• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATA KELOLA MIGAS INDONESIA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TATA KELOLA MIGAS INDONESIA (1)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TATA KELOLA MIGAS

INDONESIA

Disusun oleh:

T. Rija Extrada

NIM: 14.420.4200.868

Teknik Perminyakan

(2)

TATA KELOLA MIGAS DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN

1.1 TATA KELOLA MIGAS INDONESIA

Dalam Program Legislasi Nasional tercantum RUU Perubahan atas UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Namun hingga masa bakti DPR RI periode 2009 – 2014 telah berakhir, RUU tersebut belum sempat dibahas dan masih berstatus proses harmonisasi di Baleg. Revisi UU Migas mendesak untuk dilakukan pasca putusan MK No 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2013, guna mengakhiri ketidakpastian tata kelola industri migas –khususnya industri hulu, dan menciptakan iklim yang kondusif untuk pencapaian target produksi migas nasional. Sebagaimana diketahui, Putusan MK No 36/PUU-X/2012 menyatakan beberapa materi muatan pasal UU Migas bertentangan dengan konstitusi sehingga Tidak mengikat.

Putusan MK mengamanatkan perubahan yang cukup radikal dalam tata kelola industri hulu migas nasional. Ada dua hal penting yang patut kita catat. Pertama adalah redefinisi konsep penguasaan negara atas mineral minyak dan gas bumi dan yang kedua adalah pola hubungan antara negara dengan kontraktor pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.

2.1.1 Redefinisi Konsep Penguasaan Negara

Terkait redefinisi mengenai konsep penguasaan negara atas mineral, minyak dan gas bumi, putusan MK ini tidak lain merupakan kelanjutan dari pergulatan bangsa Indonesia mendefinisikan ulang dan mengaktualisasikan filosofi yang dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar

-besar kemakmuran rakyat”. Konsep penguasaan oleh negara ini mengalami dinamika di dalam penerapannya.

Terkait penguasaan atas mineral minyak dan gas bumi, kita kenal ada tiga konsep penguasaan, yaitu:

 Kuasa mineral (mineral right), penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah suatu negara sebagai bagian integral dari kedaulatan wilayah;

 Kuasa pertambangan (mining right), wewenang dalam pengaturan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan pertambangan;

 Kuasa usaha pertambangan (economic right), wewenang untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan kegiatan pertambangan.

(3)

1.1.2 Sejarah Kegiatan Pengusahaan Migas

Periode pertama adalah masa kolonialisme, kegiatan pengusahaan migas dimulai pada tahun 1883 saat ditemukannya cadangan minyak di Telaga Said. Mengingat Indonesia pada waktu itu masih di bawah penjajahan Belanda, maka legalitas pengusahaan migas pun dilakukan dengan penguasa jajahan pada waktu itu. Perusahaan minyak internasional yang melakukan kegiatan ekplorasi dan eksploitasi migas memiliki kontrak kerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk perjanjian konsesi. Di bawah perjanjian konsesi ini, praktis semua konsep penguasaan tersebut di atas, yaitu mineral right, mining right dan economic right berada di tangan perusahaan minyak asing pemegang konsesi, sementara pemerintah Hindia Belanda hanya mendapatkan royalty. Konsensi terus berlangsung hingga Indonesia merdeka.

Periode kedua yang ditandai dengan munculnya mosi Moh. Hassan pada 2 Agustus 1951 serta diundangkannya UU No 44/Prp/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. UU tersebut meneguhkan kembali prinsip-prinsip dalam pengusahaan migas sebagaimana telah digariskan oleh para pendiri negara kita di dalam konstitusi.

Pasal 2 UU No 44/Prp/1960 menyebutkan “Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang

yang dikuasai oleh negara”. Ketentuan pasal ini menegaskan bahwa mineral right berada di tangan negara, sesuai amanat konstitusi. Selanjutnya Pasal 6 (1) menyebutkan “Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perusahaan negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa

pertambangan”.Ketentuan pasal tersebut dapat dimaknai mining right berada di tangan perusahaan negara, sedangkan economic right diberikan kepada kontraktor dari perusahaan negara.

Praktiknya tidak mudah untuk mengganti sistem kontrak konsesi yang berlaku, karena kuatnya posisi tawar perusahaan-perusahaan minyak asing pada saat itu, baru pada tahun 1963 sistem kontrak konsesi dapat diganti dengan diberlakukannya Kontrak Karya dengan PT Caltex Pacific Indonesia, PT Shell Indonesia dan PT Stanvac Indonesia. Dalam konsep Kontrak Karya ini kontraktor tetap berwenang penuh atas kegiatan operasi migas, tidak ada unsur pengawasan dan pengendalian oleh negara. Posisi negara hanya menerima pembagian keuntungan dari hasil penjualan minyak saja. Melalui Kontrak Karya inipun bangsa Indonesia baru berhasil mendapatkan mineral right saja, sedangkan mining right dan economic rightmasih dikuasai oleh kontraktor asing.

