• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hegemoni Orde Baru terhadap Pesantren Te

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hegemoni Orde Baru terhadap Pesantren Te"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Hegemoni Orde Baru terhadap Pesantren: Telaah Konsep Hegemoni

Gramscian

Oleh: Khalid Syaifullah

Latar Belakang

Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mengalami dinamika yang cukup panjang mengenai kebudayaan. Salah satu hal yang menjadi isu yang masih dominan sekarang adalah soal pendidikan. Hal ini termaktub dalam karya Achdiat K. Miharja yang berjudul Polemik Kebudayaan. Dalam karya itu disebutkan bahwa adanya perdebatan antara pandangan Barat yang diwakili oleh Sutan Takdir Alisjahbana vis a vis Dr. Sutomo yang mewakili pandangan Timur. Sutan Takdir menganggap bahwa pembangunan pendidikan bangsa Indonesia harus berorientasi ke Barat. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa pendidikan Barat yang lebih maju, oleh karena itu mampu memajukan bangsa Indonesia. Sementara Dr. Sutomo berpandangan sebaliknya dengan mengatakan bahwa pendidikan bangsa Indonesia harus menggunakan model pesantren. Pesantren dianggap sebagai model pendidikan asli masyarakat Indonesia. Untuk itu, pesantren dianggap sebagai model pendidikan paling tepat bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Sekitar tahun 1965/66, bangsa Indonesia berada pada tahap transisi dari kepemimpinan Soekarno (Orde Lama) yang digantikan oleh Soeharto. Gaya kepemimpinan sebelumnya yang ditekankan pada aspek politik (otoriter), berubah kepada pemerintahan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Awalnya, ada harapan besar bahwa akan dimulai suatu proses demokratisasi. Banyak kaum cendekiawan menggelar berbagai seminar untuk mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi tidak berlangsung lama, karena sesudah beberapa tahun golongan militer berangsur-angsur mengambil alih pimpinan (Budiardjo, 2008:250).

(2)

Dengan derasnya arus modernisasi yang berkembang, hal ini ikut berpengaruh terhadap wacana pendidikan di Indonesia. Pendidikan menjadi alat Orde Baru dalam menjalankan pemerintahannya. Pemerintahan Orde Baru yang terkenal dengan pembangunan ekonomi dan stabilitas politik, menjadikan top down sebagai pola yang dipakai. Negara, dengan dalih pembangunan ekonomi dan stabilitas politik, terlalu banyak melakukan intervensi terhadap kehidupan di masyarakat lokal. Intervensi ini dilakukan oleh aparat birokrasi, aparat represi (tentara), dan lembaga pendidikan, dan sebagainya. Kecenderungan interventif ini diakomodasi oleh sistem administrasi negara yang sangat sentralistis. Sistem inilah yang kemudian menjadikan kekuasaan rezim ini bertahan begitu lama. Kebertahanan rezim ini juga ditopang oleh kemampuannya untuk mengakomodasikan semua kepentingan dari kelompok-kelompok masyarakat dalam sebuah aktifitas yang mempunyai sinergitas. Dengan kata lain, Orde Baru menggunakan konsep hegemoni gramscian.

Tidak terkecuali pesantren. Pesantren sebagai basis pendidikan di desa ikut terkena arus modernisasi yang digaungkan oleh pemerintah Orde Baru. Orde Baru dengan hegemoninya mampu membuat pesantren mengikuti kurikulum yang dibentuk pada saat itu sebagai hasil dari wacana modernisasi yang tumbur subur. Tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana pemerintah pada era Orde Baru yang menggunakan pola top down melakukan hegemoni gramscian dalam bentuk intervensi persuasif terhadap kurikulum pesantren.

Pertanyaan Masalah

Dengan melihat latar belakang di atas, maka diajukan pertanyaan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan konsep hegemoni Gramsci?

