• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETIKA RATIFIKASI TIDAK CUKUP MAMPU MELI (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KETIKA RATIFIKASI TIDAK CUKUP MAMPU MELI (2)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Ketika Ratifikasi Perjanjian Internasional ternyata tidak Cukup untuk Melindungi TKI di Luar Negeri

Oleh: DR. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.1. Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat awam dan hukum, khususnya mereka yang bergerak dalam perlindungan buruh migran, mengenai efek hukum dari tindakan ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan mengapa TKI di luar negeri tidak mendapat perlindungan hukum secara maksimal meskipun Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990. Tulisan ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai status hukum perjanjian internasional dalam sistem hukum di Indonesia, termasuk proses pengintegrasian dan penerapan dalam sistem hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Dalam proses penerapan perjanjian internasonal di pengadilan, tulisan ini akan menjelaskan konsep self-executing treaty dan non-self-executing treaty yang pernah menjadi “kontroversial” dalam hal pemahaman di Indonesia. Lebih lanjut, tulisan ini ingin mengajukan hipotesa bahwa John Austin tidak salah ketika mengatakan “The law obtaining between nations is not positive law; for every positive law is set by a given sovereign to a person or persons in a State of subject to its author.”1

Keywords: Ratifikasi, perjanjian internasional, perlindungan hukum, status perjanjian internasional

2. Pendahuluan

“Untuk melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri, Pemerintah Indonesia wajib meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990”, ini adalah ucapan dari 156 elemen masyarakat yang menggugat Pemerintah Indonesia secara class-action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena tidak segera meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990. Pemerintah Indonesia dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum

DR. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M. adalah dosen tetap di Fakultas

Hukum Universitas Surabaya di Surabaya dan saat ini sedang menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Menyelesaikan studi S-3 di Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2011). Menyelesaikan S-2 di Australia (1999) dan Amerika Serikat (2003), serta S-1 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (1997).

1 Robert F. Turner, 1998, International Law Really is Law, International &

(2)

karena telah lalai memberikan perlindungan hukum kepada TKI di luar negeri dengan tidak segera meratifikasi Konvensi tersebut. Kemudian muncul pertanyaan, apakah benar karena belum meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990 TKI kita di luar negeri tidak mendapatkan perlindungan hukum?

Benar bahwa PBB melalui ILO membuat Konvensi Buruh Migran 1990 dengan tujuan untuk melindungi para buruh migran yang bekerja di luar wilayah negaranya karena mereka seringkali menjadi warganegara kelas dua di wilayah negara lain dan rentan mendapat perlakuan yang diskriminatif dari warganegara maupun negara tempat mereka bekerja. Dalam Pasal 7 Konvensi ini mengatur tentang non-diskriminasi dalam hak-hak, yang berbunyi “Negara-negara pihak dari Konvensi ini, sesuai dengan instrument internasional tentang hak asasi manusia, untuk menghormati dan memastikan bahwa semua buruh migran dan anggota keluarganya yang berada dalam wilayah mereka atau tunduk pada jurisdiksi mereka, agar memperoleh hak yang diatur dalam Konvensi ini...”

Hal yang penting yang wajib dicermati oleh semua elemen masyarakat hukum dalam Konvensi ini adalah pada bagian penerapan Konvensi ini, di mana Pasal 73 Ayat 1 dari Konvensi ini menegaskan bahwa “Negara-negara pihak berjanji untuk menyerahkan laporan mengenai upaya/usaha legislatif, yudikatif dan administratif dan upaya-upaya lain yang telah mereka lakukan untuk melaksanakan ketentuan dalam Konvensi ini kepada Sekretaris Jenderal PBB...”

Kata ratifikasi sering kita dengan dalam hubungannya antara negara dengan perjanjian internasional. Ratifikasi dimaknai sebagai pengikatan diri dari suatu negara terhadap seuatu perjanjian internasional dan negara wajib untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional yang dibebankan oleh perjanjian internasional tersebut. Tindakan ratifikasi oleh negara sebenarnya merupakan tahapan pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional suatu negara, belum sampai tahap implementasi. Namun demikian, tahap integrasi dan implementasi perjanjian internasional seringkali dicampuraduk menjadi satu sehingga menimbulkan kebingungan dalam memahami makna ratifikasi itu sendiri.

(3)

pengintegrasian dan penerapan perjanjian internasional di Indonesia. Kasus-kasus penganiayaan terhadap TKI di luar negeri yang sering diberitakan oleh media nasional Indonesia sebenarnya tidak ada hubungannya dengan diratifikasi atau tidak diratifikasinya Konvensi ini karena banyak negara-negara di Eropa yang tidak meratifikasi Konvensi ini tetapi memperlakukan buruh migran dengan baik, seperti Jerman, Belanda, Perancis, Italia, Belgia dan Inggris.

Oleh karena itu, tulisan ini ingin mencerahkan pandangan masyarakat, khususnya masyarakat hukum, bahwa proses ratifikasi tidaklah cukup untuk membuat suatu perjanjian dapat dilaksanakan oleh negara-negara dan tidak ada hubungan kausalitas antara perlindungan TKI di luar negeri dengan ketidaksegeraan Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990.