(4)

kepada perusahaan negara dan kontraktor dari perusahaan negara.

Periode keempat ditandai dengan diundangkannya UU No 22 Tahun 2001, dimana ketentuan Pasal 4 menyatakan:

1. Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara

2. Penguasaan oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan

3. Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23”

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 23 menyatakan “Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiata n Usaha Hulu di bidang Minyak

dan Gas Bumi”. Melalui undang-undang ini terjadi pergeseran pemegang mining right dari sebelumnya perusahaan negara kepada pemerintah, dan economic right diberikan kepada SKK Migas dan kontraktor dari SKK Migas.

MK melengkapi upaya penafsiran atas konsep penguasaan migas oleh negara melalui Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012. Dalam pertimbangan hukumnya, MK

menyatakan “Penguasaan negara harus dimaknai, rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar -besarnya

kemakmuran rakyat…. Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk melakukan kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. Badan Usaha Milik Negara itulah yang akan melakukan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha

Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap”.[iii] Pertimbangan hukum tersebut mengandung makna bahwa mining right dan economic right sepenuhnya dipegang oleh pemerintah.

Putusan Mahkamah Konstitusi juga mengamanatkan dua perubahan. Pertama mengenai siapa wakil negera dalam melakukan pengaturan dan pengawasan, serta pengendalian dan pengelolaan kegiatan industri hulu migas. Kedua bagaimana pola penunjukan pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, atau yang sering disebut granting instrument.

Mengenai perubahan yang pertama, seperti disebut di atas MK menghendaki agar tindakan pengaturan dan pengawasan serta pengendalian dan pengelolaan kegiatan industri hulu migas, dilakukan langsung oleh pemerintah (eksekutif). Hal ini berarti UU Migas yang baru nantinya harus mengukuhkan kedudukan SKK Migas sekarang ini sebagai bagian dari Pemerintah (eksekutif). Selain itu, tugas dan wewenang SKK Migas harus diperluas tidak hanya meliputi tindakan pengaturan dan pengawasan (mining right) tetapi juga tindakan pengendalian dan pengelolaan (economic right).

(5)

1.1.3 Hubungan Kerja Karyawan SKK Migas

Salah satu aspek penting untuk diperhatikan dari dikukuhkannya SKK Migas sebagai bagian dari pemerintah (eksekutif) adalah mengenai status hubungan kerja karyawan SKK Migas yang sebelumnya merupakan karyawan BP MIGAS. Sebelum BP MIGAS dibubarkan hubungan kerja antara karyawan dengan BP MIGAS diatur dalam Surat Keputusan No.Kpts.75/BP00000/2003-S0 tertanggal 17 Oktober 2003, yang kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan No. Kpts.51/BP00000/2004-S0 tentang Norma dan Syarat Kerja (NSK) Pekerja BP MIGAS,tertanggal 22 Oktober 2004, yang kemudian digantikan dengan Surat Keputusan No.KEP-0062/BP00000/2008/S0 tentang Norma dan Syarat Kerja (NSK) Pekerja BP MIGAS, tertanggal 4 Desember 2008.

Materi dari Norma dan Syarat Kerja (NSK) Pekerja BP MIGAS, pada pokoknya berisi syarat kerja, tata tertib, hak dan kewajiban karyawan & BP MIGAS. Didalam Norma dan Syarat Kerja (NSK) Pekerja BP MIGAS, Bab XV mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, huruf “D”

angka 2, diatur mengenai “PHK karena pembubaran BP MIGAS dan hak-hak karyawan berupa Penghargaan Atas Pengabdian dan yang lainya. Kenyataanya pada saat BP MIGAS dibubarkan hak-hak karyawan sampai saat ini belum dibayarkan.

Kondisi ini telah memicu kekhawatiran dan keprihatinan karyawan, apalagi saat ini santer beredar kabar mengenai rencana pembubaran SKK MIGAS. Kekhawatiran karyawan menjadi sangat beralasan ketika ternyata Kementrian Keuangan cq Ditjen Anggaran selalu menolak persetujuan dana pesangon bagi karyawan dalam proses pengajuan anggaran SKK MIGAS. Tepat jika kemudian karyawan membentuk wadah untuk memperjuangkan haknya melalui pembentukan Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SPSKKMIGAS). Kedepan apabila SKK Migas akan dibubarkan maka hal utama yang harus di selesaikan adalah membayarkan hak karyawan berupa penghargaan atas pengabdian dan hak yang lainya, sehingga apabila nantinya karyawan dipekerjakan kembali dalam wadah/lembaga baru yang ditentukan oleh undang-undang, maka perhitungan masa kerjanya dapat dimulai dari nol tahun.

(6)

Intinya Mahkamah Konstitusi menghendaki agar nantinya penunjukan pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitas migas adalah didasarkan pada hukum publik dengan menggunakan instrument konsesi atau perizinan. Hal ini adalah perubahan yang sangat radikal, karena mengubah pola hubungan yang tadinya berada pada lapangan hukum privat menjadi berada di lapangan hukum publik.

Perubahan tersebut boleh jadi tidak akan terlalu disukai oleh pelaku usaha kegiatan usaha migas karena beberapa hal, yaitu:

 Kedudukan pelaku usaha dan pemerintah tidak lagi setara sebagai pihak dalam perjanjian, tetapi menjadi atas – bawah antara pemberi izin dan penerima izin.

 Dalam kedudukannya selaku pemberi izin pemerintah dapat melakukan intervensi lebih luas dalam kegiatan operasi.

 Pelaku usaha tidak lagi dapat membukukan economic interest dari cadangan mingas yang ada dan biaya operasi.

Investor selaku pelaku usaha kegiatan hulu migas tentunya mengharapkan adanya kebebasan dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya dan dapat membukukan economic interest, selain tentu saja mendapat keuntungan dari usaha yang dilakukannya. Oleh karena itu tata kelola industri yang hendak dikembangkan tentunya harus memperhatikan kepentingan semua pihak secara berimbang. Artinya kepentingan pelaku usaha atau investor juga harus diperhatikan. Hal ini tidak lain agar dengan tata kelola yang barus diharapkan tingkat produksi migas akan meningkat,bukannya menurun.

Beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan diatur secara jelas dalam granting instrument yang akan digunakan, yaitu:

 Siapa yang menyusun rencana pengembangan lapangan minyak serta rencana kerja dan anggaran. Selama ini rencana tersebut disusun oleh kontraktor untuk kemudian disetujui oleh SKK Migas. Apakah nantinya SKK Migas yang menyusun dan kontraktor tinggal melaksanakan? Apakah SKK Migas cukup memiliki sumber daya untuk itu?

 Bagaimana pembagian risiko dan tanggung jawab antara kontraktor dan SKK Migas, dalam hal rencana pengembangan lapangan minyak serta rencana kerja dan anggaran disusun SKK Migas, namun setelah dilaksanakan ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan? Kondisi sekarang ini bawah konsep Kontrak Bagi Hasil, rencana disusun oleh kontraktor untuk kemudian disetujui SKK Migas, dan risiko ada di tangan kontraktor. Apakah nantinya SKK Migas yang akan membuat rencana? Apakah kontraktor mau untuk menanggung risiko, atau Negara bersedia untuk berbagai risiko?

 Atas biaya siapa kegiatan operasi akan dilaksanakan? Kondisi saat ini sesuai dengan konsep Kontrak Bagi Hasil kontraktor harus harus menyediakan dana terlebih dahulu kemudian akan diganti dari minyak terproduksi. Apakah nantinya SKK Migas yang akan menyediakan biaya? apakah pemerintah dapat menyisihkan dari anggaran Negara?

(7)

 Bagaimana mekanisme kompensasi yang diberikan kepada kontraktor? Mekanisme yang berlaku saat ini adalah kontraktor menerima bagi hasil produksi setelah dikurangi biaya-biaya. Jika nantinya granting instrument yang digunakan adalah perizinan atau konsesi apakah kompensasi yang diterima kontraktor akan berbentuk pembagian keuntungan atau fee saja? Apapun skema kompensasi yang disediakan harus lah kompetitif agar bisa menarik investor untuk melakukan usaha di sektor hulu migas.

 Bagaimana mekanisme perpajakan yang akan diterapkan? Saat ini kontraktor bisa memilih untuk menggunakan regime pajak yang berlaku saat transaksi atau saat kontrak ditandatangani. Apakah nanti pilihan tersebut dihilangkan dan kontraktor harus tunduk pada regime pajak yang berlaku? Perlu dicatat agar hendaknya disusun mekanisme perpajakan yang bisa menjadi insentif bagi para investor agar tertarik untuk melakukan usaha di sektor hulu migas.

 Siapa yang harus menyediakan peralatan dan fasilitas yang diperlukan dalam kegiatan operasi? Saat ini sesuai dengan prinsip Kontrak Bagi Hasil, kontraktor membeli perlatan yang diperlukan dan biayanya dimasukan sebagai biaya operasi, kemudian peralatan tersebut menjadi milik Negara. Nantinya apakah kontraktor yang harus membawa peralatan dan fasilitasnya sendiri? Investasi kontraktor ini tentu harus diperhitungkan.