2. Bagaimana Orde Baru dalam menggunakan hegemoninya terhadap pesantren?

PEMBAHASAN

(3)

ada, sesuatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang bersifat memaksa (Faruk, 2005:62-63).

Pandangan hegemoni tidak terlepas dari Antonio Gramsci. Gramsci memliki hak paten tentang perbincangan mengenai hegemoni. Starting point konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi (Bocock, 2007:22-23). Cara kekerasan yang dilakukan oleh kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan dominasi. Perantara tindakan ini adalah aparatur negara, seperti militer dan polisi. Sedangkan hegemoni dilakukan dengan cara penanaman ideologi terhadap kelas bawah dengan tanpa paksaan. Hegemoni diraih bukan melalui kekerasan, akan tetapi secara politis dengan menggunakan kekuatan moral dan intelektual untuk menciptakan keseragaman pandangan dalam masyarakat.

Dalam mengembangkan konsep hegemoni, Gramsci terinspirasi oleh seorang tokoh bernama Lenin. Dalam menghadapi kekuasaan Tsar, Lenin merasa harus mendapatkan dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, dia berusaha keras untuk mencapai kesadaran para pekerja, yakni bukan saja memberdayakan berbagai serikat pekerja, tetapi juga melibatkan kelompok-kelompok lain, yang di dalamnya termasuk kritikus borjuis, petani, dan intelektual ke dalam sebuah gerakan. Hal ini merupakan modal utama baginya untuk dapat menggulingkan Tsar. Lenin menyebarkan pengetahuan politik kepada para pekerja dan membaurkan para pengikut Partai Sosial Demokrat dengan segala kelas di masyarakat untuk mencapai kesadaran yang ia inginkan (Simon, 2004:19). Itulah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni. Hegemoni memainkan peranannya pada suprastruktur (intelektual, moral, dsb). Artinya, dalam mencapai hegemoni terdapat persetujuan-persetujuan oleh berbagai kelas secara sadar dan bukan diperoleh melalui paksaan.

Selanjutnya, dalam mengembangkan hegemoninya, Gramsci berpijak pada kepemimpinan yang bersifat moral dan intelektual. Kepemimpinan ini mendapatkan persetujuan secara sukarela oleh kelas yang di bawah terhadap kelas atas yang menghegemoni. Karena hegemoni dicapai melalui sukarela, maka persetujuan tidak mengandung sesuatu yang negatif. Justru sebaliknya, suatu tindakan, aturan dan kebijakan yang diambil selalu berdasarkan persetujuan yang berarti positif (baik). Persetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam menanamkan ideologi kelompoknya. Internalisasi ideologis ini dilakukan dengan membangun sistem dan lembaga-lembaga, seperti negara, common sense, kebudayaan, organisasi, pendidikan, dan seterusnya, yang dapat memperkokoh hegemoni tersebut.

(4)

dominasinya, melainkan juga memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah. Negara dalam perspektif Gramsci tidak hanya menyangkut aparat pemerintahan, tetapi juga menyangkut aparat hegemoni atau masyarakat sipil (Faruk, 2005:77). Negara dengan demikian merupakan sebuah instrumen dari kelas atas atau penguasa dan sebagai alat oleh suatu kelas terhadap kelas lainnya. Lewat nagara ini kelas atas melakukan kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat hegemonik maupun dominatif. Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk kepentingannya sendiri, mempertahankan kekuasaannya.

Gramsci membagi dua wilayah dalam negara, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik. Masyrakat sipil merupakan sesuatu yang sangat penting bagi konsep hegemoni Gramsci karena merupakan persetujuan dari kehendak kelas yang berada di bawah. Sementara itu masyarakat politik merupakan wilayah yang penuh kekerasan karena terdiri dari aparatur pemerintahan yang bersifat dominatif. Dengan demikian, pada wilayah masyarakat sipil itulah hegemoni berlangsung karena wilayah ini merepresentasikan penerimaan secara moral dan intelektual sebuah kekuasaan kelas atas. Sementara masyarakat politik mencerminkan kekerasan yang bersifat dominatif yang di dalamnya terdapat aparatur negara seperti militer dan polisi.

