NAMA : WIWIT TRI RAHAYU
NIM : 071311233082
TUGAS : REVIEW FILM
“THE COVE” DALAM PANDANGAN GERAKAN SOSIAL
lumba-lumba meskipun kadang hal tersebut menentang pemerintah setempat, sehingga tidak jarang O’Barry terlihat keluar-masuk penjara. Sebagai seorang aktivis, O’Barry berusaha mencari teman untuk bekerja sama. Salah satu misi besarnya adalah mempublikasikan pembantaian lumba-lumba yang ada di Taiji, Jepang yang kemudian diangkat sebagai film dokumenter dengan judul “The Cove”. O’Barry melihat bahwa pembantaian yang ada di Taiji merupakan kegiatan yang terstruktur dan melibatkan peran pemerintah Jepang. Namun, tidak banyak orang Jepang yang mengetahui kegiatan ini. Padahal, setiap tahun terhitung sekitar 23.000 lumba-lumba dibantai di Taiji. Lumba-lumba mati akan dijual dengan harga $600, sedangkan yang hidup dihargai hingga $150.000. O’Barry kemudian memulai misinya dengan membentuk tim Ocean’s Eleven dengan anggota Louie Psihoyos mantan fotografer National Geographic dan beberapa orang lainnya seperti manajer dari grup musik rock yang berperan dalam penyelundupan alat-alat yang diperlukan. Tim kemudian menemukan Taiji sebagai sebuah teluk kecil yang sengaja diisolasikan dari publik. Tim bahkan dihalang-halangi untuk masuk ke lokasi dengan cara intimidasi hingga bentakan. Tim juga menemukan beberapa polisi lokal yang berjada di area tersebut yang mengindikasikan adanya peran pemerintah lokal. Tim berhasil menyaksikan bagaimana proses penangkapan lumba-lumba dengan menggunakan manipulasi suara hingga pembantaian yang dilakukan di teluk hingga kemudian dijual ke swalayan-swalayan untuk dikonsumsi. Padahal, berdasarkan rantai makanan, lumba-lumba memiliki kandungan merkuri yang cukup banyak dan akan membahayakan jika dikonsumsi oleh manusia. Hal ini akan memicu terjadinya fenomena serupa dengan apa yang terjadi di Teluk Minamata.
yang ingin diselesaikan, yaitu pembantaian lumba-lumba di Taiji. Tahap keempat merupakan precipitating factors atau lebih mudah diartikan dengan keadaan ditemukannya permasalahan inti untuk diselesaikan bersama. Tahap ini memicu gerakan sosial untuk segera melangsungkan misinya, dalam hal ini adalah menguak kegiatan di Teluk Taiji. Tahap selanjutnya adalah keadaan dimana tim tersebut siap untuk melakukan perintah yang diberikan oleh ketua tim, yaitu O’Barry. Tahap yang terakhir adalah operation of social control, yaitu tentang bagaimana Ocean’s Eleven merusaha melakukan misinya meskipun harus menentang pemerintahan setempat dan oknum-oknum yang terlibat.
ketika makhluk hidup mengalami transisi dalam kehidupannya. Permasalahan yang dialami oleh lumba-lumba berada pada tiga dimensi terakhir, yaitu ekosistem, makrosistem, dan kronosistem. Pada dimensi mesosistem dan ekosistem, lumba-lumba menunjukkan ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya yang lebih sempit untuk bergerak dan lebih “berisik”. Hal ini berdampak pada kronosistem berupa depresi akibat perubahan dalam kehidupannya (Santrock, 2002). Selain itu, Roger Barker menambahkan bahwa makhluk hidup akan berusaha menyesuaikan perilaku hidupnya terhadap lingkungan. Kedua hal tersebut memiliki hubungan saling menyesuaikan, atau disebut dengan interdependendi ekologi. Namun lingkungan dapat dirancang sedemikian rupa untuk memicu perubahan sesuai yang diinginkan. Setting lingkungani inilah yang dilakukan oleh para penangkap lumba-lumba seperti di Taiji dan juga di tempat pertunjukan. Menurut perspektif ekologi, tindakan yang dilakukan O’Barry merupakan usaha untuk memulihkan ekosistem yang ada agar keadaannya tetap stabil. Karena bagaimanapun juga ketidakstabilan ekosistem akan berakibat tidak hanya pada kepunahan lumba-lumba namun juga aspek buruk lainnya bagi manusia.
atau bahkan laki-laki dalam hubungan yang lebih seimbang (Baker, 2004). Dalam penyelesaian misinya di Taiji, terlihat bahwa O’Barry membawa perspektif ekofeminisme dengan mengajak seorang perempuan untuk meyaksikan kekejaman yang dilakukan di teluk tersebut. Dan dapat dilihat bahwa pada akhirnya perempuan tersebut seolah sangat mengerti kesakitan yang dirasakan oleh lumba-lumba ketika mereka dikurung dan mencoba untuk melarikan diri hingga berdarah akibat jaring yang menahannya. Kedekatan hubungan tersebut ditunjukkan dengan perilaku wanita tersebut yang seketika menangis.