 Bagaimana izin-izin yang diperlukan dalam kegiatan operasi akan diberikan? Selama ini izin-izin, seperti izin lokasi, izin pinjam pakai kawasan hutan, dan izin lingkungan harus diurus sendiri oleh kontraktor dan sering menjadi kendala dalam kegiatan operasi. Apakah nantinya izin-izin ini dapat diberikan sekaligus dan menyatu dengan konsesi yang akan diberikan kepada kontraktor?

 Bagaimana mengokomodasi aspirasi dari daerah penghasil untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan hulu migas? Berdasarkan ketentuan UU Migas saat ini daerah penghasil dapat memiliki partisipasi sebagai pengelola suatu blok migas. Apakah nantinya daerah juga dapat memiliki interest dalam perusahaan kontraktor yang mendapatkan konsesi dari Negara?

 Bagaimana mekanisme penyelesaian jika muncul sengketa antara kontraktor dan SKK Migas? Saat ini mekanisme penyeelsaian sengketa yang dipakai adalah melalui arbitrase. Nantinya, mengingat kedudukan kontraktor dan SKK Migas bukanlah sebagai para pihak dalam kontrak, apakah bisa menggunakan mekanisme arbitrase? Jika mekanisme yang digunakan adalah melalui lembaga peradilan, apakah akan ada resistensi dari kontraktor?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas harus dijawab dan diatur dengan pasti dalam suatu kebijakan baik dalam bentuk peraturan maupun konsesi yang diberikan. Kebijakan tersebut harus disusun sedemikian rupa sehingga secara komersil masih cukup menarik bagi investor dan mengatasi potensi sentiment negative dari munculnya tata kelola yang baru ini. Bagaimana pun juga tata kelola dan pola hubungan antara negara dan kontraktor pada akhirnya adalah berpulang pada keputusan politik pemerintah, dan yang tetap menjadi perhatian investor adalah faktor keekonomian skema yang ditawarkan.

1.2 Sejarah Production Sharing Contract

(8)

Pada tahun itu diterapkan kontrak bagi hasil (production sharing) yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi P.N. Permina dan P.N. Pertamin. Perusahaan asing hanya bisa bergerak sebagai kontraktor dengan hasil produksi minyak dibagikan bukan lagi membayar royalty.

Penemuan lapangan-lapangan minyak semakin sulit dan gas di Indonesia ini membuat pengelolaan migas dengan PSC (Production Sharing Contract) ini harus selalu dikembangkan.

Sistem bagi hasil ini sebenarnya sudah dikenalkan pada tahun 1951, namun sistem PSC modern memang dimulai pada tahun 1966 setelah 2 tahun negosiasi antara PERMINA dengan IIAPCO untuk WK ONWJ. Disebut sebagai PSC modern karena pokok-pokok kontrak tersebut hingga saat ini masih dipakai.

Sedangkan kalau dilihat perkembangann PSC dengan digabungkan UU-nya maka:

PSC Generasi pertama (1960 – 1976):

 Produksi minyakd an gas bumi setiap tahun dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

o 40% pertama disebut sebagai cost oil yang dialokasikan untuk pengembalian biaya eksplorasi dan eksploitasi. (Ceiling Cost Recovery)

o 60% sisanya disebut sebagai profit oil atau equity oilyang dibagi:

 65% untuk PERMINA dan 35% untuk Kontraktor untuk produksi 75 ribu BOPD

 67.5% % Pertamina, 32 % % Kontraktor untuk produksi antara 75.000 sid 200.000 per hari:

 70 % Pertamina, 30 % Kontraktor untuk produksi di atas 200.000 barrel per hari.

 Jangka Waktu eksplorasi selama 6 Tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali (masing-masing 2 tahun)

 Pajak Sebesar 56% dan tidak dibedakan antara pajak coorporate dan dividen.

 Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 49% dari pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor.

 DMO sebesar 25% dari milik kontraktor dengan pembayaran sebesar US$0.2/bbl.

PSC Generasi kedua (1976 – 1988):

Dalam usahanya pemerintah meningkatkan keuntungan, pemerintah berusaha untuk mengganti model yang sebelumnya memberikan dua level bagi hasil dihapuskan dan menjadi satu bagi hasil sebesar 85:15 (70:30 untuk gas) bagi Pertamina. Perkecualian untuk Rokan PSC di mana bagi hasilnya 88:12 untuk Pertamina.

