BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Setiap tahun di dunia ada sekitar 4 juta bayi meninggal karena penyakit infeksi terkait dengan perilaku ibu yang tidak memberikan kolostrum dan air susu ibu (ASI) eksklusif pada bayi. Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu program untuk menurunkan angka kematian neonatal (Morhason-Bello et al., 2009). Pemberian ASI tengah merosot hampir di berbagai penjuru dunia. Hal ini karena perilaku ibu yang mengesampingkan manfaat gizi dan imunologi ASI terhadap ibu dan bayinya.
Hasil penelitian Singh (2010) menunjukkan alasan ibu menghentikan pemberian ASI karena khawatir bahwa ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi (56%) dan melupakan manfaat pemberian ASI (38,0%). Selain itu, ibu mengetahui pentingnya ASI sebagai makanan bergizi, sehat, melindungi dari penyakit, mempromosikan ikatan antara ibu dan bayi, dan lebih murah dibandingkan dengan membeli suplemen (81,0%).
Pemberian ASI eksklusif sendiri tidak dapat berjalan baik jika tidak diimbangi dengan perilaku ibu. Di samping perilaku ibu, juga banyak faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan ASI dan lamanya menyusui, di antaranya: budaya, lingkungan hidup (perkotaan atau pedesaan), pendidikan ibu, dan perilaku ibu (Dodgson et al., 2003). Faktor sosial ekonomi juga menentukan keyakinan dan sikap, serta praktik ibu dalam memberikan ASI. Seorang ibu, untuk memutuskan memberikan ASI pada bayinya, juga dipengaruhi oleh sikap dan dukungan suami, anggota keluarga serta lingkungan sekitar (WHO, 1998).
Keberhasilan atau kegagalan pemberian ASI eksklusif itu sendiri dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan pemberian ASI antara lain: perubahan sosial budaya (ibu bekerja, mengikuti teman dan lain-lain), faktor biologis (takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita, tekanan batin), faktor fisik ibu (ibu sakit), faktor kurangnya dukungan petugas kesehatan, meningkatnya promosi susu kaleng serta informasi yang salah
dari petugas kesehatan (Amir and Donath, 2007, Van Esterik and Greiner, 1981, Beeken and Waterston, 1992).
Petugas kesehatan memiliki peranan penting dalam upaya peningkatan pemberian ASI secara tepat dengan memberi informasi kepada pasien (Weddig, 2011). Selama ini pemberian informasi mengenai ASI sering dilakukan atau dapat diperoleh ibu melalui penyuluhan pada layananan kesehatan, melalui media cetak dan elektronik. Sebuah studi yang dilakukan oleh Bonuck et al. (2005) menemukan bahwa dukungan per individu untuk pemberian ASI sesudah dan sebelum melahirkan merupakan metode yang paling efektif untuk meningkatkan minat ibu dalam pemberian ASI. Namun, dukungan per individu ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi, waktu yang lama dan jumlah tenaga kesehatan yang memadai.
Banyak faktor yang mempengaruhi seorang ibu dalam menyusui bayinya. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia dan negara berkembang lainnya, menunjukkan bahwa faktor sistem dukungan, pengetahuan ibu terhadap ASI, promosi susu formula dan makanan tambahan mempunyai pengaruh terhadap praktik pemberian ASI. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat memberikan dampak negatif maupun positif dalam memperlancar pemberian ASI eksklusif (Santosa, 2004). Shirima et al. (2001) menyatakan bahwa ibu yang tinggal di daerah kota lebih baik dalam memberikan ASI kepada bayinya dibandingkan dengan ibu yang tinggal di desa. Hal ini karena ibu yang tinggal di kota lebih banyak memperoleh dukungan sosial selama di rumah sakit, dan promosi tentang pemberian ASI yang mungkin tidak terjadi di daerah pedesaan.
Menurut Black and Victora (2002), hambatan utama dalam pemberian ASI eksklusif yang benar adalah kurangnya pengetahuan yang benar tentang ASI eksklusif pada ibu. Hal ini terlihat dari pemanfaatan susu formula secara dini di perkotaan dan pemberian nasi sebagai makanan tambahan ASI di pedesaan, karena pengetahuan ASI yang kurang baik (Chien and Tai, 2007). Alasan lain tidak memberikan ASI eksklusif juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: tingkat pendidikan rendah, status sosial ekonomi, perilaku ibu dan pekerjaan.