Di sisi lain, kaum intelektual dalam negara juga berperan dalam berlangsungnya hegemoni. Konsep intelektual dalam tafsir Gramsci adalah semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan. Wilayah kebudayaan itu menyangkut proses penempaan pemikiran, penguasaan ide-ide yang bersifat umum dengan mengaitkan sebab dan akibatnya (Pozzolini, 2005). Gramsci juga membagi kaum intelektual menjadi dua bagian, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Kelompok intelektual tradisional adalah kaum intelektual yang terbatas pada lingkungan kaum tani dan borjuis kota kecil belum meluas dan bergerak oleh sistem kapitalis. Kaum intelektual tradisional selalu menempatkan dirinya sebagai kelompok sosial yang dominan yang otonom dan independen, yaitu sebagai orang-orang kedudukannya dalam masyarakat mempunyai lingkaran antar kelas tertentu. Sementara itu, kaum intelektual organik adalah intelektual dan para organisator politik dan pada saat yang sama juga bos-bos perusahaan, petani-petani kaya atau manajer perumahan, penguasa komersial dan industri, mahasiswa dan sebagainya. Kaum intelektual organik menyadari bahwa identitasnya dari yang diwakili dan yang mewakili, dan merupakan barisan terdepan yang riil dari organik dari lapisan kelas papan atas yang di situ mereka masuk di dalamnya.

(5)

satu-satunya lembaga pendidikan yang tersedia bagi penduduk pribumi di pedesaan (Dirdjosanjoto, 1999:140). Sebutan pesantren atau pondok pesantren pada mulanya hanya berlaku di Jawa, meskipun sekarang ini sudah menjadi nomenklatur paling umum (Subhan, 2009:67). Pada mulanya, kegiatan pesantren ditujukan untuk mempersiapkan seseorang sebelum terjun dalam kehidupan di masyarakat.

Pesantren sejak awal terlibat dalam menciptakan elit-elit desa. Biasanya pesantren didirikan oleh kyai. Kyai memiliki otoritas penuh dalam menentukan visi dan misi serta kurikulum pesantrennya. Oleh karena itu, kyai dianggap sebagai figur yang sentral dalam pesantren.

Tetapi, pada awal abad 20, pemerintah Belanda melakukan hegemoni terhadap pesantren dengan menggunakan wacana modernisasi. Dalm hal ini, Belanda menganggap model pendidikan pesantren menghambat proses modernisasi di Hindia Belanda. Karenanya, pesantren direkomendasikan untuk mengubah metode dan sistem pengajarannya agar sesuai dengan kondisi modern. Di samping itu, berbagai pandangan kaum intelektual, yang berperan sebagai intelektual organik, tentang pentingnya modernisasi disebarkan. Modernisasi, misalnya, dipandang sebagai panser raksasa yang melaju di tengah-tengah kehidupan masyarakat (Ritzer & Goodman, 2005:553). Kehidupan modern adalah sebuah dunia yang tak terkendali dengan langkah, cakupan, dan kedalaman perubahannya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem sebelumnya.

Oleh karena itu, masyarakat secara ‘sukarela’ menerima wacana modernisasi. Banyak kyai yang mengelola pesantren mengubah cara pengajaran yang disesuaikan dengan wacana modernisasi yang sedang berkembang pada waktu itu. Banyak juga pesantren pada waktu itu yang mendirikan madrasah. Dalam konteks perkembangan pesantren, tokoh-tokoh seperti Sheikh Nawawi Al-Bantani (w. 1897), Sheikh Mahfud Al-Tarmisy (w. 1919), Kyai Khalil Bangkalan (w. 1924), Kyai Asnawi Kudus (w. 1959), dan Kyai Hasyim Ash’ari (w. 1947) merupakan para ‘arsitek pesantren’ Indonesia (Subhan, 2009:71).

