• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedagang kaki lima potensi yang terpingg

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pedagang kaki lima potensi yang terpingg"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PEDAGANG KAKI LIMA, POTENSI YANG TERPINGGIRKAN:

Optimalisasi potensi kota melalui pengelolaan aktivitas pedagang kaki lima secara

kolaboratif

Astri Anindya Sari

Mahasiswa Magister Arsitektur, SAPPK - Institut Teknologi Bandung e-mail: thatitoetz@yahoo.com

ABSTRAK

Permasalahan khas yang dihadapi oleh kota-kota besar di negara berkembang adalah tingginya arus urbanisasi dan pertumbuhan penduduk tanpa diimbangi dengan peningkatan lapangan kerja yang signifikan. Sebagai akibatnya masyarakat urban informal harus berupaya pibadi secara kreatif mencari sumber penghidupan bagi diri dan keluarganya. Salah satu upaya tersebut terlihat dari menjamurnya pedagang kaki lima dengan berbagai barang daganganya pada lokasi-lokasi strategis di ruang publik kota seperti trotoar, ruas jalan, maupun ruang terbuka kota.

Aktivitas pedagang kaki lima di ruang publik kota secara tidak langsung mengkonstruksi ruang sosio temporal yang mampu memberikan warna tersendiri bagi aktivitas di kota. Aktivitas mereka menyediakan ruang sosial bagi masyarakat yang tak tersegmentasi, sehingga kehadirannya selalu dibutuhkan. Disisi lain, keberadaan pedagang kaki lima dengan kesemrawutan tampilannya dinilai membawa masalah dan merusak citra keindahan serta kebersihan kota. Akibat negatif inilah yang menyebabkan pemangku kebijakan tertentu cenderung menganggap keberadaan pedagang kaki lima sebagai masalah yang harus disingkirkan daripada memandangnya sebagai potensi yang dapat dikembangkan.

Melalui studi komparasi terhadap pengelolaan pedagang kaki lima pada ruang publik di berbagai kota, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa dengan pengelolaan aktivitas dalam ruang terbuka secara kreatif dan terpadu melalui kolaborasi pihak-pihak yang terlibat didalamnya, permasalahan yang timbul akibat aktivitas pedagang kaki lima pada ruang publik kota dapat diminimalisir. Pengelolaan secara kolaboratif tersebut mampu memaksimalkan potensi yang ada sehingga aktivitas yang terjadi akan mampu memberikan berbagai manfaat baik terhadap kota yang bersangkutan, masyarakat, maupun pemerintah kota.

Kata kunci: pedagang kaki lima, ruang publik kota, pemangku kebijakan, pengelolaan kolaboratif

URBANISASI, AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DAN DILEMATISASI PENGELOLAANNYA

Tingginya arus urbanisasi dan pertumbuhan penduduk tanpa diimbangi peningkatan lapangan kerja yang signifikan pada kota-kota besar negara berkembang termasuk Indonesia memaksa masyarakat urban informal dengan modal dan tingkat pendidikan yang rendah berupaya pribadi secara kreatif menciptakan lapangan pekerjaan dan penghidupan bagi diri dan keluarganya. Salah satu upaya kreatif tersebut terlihat pada wajah kota kita yang kini telah memiliki penghuni baru, pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima dengan aktivitasnya yang melakukan privatisasi dan merubah fungsi ruang-ruang publik kota kerap kali dianggap sebagai cacat bagi ruang kota. Menurut Pernia (1994) dalam Alisjahbana (2005), urbanisasi juga dipicu oleh sesuatu yang sifatnya struktural, seperti kesenjangan kota-desa, kemiskinan, maupun pembangunan wilayah yang kurang berpihak pada masyarakat. Maka dari itu, persoalan pedagang kaki lima sebagai dampak ikutan dari urbanisasi tak dapat dinyatakan sebagai murni kesalahan masyarakat, namun juga dari sistem pembangunan yang menaunginya, sehingga upaya-upaya penanggulanganyapun harus diupayakan memberi keuntungan bagi semua pihak.