Kebanyakan perilaku ibu akan tetap menyapih dengan alasan yang salah dan rata-rata usia penyapihan 2 bulan. Walaupun pengetahuan tentang pentingnya menyusui baik, namun perilaku ibu tidak sebanding dengan pengetahuan yang dimiliki (Singh, 2010).
Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif dapat disebabkan oleh kebiasaan di masyarakat, terutama orangtua dan mertua yang segera memberikan makanan tambahan seperti bubur, madu, larutan gula, susu formula, pisang dan lain-lain kepada bayi dengan alasan bayi kelaparan bila hanya diberi ASI saja. Suami sebagai kepala rumah tangga, biasanya menuruti kebiasaan tersebut dengan berbagai alasan, di antaranya kurangnya pemahaman tentang ASI eksklusif atau karena patuh pada orangtua, terlebih mertua (Emiralda, 2007). Fauzie et al. (2007) melakukan penelitian berjudul “Pattern and influencing factors of breastfeeding of working mothers in several areas in Jakarta, Indonesia”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tempat tinggal, dukungan keluarga, pengetahuan, dukungan tempat bekerja, pengaruh media, dan lama bekerja terhadap rata-rata pemberian ASI eksklusif.
Proporsi pemberian ASI eksklusif selama 4 bulan sebesar 17% dan selama 6 bulan 4%. Hasil data survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2009 menunjukkan bahwa 61,3% bayi usia 0-5 bulan mendapat ASI eksklusif (BPS, 2009). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa pemberian ASI di Indonesia saat ini memprihatinkan. Persentase bayi yang menyusu ekslusif sampai 6 bulan hanya 15,3% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, 2010). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, angka pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan di Indonesia sebesar 29,3% di pedesaan dan 25,2% di perkotaan (Kemenkes RI, 2012), sedangkan menurut data SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) tahun 2012, jumlah ibu menyusui yang memberikan ASI eksklusif pada bayinya selama 6 bulan telah mencapai 42% (BPS and ICF International, 2012).
Di Provinsi Riau, cakupan pemberian ASI eksklusif sebesar 52%, sudah mencapai target rencana strategis (Renstra) tahun 2010 sebesar 50%. Namun, ada
beberapa kabupaten/kota yang belum mencapai target, di antaranya: Kabupaten Kuantan Singingi 22,1%, Kabupaten Rokan Hulu 23,3%, Kabupaten Rokan Hilir 28,5%, Kabupaten Siak 38,7%, Kabupaten Kampar 42,2%, dan Kota Pekanbaru 46,1% (Dinkes Provinsi Riau, 2011). Kabupaten Rokan Hulu merupakan salah satu kabupaten yang cakupan ASI eksklusifnya termasuk rendah dan cenderung fluktuatif, ditambah dengan cakupan pemberian ASI tahun 2012 hanya 23,0%. Rendahnya cakupan pemberian ASI tersebut mungkin disebabkan masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang manfaat dan pentingnya pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan. Di lain pihak, ada promosi dan pemasaran intensif terkait dengan susu formula yang sulit dikendalikan dan masih banyak rumah sakit yang belum mendukung peningkatan pemberian ASI eksklusif. Hal ini disebabkan rumah sakit belum melakukan rawat gabung antara ibu dan bayinya, dan belum ada/masih rendahnya inisiasi menyusui dini (IMD) serta masih bebas beredarnya susu formula di lingkungan RS (Dinkes Kab. Rokan Hulu, 2013).
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, khususnya di Kota Rokan Hulu Provinsi Riau, tentang hubungan antara informasi tenaga kesehatan dan sosial budaya dengan praktik pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. Alasan dipilihnya Kabupaten Rokan Hulu karena cakupan pemberian ASI yang masih rendah dan masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang manfaat dan pentingnya pemberian ASI eksklusif.