Penerimaan Negara dibagi dalam dua kelompok yaitu:

 Penerimaan Negara berupa Pajak Perseroan dan Dividen termaksud dalam peraturan perpajakan yang berlaku pada saat penandatanganan perjanjian

 Penerimaan Negara diluar pajak-pajak tersebut dalam butir 1 di atas, termasuk bagian produksi yang diserahkan kepada Negara sebagai pemilik kuasa atas sumber daya minyak dan gas bumi, kewajiban kontraktor menyerahkan sebagian dari produksi yang diterimanya untuk kebutuhan dalam negeri, bea masuk, iura pembanguna daerah (PBB), bonus, dan lain-lain.

(9)

 Limit cost recovery yang sebelumnya 40% dihapuskan, sehingga Kontraktor dapat mendapatkan kembali maksimum 100% dari revenue untuk penggantian biaya dan didasarkan pada Generally Accepted Acounting principle (GAAP).

 Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian dibagi antara Pertamina dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak) 31.82% : 68.18% (gas). Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak adalah : 85% : 15% (minyak) dan 70% : 30% (gas).

 Pajak turun dari 56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian (share) diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85% (minyak) dan 42.31% : 57.69% (gas).

 Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi. dan diberikan DMO Holiday selama 5 tahun.

 DMO sebesar 25% dari milik kontraktor dengan pembayaran sebesar US$0.2/bbl.

 Jangka Waktu Eksplorasi selama 6 Tahun, dan tidak dapat diperpanjang (dalam beberapa kontrak dapat diperpanjang satu kali selama 2 tahun).

 Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 49% dari pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor

PSC Generasi ketiga (1988 – 1993):

Pada tahun 1988 dan 1989, fiscal term yang telah direvisi tersebut diperkenalkan sebagai model PSC baru. Perubahan penting dalam model PSC tersebut adalah diberlakukannya FTP, kenaikan besaran DMO fee, dan perbaikan terms untuk proyek-proyek marginal, frontier, deepwater dan reservoir pre-tersier . Pada tahun 1988 Pertamina memperkenalkan beberapa terms and condition yang berbeda untuk kontrak area baru dan perpanjangan. Kontrak area baru dibagi menjadi 2 kategori yaitu konvensional dan frontier. Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 25% dari pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor.

PSC Generasi keempat (1994 – 2001):

 Titik acuan PP Nomor 35 Tahun 1994

 Dana ASR

 Besaran pajak berubah dari 48% menjadi 44% yang terdiri dari 30% dan pajak dividen sebesar 14%.

 Standar investment credit untuk keperluan cost recovery turun dari 17% menjadi 15.78%.

 Skema bagi hasil sebelum pajak juga berubah menjadi 73.22%:26.78%.

 DMO sebesar 25% dari milik kontraktor (15% dari harga export setelah 5 tahun pertama produksi)

 Jangka Waktu Esplorasi selama 6 tahun dan hanya dapat diperpanjang 1 kali selama 4 tahun

 Komersialitas tidak diberi batasan minimum pendapatan pemerintah.

 Sebelum melakukan kegiatannya Kontraktor diwajibakan melakukanenvironmental base line study.

(10)

adalah: Sebelum generasi keempat komitmen dalam bab IV PSC berupa komitmen finansial maka dalam PSC generasi ini komitmen berubah menjadi komitmen Finansial dan Kegiatan. Namun pelaksanaannya masih dihitung secara finansial. Sebelum generasi keempat komitmen dalam bab IV PSC berupa komitmen finansial tanpa ada pembagian jenis komitmen maka dalam PSC generasi ini berubah menjadi untuk 3(tiga) tahun atau 2 (dua) tahun pertama disebut sebagai komitmen pasti. Apabila gagal memenuhi komitmen pasti dan kontraktor mengembalikan wilayah kerja tersebut maka kontraktor wajib membayar kekurangan pelaksanaan komitmen pasti tersebut.

Perubahan kedua : Pada tahun 1998, besaran harga DMO berubah dari 15% menjadi 25% harga ekspor

Perubahan ketiga : Pada tahun 1999, mulai diperkenalkan istilah performance deficiency notice.

PSC Generasi kelima: 2001-2007:

Perubahan dari finansial komitmen menjadi work program Komitmen.

PSC Generasi Keenam: 2008-skrg:

POD Basis, dana ASR dalam escrow account, LCCA, Subsequent Petroleum Discovery, persyaratan perpanjangan jangka waktu eksplorasi dipertegas, penurunan pajak penghasilan mengikuti UU No.36 Tahun 2008

Perubahan pertama-2009 : untuk WK GMB diperkenalkan Handling production sebelum POD

Perubahan Pengelolaan Migas Pasca Reformasi

Setelah Reformasi politik terjadi di Indonesia tahun 1998, perubahan pengelolaan migas berubah menjadi sangat berbeda.