(4)

Dilihat dari segi sosial dan ekonomi, keberadaan pedagang kaki lima secara tak langsung membantu pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Pedagang kaki lima tumbuh secara mandiri dan menciptakan lapangan pekerjaan tanpa mengandalkan kredit dari pemerintah. Selain itu pedagang kaki lima dengan karakteristiknya yang selalu mendekati keramaian aktivitas manusia menyediakan alternatif makanan dan barang kebutuhan dengan harga yang terjangkau. Hal tersebutlah yang membuat aktivitas pedagang kaki lima pada ruang-ruang publik di kota secara tak langsung mengkonstruksi ruang sosio-temporal bagi masyarakat yang tak tersegmentasi. Dewasa ini ditengah derasnya arus budaya konsumerisme dan penataan fungsi komersial kota yang semakin berorientasi pada mall dan pusat perbelanjaan mewah, keberadaan pedagang kaki lima justru mengakomodir kebutuhan masyarakat kelas menengah dan kebawah yang notabene di Indonesia jumlahnya jauh melebihi masyarakat kelas atas sebagai target pasar dari mall dan pusat perbelanjaan yang dibangun. Bahkan bagi pihak swastapun, pedagang kaki lima memiliki andil sebagai perpanjangan tangan pendistribusian barang-barang yang mereka produksi.

Terlepas dari segala nilai positif yang dimilikinya, dari segi arsitektur dan perancangan kota kehadiran pedagang kaki lima dengan kekumuhan dan kesemrawutan tampilannya merupakan cacat tersendiri bagi wajah kota. Kehadirannya yang melakukan privatisasi pada ruang-ruang publik kota seperti trotoar, taman kota, dan badan jalan dinilai mengganggu kenyamanan aktivitas masyarakat dan merubah fungsi ruang kota. Belum lagi dengan dampak-dampak ikutan yang ditimbulkannya seperti kemacetan, semakin membuat para pemangku kebijakan pada kota-kota tertentu cenderung memandang pedagang kaki lima sebagai masalah yang harus ditangani dengan cara-cara represif daripada melihatnya sebagai potensi untuk dikembangkan.

Salah satu kota di Indonesia yang masih menyelesaikan persoalan pedagang kaki lima dengan melihatnya sebagai masalah adalah Bandung. Sebagai kota dengan pertumbuhan ekonomi pesat yang melebihi daerah sekitarnya, Bandung merupakan tujuan urbanisasi yang dampaknya adalah jumlah sektor informal yang besar dan menempati daerah daerah strategis di kota Bandung, diantaranya ruang terbuka, ruas-ruas jalan yang ramai, dan disekitar institusi pendidikan. Dalam menangani masalah PKL ini, pemerintah kota Bandung cenderung mengambil langkah represif yakni dengan penggusuran dan relokasi. Tindakan represif pemerintah Bandung ini tercermin dari peraturan daerah Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan terutama pasal 37 ayat d dan k yang berisi tentang larangan berjualan dan mendirikan kios pada trotoar dan tempat umum lainnya (Setia, 2008).

Pada kenyataanya tindakan represif dalam penggusuran dan relokasi ini tak pernah efektif karena tindakan pedagang kaki lima yang cenderung lebih memilih kucing-kucingan dengan petugas saat dilakukannya operasi penertiban, maupun adanya oknum petugas yang membuka kesempatan “penyelesaian masalah” ditempat (Setia, 2008). Ketika hari ini diadakan operasi penertiban, tak jarang keesokan harinya para pedagang kaki lima telah kembali berdagang di tempat semula. Hal ini setali tiga uang dengan upaya relokasi. Sejauh ini hanya beberapa upaya pemerintah Bandung untuk merelokasi pedagang kaki lima yang dinilai berhasil. Selebihnya banyak pedagang yang kembali lagi ke tempat semula ataupun jika tidak, tempat asal akan ditempati oleh pedagang yang lain. Relokasi cenderung dianggap sebagai upaya menjauhkan para pedagang kaki lima daei konsumen karena lokasi baru cenderung lebih jauh dan sepi sehingga mengurangi penghasilan mereka. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Donovan (2008) bahwa dengan upaya relokasi, kondisi kerja pedagang kaki lima akan semakin baik, namun disisi lain penghasilannya menurun. Namun diatas semua itu, keberadaan pedagang kaki lima juga dipicu oleh adanya permintaan. Selama masih adanya permintaan masyarakat atas makanan dan barang-barang dengan harga murah maka selama itu pulalah pedagang kaki lima akan terus ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

(5)

AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI RUANG TERBUKA PUBLIK - POTENSI DAN MASALAH

Sebagai pelaku ekonomi dengan modal rendah, pedagang kaki lima cenderung memanfaatkan lokasi-lokasi strategis pada ruang publik kota sebagai tempat usahanya. Walaupun untuk berdagang pada lokasi-lokasi tersebut tidaklah gratis, karena pedagang kaki lima kerapkali harus membayar sejumlah uang pada “penguasa setempat” namun harga yang harus dibayarkan jauh dibawah sewa sebuah kios formal sehingga masih dapat dijangkau. Selain itu berjualan pada tempat-tempat publik yang strategis dan dekat dengan aktivitas manusia dipandang lebih menguntungkan karena posisi yang secara langsung mendekati calon pembeli.