B. Rumusan Masalah
Cakupan pemberian ASI di Kabupaten Rokan Hulu rendah dan masih banyak pemahaman masyarakat tentang pemberian ASI eksklusif yang salah. Di samping itu, ada kebiasaan atau perilaku ibu yang tinggal di perkotaan untuk memberikan susu formula sejak dini. Hal-hal tersebut yang menjadi hambatan di Indonesia untuk mencapai target 80% dalam cakupan pemberian ASI. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut “Apakah ada hubungan
antara informasi tenaga kesehatan dan sosial budaya dengan praktik pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara informasi tenaga kesehatan dan sosial budaya dengan praktik pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui hubungan antara informasi tenaga kesehatan tentang ASI dengan praktik pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau.
b. Untuk mengetahui adanya hubungan antara sosial budaya dengan praktik pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. c. Untuk mengetahui hubungan antara faktor lain yang berhubungan dengan
informasi tenaga kesehatan dan sosial budaya dengan praktik pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan referensi dan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kesehatan ibu dan anak (KIA), dan pemberian ASI eksklusif.
2. Manfaat secara praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau dalam mengambil kebijakan serta peningkatan strategi pelayanan kesehatan, khususnya pemberian ASI eksklusif.
b. Sebagai bahan informasi pada masyarakat, khususnya praktik ibu menyusui, dalam upaya meningkatkan kualitas hidup bayi melalui pemberian ASI eksklusif.
E. Keaslian Penelitian
1. Lundberg and Thu (2011) melakukan penelitian berjudul “Breast-feeding attitudes and practices among Vietnamese mothers in Ho Chi Minh City”. Tujuan penelitian untuk mendapatkan gambaran tentang sikap dan praktik ibu menyusui di antara wanita Vietnam di Kota Ho Chi Minh. Metode penelitian menggunakan rancangan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya dan kepercayaan tradisional, dan sosial ekonomi, mempengaruhi perilaku ibu di negara Vietnam untuk memberikan ASI eksklusif.
2. Singh (2010) melakukan penelitian berjudul“Knowledge, attitude and practice of breastfeeding-a case study”. Penelitian tersebut menggunakan rancangan, case study. Tujuan penelitian untuk melihat pengetahuan, sikap dan praktik ibu menyusui, dengan durasi menyusui sekitar 18 bulan atau lebih lama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penyapihan dilakukan ibu pada bayi usia sangat dini 2-4 bulan dan sebanyak 38% ibu memberikan ASI segera setelah lahir. Hal ini mengindikasi bahwa kebanyakan ibu tidak mengetahui arti dari penyapihan sebenarnya. Kebanyakan alasan umum perilaku ibu melakukan penyapihan dini adalah kekhawatiran ibu terhadap kecukupan ASI (sebanyak 56.0%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu mengetahui pentingnya ASI sebagai minuman kaya gizi (100%), ASI lebih sehat bagi anak (97%), melindungi anak dari penyakit (80%), meningkatkan ikatan batin ibu dan anak (99%) dan lebih murah daripada suplemen (81%).
3. Shirima et al. (2001) melakukan penelitian berjudul “Information and socioeconomic factors associated with early breastfeeding practices in rural and urban Morogoro, Tanzania”. Penelitian tersebut merupakan penelitian cross-sectional yang dilakukan di pedesaan dan daerah perkotaan di Tanzania dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan
praktik pemberian makan bayi secara dini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggal di perkotaan berhubungan positif dengan durasi pemberian ASI eksklusif, tetapi tidak dominan dalam menyusui. Pengetahuan ibu yang lebih baik tentang masalah menyusui positif berhubungan dengan durasi menyusui, baik secara eksklusif maupun dominan.
4. Thu et al. (2012) melakukan penelitian berjudul “Breastfeeding practices in urban and rural Vietnam”. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan dan membandingkan praktik pemberian ASI antara di daerah pedesaan dan perkotaan Vietnam dan mempelajari hubungan yang mempengaruhi masyarakat dan lingkungan rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif usia 3 bulan lebih sering di pedesaan daripada di daerah perkotaan (anak laki-laki 58% dan 46%, perempuan 65% dan 53%), sedangkan durasi pemberian ASI eksklusif serta menyusui lebih lama ditemukan di daerah pedesaan dibandingkan dengan di daerah perkotaan.
Perbedaan penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan pada variabel dan lokasi penelitiannya. Persamaan penelitian pada topik praktik pemberian ASI eksklusif dan subjek penelitian.