(11)

Yang paling utama dalam pembaharuan pengelolaan migas ini adalah pengalihan pengelolaan migas dalam Kuasa Pertambangan dari Perusahaan Negara PERTAMINA kepada pemerintah.

Salah satu hal utama sebagai konsekuensi pengesahan UU 22/2001 ini adalah perlu dibentuknya adanya Badan Pelaksana (dibentuk BPMIGAS) dan Badan Pengatur (dibentuk BPHMIGAS) serta perubahan bentuk PERTAMINA menjadi persero. PERTAMINA bukan lagi sebagai perusahaan pengelola dan pemegang kuasa pertambangan. Dalam kegiatan hulu PERTAMINA akan menjadi perusahaan yang diberlakukan seperti perusahaan-perusahaan kontraktor. Dan akhirnya PERTAMINA juga mendandatangani KKKS dengan MIGAS pada tanggal 17 September 2005.

(12)

1.2 PENDAPAT BAPAK FAISAL BASRI MENGENAI TATA KELOLA MIGAS INDONESIA

1.2.1 Beberapa Kutipan Penyataan Faisal Basri Mengenai Mafia Migas Di indonesia

TEMPO.CO , Jakarta - Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, Faisal Basri, menargetkan timnya memberikan rekomendasi yang tepat bagi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memberantas praktek mafia Migas dalam enam bulan ke depan. "Jangan sampai setelah enam bulan bekerja, sektor Migas masih dinikmati kelompok tertentu," kata dia. Menurut Faisal, salah satu target timnya adalah rekomendasi penguatan sektor industri berbasis Migas. Dia mencontohkan, jika pemerintah bisa memproduksi kondensat dan meningkatkan olahan produk petrokimia, maka biaya impor plastik dan bahan kimia organik bisa ditekan. Faisal menambahkan, selama ini mafia Migas bisa beroperasi karena banyak proses tender dan transaksi dalam industri ini yang tidak transparan. Selain itu, mafia Migas, memburu keuntungan dari skema insentif dan celah kebijakan. Oleh karena itu, kata Faisal, memberantas mafia Migas dilakukan dengan cara membangun institusi ekonomi yang kuat. Jika institusi ekonomi di bidang migas inklusif maka kelompok-kelompok yang ingin mengambil keuntungan bisa diminimalisir. Pada Ahad, 16 November 2014, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, mengangkat Faisal Basri sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi. Ada empat ruang lingkup tim ini selama bertugas, yakni mereview seluruh proses perizinan dari hulu ke hilir, menata ulang kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan minyak dan gas, mempercepat revisi undang-undang Migas, dan merevisi proses bisnis untuk mencegah adanya pemburu rente.

(13)

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri tengah menyusun anggota timnya yang akan melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan pada sektor minyak dan gas bumi. Faisal, antara lain, akan melibatkan personel Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). "UKP4 sudah punya aksi pencegahan dan pemberantasan mafia migas. Rencana aksi, penanggung jawab, instansi terkait, kriteria keberhasilan, kami ajak saja masuk ke dalam," kata Faisal ketika ditemui Tempo di Jakarta, Rabu, 19 November 2014. Pegiat antikorupsi, Teten Masduki, rencananya diajak bergabung dalam tim ini. Faisal juga berencana merekrut pengamat minyak dan gas, Pri Agung Rahmanto, perwakilan masyarakat sipil dari Extractive Industries Transparency Initiative, dan akademikus Universitas Gadjah Mada. "Ada yang berfungsi sebagai board, kemudian ada kelompok-kelompok kerjanya, hulu, hilir, dan lain-lain," kata Faisal. Tim Reformasi Tata Kelola Migas ditugasi untuk meninjau seluruh proses perizinan di sektor migas, dari hulu ke hilir. Selain itu, menyusun rekomendasi penataan ulang kelembagaan yang mengelola sektor migas, mempercepat revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, dan merevisi proses bisnis untuk menutup ruang gerak pemburu rente. Tim ini akan bekerja selama enam bulan setelah mendapat penugasan sejak November 2014.

(14)

1.2.2 Pro Kontra Tim Reformasi Tata Kelola Migas

Kotra tentang tim reformasi tata kelola migas

Tersaji dalam seminar yang di adakan di UP 45 Yogyakarta yang dimuat dalam berita berikut ini :

TEMPO.CO, Yogyakarta - Diskusi tentang Tata Kelola Migas Indonesia di Universitas Proklamasi 45 mempertemukan dua kubu yang selama ini saling tuding mengenai isu mafia di tubuh anak usaha Pertamina, Petral. Seminar itu dihadiri Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri, Humas Pertamina Ali Mudzakir, dan Head of Finance, Risk, and General Affairs PT Pertamina Energy Trading (Petral) Simson Panjaitan.