Whyte (1980) menyatakan bahwa selain adanya tempat duduk, makanan merupakan faktor yang dapat menarik lebih banyak masyarakat untuk mendatangi sebuah ruang terbuka. Menurut Whyte keberadaan penjaja makanan akan selalu mengundang lebih banyak orang untuk mengunjungi sebuah ruang terbuka publik, dengan demikian aktivitas di ruang terbuka publik menjadi lebih hidup sehingga fungsi sosial ruang terbuka publik sebagai sarana interaksi serta aktivitas masyarakatpun tercapai. Namun kondisinya akan berbeda ketika jumlah pedagang kaki lima yang melakukan privatisasi pada ruang publik sudah semakin banyak terlebih lagi dengan kesemrawutan tampilan serta kekumuhan yang ditimbulkan. Apabila kondisi tersebut terjadi, maka pandangan negatiflah yang akan muncul. Pedagang kaki lima dianggap sebagai pengganggu kenyamanan aktivitas di ruang terbuka, dan sebagai penyebab timbulnya masalah lain seperti sampah.

Di kota Bandung, transformasi fungsi ruang publik akibat aktivitas pedagang kaki lima terlihat secara signifikan pada ruang terbuka dari Monumen Perjuangan Rakyat Bandung hingga lapangan Gasibu. Terletak pada lokasi strategis yang mudah dijangkau dari segala arah, dan keintegrasiannya dengan simbol kota Bandung Gedung Sate, menjadikan lapangan Gasibu sebagai salah satu ruang terbuka paling penting di Bandung dengan sense of place yang tak dapat dirasakan pada ruang terbuka lain di kota ini. Direncanakan di awal sebagai sarana olahraga pagi masyarakat, ruang terbuka ini kini bertransformasi menjadi pasar dadakan yang ramai dikunjungi setiap hari Minggu.

Ratusan pedagang yang menggelar lapaknya menggunakan berbagai bentuk alat dagang serta aneka ragam jenis barang dagangan dengan harga terjangkau menarik minat masyarakat dari seantero Bandung dan kota-kota disekitarnya untuk datang mengunjungi tempat ini setiap hari Minggu. Keanekaragaman masyarakat baik pengunjung maupun pedagang yang beraktivitas di Gasibu, dari tingkat ekonomi, sosial, dan pendidikan membuktikan kemampuan aktivitas pedagang kaki lima di Gasibu dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat akan ruang sosial yang tak tersegmentasi. Selain itu banyaknya jumlah pengunjung setiap minggunya merupakan bukti bahwa aktivitas pedagang kaki lima pada ruang terbuka memiliki sebuah potensi wisata. Namun sayangnya potensi ini hanya dikelola dengan sistem ‘premanisme’ tanpa perencanaan dengan baik, sehingga potensi yang ada tertutup dengan masalah ikutan yang muncul seperti kesemrawutan tatanan, kesumpekan akibat pengunjung yang berjubel, kemacetan ruas-ruas jalan disekitar Gasibu, kekumuhan, dan terlebih lagi pemandangan tak sedap pasar Gasibu merusak kesan monumental Gedung Sate sebagai simbol kota Bandung.

Gb 1. Kesemrawutan Tampilan PKL di Gasibu Merusak Image Gedung Sate

sumber: Sari, 2010

Gb 2. Suasana Belanja dan Kemacetan yang Terjadi Karena Aktivitas PKL Meluas Sampai Badan Jalan

(6)

Dari ulasan mengenai aktivitas pedagang informal di ruang terbuka dengan Gasibu Bandung sebagai kasus, terlihat bahwa aktivitas pedagang kaki lima tidak hanya memberikan nilai tambah di bidang ekonomi dan sosial saja, namun juga memiliki potensi wisata. Potensi tersebut harus dikembangkan melalui pengelolaan aktivitas pedagang kaki lima dengan pendekatan yang tepat sehingga permasalahan yang timbul akibat aktivitas pedagang kaki lima pada ruang publik akan dapat diminalisir. Selain itu pengelolaan aktivitas pedagang kaki lima melalui pendekatan yang tepat akan dapat memberikan manfaat baik terhadap kota yang bersangkutan, masyarakat, maupun pemerintah kota.

