• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA TB PARU blm fixed

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA TB PARU blm fixed"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman mikobakterium tuberkulosa. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882.

Penyakit tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia sudah berabad-abad hidup bersama dengan kuman tuberkulosis. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lesi tuberkulosis pada penggalian tulang-tulang kerangka di Mesir. Demikian juga di Indonesia, yang dapat kita saksikan dalam ukiran-ukiran pada dinding candi Borobudur.1

Diseluruh dunia tahun 1990 WHO melaporkan terdapat 3,8 juta kasus baru TB dengan 49% kasus terjadi di Asia Tenggara. Dalam periode 1984 – 1991 tercatat peningkatan jumlah kasus TB diseluruh dunia, kecuali Amerika dan Eropa. Di tahun 1990 diperkirakan 7,5 juta kasus TB dan 2,5 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.2

Annual Risk Infection ditahun 1980 – 1985 dinegara-negara Asia Tenggara diperkirakan sekitar 2% yang berarti terdapat insidensi 100 kasus BTA (+) per 100.000 penduduk.3 Tahun 1987 di Singapura terdapat 62 kasus per 100.000 penduduk, dengan rata-rata penurunan tahunan 5,7% sejak tahun 1959. Brunei Darussalam dengan angka kematian 8,5 kasus per 100.000 penduduk dengan insiden BTA (+) 84 kasus per 226.000 penduduk. Sedangkan Filipina ditahun 1981 – 1983 memperkirakan prevalensi BTA (+), 0,95%.4 Berdasarkan data dari SEAMIC Health Statistic tahun 1990, penyakit tuberkulosis penyebab kematian no. 10 di Thailand tahun 1989 dan menduduki urutan ke 4 di Filipina pada tahun 1987.5 Menurut Global TB – WHO, 1998 saat ini pusat dari epidemi TB berada di Asia dengan terdapat 4,5 juta dari 8 juta kasus yang diperkirakan terdapat di dunia atau 50% kasusnya di 6 negara yaitu India, Cina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Filipina. Indonesia menempati urutan ke-3 sebagai penyumbang kasus terbesar di dunia setelah India dan Cina.6

(2)

Hasil SKRT tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian nomor 3 dari seluruh kelompok usia dan nomor 1 antara penyakit infeksi yang merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.4

Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala yang dapat dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya sakit, sering tidak mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis banding hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai gejala umum berupa kelelahan dan panas.7

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global Emergency” . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asiatenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.9

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.9

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.9

(4)

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia10

B. DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.10

C. Morfologi dan Struktur Bakteri

(5)

polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal

purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.9

Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen

D. PATOGENESIS

(6)

biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

(7)

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

(8)

Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secarapatologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

(9)

bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.12

(10)

Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis11

E. KLASIFIKASI

1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas: a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.

2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

M. tuberculosis positif.

Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

(11)

1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi. 2) Infeksi jamur

3) TB paru kambuh

Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.

c. Kasus defaulted atau drop out

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal

1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).

2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan. e. Kasus kronik / persisten

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Catatan:

a. Kasus pindahan (transfer in):

Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.

b. Kasus Bekas TB:

1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

(12)

2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.

Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

1. Gejala

a. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

o Gejala respiratorik

1) batuk-batuk lebih dari 2 minggu 2) batuk darah

3) sesak napas 4) nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

(13)

a. Demam

b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

c. Gejala tuberkulosis ekstra paru

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6).

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

(14)

Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior

3. Pemeriksaan Bakteriologik a. Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,

liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) b. Pagi ( keesokan harinya )

c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

(15)

b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml.

c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.

d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus.

e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil.

f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi. g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal

pengambilan dahak.

h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan mikroskopik:

Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif

2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks, kemudian

o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif

o bila 3 kali negatif : BTA negative

(16)

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).

3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). 4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++

(3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst Skala Bronkhorst (BR) :

1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan. 2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang. 3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang. 4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang. 5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

d. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :

1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.

2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.

4. Pemeriksaan Radiologik

(17)

toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.

2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.

3. Bayangan bercak milier.

4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif 1. Fibrotik

2. Kalsifikasi

(18)

G. PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

(19)

b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas Paduan obat yang dianjurkan :

1) 2 RHZE / 4 RH atau 2) 2 RHZE / 4R3H3 atau 3) 2 RHZE/ 6HE.