Perspektif yang terakhir adalah radical environmentalism, yaitu usaha untuk melindungi alam yang dilakukan secara langsung. Perspektif ini cenderung pesimis atas peran negara terhadap lingkungan sehingga lebih independen. Sehingga dalam menjalankan misisnya, kelompok dengan perspektif ini akan lebih memilih untuk melakukannya langsung dengan tanpa keterkaitan pemerintah. Perspektif radical environmentalism memiliki perspektif tandingan yaitu shallow environmentalism yang beranggapan bahwa negara tetap menjadi aktor utama, termasuk dalam permasalahan lingkungan (Steans, 2005). Dalam hal ini jelas bahwa O’Barry membawa perspektif radical environmentalism. Dalam film tersebut terlihat O’Barry selalu melakukan misinya secara independen tanpa campur tangan pemerintah, bahkan tidak jarang menentang pemerintah setempat. Salah satu bukti dapat dilihat ketika O’Barry menyelamatkan lumba-lumba dengan cara merobek jaring yang menangkap mereka hingga kemudian O’Barry harus dipenjara. O’Barry juga menunjukkan sikap pesimis terhadap pemerintahan dan menganggap bahwa kegiatan penangkapan lumba-lumba sedikit banyak telah melibatkan pemerintahan, setidaknya dalam skala lokal. Keadaan inilah yang membuatnya berfikir bahwa tidak mungkin untuk meminta bantuan dari pemerintah.
dengan melakukan eksploitasi berlebihan untuk kebutuhan ekonomi, seperti konsumsi. Padahal lumba-lumba jelas bukanlah hewan dengan kandungan yang baik bagi kesehatan, lumba-lumba mengandung merkuri dalam skala besar. Perspektif ketiga adalah ekofeminisme yang melihat bahwa perempuan memiliki kedekatan emosional dengan lingkunga, sehingga O’Barry mendatangkan perempuan untuk menyaksikan langsung kejadian di Taiji, Jepang. Dan yang terakhir adalah perspektif radical environmentalism yang skeptis terhadap peran pemerintah dalam menyelesaikan kerusakan lingkungan. O’Barry menggunakan perspektif ini dalam setiap misinya.
Penulis berpendapat bahwa perspektif yang lebih ditonjolkan dalam film dokumenter tersebut adalah perspektif radical environmentalism. Hal ini dilakukan dengan menunjukkan bagaimana O’Barry selama 35 tahun melalui hidupnya keluar-masuk penjara akibat menentang pemerintah yang secara tidak langsung melegalkan perburuan lumba-lumba. Di Taiji, O’Barry juga memperlihatkan bagaimana pemerintah dan pihak terkait membuat setting agar masyarakat bahkan tidak tahu-menahu mengenai praktik pembantaian lumba-lumba yang ada di Taiji. Masyarakat bahkan tidak mengetahui bahwa daging lumba-lumba diperjual-belikan di swalayan-swalayan. Hal semacam ini tidak mungkin dapat dilakukan tanpa peran pemerintah jika dilihat dari besarnya skala pembunuhan yang dilakukan di Taiji. Peran polisi yang turut melindungi wilayah tersebut semakin memperkuat pandangan skeptis O’Barry terhadap pemerintah. Publikasi dari film dokumenter tersebut secara tidak langsung berusaha untuk menghentikan perburuan lumba-lumba yang ada melalui peningkatan kesadaran masyarakat. Tingginya kesadaran masyarakat akan hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap permintaan lumba-lumba. Selanjutnya dengan menggunakan ilmu dalam ekonomi, ketika permintaan menurun maka harga akan cenderung menurun. Jika permintaan terus menurun hingga titik nol, maka perburuan lumba-lumba akan menjadi sia-sia dan cenderung akan dihentikan.
Referensi :
Baker, S. 2004. The challenge of ecofeminism for European politics, dalam J. Barry, B. Baxter dan R. Dunphy (eds) Europe, Globalization and Sustainable Development, London: Routledge, 14-30.