PENGELOLAAN AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA SECARA KOLABORATIF

Saat ini sudah seharusnya perencanaan kota memperhitungkan keberadaan pedagang kaki lima sebagai salah satu unsur dari masyarakat yang akan menempati ruang kota, sehingga kehadirannya tidak akan mengganggu fungsi-fungsi ruang kota lain yang direncanakan. Salah satunya dengan cara mengalokasikan fungsi ruang untuk berjualan yang dituangkan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota sehingga dapat digunakan sebagai panduan lokasi mana yang boleh dijadikan tempat berjualan. Selain itu beberapa kawasan dapat pula dikembangkan sebagai zona pedagang kaki lima dengan jenis dagangan tertentu seperti pusat kerajinan, pusat kuliner, pusat barang bekas dan lain sebagainya. Keberadaan pusat-pusat kegiatan pedagang kaki lima ini tentunya harus didukung dengan fasilitas publik yang memadai seperti jalur pejalan kaki, tempat parkir, penerangan jalan, air bersih, atau saluran pembuangan.

Bagaimanapun perencanaan tersebut tidak akan dapat terwujud tanpa peran serta aktif dari pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perencanaan aktivitas pedagang kaki lima meliputi pemerintah sebagai penanggungjawab regulasi dan penataan ruang kota, pedagang kaki lima dan organisasi yang menaunginya sebagai pelaku utama, serta pihak swasta dan pengusaha kecil sebagai pihak yang turut dibantu usahanya oleh pedagang kaki lima melalui pendistribusian produk. Dengan keterlibatan dan kerjasama yang terpadu dari pihak-pihak tersebut, maka perencanaan aktivitas pedagang kaki lima pada ruang terbuka akan mencakup aspirasi dari masing-masing pihak sehingga dapat menghasilkan program-program yang berkelanjutan.

Salah satu hal terpenting dalam pengelolaan aktivitas pedagang kaki lima secara kolaboratif ini adalah pengorganisasian pedagang kaki lima dan pelibatan aspirasinya dalam setiap pengambilan keputusan atas kebijakan yang menyangkut aktivitas pedagang kaki lima. Pengorganisasian pedagang kaki lima mempermudah komunikasi dan koordinasi antar anggota mereka, selain juga mempermudah penyampaian aspirasi pada pemerintah kota sebagai pembuat keputusan. Koordinasi dan kolaborasi antara pemerintah kota dan komunitas pedagang kaki lima dibutuhkan utamanya untuk menghindari konflik-konflik yang terjadi atas tidak terakomodirnya kepentingan salah satu pihak dalam setiap kebijakan yang diambil (Pena, 1999).

Pengalaman kota Malang, Surabaya, dan Solo dalam usahanya menerapkan pengelolaan kolaboratif dalam perencanaan aktivitas pedagang kaki lima di ruang-ruang terbuka publik di kota masing-masing dapat menjadi pelajaran bagi kota-kota lain dalam pengelolaan pedagang kaki lima dan melihatnya sebagai suatu potensi.

1. Malang – Wisata Belanja Pasar Tugu

(7)

Dalam perkembangannya saat ini aktivitas pasar Tugu dikembalikan lagi pada Jl Semeru di depan stadion Gajayana setelah sebelumnya sempat dipindahkan pula di lapangan Rampal. Kawasan Jl Semeru juga merupakan kawasan permukiman, sehingga untuk menghindari protes warga dan lebih mengoptimalkan pengelolaan, Pemerintah Kota Malang dibawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata merangkul paguyuban pedagang kaki lima(IPWBT) untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita menjadikan pasar Tugu sebagai salah satu potensi pariwisata kota Malang.