Paduan ini dianjurkan untuk

1) TB paru BTA (+), kasus baru

2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas

Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi.

b. TB paru kasus kambuh

(20)

c. TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi

1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)

2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal

3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadwal.

2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:

o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.

o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.

(21)

Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik

1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.

2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.

3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.

4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

3. Paket Kombipak

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

(22)

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja.

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT

Obat

kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 750 1000 1500

E 15-20 15 30 750 1000 1500

S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 Berat Badan Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT ≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

Tahap

Dosis per hari / kali Jumlah

hari/kali

(23)

a. Pasien baru TB paru BTA positif.

b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Berat Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30-37 kg 2 tablet 4KDT

+ 500 mg Streptomisin inj.

2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet Etambutol 38-54 kg 3 tablet 4KDT

+ 750 mg Streptomisin inj.

3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT + 3 tablet Etambutol 55-70 kg 4 tablet 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.

4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4 tablet Etambutol ≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.

5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 Tahap

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

(24)

Catatan:

a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275)

30-37 kg 2 tablet 4KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan Tahap

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

H. Efek Samping OAT

(25)

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin(syndrom pellagra).

Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah :

a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare

c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang

g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

(26)

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana

(27)

Tidak nafsumakan, mual, sakit perut

Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol Kesemutan sampai dengan

rasa terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6 1x100 mg/

hari Warna kemerahan pada air

seni

Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana

Mayor Hentikan pengobatan

Gatal dan kemerahan pada kulit

Semua jenis OAT Beri antihistamin dan dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan, ganti etambutol

Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:

1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik

(28)

3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon

4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

I. Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan

a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)

b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam

c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.

2. Pasien rawat inap Indikasi rawat inap :

TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb : a. Batuk darah (profus)

b. Keadaan umum buruk c. Pneumotoraks

d. Empiema

e. Efusi pleura masif / bilateral

f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura) TB di luar paru yang mengancam jiwa :

a. TB paru milier b. Meningitis Tb

(29)

J. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik

1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan

2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit

3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak 2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

a. Sebelum pengobatan dimulai

b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) c. Pada akhir pengobatan

3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi 4. Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: 1. Sebelum pengobatan

2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

3. Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik

1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap

(30)

4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)

5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan)

6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat

1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.

2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.

Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

(31)

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :

(32)

DAFTAR PUSTAKA

1. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium Tuberkulosis. Surabaya, Des. 1982 : 11-20.

2. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis JAMA 1995 ; 273 : 220-26.

3. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.

4. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam and in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 –7.

5. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium dan Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.

6. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World Health Forum An International Journal of Health Development. WHO, Geneva, 1997 ; 18 : 243 – 47. 7. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan

Mutakhir Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.

8. Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis Yogyakarta 1984 : 43-55. paru jangka pendek. Simposium Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis Paru Bandung, 57-63.

9. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2002.

10. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4. 11. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam

Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.

Gambar

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia10
Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Asi Eksklusif Pada Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Senapelan Kota Pekanbaru Tahun 2016.. Phot J Sain dan

Namun, hubungan antara pergerakan CO ke lapisan atmosfer atas dengan aktivitas konvektif sulit untuk diamati dengan memanfaatkan data satelit MOPITT karena tidak begitu

Norma yang berlaku dalam masyarakat memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Umumnya tidak tertulis. Merupakan hasil dari kesepakatan masyarakat. Warga masyarakat patuh. Apabila

kolerasi Rank Spearman, hasil penelitian menunjukkan analisis hubungan konsumsi alkohol dengan tingkat kesegaran jasmani pada atlet softball didapatkan nilai r =

Tidak ada hubungan yang bermakna antara derajat keparahan infeksi Soil Transmitted Helminths dengan status gizi dan anemia pada anak SD di wilayah kerja Puskesmas Kokap I,

Penelitian yang dilakukan bersifat Research and Development (R&amp;D), dengan tahapan penelitian adalah mengembangkan bahan ajar melalui pengayaan materi,

DAIHATSU GRANDMAX BOX Alu- minium 2009 hitam kondisi baik 60jt Cash / Kredit bisa dibantu VIKINA Motor Ph.. Biru B DKI - Pajak Panjang Hrg 12Jt