Hegemoni ini berlanjut ketika pada masa Orde Baru. Melalui Menteri Agama, pemerintah menerapkan kebijakan yang berusaha menjadikan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Konsekuensinya, madrasah harus mengajarkan pelajaran umum minimal 60%, di samping juga pelajaran agama sebanyak 40%. Madrasah yang memenuhi persyaratan tersebut, lulusannya disamakan dengan lulusan sekolah umum setelah mengikuti ujian negara. Akibatnya, banyak pesantren yang mengelola pendidikan madrasah melakukan reformasi pendidikannya dari sistem

(6)

Menurut Din Syamsuddin, upaya untuk meminggirkan peran Islam ini dengan melakukan kebijakan depolitisasi dan desimbolisasi Islam (Din Syamsuddin, 2001: 63-70).

Salah satu bentuk hegemoni Orde Baru seperti terjadi di pesantren Jombang. Pesantren yang sempat dikelola oleh Hasyim Asy’ari ini mulai memperkenalkan sistem klasikal dan pelajaran-pelajaran sekluar, seperti matematika, gegorafi, dan lainnya. Hal ini membawa nilai-nilai yang bersifat modernitas masuk ke dalam pesantren. Selain itu, bahkan terdapat prosentase 70% pelajaran sekular dan 30% pelajaran agama yang diterapkan di pesantren Madrasah Nizhamiyah. Hal ini juga turut mempengaruhi pesantren-pesantren yang lain untuk mengikutinya. Selain itu, pesantren Syafiiah di Jakarta juga mengikuti langkah pesantren Tebuireng. Pesantren ini mengikuti kebijakan Orde Baru untuk menyesuaikan kurikulumnya dengan UU Sisdiknas pada saat itu. Sempat ada kekhawatiran umat Islam mengenai kebijakan Orde Baru. Hal ini disampaikan oleh A. Mukti Ali selaku Menteri Agama pada saat itu. Kekhawatiran ini direspon Orde Baru dengan mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kepres No. 34 Tahun 1972, yang isinya antara lain: melimpahkan tanggung jawan pembinaan pendidikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama. Selain itu, untuk pelaksanaan Kepres No. 34 Tahun 1972 untuk mengikutsertakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama. Selanjutnya, upaya pasif ini menjadi indikasi bahwa adanya penerimaan dari kalangan pesantren terhadap produk kebijakan Orde Baru dalam melakukan uniformitas kesadaran terhadap kurikulum pesantren.

Selain itu, UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi kebijakan Orde Baru yang akomodatif bagi kalangan Islam. UU ini mengakui pendidikan agama sebagai sub-sistem dari pendidikan nasional. Mata pelajaran agama juga menjadi mata pelajaran yang wajib di sekolah-sekolah umum. Selain itu, UU ini juga menjamin eksistensi lembaga pendidikan seperti MI, MTs, MA dan lainnya. Akan tetapi, langkah ini selain dipandang akomodatif, dipandang sebagai langkah politik Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya (Lihat Suharto, 2013: 88). Di sinilah konsep hegemoni Gramsci bermain, yaitu melalui upaya penyeragaman pemahaman kelompok Islam dalam memahami dan mendukung kebijakan Orde Baru. Hal itu dilihat sebagai peran intelektual dan moral pada ranah supra-struktur.

(7)

modernisasi pendidikan Islam memang harus dilakukan. Di samping itu, organisasi seperti Muhammadiyah sangat gencar mendirikan lembaga pendidikan yang modern seperti sekolah, sampai perguruan tinggi.

