Aurat Wanita di Depan Mahramnya
(Bagian 2)
February 20th, 2011/Fikih/16 Comments
Penjelasan Khusus Tentang Batasan Aurat
Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram
1. Batasan aurat wanita di depan suami. Allah ta’ala memulai firman-Nya dalam surat an-Nuur ayat 31 tentang bolehnya wanita
menampakkan perhiasannya adalah kepada suami. Sebagaimana telah diketahui bahwa suami adalah mahram wanita yang terjadi akibat mushaharah (ikatan pernikahan). Dan suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh istrinya.Al-Hafizh Imam Ibnu
Katsirrahimahullah berkata ketika menafsirkan surat an-Nuur ayat 31, “Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan pandangan dari orang lain) memang diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang istri boleh
melakukan sesuatu untuk suaminya, yang tidak boleh dilakukannya di hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu
َنوُظِفَح ْمِهِج وُرُفِل ْمُه ََنيِذَلاَو
ىَلَع َلِإ
َنيِموُلَمُرْيَغ ْمُهَنِإَف ْمُهُنَمْي
َأ ْتَكَلَم اَم ْوَأ ْمِهِجَوْزَأ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Qs. Al-Ma’arij: 29-30)
Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami dihalalkan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memandangi perhiasan istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami dihalalkan untuk menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya. [Lihat al-Mabsuuth (X/148) dan al-Muhalla (X/33)]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mandi bersama dengan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana yang berada di antara aku dan beliau sambil tangan kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan bahwa keduanya dalam
keadaan junub.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 250) dan Muslim (no. 46)]
Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya
hingga farji’ (kemaluan), berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya adalah halal baginya untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya untuk memandang dan menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain.” [Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 111), al-Kawaakib (579/29/1), dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 298)]
Jadi, tidak ada batasan bagi seorang suami untuk melihat keseluruhan aurat istrinya, termasuk kemaluannya.
lutut. [Lihat al-Mughni(VI/562)]. Ibnul Jauzi berkata dalam
kitabnya Ahkaamun Nisaa’ (hal. 76), “Wanita-wanita jahil (yang tidak mengerti) pada umumnya tidak merasa sungkan untuk membuka aurat atau sebagiannya, padahal di hadapannya ada ibunya atau saudara perempuannya atau putrinya, dan ia (wanita itu) berkata, “Mereka adalah kerabat (keluarga).’ Maka hendaklah wanita itu mengetahui bahwa jika ia telah mencapai usia tujuh tahun (tamyiz), karena itu, ibunya, saudarinya, ataupun putri saudarinya tidak boleh melihat auratnya.”Nabi shallallahu “alaihi wa sallam pernah bersabda,
ىَلِإ ُةَأْرَمْلا َلَو ،ِلُجَرلا ِةَرْوَع ىَلِإ ُلُجَرلا ُرُظْنَي
يِف ِلُجَرلا ىَلِإ ُلُجَرلا يِضْفُي َلَو ،ِةَأْرَمْلا ِةَرْوَع
َةَأْرَمْلا ىَلِإ ُة
َأْرَمْلا يِضْفُت َلَو ،ِدِح اَوْلا ِبْوَثلا
ِدِحَوْلا ِبْوَثلا يِف .
ِةَيْرَُع ىَلِإ ُلُجَرلا ُرُظْنَي َلَو : ةيور يف و
ِةَأْرَمْلا ِةَيْرَُع ىَلِإ ُة
َأْرَمْلا ُرُظْنَت َلَو ،ِلُجَرلا .
“Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita (lainnya). Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak boleh pula seorang wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”Dalam riwayat lain disebutkan,
“Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita lainnya” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 338), Abu Dawud (no. 3392 dan 4018), Tirmidzi (no. 2793), Ahmad (no. 11207) dan Ibnu Majah (no. 661), dari Abu Sa'id
Al-Khudriy radhiyallahu "anhu]
Makna “uryah (
ةيرَع
) (aurat) pada hadits di atas adalah tidak memakai pakaian (telanjang). [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 100)]dalam surat an-Nuur ayat 31 adalah dimaksudkan kepada wanita-wanita muslimah. Oleh karena itu, wanita-wanita-wanita-wanita dari kaum kuffar tidak termasuk ke dalam ayat tersebut, sehingga wanita muslimah tetap wajib untuk berhijab dari mereka. [Lihat Tafsir Ibnu
Katsir (III/284), Tafsir al-Qurthubi (no. 4625), Fat-hul Qaadir (IV/22)
dan Jilbab Wanita Muslimah (hal. 118-119)]
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa lafazh “
وأ
نهئآسن
bermakna wanita secara umum, baik dia seorang muslimah ataupun seorang wanita kafir. Dan kewajiban berhijab hanyalah diperuntukkan bagi kaum lelaki yang bukan mahram,sehingga tidak ada alasan untuk menetapkan kewajiban hijab di antara wanita muslimah dan wanita kafir. [Lihat Jaami' Ahkaamin
Nisaa' (IV/498), Durus wa Fataawaa al-Haram al-Makki (III/264) dan Fataawaa al-Mar'ah (I/73)]
Namun, pendapat yang paling mendekati kebenaran dan keselamatan -insya Allah- adalah pendapat pertama, karena pada awal ayat tersebut (Qs. An-Nuur: 31), Allahta’ala memulai perintah hijab dengan
lafazh
تنمؤملل لقو
yang artinya, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah…“. Maka lafazh selanjutnya, yaituوأ
نهئآسن
lebih dekat maknanya kepada wanita-wanita dari kalangan kaum muslimin. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]3. Batasan aurat wanita di depan para budak. Di dalam ayat di atas, disebutkan
نهنميأ تكلم ام وأ
atau budak-budak yang mereka miliki…”, di mana maksud ayat ini mencakup budak laki-laki maupun wanita. [Lihat al-Mabsuuth (X/157]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa seorang budak boleh melihat majikan wanitanya (dalam hal ini maksudnya adalah bertatap muka) karena kebutuhan. [Lihat Majmuu' al-Fataawaa (XVI/141)]Jadi seorang budak diperbolehkan melihat aurat majikan wanitanya sebatas yang biasa nampak, dan tidak lebih dari itu.4. Batasan aurat wanita di depan orang yang tidak memiliki hasrat (syahwat) terhadap wanita. Imam Ibnu
Katsir rahimahullah menafsirkan lafazh
ىلوأ ريغ نيعبتلا ِوأ
pembantu yang tidak sepadan, sementara dalam akal mereka terdapat kelemahan.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]. Maksudnya adalah orang-orang tersebut tidak memiliki hasrat terhadap wanita disebabkan usianya yang sudah lanjut, kelainan seksual (banci), atau menderita penyakit seksual (impoten/lemah syahwat). [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/165)]. Jika melihat realita pada zaman sekarang ini, orang-orang tersebut memang tidak akan berhasrat kepada wanita, namun mereka memiliki kecenderungan untuk menceritakan keadaan kaum wanita kepada orang lain yang memiliki hasrat kepada wanita,
sehingga dikhawatirkan akan timbul fitnah secara tidak langsung. Oleh karena itu, hendaklah para wanita tidak membuka aurat mereka, kecuali yang biasa nampak darinya.
5. Batasan aurat wanita di depan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanitaMaksud lafazh
مل نيذلا لَفَطلا وأ
ءآسنلا تروع ىلع اورهظي
adalah anak yang masih kecil dan tidak mengerti tentang keadaan kaum wanita dan aurat mereka. Anak yang belum memahami aurat, tidak mengapa bila dia masuk ke ruangan wanita. Adapun jika anak tersebut telah memasuki masa pubertas atau mendekatinya, di mana dia mulai mengerti tentang semua itu, dan dapat membedakan antara wanita yang cantik dan yang tidak cantik, maka dia tidak boleh lagi masuk ke dalam ruangan wanita. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]Catatan Penting
Berikut ini adalah beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam hal batasan aurat seorang wanita yang boleh ditampakkan di depan para mahram, yaitu:
1. Seorang mahram, kecuali suami wanita tersebut, boleh melihat perhiasan seorang wanita -berdasarkan pada penjelasan terdahulu- dengan syarat bukan dalam keadaan menikmatinya dan disertai dengan syahwat. Jika hal itu terjadi, maka tidak syak (ragu) dan tidak ada khilaf (perselisihan) dalam masalah ini bahwa hal
itu terlarang hukumnya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
mahramnya), di mana orang-orang tersebut mengetahui ketentuan-ketentuan Allah sehingga mereka menjaga kehormatan dan kesucian seorang muslimah. [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 103) dan tambahan penjelasan secara khusus dalam Syarah Arba'un al-Uswah(no. 26)]
3. Dan hendaknya seorang wanita tetap memelihara hijabnya
dan menjaga auratnya kecuali yang biasa nampak darinya, di depan seluruh mahramnya -kecuali suami-, agar muru’ah (kehormatan) dan “iffah (kesucian diri) dapat senantiasa terjaga.
Seorang wanita muslimah harus senantiasa memperhatikan hal-hal yang dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kemaksiatan. Dia diharuskan untuk menjaga dirinya dari fitnah yang dilancarkan setan dari berbagai penjuru. Untuk itu, rasa malu lebih wajib untuk dimiliki oleh kaum wanita, sehingga dengannya seorang wanita muslimah dapat menjadi uswah (teladan) bagi saudarinya yang lain dalam berakhlaqul karimah.
Wallahu a’lam wal musta’an. ***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir
Fataawaa an-Nisaa’ (Edisi Terjemah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ta’liq: Muhammad Muhammad Amir, cet. Ailah
Fat-hul Baari bi Syarh Shahiih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. Daar al-Hadits
Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Pustaka at-Tibyan
Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir