A.LATAR BELAKANG MASALAH
Media dan globalisasi memiliki hubungan yang erat diantara keduanya. Media massa digunakan sebagai medium dalam rangka penyebaran informasi dalam lingkup global. Dengan kata lain, media massa merupakan salah satu pendukung terjadinya globalisasi. Dengan adanya globalisasi, membuat dunia menjadi semakin sempit dalam artian mengaburkan batasan ruang dan waktu. Sehingga memungkinkan masyarakat di seluruh dunia untuk saling terkoneksi dan mengakses informasi yang sama, salah satu contohnya adalah seni budaya melalui musik, film, buku, serta pertukaran nilai – nilai sosial dan budaya.
Dampak dari adanya globalisasi melalui media massa adalah kemungkinan untuk melakukan pertukaran seni dan budaya secara bebas. Hal tersebut kemudian membentuk sebuah kondisi seni dan budaya dalam masyarakat yang cenderung termasuk kedalam konsep hybridisasi – dimana seni dan budaya yang ada dalam masyarakat itu merupakan bentuk glokalisasi dari seni dan budaya asing. Sehingga seni budaya yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam kesehariannya cenderung merupakan pencampuran antara latar belakang budaya asli masyarakat itu sendiri dengan budaya asing yang ditimbulkan melalui globalisasi, yang bisa dikatakn sebagai akulturasi.
Salah satu isu media dan isu seni dan sosial budaya yang kami angkat adalah mengenai fenomena masuknya budaya genre musik K-‐Pop (Korean Pop) sebagai hasil dari adanya globalisasi melalui media massa. Keberadaaan fenomena masuknya budaya K-‐Pop di Indonesia melalui media massa dan perilaku sebagian remaja Indonesia yang menyukai budaya genre musik K-‐Pop tersebut menarik untuk dibahas sebagai isu yang penting dalam keterkaitannya terhadap ancaman eksistensi budaya asli asal Indonesia.
Sebagai contoh, munculnya pembentukan grup musik boy band dan girl band di
Indonesia yang terbentuk atas dasar pengaruh masuknya budaya musik K-‐Pop; diantaranya Cherrybelle, Smash, Princess, Ayu Ting-‐Ting, dsb. Contoh lain yang membuktikan bahwa terjadi proses hybridisasi oleh remaja Indonesia terhadap budaya
musik K-‐Pop adalah terbentuknya berbagai grup penggemar (fanbase) sebagai
sekumpulan orang yang memiliki kesamaan dan ketertarikan yang sama terhadap artis – artis boyband dan girlband asal Korea yang mereka kagumi.
Dari beragam contoh fenomena yang timbul sebagai dampak masuknya budaya K-‐ Pop di kalangan remaja Indonesia, membuat kami melihat bahwa isu ini menjadi sangat menarik untuk dibahas dan didiskusikan. Hal tersebut kemudian menjadi menarik, karena masuknya budaya K-‐Pop melalui media massa di Indonesia semakin mengancam keberadaan eksistensi budaya Indonesia. Media massa Indonesia yang terlalu mengekspos budaya asal Korea dalam bentuk Hallyu (Korean Wave) sehingga berpotensi terhadap eksistensi budaya dalam negeri, menjadi fokus disfungsi media massa Indonesia yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. KERANGKA KONSEPTUAL a. K-‐POP (Korean Pop):
K-‐Pop atau korean pop merupakan salah satu komponen yang membentuk Hallyu
atau Korean Wave. Korean Wave sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena ketika buday popular korea mulai dikenal oleh dunia, yang diawali dari Asia Timur pada tahun 19901. Istilah Korean Wave sendiri pertama kali digunakan oleh seorang wartawan China pada tahun 1999. Korean wave sendiri terdiri dari pengeksportan budaya popular korea yang terdirid dari film, serial televisi dan musik. Gerakan korean wave ini di prakasai oleh pemerintah korea sebagai tindakan untuk mempromosikan industri media korea dan budaya pop korea.
Sedangkan K-‐pop merupakan sebuah genre musik pop yang berasal dari korea,
spesifiknya lagi musik pop modern yang berasal dari korea. Pada dasarnya genre musik K-‐ pop memiliki kemiripan dengan musik pop barat. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa K-‐pop sendiri bukan merupakan seni budaya asli korea melainkan seni budaya hasil dari glokalisasi budaya asing (Amerika ) dengan budaya lokal (Korea Selatan). Genre musik K-‐ Pop sendiri didominasi oleh Boyband ataupun girlband, dengan penyanyi solo jumlahnya cenderung lebih sedikit. Sehingga daspat kita lihat bahwa K-‐pop dalam satu sisi merupakan bentuk counter hegemony seni budaya Amerika di Korea Selatan.