3. Analisis

3.1. Proses Integrasi Perjanjian Internasional

Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional mengatur cara-cara perjanjian internasional berintegrasi ke dalam sistem hukum nasional negara-negara. Pengikatan diri negara ke dalam suatu perjanjian internasional dapat melalui proses tandatangan, tandatangan ad referendum, ratifikasi dan aksesi. Namun, Boer Mauna hanya menjelaskan dua hal saja yaitu melalui tandatangan dan/atau ratifikasi.2

Istilah tandatangan, menurut O’Connell, adalah tindakan akhir dari seorang wakil berkuasa penuh suatu negara dalam suatu perundingan dan merupakan persetujuan negaranya atas isi dari perjanjian internasional yang dibuat.3 Selanjutnya, Schwarzenberger berpendapat bahwa

tandatangan bisa jadi merupakan pernyataan setuju untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional, jika perjanjian tersebut tidak mensyaratkan ratifikasi. Pendapat ini diamini oleh O’Connell dengan mengatakan “Ratification is only required when the treaty so specifies or so implies.”4

Proses selanjutnya adalah ratifikasi, di mana Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mengatur sebagai berikut 2 Boer Mauna, 2001, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam

Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, hlm. 16.

3 Budiono Kusumohamidjojo, 1986, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional

Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bunacipta, Bandung, hlm. 5.

4 Edy Suryono, 1984, Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia,

(4)

“’ratification’, ‘acceptance’, ‘accession’ mean in each case the international act so named whereby a State establishes on the International plane its consent to be bound by a treaty.” Menurut kaczorowska, proses ratifikasi umumnya menggambar dua tindakan prosedural yang berbeda, yaitu ratification in international sense dan ratification in municipal sense.5 Berdiskusi tentang integrasi perjanjian

internasional ke dalam sistem hukum nasional negara-negara adalah membicarakan konsep ratifikasi yang pertama dan ini merupakan kewenangan mutlak dari lembaga eksekutif untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional. Hal ini selaras dengan definisi yang ada dalam Pasal 2 di atas bahwa ratifikasi merupakan tindakan internasional dari negara untuk terikat oleh perjanjian di level internasional. Dengan kata lain, tindakan ratifikasi yang dilakukan oleh negara tidak memberikan akibat hukum apapun kepada negara di level nasional.

Mengapa negara harus mengikatkan diri pada perjanjian internasional? Pengikatan diri pada perjanjian internasional bisa berarti dua hal yaitu karena negara tersebut ingin membuat perjanjian internasional yang bersangkutan berlaku secara universal atau ada kepentingan nasional dari negara tersebut yang diakomodir oleh perjanjian internasional. Pasal 87 Konvensi Buruh Migran 1990 menyatakan bahwa “The present Convention shall enter into force on the first day of the month following a period of three months after the date of the deposit of the twentieth instrument of ratification or accession.” Pasal ini menunjukkan bagaimana Konvensi Buruh Migran 1990 berlaku secara universal, yaitu jika sudah ada 20 negara meratifikasi atau aksesi. Contoh kedua adalah ketika Indonesia mengikatkan diri pada UNCLOS 1982, di mana ada kepentingan Indonesia yang diakomodir dalam Konvensi tersebut, yaitu diakuinya negara kepulauan sebagai salah satu bentuk negara, yang mana Indonesia adalah merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Jika kita melihat pandangan dari Bierly, sebenarnya ada dua alas an mengapa negara harus selalu memperhatikan kaidah-kaidah hukum internasional, antara lain doktrin hak dasar (ius cogen) dan doktrin positivisme. Yang pertama menjelaskan bahwa prinsip-prinsip dalam hukum

5 Alina Kaczorowska, 2002, Public International law, Old Bailey Press, hlm.

(5)

internasional adalah merupakan prinsip-prinsip hukum utama bagi negara-negara sebagai subyek utama dari hukum internasional. Selanjutnya, yang kedua adalah hukum internasional adalah sekumpulan kaidah yang diterima oleh negara-negara dan mengikat bagi negara yang menerima dan tidak mengikat bagi negara yang tidak menerima. Bierly tidak menampik bahwa meskipun hukum internasional adalah iu cogen tapi tidak semua negara mau menerima dan mematuhinya.6

Dalam proses pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional negara-negara sangat bergantung sistem yang berlaku di negara-negara tersebut, yaitu apakah negara tersebut memberlakukan sistem pemisahan kekuasaan secara murni ataukah seperti yang berlaku di Amerika Serikat yaitu sistem checks and balances. Perbedaan sistem ketatanegaraan yang berlaku di negara-negara secara tidak langsung akan memberikan arti yang berbeda pada proses ratifikasi.

3.2. Arti Ratifikasi bagi Negara-Negara

Dalam penerimaan perjanjian internasional ke dalam sistem hukum negara ada dua teori yang mendasari, yaitu teori inkorporasi dan teori transformasi.7 Teori

inkorporasi adalah teori yang memandang hukum internasional adalah bagian dari hukum nasional sehingga perjanjian internasional yang diratifikasi oleh negara akan menjadi bagian dari hukum nasional negara tersebut. Sebaliknya teori transformasi menjelaskan bahwa hukum internasional dan hukum nasional adalah dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah sehingga hukum internasional hanya dapat menjadi bagian dari hukum nasional melalui proses transformasi berupa peraturan hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif. Dalam teori ini ada dua pandangan yang berbeda yaitu pandangan yang bersifat ‘hard’ dan ‘soft’. Bagi pandangan yang bersifat hard, hukum internasional hanya dapat menjadi bagian dari hukum nasional melalui tindakan legislatif saja, sedangkan menurut pandangan kedua, hukum internasional dapat menjadi bagian hukum nasional melalui tindakan legislatif dan yudikatif. Tindakan yudikatif ini

6 Sam Suhaedi Admawiria, 1968, Pengantar Hukum Internasional I, Alumni,

Bandung, hlm. 39-41.