Berdasar waancara, diketahui bahwa kerjasama antara IPWBT dengan Pemerintah Kota dibawah Dinas Pariwisata diwujudkan dalam kontrak kerja. Langkah-langkah yang diambil adalah pembatasan waktu kerja, tendanisasi, dan penataan zonasi. Pembatasan waktu kerja dilakukan oleh pemkot dengan menutup akses ke Jl Semeru pada hari minggu pagi sampai siang hari pukul 13.00 WIB untuk aktivitas pasar. Setelahnya jalan berfungsi kembali seperti semula. Penataan zonasi dilakukan oleh paguyuban, dengan mengatur pedagang dengan zona tertentu berdasarkan item yang dijual. Selanjutnya untuk menertibkan tampilan, pemkot dan paguyuban bekerjasama dalam penyediaan tenda untuk berjualan. Dengan keseragaman tampilan, dan penataan zonasi maka kesan semrawut yang timbut pada pelaksanaan pasar Tugu sebelumnya akan hilang. Masalah kebersihan menjadi tanggung jawab paguyuban. Paguyuban menghimbau kepada anggotanya untuk menjaga kebersihan wilayah dagangnya masing-masing, dan membereskan dagangan setelah aktivitas pasar usai sehingga jalan semeru dapat kembali pada fungsinya semula tepat pukul 13.00 WIB. Paguyuban memastikan kedisiplinan anggotanya, karena sesuai kontrak kerja yang disepakati bahwa apabila kebersihan dan ketepatan waktu tidak terjaga maka akan dikenakan denda. Dengan demikian, hingga saat ini aktivitas pasar Tugu berjalan lancar dan mampu menggerakkan perekonomian mikro selain menjadi salah satu pilihan wisata di kota Malang yang diminati masyarakat. Aktivitas ini juga mampu memberikan keuntungan bagi pemkot Malang berupa retribusi sebesar Rp 5000 per pedagang setiap minggunya.

Selain pada aktivitas pasar tugu, pemerintah kota Malang juga berusaha melakukan pengelolaan pada ativitas pedagang kaki lima pada sepanjang jalan di depan stasiun kota Malang. Dengan sistem pengelolaan yang sama, ruang terbuka disepanjang jalan depan stasiun kota yang dahulu dipenuhi aktivitas pedagang kaki lima dengan kesemrawutan tampilannya, kini berhasil dibatasi waktu operasinya pada sore hingga malam hari dengan tampilan tenda yang seragam yang mempercantik wajah kota.

2. Surabaya – Pusat Kuliner Kya-kya Kembang Jepun

Kawasan Jl Kembang Jepun Surabaya merupakan kawasan pecinan di sejak tahun 1900an, dan hingga saat ini terkenal dengan aktivitas perdagangan. Bangunan-bangunan yang berdiri di sepanjang jalan ini merupakan bangunan konservasi, dengan gaya art deco peninggalan masa kolonial serta beberapa bangunan dengan arsitektur cina. Pada awal tahun 2003, pemkot Surabaya berencana menghidupkan suasana malam pada koridor jalan Kembang Jepun dengan memusatkan PKL pada koridor jalan ini dan membuat ‘pusat jajanan’. Namun karena kurang perencanaan, usaha ini gagal dan tidak mendapat sambutan masyarakat.

Gb.3 Suasana Aktivitas Belanja di Pasar Tugu Malang

Sumber: Sari, 2010

Gb.4 Sekretariat Pasar Tugu, Pusat Koordinasi dan Informasi

(8)

Selanjutnya atas usulan dari Dahlan Iskan, dikembangkanlah konsep awal pusat jajanan di Kembang Jepun secara lebih terencana. Idenya adalah mengangkat sense of place yang telah dimiliki oleh Kembang jepun sebagai kawasan pecinan, yakni membuat pusat jajanan dengan nuansa tradisional Cina. Konsep diwujudkan dengan kesinambungan tema antara desain kawasan, termasuk penyediaan utilitas air bersih serta listrik dan pengemasan acara. Pengelolaan kawasan ini diserahkan kepada pihak swasta yakni PT. Kya-Kya Kembang Jepun. Selanjutnya sejak tgl 31 mei 2003, jalan kembang jepun ditutup setiap pukul 18.00-02.00 WIB dan dibuka untuk umun sebagai pusat kuliner dengan latar budaya cina.