Rektor Universitas Proklamasi 45, Dawam Rahardjo, mengatakan sebenarnya seminar itu rencananya dihadiri juga oleh Presiden Direktur PT Petral Bambang Irianto. Bambang sudah datang di Yogyakarta. "Tapi tadi pagi, dia mendadak harus ke Jakarta karena dipanggil pimpinan PT Pertamina," kata Dawam, Selasa, 2 Desember 2014. Cendekiawan sepuh itu menjelaskan seminar tersebut sengaja mempertemukan beragam pihak yang saat ini terlibat langsung dalam pengelolaan sektor migas. Dawam mengaku awalnya gembira ketika ada orang baru seperti Faisal Basri yang menempati posisi di lembaga reformasi tata kelola migas. Dawam menyayangkan ternyata lembaga tersebut hanya bertugas memberikan rekomendasi perbaikan tata kelola sektor migas. "Saya kira itu lembaga superbody, ternyata bukan," kata dia. Faisal membenarkan pernyataan Dawam. Begitu mendapatkan kesempatan berbicara, Faisal langsung tancap gas. "Tugas kami membangun pagar agar kebun migas kita tidak dijarah mafia pemburu rente," kata dia. Faisal menuding pemerintahan SBY sebagai biang kebangkrutan sektor migas nasional. Menurut Faisal, sebelum SBY jadi presiden, sektor migas masih memberikan surplus US$ 300 juta. Di tahun pertama SBY, sektor ini justru defisit hingga sekarang. Faisal menjelaskan sumber utama defisit berasal dari impor minyak yang besar. Indonesia hanya memproduksi 700-an ribu barel per hari, tapi mengkonsumsi 1,4 juta barel per hari. Celah kebutuhan yang dipenuhi oleh impor sebanyak 741 ribu barel per hari. Sayangnya, menurut Faisal, rantai perdagangan impor minyak diganggu jaringan mafia yang berkolaborasi dengan PT Petral. Faisal mengaku menerima banyak laporan dari orang dalam di Pertamina dan Petral. "Ada calonya, mereka dapat fee US$ 80 ribu untuk setiap transaksi pengapalan minyak impor," kata Faisal. Faisal juga mempertanyakan aktivitas bisnis Petral yang berlokasi di Singapura. Faisal mengatakan akibat aktivitas bisnis itu, pajak besar dari perdagangan impor minyak ke Indonesia justru dinikmati Singapura. Fakta ini, menurut dia, ironis karena Indonesia saat ini merupakan pengimpor bensin Premium, Pertamax, dan solar terbesar di dunia. "Buat apa (ada Petral), kalau hanya beri untung sedikit ke negara," ujarnya.

(15)

Begitu Simson naik podium, Faisal berjingkat dari kursinya. Dia beralih duduk di kursi peserta bagian depan agar bisa melihat materi presentasi Simson di layar LCD. Simson beralasan Singapura menjadi lokasi bisnis Petral karena negara ini menjadi basis bisnis banyak perusahaan minyak besar, baik swasta asing maupun milik negara lain. Di sana, Petral bisa mendapatkan kebutuhan layanan bisnis dan jaminan hukum yang lebih memadai. "Kami wajib bayar pajak 5 persen dari omzet, itu nilai terkecil hanya 30-an perusahaan minyak yang dapat hak itu," kata dia.Tudingan Faisal soal fee bagi calo perdagangan minyak impor untuk Petral juga dibantah Simson. Menurut Simson, setiap aktivitas pengapalan minyak hanya bernilai US$ 300 ribu. "Isu itu sulit dibuktikan, tak sesuai dengan business nature," kata dia.

Sebelum meninggalkan lokasi seminar, Faisal kembali membantah pembelaan wakil Petral. Dia mengaku isu fee untuk calo ada buktinya di data keputusan pengadilan di Singapura. Soal tarif pajak di Singapura, "Nilainya 2,5 juta dolar AS per hari," kata Faisal.

Pro dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas

Dari sekian pendapat yang dikemukakan banyak yang mengatakan dukungan tentang reformasi tata kelola migas, masayarakat sangat mendukung karena mafia migas sangat merugikan bangsa Indonesia. Begitupun PT. Pertamina (persero) yang mendukung roformasi ini karena merasa selalu di kambing hitamkan dalam urusan mengenai kelangkaan dan harga dari BBm di Indonesia, berikut penyataan dari PT. Pertamina (persero).

Kabar24.com, YOGYAKARTA - PT Pertamina (Persero) mendukung Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin Faisal Basri untuk segera membuktikan ada atau tidaknya mafia migas di perusahaan itu. "Silakan saja dibuktikan, kalau ada, saya minta segera diproses hukum. Jangan institusinya (yang dilibatkan), tapi oknum-oknumnya," kata Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir di Kampus Universitas Proklamasi

Yogyakarta, Selasa.

