongan itu harus sedemikian rupa berbelit-belitnya sehingga merupakan suatu keseluruhan yang nampaknya seperti benar atau betul dan tidak mudah ditemukan dimana kepalsuannya. Akal tipu ini suka bercampur dengan tipu muslihat yang tersebut dalam butir 3, dan oleh karenanya sukar dipisahkan.
c. Perbedaan Penipuan dan Penggelapan
Penggelapan dan penipuan diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ceb3048897ea/penggel apan-dan-penipuan, diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pukul 18:50) Penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/ uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.
Sementara itu penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP. Yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
Dilihat dari obyek dan tujuannya, penipuan lebih luas dari penggelapan. Jika penggelapan terbatas pada barang atau uang, penipuan termasuk juga untuk memberikan hutang maupun menghapus piutang.
Dalam perkara-perkara tertentu, antara penipuan, penggelapan agak sulit dibedakan secara kasat mata. Sebagai contoh, si A hendak menjual mobil miliknya. Mengetahui hal tersebut B menyatakan kepada A bahwa ia bisa menjualkan mobil A ke pihak ketiga. Setelah A menyetujui tawaran B, kemudian ternyata mobil tersebut hilang.
Dalam kasus seperti ini, peristiwa tersebut dapat merupakan penipuan namun dapat juga merupakan penggelapan. Termasuk sebagai penipuan jika memang sejak awal B tidak berniat untuk
menjualkan mobil A, namun memang hendak membawa kabur mobil tersebut. Termasuk sebagai penggelapan jika pada awalnya memang B berniat untuk melaksanakan penawarannya, namun di tengah perjalanan B berubah niat dan membawa kabur mobil A.
5. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum
Dalam Pasal 1 Butir 12 KUHAP, definisi upaya hukum adalah hak Terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau Banding atau Kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang ini.
b. Jenis Upaya Hukum 1) Upaya Hukum Biasa
a) Upaya Hukum Banding
Pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan banding. Upaya banding merupakan upaya hukum biasa yang merupakan hak yang diberikan Undang-Undang kepada terdakwa dan Penuntut Umum (M.Yahya Harahap, 2012:450-451).
Selain pengertian mengenai upaya hukum banding diatas, ada juga di Pasal 233 ayat (1) KUHAP dimana berbunyi “permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.”
Maksud dan tujuan pemeriksaan tingkat banding adalah sebagai berikut (M.Yahya Harahap, 2012:451-452):
(1) Memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama (2) Mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan
(3) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum b) Upaya Hukum Kasasi
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis, yaitu asal kata casser artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Selanjutnya ditiru oleh negeri Belanda, kemudian dibawa ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya, artinya kekuasaan kehakiman ditafsirkan secara luas dan sempit. Jadi penafsiran secara sempit yaitu “jika hakim memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman; dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama telah membebaskan. (Andi Sofyan, 2014 : 278).
Tujuan utama upaya hukum kasasi, antara lain sebagai berikut: (M. Yahya Harahap, 2012: 539-542)
(1) Koreksi Terhadap Kesalahan Putusan Pengadilan Bawahan
(2) Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru
(3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum
2) Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya Hukum luar biasa tercantum di dalam Bab XVIII KUHAP ,yang terdiri atas dua bagian, yaitu Bagian Kesatu Pemeriksaan Demi Kepentingan Hukum dan Bagian Kedua Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Diantaranya adalah sebagai berikut: a) Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap semua putusan kecuali putusan Mahkamah Agung, dengan syarat putusan pengadilan itu
telah berkekuatan hukum tetap, dan hanya terbatas pada putusan Pengadilan Tinggi. Sedang terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum. Satu satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mengkoreksi putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, melalui upaya peninjauan kembali.
b) Peninjauan Kembali
Lembaga herziening di dalam hukum diartikan sebagai upaya bukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Hadari Dhebawu Tahir, 1982 : 8-9)
Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa herziening adalah peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; revisi.
Jadi herziening adalah suatu peninjauan kembali atas putusan di semua tingkat pengadilan, seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum yang tetap, kecuali atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntuan hukum (Pasal 263 (1) KUHAP). (Andi Sofyan, 2014 : 291)
Dasar hukum peninjauan kembali terdapat pada Pasal 23 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa :
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak- pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila tedapat
hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Demikian pula diatur di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Alasan peninjauan kembali ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu :
1. Atas putusan pengadilan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung) yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; 2. Putusan pengadilan (Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung yang telah memperoleh hukum yang tetap itu bukanlah putusan bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alie rechtsvolging); 3. Yang mengajukan permohonan peninjauan
kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Alasan lain juga terdapat pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yaitu :
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas (vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alie rechtsvolging) atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvvankelijk verklaring) atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan pututsan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Setelah dijelaskan mengenai syarat-syarat dari peninjauan kembali pada Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, selanjutnya tentang tata cara untuk peninjauan kembali disebutkan pada Pasal 264, Pasal 265, Pasal 266, dan Pasal 267 KUHAP.
Dalam hal terhadap permohonan peninjauan kembali, maka menurut ketentuan Pasal 268 KUHAP, bahwa :
(1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu
putusan tidak menangguhkan maupun
menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. (2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali
sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara iu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
(3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilkaukan satu kali saja.
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan :
Dimulai dengan adanya tindak pidana penipuan dengan objek tanah garapan berupa sawah yang terjadi di Kepanjen, Malang melibatkan Widar Kusuma yang dituduh menjadi pelaku tindak pidana oleh Tamsir Bin Tumin sebagai korban yang dirugikan. Korban melaporkan pelaku ke kepolisian dan diadili di Pengadilan Negeri Kepanjen. Setelah dilakukannya persidangan dan berakhir
Tindak Pidana Penipuan
Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen No.
612/Pid.B/2010/PN.Kpj.
Mengajukan Bukti Baru untuk
Peninjauan Kembali
Kesesuian alasan pengajuan peninjauan kembali oleh terpidana atas dasar novum Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP
Putusan Mahkamah Agung No.
36/PK.Pid/2013
Kesesuaian pertimbangan hukum hakim
Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan peninjauan kembali dalam perkara penipuan tanah dikaitkan dengan Pasal 266 KUHAP
dengan diputusnya bersalah Widar Kusuma, lalu sudah diputus berdasar Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen No. 612/Pid.B/2010/PN.Kpj.
Tidak berhenti sampai pada putusan tersebut, Widar Kusuma mengajukan Peninjauan Kembali berdasar adanya bukti baru/novum yang seharusnya sudah dibuktikan dalam persidangan, namun dengan suatu sebab hakim tidak memperhatikan bukti tersebut. Lalu setelah diadakan Peninjauan Kembali berdasar novum tersebut, maka Widar Kusuma dinyatakan tidak bersalah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 36/PK.Pid/2013. Munculnya putusan dari Peninjauan Kembali tersebut, memunculkan keinginan penulis untuk meneliti Kesesuaian alasan pengajuan peninjauan kembali oleh terpidana atas dasar novum dikaitkan dengan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP dan Kesesuaian pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali dalam perkara penipuan tanah dikaitkan dengan Pasal 266 KUHAP.