7 Andrew D. Mitchell, 2000, Genocide, Human Rights Implementation and the

(6)

maksudnya adalah hukum internasional dapat menjadi bagian hukum nasional melalui putusan pengadilan.8

Keberadaan dua pandangan dalam teori transformasi tidak lepas dari perbedaan sistem hukum yang dianut oleh negara, yaitu Eropa kontinental dan anglosakson. Di Eropa kontinental dengan jelas terdapat pemisahan kekuasaan antara pembuat undang-undang dan pengadilan, di mana pengadilan tidak memiliki kebebasan untuk melakukan penemuan hukum. Hakim hanyalah menafsirkan ketentuan hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif. Selain itu, putusan hakim hanya memiliki kekuatan hukum bagi para pihak yang bersengketa saja dan tidak berlaku secara umum. Ini berbeda dengan negara-negara penganut anglosakson, di mana meskipun ada pemisahan kekuasaan tetapi hakim memiliki kewenangan untuk menemukan hukum (judge-made-law) sehingga putusan dari hakim tidak berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa tetapi juga berlaku masyarakat umum.

Kemudian, muncul satu teori yang dikenalkan oleh J.G. Starke, yang mana teori ini tampaknya paling sesuai dengan praktik-praktik yang dilakukan oleh negara-negara saat ini. Teori tersebut adalah teori delegasi, di mana teori ini mendelegasikan pada konstitusi masing-masing negara untuk menentukan kapan dan bagaimana kaidah-kaidah hukum internasional dapat diterima dan berlaku dalam hukum nasional negara-negara.9

3.2.1. Amerika Serikat

Dalam hal penerimaan perjanjian internasional di Amerika Serikat, secara konstitusional proses ini menjadi kewenangan antara Presiden dan Senat. Berbeda dalam hal perjanjian yang berbentuk “executive agreements” di mana ini menjadi kewenangan Presiden dan Kongres.

Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa “All Treaties shall be the supreme law of the Land.” Oleh karena itu, perjanjian internasional memiliki kedudukan yang tinggi di Amerika Serikat, yakni selevel dengan hukum federal. Namun demikian, Amerika

8 Ibid., hlm. 27.

9 J.G. Starke, 1984, Introduction to International Law, Butterworth, London,

(7)

Serikat juga mengenal doktrin “later-in-time” yang berarti bahwa hukum federal yang baru akan mengalahkan hukum federal yang lama jika substansinya bertentangan.10 Ini berarti

bahwa jika ada perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Amerika Serikat dan kemudian ada peraturan federal yang dibuat oleh Kongres yang substansi bertentangan dengan perjanjian internasional yang sebelumnya, maka hukum federal yang baru yang dimenangkan.

Presiden Amerika Serikat sangat bergantung pada persetujuan Senat ketika akan meratifikasi perjanjian internasional.11

Ketika Senat menyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi perjanjian internasional, maka persetujuan Senat memiliki makna ganda, yaitu selain menyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi perjanjian internasional, juga membuat perjanjian internasional berlaku di Amerika Serikat.

Apakah dengan merujuk Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat dan persetujuan Senat maka semua perjanjian internasional yang diratifikasi dapat diterapkan di Amerika Serikat? Hal ini sering menjadi perdebatan karena Amerika Serikat menurut teori adalah negara monisme, tetapi dalam praktiknya ia menggunakan pendekatan dualisme. Kondisi ini terjadi karena Senat memiliki kewenangan untuk menentukan status perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Presiden melalui RUDs yang akan dilampirkan pada saat Presiden menyerahkan dokumen ratifikasi kepada Sekretariat Jenderal PBB. RUDs ini bertujuan untuk membatasi pelaksanaan perjanjian internasional di pengadilan Amerika Serikat.12 Adapun tujuan

Senat memberlakukan RUDs ini adalah untuk

10 Aalt Willem dan Philipp Kiiver, 2007, Constitutions Compared: An

Introduction Comparative Constitutional Law, Intersentia, Antwerpen, hlm. 56.

11 Lihat: Pasal 2 s.2 Konstitusi Amerika Serikat bahwa “He shall have Power,

by and with the Advice and Consent of the Senate, to make Treaties...”

12 Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick dan Jon M. Van Dyke, 2000,

(8)

melindungi hak-hak dari Amerika Serikat agar perjanjian internasional yang telah diratifikasi tidak menggantikan peraturan hukum federal atau kebijakan negara yang telah dibuat, dan untuk membatasi kekuasaan pengadilan untuk menerapkan hukum internasional di persidangan.13

3.2.2. Kanada

Kanada adalah negara yang menganut sistem hukum campuran, di mana seluruh provinsi di Kanada menganut sistem common law kecuali Provinsi Quebec yang menganut sistem civil law. Secara umum, perbedaan dari dua sistem hukum ini dapat dilihat dari sumber hukumnya, di mana sumber hukum dari sistem common law adalah hukum tidak tertulis atau hukum yang berkembang di masyarakat. Situasi ini mempengaruhi peran dan fungsi dari hakim, di mana hakim memiliki peran yang besar dalam menemukan hukum dan menciptakan hukum yang bersifat umum dan mengikat bagi masyarakat. Sebaliknya, di Provinsi Quebec, hukum yang digunakan adalah hukum tertulis dan hakim tidak memiliki peran sebesar pada hakim dengan sistem common law karena hakim di sistem civil law tidak memiliki kewenangan untuk menciptakan hukum, tetapi hanya menafsirkan peraturan hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif.

Sebagai negara federasi, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional ada di tangan Pemerintah Federal Kanada. Sullivan menjelaskan bahwa kewenangan untuk melakukan tindakan ekstrateritorial secara eksklusif dipegang oleh Pemerintah Federal Kanada, sedangkan pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan tersebut.14

Dalam sistem ketatanegaraan Kanada, khususnya berkaitan dengan perjanjian internasional, terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas antara lembaga eksekutif dan lembaga

13 Ibid., hlm. 527-531.

14 R. Sullivan, 1987, Jurisdiction to Negotiate and Implement Free Trade

(9)

legislatif, di mana lembaga eksekutif memiliki kewenangan untuk mengadakan hubungan luar negeri dan masuk ke dalam berbagai perjanjian internasional. Namun demikian, perjanjian internasional yang telah dinegosiasikan oleh Pemerintah Federal Kanada hanya sebatas mengikat Kanada sebagai negara yang merupakan subyek hukum internasional. Penerapan perjanjian internasional di level nasional menjadi kewenangan mutlak dari Parlemen Federal Kanada dan Parlemen provinsi.15 Sistem pemisahan ini bertujuan

untuk mencegah lembaga eksekutif mengesampingkan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga legislatif dengan menjadi pihak pada setiap perjanjian internasional tanpa mempedulikan situasi dan kondisi nasional Kanada.16

Dalam kasus Labor Conventions, Pemerintah Kanada berupaya untuk menerapkan tiga Konvensi yang telah diratifikasi dalam Konferensi Buruh Internasional, tetapi Pemerintah Federal harus mendapat persetujuan dari Parlemen provinsi karena substansi dari Konvensi Buruh tersebut berakibat hukum pada hak dan kewajiban buruh yang berada di seluruh provinsi di Kanada. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Lord Atkin bahwa “Where the subject matter of a treaty comes from provincial legislative competence, only province may enact implementing legislation.”17

3.2.3. Australia

Pemerintah Australia dalam menjalankan roda pemerintahannya menggunakan sistem “responsible government” di mana dalam sistem ini pemerintah eksekutif bertanggungjawab

15 Melanie Mallet, A Primer on Treaty Making and Treaty Implementation in

Canada, Original Constribution, hlm. 2.

16 Ibid.

17 George Slyz, 1997, International Law in National Courts, 28 N.Y.U. J. Int’l

(10)

kepada parlemen dan pada akhirnya bertanggungjawab kepada rakyat.18

Dalam hal mengadakan hubungan luar negeri, Pemerintah Federal Australia memiliki kewenangan untuk melakukan negosiasi dan meratifikasi perjanjian internasional. Terkait dengan kewenangan tersebut, High Court Australia menyebutkan bahwa “The Federal Executive through the Crown’s representative possesses exclusive and unfettered treaty making power.”19

Selanjutnya dalam hal pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Federal terlepas dari campurtangan Parlemen Commonwealth Australia, sebagaimana yang disampaikan oleh Gareth Evans bahwa “The Constitutional power to enter into treaties is one that belongs to the Governor-General in Council. The Commonwealth Parliament, inconsequence, has no formal function to exercise by way of review or oversight of international conventions, treaties, and agreements which the Federal Government is considering signing.”20 Kemudian, Gareth Evans

menjelaskan mengenai bagaimana akibat hukum peratifikasian perjanjian internasional di Australia, bahwa perjanjian internasional tidak dapat diterapkan secara langsung di dalam sistem hukum Australia tanpa persetujuan dari Parlemen Commonwealth.

Dalam s.61 Konstitusi Australia ada pembedaan kekuasaan untuk membuat perjanjian internasional dan untuk menerapkan perjanjian internasional. Kekuasaan yang pertama dipegang oleh Pemerintah Federal Australia, sedangkan kekuasaan kedua dipegang secara eksklusif oleh Parlemen Commonwealth, yang

mana berperan penting untuk

18 Michael Legg, 2002, Indigenous Australia and International Law: Racial

Discrimination, Genocide and Reparations, 20 Berkeley J. Int’l L. 387, Berkeley Journal of International law, hlm. 390.

19 Brian R. Opeskin & Donald R. Rothwell, 1995, The Impact of Treaties in

Australia Federalism, 27 Case W. Res. J. Int’l L., 1, Case Western Reserve Journal of International Law, hlm. 5.

(11)

mengimplementasikan hak dan kewajiban dalam perjanjian internasional ke dalam peraturan hukum Australia.21

Dalam kasus Dietrich, High Court menjelaskan bahwa “Ratification of the ICCPR as an executive act has no direct legal effect upon domestic law; the rights and obligations contained in the ICCPR are not incorporated into Australian law unless and until specific legislation is passed implementing provisions.”22

Ada hal yang menarik di dalam sistem hukum Australia terkait dengan implementing legislation yang dibuat oleh Parlemen Commonwealth dalam hal kekuatan hukumnya, bahwa meskipun Parlemen telah membuat implementing legislation atas sebuah perjanjian internasional, belum tentu perjanjian tersebut dapat diterapkan di pengadilan nasional Australia jika tidak ada kalimat yang memberikan kekuatan hukum pada perjanjian yang bersangkutan. Kondisi ini dapat diamati dalam beberapa perjanjian internasional yang telah diratifikasi dan diberikan implementing legislation, seperti Konvensi Anti Diskriminasi Rasial yang diimplementasikan melalui UU Anti Diskriminasi Rasial 1975 (Cth), di mana Pasal 7 UU ini menyatakan bahwa UU ini memberikan kekuatan hukum pada Konvensi tersebut. Namun, tidak demikian dengan Konvensi Genocida, di mana meskipun Pemerintah Federal Australia telah meratifikasi tetapi UU Genocida 1949 (Cth) tidak memberikan kekuatan hukum pada Konvensi ini untuk berlaku di Australia, melainkan hanya bentuk persetujuan formal

21 Gareth Evans, 1995, International Treaties: Their Impacts on Australia, A

Speech on the International Treaties Conference, Canberra, Australia, di

http://www.australianpolitics.com/foreign/treaties/85-09-04treaties-evans.shtml

22 Rosalie Balkin, International Law and Domestic Law, dalam Sam Blay, Ryszard

Piotrowicz & Martin Tsamenvi (ed), 2005, Public International Law: An Australian Perspective, 2nd Edition, Oxford University Press, Victoria, hlm.

(12)

atas tindakan ratifikasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Federal.23

3.2.4. Indonesia

Proses ratifikasi perjanjian perjanjian internasional di Indonesia secara penuh menjadi kewenangan lembaga eksekutif. Dalam proses ratifikasi perjanjian internasional, Indonesia mengadopsi model checks and balances dari Amerika Serikat, tetapi akibat hukum dari tindakan ratifikasi menjadi berbeda ketika memasuki tahap persetujuan oleh DPR. Perjanjian internasional yang akan diratifikasi oleh Presiden Indonesia melalui tahap persetujuan DPR terlebih dahulu dalam rangka melaksanakan Pasal 11 Ayat 1 UUDNRI 1945.

Persetujuan DPR diwujudkan dalam bentuk UU pengesahan perjanjian internasional yang tidak memiliki makna apapun kecuali hanya sebagai bentuk persetujuan formal DPR kepada Presiden. Melalui perkara Nomor 33/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah memutuskan bahwa UU pengesahan perjanjian internasional bukan merupakan obyek untuk dilakukan judicial review karena UU pengesahan perjanjian internasional bukan merupakan UU transformasi dari perjanjian internasional. Oleh karena itu, makna persetujuan DPR tidak sama dengan makna persetujuan Senat Amerika Serikat karena di Indonesia persetujuan DPR tidak membuat perjanjian internasional berlaku di pengadilan nasional Indonesia, sedangkan persetujuan Senat Amerika Serikat membuat perjanjian internasional berlaku di pengadilan Amerika Serikat kecuali ditentukan lain. Dengan demikian, ratifikasi di Indonesia memiliki dua arti, yaitu pertama adalah untuk membuat perjanjian internasional berlaku secara universal, sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 Konvensi Wina 1969, dan kedua adalah sebagai pengikatan diri Indonesia sebagai negara di level internasional.

(13)

Kesulitan dalam memahami makna ratifikasi di Indonesia adalah karena ada beberapa istilah perjanjian internasional yang diartikan berbeda oleh para pakar hukum di Indonesia sehingga menimbulkan pemahaman yang bermacam-macam. Paling tidak penulis menemukan tiga hal, yaitu ratification, implementing legislation, dan self-executing treaty dan non-self-executing treaty.

(14)

Kedua adalah “implementing legislation”, di mana ini terjemahan dari peraturan pelaksana, di mana seringkali diidentikkan dengan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang, padahal implementing legislation ini di negara-negara lain adalah undang-undang yang dibuat oleh parlemen. Ketidakpahaman penegak hukum di Indonesia mengenai istilah implementing legislation ini terlihat dari kasus Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, di mana Mahkamah Agung Republik Indonesia tiba-tiba mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung yang diakui sebagai implementing legislation (peraturan pelaksana) dari Konvensi New York 1958. Tentunya hal ini bertentangan dengan tugas dan fungsi lembaga yudikatif karena implementing legislatif bukan produk hukum tetapi produk politik yang dimiliki oleh lembaga legislatif, dalam hal ini adalah DPR.

Terakhir adalah istilah self-executing treaty dan non-self-executing treaty. Sebelum penulis melakukan penelitian terhadap dua variabel ini, penulis menemukan definisi keduanya adalah sebagai berikut: self-executing treaty adalah perjanjian yang berlakunya tanpa proses ratifikasi, dan non-self-executing treaty adalah perjanjian yang berlakunya melalui proses ratifikasi. Dua definisi di atas sangat bertolakbelakang dengan definisi awal yang dipahami di Amerika Serikat, antara lain: self-executing treaty adalah perjanjian internasional yang diratifikasi secara ipso facto menjadi bagian dari hukum nasional suatu negara tanpa memerlukan implementing legislation.24

Sebaliknya, non-self-secuting treaty adalah perjanjian internasional yang diratifikasi tidak dapat diterapkan secara langsung di pengadilan tanpa adanya implementing legislation.25

24 Thomas Buerghental, 1992, Self-Executing and Non-Self-Executing Treaties in

National and International Law, Extract from the Recueil de cours, Volume 235, Martinus Nijhoff Publisher, the Netherlands, hlm. 368.

(15)

Berbicara self-executing treaty dan non-self-executing treaty adalah berbicara mengenai implementasi perjanjian internasional di level nasional (baca: pengadilan), bukan berbicara mengenai proses integrasi atau pengikatan diri negara terhadap perjanjian internasional. Kekeliruan memahami beberapa konsep perjanjian internasional di Indonesia menimbulkan perdebatan mengenai faham yang dianut oleh Indonesia, apakah monisme atau dualisme, dan status perjanjian internasional di Indonesia, apakah Indonesia mengenal dan mengakui konsep self-executing treaty dan non-self-executing treaty.

3.3. Penerapan Perjanjian Internasional di Indonesia

Dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, terdapat negara-negara yang sistem hukumnya tidak mengijinkan perjanjian internasional yang telah diratifikasi dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasionalnya. Negara-negara yang menganut sistem seperti ini diidentikkan dengan negara dualisme. Dan di negara-negara dengan faham ini, semua perjanjian internasional bersifat non-self-executing, dengan kata lain, perjanjian internasional tidak dapat diterapkan secara langsung kecuali ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang diakui di negara-negara tersebut agar dapat memiliki kekuatan hukum di pengadilan.

Namun demikian, meskipun ada negara-negara yang sama-sama menganut faham dualisme tetapi dalam implementasinya setiap negara tidak sama karena mereka memiliki tradisi hukum yang berbeda. Sebagai contoh di Kanada, meskipun negara ini menganut faham dualisme tetapi metode pendekatannya menggunakan metode soft transformation, artinya penerapan perjanjian internasional dapat dilakukan oleh lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.26 Sebaliknya, Inggris adalah

negara dualisme dengan pendekatan hard transformation karena doktrin Parliamentary Sovereignty27 dan hakim

26 Andrew D. Mitchell, loc. cit.

27 Ina Nazarova, 2002, Alienating ‘Human’ from ‘Right’: US and UK

(16)

tidak memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review atas peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Parlemen Inggris karena yang dapat menyatakan suatu undang-undang inkonstitusional adalah Parlemen sendiri.28

3.3.1. Indonesia adalah Negara Dualisme

Perdebatan apakah Indonesia menganut faham monisme ataukah dualisme sebenarnya telah dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan dan praktik ketatanegaraan di Indonesia. Bagi negara-negara yang menganut monisme dapat diketahui dari adanya pasal-pasal di dalam konstitusi mereka yang mengatur hubungan antara perjanjian internasional dan hukum nasional. Sebagai contoh adalah Amerika Serikat yang mengatur hubungan antara kedua hukum tersebut dalam Pasal 629 Konstitusi

Amerika Serikat, Perancis mengaturnya dalam Pasal 5530 Konstitusi Perancis 1958, Belanda

menempatkannya pada Pasal 9431 Grundwet,

Rusia mengaturnya pada Pasal 15 Ayat 432

Konstitusi Rusia, Jepang meletakkannya pada Pasal 98 Ayat 233 Konstitusi Jepang 1947, dan

beberapa negara yang mengakui hukum kebiasaan internasional sebagai hukum tertinggi di negaranya, seperti Jerman.34 Sebaliknya, di

negara-negaa dualisme, pada umumnya konstitusi negara mereka tidak mengatur hubungan keduanya karena keutamaan ada pada

28 Aalt Willem & Philipp Kiiver, op. cit., hlm. 108. 29 “…all Treaties …shall be the supreme law of the land.”

30 “Treaties or agreements duly ratified or approved shall, upon publication,

prevail over Acts of Parliament, subject, in regard to each agreement or treaty, to its application by the other party.”

31 “Statutory regulations in force within the Kingdom shall not be applicable

if such application is in conflict with provisions of treaties that are binding on all persons or resolutions by international organizations.”

32 “The general recognized principles and norms of international law and the

international treaties of the Russian Federation shall constitute part of its legal system. If an international treaty of the Russian Federation establishes other rules than those stipulated by the law, the rules of the international treaty shall apply.”

33 “The treaties concluded by Japan and the established law of nations shall

be faithfully observed.”

34 Lihat: Pasal 25 Grundgesetz: “The general rules of public international law

(17)

hukum nasional, seperti Indonesia, Australia dan Kanada. Selain itu, ke-dualisme-an Indonesia terletak dari adanya implementing legislation (baca: undang-undang) yang diundangkan untuk memberikan kekuatan hukum pada norma-norma perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Proses transformasi ini merupakan ciri khas dari negara-negara dualisme, seperti UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang merupakan pengejahwantahan dari Berne Convention for the Protection of literary and Artistic Works, UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia adalah penjabaran dari UNCLOS 1982, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang merupakan penjabaran dari Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan lainnya.

Khusus di Indonesia, kekuasaan tertinggi untuk dapat atau tidaknya perjanjian internasional diimplementasikan di negara dualisme adalah pada lembaga legislatif karena lembaga ini yang memiliki kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan. DPR, ketika akan membuat undang-undang transformasi, harus melihat kembali kewajiban-kewajiban internasional apa yang diemban oleh Indonesia sebagai negara pihak dari suatu perjanjian internasional agar dapat diterapkan di Indonesia (baca: pengadilan). Konsep ini disebut dengan konsep Konskenniemi, bahwa “International law acts sort of conscience for state authorities, then we are using international law as a sounding board for domestic policy and law. We rely then on international law not as a law per se but a moment of sober second thought instead. International law would not strictly require the character of law to accomplish this. And it could still offer courts additional reasons why a given case ought to be decided one way or another.”35

35 David Haljan, 2014, Separating Powers: International Law Before National

(18)

Hal di atas yang menjadikan hakim-hakim di Indonesia tidak berpedoman pada perjanjian internasional karena hakim tidak terikat oleh perjanjian internasional yang disepakati oleh lembaga eksekutif, melainkan terikat oleh peraturan hukum yang dibuat oleh DPR. Namun, sebenarnya hakim-hakim di Indonesia, jika mau, dapat menggunakan perjanjian internasional sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan hukum nasional yang secara substansi bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum internasional.

Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana status perjanjian internasional di Indonesia bahwa Indonesia tidak mengenal perjanjian self-executing karena semua perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia secara teori adalah bersifat non-self-executing karena wajib dibuatkan implementing legislation (baca: undang-undang). Selain itu, perjanjian internasional bukan salah satu sumber hukum yang diakui dan diterima secara langsung di pengadilan karena Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak memasukkan perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.

(19)

internasional di pengadilan), padahal berlaku di sini adalah berlaku di level international (pengikatan diri negara pada perjanjian internasional). Dan Schwarzenberger mengamini hal tersebut jika perjanjian yang bersangkutan tidak mensyaratkan ratifikasi.

3.3.2. Perbandingan Model Penerapan Perjanjian Internasional antara Indonesia dengan Amerika Serikat

Berbicara penerapan perjanjian internasional harus diawali dengan proses pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum negara-negara. Selain itu, kita juga harus mengamati praktik konstitusional termasuk tradisi hukum yang berlaku di negara-negara tersebut.

Proses pengintegrasian perjanjian internasional di Amerika Serikat diawali dengan proses negosiasi yang dilakukan Presiden atas perjanjian internasional. Sebagai negara monisme (Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat) sehingga sistem hukumnya mengakui adanya perjanjian internasional self-executing dan non-self-executing. Oleh karena itu, Pemerintah Amerika Serikat harus sangat berhati-hati dengan perjanjian internasional yang akan diratifikasi, oleh karena itu, persetujuan dari Senat merupakan kewajiban yang tidak boleh dilanggar oleh Presiden karena Senat adalah pihak yang dapat menentukan apakah perjanjian internasional yang akan diratifikasi oleh Presiden dapat diterapkan di pengadilan nasional Amerika Serikat atau tidak. Pada awalnya kewenangan untuk menentukan sifat self-executingness dari perjanjian internasional dipegang oleh hakim, seperti dalam kasus Sei Fujii.36

Namun, seiring berjalannya waktu, kewenangan tersebut berpindah kepada Senat karena penetapan tersebut merupakan bagian dari proses politik. Senat Amerika Serikat memiliki kewenangan untuk menolak dan menyetujui perjanjian internasional yang akan

36 Rebecca Walace, 1992, International Law, 2nd Edition, Sweet & Maxwell,

(20)

diratifikasi oleh Presiden melalui mekanisme RUDs, yang mana ini akan membatasi keberlakuan perjanjian internasional di pengadilan nasional Amerika Serikat.37

Keterlibatan Senat dalam menentukan sifat perjanjian internasional terlihat dalam beberapa perjanjian internasional HAM, seperti ICCPR, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Genosida dan lainnya. Kewenangan Senat ini bertujuan untuk melindungi hak-hak Amerika Serikat agar perjanjian internasional yang diratifikasi tidak mengganti peraturan hukum federal atau kebijakan negara yang telah dibuat, dan untuk membatasi kekuasaan pengadilan untuk menerapkan perjanjian internasional.38 Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa secara teori Amerika Serikat adalah negara monisme, tetapi dalam praktiknya Amerika Serikat menerapkan konsep dualisme.

Bertolakbelakang dengan Indonesia, di mana Indonesia adalah negara dualisme tetapi ingin menerapkan konsep monisme. Hal ini jelas terlihat dari isu mengenai ratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990, di mana seakan-akan Pemerintah Indonesia telah melakukan kesalahan yang sangat fatal karena tidak segera meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990 sehingga menyebabkan banyak TKI di luar negeri yang tidak mendapat perlindungan hukum yang layak. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, tindakan ratifikasi tidak cukup kuat untuk memaksa warganegara suatu negara untuk tidak melakukan tindakan penyiksaan kepada buruh migran karena ratifikasi perjanjian internasional hanya untuk membuat perjanjian internasional berlaku secara universal dan mengikat negara di level internasional. Apalagi Konvensi Buruh Migran 1990 adalah perjanjian internasional yang menurut sifatnya adalah perjanjian non-self-37 Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick & Jon M. Van Dyke, op. cit., hlm.

219-220.

38 Chrissy Fox, 2003, Implication of the US’ Reservations and NSE Declaration

(21)

executing sehingga memerlukan implementing legislation untuk penerapannnya. Peratifikasian Konvensi Buruh Migran 1990 sebenarnya sangat menguntungkan bagi kaum pekerja migran di Indonesia karena Indonesia harus mematuhi kewajiban-kewajiban internasional yang diemban oleh negara-negara pihak dalam Konvensi ini. Hukum Indonesia tidak mampu menjangkau TKI di luar negeri karena jurisdiksi Indonesia dibatasi oleh jurisdiksi negara lain.

Hal yang sering dimaknai keliru oleh masyarakat hukum adalah konsep melaksanakan kewajiban internasional diidentikkan dengan konsep monisme, padahal dua konsep ini sangat berbeda, di mana yang pertama bergerak di level internasional, sedangkan yang kedua merupakan pertanyaan di level nasional. Ketika Pemerintah Indonesia menghormati hak kekebalan pejabat diplomatik asing di Indonesia adalah kewajiban internasional yang harus dijalankan dalam hubungan antarnegara sesuai dengan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, bukan merupakan konsep monisme karena konsep monisme, sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan isu tentang penerapan perjanjian internasional di pengadilan nasional suatu negara.39

4. Kesimpulan

Dari analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gugatan class-action yang dilakukan oleh LSM karena Pemerintah Indonesia tidak segera meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990 adalah tindakan yang tidak beralasan dan menunjukkan bahwa para pemohon tidak memahami konsep pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum di Indonesia. Dengan Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Buruh 1990 maka yang sebenarnya diuntungkan adalah kaum buruh migran yang bekerja di Indonesia karena Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban internasional untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diemban oleh negara pihak. Ratifikasi tidak cukup untuk membuat perjanjian internasional dipatuhi oleh negara dan diimplementasi di

39 Jacob Dolinger, 1993, Brazilian Supreme Court Solutions for Conflict

(22)
(23)

DAFTAR PUSTAKA

 Boer Mauna, 2001, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung.

 Aalt Willem dan Philipp Kiiver, 2007, Constitutions Compared: An Introduction Comparative Constitutional Law, Intersentia, Antwerpen.

 Alina Kaczorowska, 2002, Public International law, Old Bailey Press.

 Andrew D. Mitchell, 2000, Genocide, Human Rights Implementation and the Relationship between International and Domestic Law: Nulyarimma v. Thompson, 24 Melb. U. L. Rev., Melbourne University Law Review.

 Brian R. Opeskin & Donald R. Rothwell, 1995, The Impact of Treaties in Australia Federalism, 27 Case W. Res. J. Int’l L., 1, Case Western Reserve Journal of International Law.

 Budiono Kusumohamidjojo, 1986, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bunacipta, Bandung.

 Chrissy Fox, 2003, Implication of the US’ Reservations and NSE Declaration to the ICCPR for Capital Offenders and Foreign Relation, Comments, 11 Tul. J. Int’l & Comp. L. 303, Tulane Journal of International dan Comparative Law.

 David Haljan, 2014, Separating Powers: International Law before National Courts, T.M.C. Asser Press.

 Edy Suryono, 1984, Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Remaja Karya, Bandung.

 Gareth Evans, 1995, International Treaties: Their Impacts on Australia, A Speech on the International Treaties Conference, Canberra, Australia, di

(24)

 George Slyz, 1997, International Law in National Courts, 28 N.Y.U. J. Int’l & Pol. 65, New York University Journal International Law and Politics.

 Ina Nazarova, 2002, Alienating ‘Human’ from ‘Right’: US and UK Non-Compliance with Asylum Obligations under International Human Rights Law, 25 Fordham Int’l L.J. 1335, Fordham International law Journal.

 J.G. Starke, 1984, Introduction to International Law, Butterworth, London.

 Jacob Dolinger, 1993, Brazilian Supreme Court Solutions for Conflict between Domestic and International Law: An Exercise in Eclecticism, 22 Cap. U. L. Rev. 1041.

 Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick dan Jon M. Van Dyke, 2000, International Law and Litigation in the US, West Group.

 Melanie Mallet, A Primer on Treaty Making and Treaty Implementation in Canada, Original Constribution.

 Michael Legg, 2002, Indigenous Australia and International Law: Racial Discrimination, Genocide and Reparations, 20 Berkeley J. Int’l L. 387, Berkeley Journal of International law.

 R. Sullivan, 1987, Jurisdiction to Negotiate and Implement Free Trade Agreements in Canada, 24 U.W.O.L. Rev. 63, 64-71 (Revised 1993).

 Rebecca Walace, 1992, International Law, 2nd Edition,

Sweet & Maxwell, London.

 Robert F. Turner, 1998, International Law Really is Law, International & National Security Law Practice Group Newsletter, Volume 2, Issue 1, Spring.

 Rosalie Balkin, International Law and Domestic Law, dalam Sam Blay, Ryszard Piotrowicz & Martin Tsamenvi (ed), 2005, Public International Law: An Australian Perspective, 2nd Edition, Oxford University Press,

Victoria.

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas bahan ajar menulis cerpen dengan media adobe flash untuk siswa SMP kelas IX adalah (1) bahan ajar menulis cerpen dengan media adobe flash untuk siswa SMP

bahwa dalam rangka pengelolaan hutan yang tepat dan sesuai dengan kondisi hutan tropika dengan keragaman tanaman hutan dan budaya masyarakat desa hutan dan

LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat) adalah sebuah unit kegiatan yang berfungsi mengelola semua kegiatan penelitian dan pengabdian kepada

Projekt Z pinklecom na pleči v muzej realiziran je u sklopu dodatne nastave povijesti u OŠ Ivana Kukuljevića Sakcinskog, Ivanec tijekom školske godine 2012./2013.. za učenike

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

diibaratkan seperti teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit yang digunakan untuk mendeteksi potensi sumber daya alam di suatu titik lokasi,

Sertifikat Akreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) Nomor : LPPHPL-013-IDN tanggal 1 September 2009 yang diberikan kepada PT EQUALITY Indonesia sebagai Lembaga

Penelitian (Syahindra et al., 2020) pada masa pandemic kemandirian anak ditanamkan melalui pemberian tugas dari guru. Konsep pembelajaran anak usia dini adalah belajar yang