Sebanyak 182 orang pedagang dan PKL berpartisipasi dalam aktivitas ini. Mereka menempati posisi di pinggir jalan, sedangkan ditengah jalan ditata meja dan kursi. Para pedagang yang tergabung diwajikan membayar uang sewa stan sebesar Rp 500.000 per bulan ditambah dengan biaya kebersihan. Sejak diresmikannya, pusat kuliner Kya-Kya mendapatkan sambutan sangat meriah dari warga Surabaya dan sekitarnya. Kelebihan lain dari pengelolaan wisata kuliner Kya-kya ini adalah tidak hanya menyediakan makanan, namun juga menampilkan atraksi budaya sebagai hiburan pada waktu-waktu tertentu. Untuk penyelenggaraan atraksi budaya, pengelola bekerjasama dengan unit terkecil masyarakat setempat seperti karang taruna, dan kelompok seni budaya. Dengan demikian selain mampu memberikan kesempatan kerja, menggerakkan perekonomian masyarakat, serta memberika pemasukan yang tidak sedikit bagi pemerintah kota Surabaya, pusat kuliner Kya-kya juga mampu menjadi salah satu icon wisata kuliner di Surabaya.

Sayangnya lambat laun tempat ini semakin sepi, beberapa pendapat beredar di masyarakat berkaitan dengan mulai sepinya tempat antara lain mahalnya harga makanan yang dijual, jauhnya tempat parkir, sampai dengan alasan lain yang berbau mistis. Namun apa penyebab sesungguhnya tak pernah diketahui, karena setelah kontrak dengan PT Kya-kya Kembang Jepun berakhir pada 2005, tanpa mengadakan evaluasi terlebih dahulu, pemerintah kota Surabaya mengakhiri aktivitas kuliner di jalan Kembang Jepun dan mengembalikan fungsi jalan ini seperti semula. Keputusan tersebut menjadikan koridor jalan Kembang Jepun kembali sepi dan tak lagi hidup seperti sebelumnya. Namun terlepas dari kegagalan dan ketakberlanjutannya, proyek ini sangat baik dari segi penataan dan pemberdayaan masyarakat setempat untuk memunculkan sebuah potensi wisata.

Kegagalan yang dialami pengelolaan pusat jajanan Kya-Kya Kembang Jepun salah satunya disinyalir terjadi karena mahalnya harga makanan yang dijual diatas standar pedagang kaki lima pada umumnya. Kenaikan harga memang menjadi salah satu dampak yang wajar terjadi ketika pedagang kaki lima telah mengalami formalitas dan penataan sedemikian rupa dengan fasilitas dan utilitas yang lebih baik. Namun perlu adanya kontrol dari pemerintah dan pengelola agar kenaikan harga yang terjadi tidak terlalu jauh sehingga pusat kuliner pedagang kaki lima yang direncanakan tidak menjadi arena sosial yang ‘segmented’, tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan, dan akhirnya ditinggalkan.

3. Solo – Gladak Langen Bogan

Gladak langen Bogan merupakan pusat wisata kuliner yang dikembangkan oleh pemerintah kota Solo sejak 13 April 2008. Terletak di daerah pusat kota Solo sepanjang Jl Mayor Sunaryo Gladag, Solo (utara kawasan alun-alun utara), pengembangan Galabo dilakukan dengan menutup jalan umum di

Gb.5 Apresiasi Masyarakat Pada Pembukaan Pusat Kuliner Kya-Kya Kembang Jepun

Sumber: www.eastjava.com

Gb.6 Suasana Aktivitas dan Interaksi Pada Pusat Kuliner Kya-Kya Kembang Jepun

(9)

pusat batik Pusar Grosir Solo (PGS) dan Beteng Trade Center (BTC) setiap hari sejak pukul 17.00-24.00 WIB. Tujuan pengembangan lokasi kuliner ini menurut Kepala Badan Informasi dan Komunikasi (BIK) Pemkot Solo, Purnomo Subagiyo adalah sebagai daya tarik pariwisata kota Solo selain untuk menertibkan dan memudahkan pemantauan terhadap aktivitas vendors di Solo (Wicaksono, 2008).

Mengadopsi konsep dari Kya-kya kembang Jepun Surabaya, penataan jalan umum sebagai pusat wisata kuliner dilakukan dengan menempatkan para pedagang berjajar pada sepanjang kanan dan kiri jalan, sedangkan di tengah jalan ditata kursi dan meja dengan payung peneduh sebagai tempat menikmati makanan. Untuk menertibkan dan menyeragamkan tampilan para pedagang, pemkot Surakarta telah menyediakan gerobag stainless secara gratis. Selain itu juga disediakan fasilitas air bersih yang dialirkan pada tiap lokasi pedagang sehingga kebersihan penyajian terjaga. Pedagang yang berpartisipasi dalam Gladag Langen Bogan ini diseleksi secara khusus oleh pemerintah kota Solo, untuk berdagang di tempat ini mereka tidak dikenakan retribusi harian namun diwajibkan membayar pajak penghasilan. Menyajikan beragam kuliner khas daerah, Gladak Langen Bogan sampai saat ini telah sukses menjadi salah satu pusat aktivitas dan kreativitas masyarakat Solo selain sebagai salah satu destinasi wisata.

Kota Solo sendiri telah dikenal sebagai kota dengan kebijakan yang ramah terhadap pedagang kaki lima. Selain pengembangan pusat kuliner Gladag langen Bogan, kesuksesan penanganan PKL di kota Solo juga terlihat dari keberhasilan relokasi 989 PKL dari monumen Banjarsari ke pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi. Proses tersebut secara langsung mengembalikan fungsi ruang terbuka publik di monumen Banjarsari ke peruntukannya semula. Keberhasilan penanganan PKL di kota Solo kebijakan pemerintah kotanya yang tak sekedar reaktif namun juga pro aktif. PKL di kota Solo tidak dipandang sebagai masalah, namun sebagai bagian dari masyarakat yang merupakan potensi. Sehingga kebijakan yang diterapkan bukanlah upaya penggusuran, namun meliputi pembinaan, penataan, dan penertiban. Selain itu dalam penyusunan kebijakan berkaitan dengan penanganan PKL di Solo turut melibatkan aspirasi organisasi PKL sebagai pelaku utama aktivitas sehingga terjadinya gejolak sosial dapat dihindari (Siswanda, 2008).

KESIMPULAN

Menjamurnya aktivitas pedagang kaki lima pada ruang-ruang terbuka kota besar di negara berkembang saat ini merupakan dampak ikutan dari tingginya arus urbanisasi yang tidak diiringi oleh peningkatan jumlah lapangan pekerjaan. Persoalan menyangkut aktivitas pedagang kaki lima pada ruang publik kota merupakan hal yang dilematis karena disatu sisi aktivitas tersebut dinilai membawa dampak positif terutama berkaitan dengan peningkatan ekonomi mikro, dan mengurangi pengangguran. Selain itu pedagang kaki lima mengakomodir kebutuhan masyarakat akan barang-barang kebutuhan dengan harga murah, dan membantu pihak swasta dalam mendistribusikan produk mereka. Disisi lain, dari sudut pandang arsitektural dan perencanaan kota, keberadaan pedagang kaki lima pada ruang publik dianggap sebagai cacat yang menodai keindahan wajah kota. Dampak negatif ini membuat aktivitas pedagang kaki lima cenderung dilihat sebagai masalah yang harus diatasi

Gb.8 Gerobag Stailess Stell Sebagai Alat Berjualan

Source: Fronny, 2009 Gb.7 Suasana Aktivitas dan Interaksi Pada

(10)

dengan cara-cara represif seperti penggusuran dan relokasi, walaupun di kemudian hari cara-cara ini terbukti kurang efektif.

Dari fenomena aktivitas pedagang kaki lima yang terjadi pada Gasibu Bandung, dan tiga kota lainnya sebagai komparasi, diketahui bahwa keberadaan pedagang kaki lima pada ruang publik kota menyediakan ruang sosial tak tersegmentasi yang memiliki kemampuan untuk menarik masyarakat berkumpul. Kegiatan di ruang publik tersebut dapat menghidupkan aktivitas dan suasana kota baik siang maupun malam hari. Melalui pendekatan yang tepat, permasalahan yang timbul sebagai efek samping dari aktivitas pedagang dan masyarakat pada ruang publik akan dapat diminimalisir, bahkan keberadaan pedagang kaki lima dapat dioptimalkan dan dijadikan tujuan wisata.

Keberhasilan pengelolaan aktivitas PKL pada ruang terbuka publik yang telah dilakukan pada kota Malang, Surabaya, dan Solo pada intinya bersumber dari kerjasama dan pengorganisasian pedagang kaki lima dengan pemerintah kota. Dengan merangkul organisasi pedagang kaki lima, maka aspirasi pedagang akan dapat dilibatkan dalam penataan dan perencanaan ruang publik, sehingga konflik-konflik antara aparat dan pedagang dapat diminimalisir. Selain itu koordinasi dan kolaborasi mempermudah penyelesaian terhadap dampak dari aktivitas pedagang kaki lima seperti kebersihan dan kemacetan. Langkah-langkah konkrit yang dilakukan untuk menata, menghilangkan kesan kumuh dan semrawut adalah penataan zonasi dan penyeragaman tampilan. Dilakukan dengan memberikan alat perdagangan yang sama, seperti tenda dan payung yang seragam, sehingga suasana yang kompak dapat dicapai. Namun pada prinsipnya dibutuhkan usaha kolaborasi antara pemerintah kota dan organisasi pedagang kaki lima untuk mencapai satu tujuan yaitu mengembangkan tujuan wisata baru.

Perancangan kolaboratif pada ruang publik kota memiliki berbagai manfaat bagi sektor informal, pemerintah kota, masyarakat, serta terhadap nilai ruang publik itu sendiri sebagai bagian dari kota. Bagi sektor informal, kolaborasi ini memberikan fasilitas lapangan kerja dan sarana peningkatan ekonomi mereka. Bagi masyarakat, perancangan ruang publik yang kolaboratif akan menyediakan ruang yang nyaman bagi mereka untuk berkumpul, bersosialisasi, dan beraktifitas serta memberikan pilihan bagi tujuan wisata yang juga akan memberikan keuntungan untuk pemerintah kota. Aktivitas yang terjadi dari perencanaan kolaboratif akan menghidupkan suasana di ruang terbuka kota serta meningkatkan nilai fungsi ruang terbuka sebagai sarana aktivitas dan kreatifitas masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Alfan, Doni, (2008), Langen-Bogan Pusat Jajan Solo, http://margoyudan98.blogspot.com, diunduh pada 11 April 2010

Alisjahbana, (2005) Sisi Gelap Perkembangan Kota, Resistensi Sektorinformal Dalam Perspektif Sosiologis, Yogyakarta: LaksBang pressindo

Anonim, Kya-Kya Kembang Jepun, http://eastjava.com./books/kyakya diunduh pada 5 Maret 2010 Donovan, Michael. G, (2008), Informal Cities and the Contestation of Public Space: The Case of

Bogotá's Street Vendor 1988-2003, Urban Studies 2008 45: 29

Frony, 2009,wisata kuliner solo,http://soloculinary.blogspot.com, diunduh pada 13 April 2010 Pena, Sergio, (1999), Informal Market: Street Vendor in Mexico City, Habitat International Vol. 23,

No. 3, 1999, pp. 363}372

Setia, resmi, (2008), Ekonomi Informal Perkotaan: Sebuah Kasus Tentang Pedagang Kaki Lima Di Kota Bandung, penelitian AKATIGA,

http://www.akatiga.org/index.php/sumberreferensi/doc_view/24-ekonomi-informal-perkotaan-sebuah-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-bandung?tmpl=component&format=raw, diunduh pada 10 April 2010

Siswanda, Hetifah, (2008), Ciri Kebijakan Perkotaan yang Ramah PKL, http://hetifah.com/artikel/ciri-kebijakan-ramah-pkl.html, diunduh pada 6 Oktober 2010

Whyte, William. H, (1980), The Social Life of Small Urban Spaces, The Conservation Foundation Wicaksono, Anandityo, (2008), Pelajaran dari Galabo, Solo, anindityowicaksono.blogspot.com,

Referensi

Dokumen terkait

Sistem selanjutnya akan meneruskan ke proses eksekusi perintah dengan data audio yang di- sintesa pada proses Speech to Text, nama perilaku robot, dan koordinat posisi yang didapat

Rubik merupakan permainan puzzle mekanik berbentuk kubus yang mempunyai enam warna yang berbeda pada setiap sisinya.. Ditemukan pada tahun 1974 oleh Profesor

[r]

Anak-anak dapat menurut dan taat kepada peraturan-peraturan dengan jalan membiasakannya dengan perbuatan-perbuatan yang baik,di dalam rumah tangga atau keluarga.Di

Maka diperlukan adanya inovasi untuk mengukuhkan kembali peran perpustakaan YPI PIP melalui inovasi yang berorientasi pada kebangkitan perpustakaan ini, diantaranya

Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik

Jika tidak semua tamu merokok maka lantai rumah tidak bersih D.. Jika lantai rumah bersih maka semua tamu tidak

Sehingga jika harga minyak dunia naik, harga emas pun juga naik yang mengakibatkan harga dan nilai pasar saham di sektor pertambangan naik dan hal tersebut akan