KESIMPULAN

Konsep hegemoni Gramsci mengacu pada suatu kekuasaan dan atau kepemimpinan yang diperoleh melalui cara-cara persuasif. Suatu kelas dapat mencapai hegemoni dengan persetujuan secara ‘sukarela’ dari kelas-kelas yang lain. Hal ini dicapai melalui penanaman ideology dari kelas atas terhadap kelas di bawahnya. Kepemimpinan yang diperoleh juga bersifat moral dan intelektual.

Gramsci membagi dua wilayah antara masyarakat sipil dan politik. Masyarakat sipil merupakan wilayah berlangsungnya hegemoni karena disitu terdapat penerimaan sukarela (persuasif) dari kelas yang berada di bawah terhadap kelas yang di atas. Sementara masyarakat politik merupakan wilayah dominasi karena di dalamnya terdapat aparatur negara seperti polisi dan militer yang sering menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaannya.

Dalam konteks Orde Baru, hegemoni dipakai dengan cara menanamkan ideologi kepada pesantren sebagai lembaga pendidikan. Pemerintah pada saat itu mencoba mengubah model pendidikan pesantren agar sesuai dengan wacana modernisasi yang sedang berlangsung melalui jargon ‘pembangunan ekonomi dan stabilitas politik’. Dalam hal ini, banyak pihak intelektual yang terlibat dalam mendukung dan atau mempertahankan hegemoni tersebut dengan cara memberikan suatu kesadaran bersama akan pentingnya pembangunan. Diantaranya seperti ICMI, Muhammadiyah, beserta kelompok-kelompok intelektual lainnya. Dapat dibilang Orde Baru berhasil melakukan hegemoni terhadap pesantren dengan menggunakan wacana modernisasi yang mendapat dukungan di kalangan masyarakat secara luas.

(8)

Daftar Pustaka

Bocock, Robert, 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni. Terj. Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.

Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Davies, Peter, 1977. The American Heritage Dictionary of The English Languange. New York: Dell Publishing.

Dirdjosanjoto, Pradjarta, 1999. Memelihara Umat; Kyai Pesantren – Kyai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LKiS.

Faruk, 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Patria, Nezar dan Andi Arief, 2003. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pozzolini, A., 2005. Pijar-pijar Pemikiran Gramsci. 2005. Yogyakarta: Resist Book.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2005. Teori Sosiologi Modern. Terj. Alimandan. Jakarta: Predana Media.

Simon, Roger, 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Terj. Kamdani dan Imam Baehaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Subhan, Arief, 2009. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan Antara Modernisasi dan Identitas. Jakarta: UIN Press.

Suharto, Toto, 2013. Pendidikan Berbasis Masyarakat Organik: Pengalaman Pesantren Persatuan Islam.

Surakarta: FATABA Press.

Referensi

Dokumen terkait

Saya yakin jika saya serius dalam belajar maka saya dapat menyelesaikan ujian sesuai dengan hasil yang saya

Tahap perancangan, peneliti menentukan kriteria rancangan purwarupa yang diinginkan dan membuat rancangannya sesuai dengan daftar kebutuhan dan skenario yang sudah dibuat pada tahap

Tujuan dari penurunan tarif ini adalah untuk memberikan daya saing Indonesia sebagai negara tujuan investasi karena investor internasional menjadikan tarif PPh

Refleksi kritis pada diri (mengembangkan perbaikan diri secara terus menerus). Refleksi kritis dapat dianggap sebagai proses analisis, mempertimbangkan kembali

Sejalan dengan perkembangan informasi dan komunikasi unsur- unsur kebudayaan Bali pun bukan hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga dengan mudah ditemukan di berbagai tempat di

Himpunan Mahasiswa Psikologi FIP UNNES 2012. Nama Ketua Jurusan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, perolehan dari bahan ajar (LKS) konsep diferensial untuk siswa kelas XI berbasis konflik kognitif dan perangkat

Keputihan normal atau fisiologis terjadi sesuai dengan siklus reproduksi wanita atau sesuai dengan siklus tubuh wanita dengan jenis pengeluaran berwarna bening,