Pertumbuhan musik K-‐pop sejak pertengahan 2000-‐an ditenggarai sangatlah pesat,
bahkan K-‐pop dijuluki sebagai “South Korea’s greatest export”. The economist
1
melaporkan bahwa bagi sebagaian remaja dunia K-‐pop bukan saja merupakan sekedar genre musik semata namun sudah menjadi sebuah subkultur yang berkembang dikalangan remaja. Di Indonesia sendiri K-‐Pop mulai berkembang pada awal tahun 2009-‐ an.
b. Cultural Imperialism:
Cultural imperialis atau imperialisme budaya merupakan salah satu bentuk dari neo-‐kolonilisme. Imperialisme budaya merupakan bentuk dominasi tidak hanya dalam bentuk dominasi ekonomi, namun juga dominasi dalam ranah budaya. Sistem dominasi yang dilakukan dalam imperialisme budaya dilakukan melalui media-‐media komersil, gaya hidup, tourism dan juga olah raga.
Asumsi yang diajukan oleh konsep imperialisme budaya menyatakan bahwa industri hiburan yang merupakan bagian dari penjajahan budaya, pada suatu saat akan melicinkan jalan penjajahan ekonomi dan politik. Pada dasarnya negara maju melihat negara-‐negara berkembang sebagai sebuah pasar raksasa bagi produk-‐produk yang dihasilkanya, Sesuai dengan logika pasar kapitalisme, bahwa perluasan pasar merupakan suatu hal yang tak terelakan. Oleh karena itulah negara berkembang terlihat sebagai pasar alternatif yang terdiri dari jutaan konsumen yang harus digarap. Tomlison (1991) mengungkapkan bahwa cultural imperialism pada dasarnya dapat dipandang sebagai bentuk dari cultural domination, bentuk media imperialism, sebagai kecamaan kapitalisasi global dan juga kecamaan dari kemoderenan.
C. ANALISIS MATERI:
Umumnya, cultural imperialism identik dengan bagaimana pengaruh budaya asal
literatur – literatur yang berbahasa Inggris. Kita mengetahui bahwa motif dari imperialisme budaya tersebut tidak hanya memiliki motif ekonomi tetapi juga motif dominasi budaya asing terhadap budaya lokal.
Dewasa ini, bentuk imperialisme budaya di Indonesia tidak hanya berfokus lagi terhadap budaya Barat tetapi juga terhadap gelombang masuknya budaya Korea yang dikenal sebagai Hallyu Wave. Fenomena Hallyu Wave tersebut masuk melalui produk – produk hasil dari industri kreatif komunikasi budaya seperti film, drama, musik, dsb. Target dari penyebaran Hallyu Wave ini dinamakan sebagai Segyhua (Globalisasi Korea) yang merupakan salah satu program pemerintah Korea Selatan pada tahun 1994 untuk membangun citra baru bagi Korea Selatan.
Sebagai salah satu contoh kehadiran film asal Korea adalah tayangnya film yang berjudul Mr.Go di Bioskop Blitzmegaplex baru – baru ini. Selain dalam bentuk film, produk industri budaya lain asal Korea sebagai salah satu bentuk imperialisme budaya
adalah melalui musik. Contohnya seperti penyelenggaraan konser musik boyband dan
girlband yang sering diadakan di Indonesia, seperti SNSD (girls generation), MBLAQ, Big
Bang, 2 PM, Super Junior, dsb. Menurut sumber detik.com, konser SNSD sendiri dihadiri
sebanyak 10.000 remaja Indonesia. Selain sering dilaksanakannya konser musik Korea di Indonesia, munculnya sejumlah fanbase atau grup – grup penggemar yang terdiri atas remaja Indonesia yang menyukai budaya musik Korea merupakan salah satu wujud bahwa udaya musik Korea diterima oleh khalayak secara luas, contohnya; akun official twitter fanbase Big Bang -‐ @BigBang_Indo yang telah memiliki kurang lebih 50.000 followers. Sedangkan industri kreatif sinetron Korea yang ada di Indonesia sudah lebih dahulu tumbuh dan berkembang sebelum masuknya film dan musik genre Korea. Salah satu media massa Indonesia yang menurut kami cukup gencar untuk menayangkan produk seni dan budaya asal Korea adalah stasiun televisi Indosiar. Diawali dengan booming-‐nya serial Winter Sonata pada tahun 2002 hingga serial Boys Before Flower yang baru booming pada tahun 2010 di stasiun TV nasional Indosiar. Bahkan hingga saat ini, stasiun TV Indosiar secara konstan menayangkan serial drama Korea sebanyak 3 (tiga kali) sehari yaitu pada pukul 02.00 WIB, 03.30 WIB, dan 15.30 WIB setiap hari Senin -‐
Jumat (Sumber: www.indosiar.com). Selain itu, stasiun TV Indosiar sering menayangkan
Dampak dari berbagai masuknya budaya Korea melalui Hallyu Wave (Korea Wave) yang digemari oleh kalangan remaja Indonesia, menimbulkan juga mulai tumbuhnya gaya hidup asal Korea seperti munculnya restoran cepat saji ‘Lotteria’ dan toko kosmetik wanita dan pria ‘The Face Shop’ dan ‘Attude’ di sejumlah pusat perbelanjaan di Indonesia. Sehingga, gaya hidup hybridisasi pada kalangan remaja dan muda Indonesia tak dapat terelakkan lagi. Fenomena masuknya Hallyu Wave atau Korean Wave dengan subur di Indonesia, menurut kami didukung secara eksplisit dan implisit oleh pihak – pihak media massa Indonesia yang cenderung memberikan ruang bagi industri budaya Korea dengan mengekspos secara berlebihan melalui penayangan dan pemberitaan media massa di Indonesia. Pemberian ruang yang luas terhadap budaya Korea sehingga dapat tumbuh secara leluasa, dapat dimungkinkan karena adanya antusias dan minat yang besar dari berbagai kalangan remaja di Indonesia terhadap keberadaan beragam jenis budaya Korea tersebut sehingga menjadi momen kesempatan bagi industri media massa di Indonesia untuk mencari keuntungan yang sebesar-‐besarnya melalui fenomena ini. Sedangkan dilain sisi, penayangan budaya lokal sebagai budaya asli Indonesia kurang mendapati tempat dan tidak terlalu diperhatikan sebagaimana masuknya budaya Korea di Indonesia. Maka dari itu, kami melihat fenomena masuknya budaya Korea secara leluasa tanpa diseimbangkan dengan pelestarian budaya lokal melalui media dilihat sebagai disfungsi yang dilakukan oleh sejumlah media massa di Indonesia. Padahal
dengan fungsi media melalui socialization (Lasswell and Wright) sebagai medium
penyampaian nilai dan norma sosial dapat berperan penting sebagai pelestarian budaya bangsa kita sehingga dapat membuat masyarakat Indonesia semakin peduli terhadap identitas dan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sayangnya, hal tersebut tidak terlalu dijalankan karena media massa di Indonesia cenderung mengkonstruksi remaja kita untuk mengadopsi budaya Korea dalam kehidupan mereka sehari – hari melalui proses konsumsi budaya Korea melalui film, musik, dan sinetron yang berpotensi untuk mempengaruhi gaya hidup dengan ala – ala Korea.
kedalam kehidupan remaja dan kaum muda Indonesia melalui proses konsumsi dan akulturasi budaya (seperti mulai bermunculannya kelompok boyband dan girlband bertemakan Korea asal Indonesia) semakin berpotensi mengancam eksistensi budaya
lokal itu sendiri. Fenomena masuknya budaya Korea sebagai bentuk cultural imperialism
baru di Indonesia melalui media massa sebagai dampak dari globalisasi – selain sebelumnya adalah masuknya pengaruh budaya Barat di Indonesia, semakin membuat banyak masyarakat Indonesia khususnya kaum remaja dan muda tidak lagi mengetahui dan mengenali jati diri yang sesungguhnya sebagai orang Indonesia dengan memegang teguh nilai, norma dan kebudayaan bangsanya sendiri. Padahal, banyak sekali budaya asli Indonesia yang sangat menarik, beragam dan sebaiknya patut untuk diketahui oleh kaum remaja dan muda bangsa kita sebagai pengenalan atas identitas dirinya sendiri. Sayangnya, peran media dalam memberikan informasi dan kurangnya perhatian untuk mengenalkan beragam budaya khas Indonesia masih sangat kurang dan cenderung hanya menyediakan konten media sesuai dengan permintaan dan keinginan audiences saja.
REFRENSI:
Lee, Sue Jin. The Korean Wave: The Seoul of Asia. Elon University.
Kim, Ju Young. (2007). Rethinking Media Flow under Globalization: Rising Korean Wave and Korean TV and Film Policy Since 1980s. University of Warwick.
http://www.indosiar.com/tags/korea/ (diakses pada 3 Oktober 2013)
http://www.icmpa.umd.edu/salzburg/globalmedia/wp-‐content/doc/2007/08/functionalism.pdf (diakses pada 3 Oktober 2013)