Pihaknya menginginkan agar reformasi migas inisiatif pemerintah itu dapat segera terlaksana. Sehingga, berbagai tudingan mengenai keberadaan mafia migas di lingkup Pertamina dapat segera terjawab. "Kami tunggu realisasinya seperti apa nanti. Kami lelah jadi 'kambing hitam' terus," kata dia. Menurut Ali, Pertamina mendukung penuh upaya pemberantasan mafia migas melalui Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dibentuk pemerintah. Sehingga, apapun data atau keperluan lain yang akan diminta oleh tim itu, akan segera difasilitasi. "Jangankan tim bentukan pemerintah, LSM pun selama bisa dipertanggungjawabkan, kami kasih (data)," kata dia. Dalam rangka transparansi perusahaan, ia menegaskan hingga kini Pertamina rutin melaporkan kepada Bank Indonesia (BI) dan Direktorat Jenderal Migas mengenai data impor maupun ekspor minyak. Baik mengenai asal minyak yang diimpor, jenis minyak, maupun nilai impor maupun ekspor. "Bahkan, sebelum Pertamina menjadi perusahaan terbuka, kami sudah melakukan 'best practice' seperti perusahaan terbuka

(menyajikan transparansi bisnis)," katanya.

(16)

sektor energi dari hulu sampai hilir, serta mengkaji ulang keberadaan SKK Migas dan BP Migas.

Polemik mengenai peran, kinerja, proses bisnis, Pertamina Energy Trading Limited (Petral) saat ini menjadi salah satu fokus kajian tim itu. (Antara)

1.3 Hubungan dengan kegiatan Pengeboran

Hubungan tata kelola migas indonesia denagan kegiantan hulu migas adalah pengaturan tentang tenaga kerjanya. 97 % tenaga kerja hulu migas ternyata orang indonesia. (kompas.com)

Industri hulu migas kerap dianggap disominasi oleh pekerja asing karena sebagian perusahaan asing menjadi kontraktor kontrak kerja sama pada proyek hulu migas. Industri hulu migas bekerja berdasarkan kontrak bagi hasil atau PSC. Menurut kontrak ini, pemilik usaha hulu migas adalah negara. Sementara itu perusahaan nasional maupun asing bertindak sebagai kontraktor yang mengoperasikan proyek negara itu. Penggunaan tenaga kerja harus mengutamakan prinsip-prinsip efektifitas dan efisien serta mengutamakan TKI. SKK migas mnggunakan aturan ketat tentang penggunaan TKA oleh kontraktor KKS.

(17)

II. Pembahasan

2.1 Pendapat Mengenai Tata Kelola Migas di Indonesa

Tata kelola migas di indonesia untuk saat ini cukup baik bila melihat tentang model kerja samanya yaitu PSC ( production sharing contract ) karena dari keseluruhan isi tentang kontrak tersebut sangat menguntukkan untuk pihak indonesia tetapi bila kontrak tersebut dikelola dengan baik dan benar oleh semua pihak yang berhubungan dengan kontrak tersebut. PSC kurang lebih berbunyi seperti berikut ini :

perusahaan migas internasional hanya menjadi kontraktor dan berhak mendapat sebagian produksi. Karakteristik PSC meliputi, perusahaan migas ditunjuk oleh pemerintah sebagai kontraktor pada wilayah kerja tertentu. Kontraktor menanggung semua resiko dan biaya eksplorasi, pengembangan dan produksi. Apabila eksplorasi menemukan migas yang komersial kontraktor diberi kesempatan untuk memperoleh pengembalian biaya (cost recovery) dari hasil produksi. Kontraktor juga memperoleh bagian dari produksi setelah dikurangi cost recovery yang disebut profit share atau dikenal juga dengan istilah profit split. Kontraktor selanjutnya diwajibkan bayar pajak penghasilan dan pajak lainnya. Semua peralatan milik negara

Tata kelola migas di indonesia banyak di pengaruhi oleh banyak pihak lain yang tidak berkepentingan, sehingga dapat merongrong keberadaan perusahaan minyak milik negara.

Transparansi semua pihak baik itu kontraktor, pemerintah, dan regulator haruslah lebih di tingkatkan. Karena banyak terjadi praktik mafia migas di indonesia pada posisi tersebut. Transparansi harus dilakukan guna meningkatkan kepercayaan masyarakat indonesia terhadap industri migas di indonesia, karena kepercayaan tentang industri migas di indonesia sangatlah berkurang.

Pertamina sebagai perusahaan migas milik negara haruslah di beri kewenangan lebih mengenai pengelolaan industri migas di indonesia. Di Indonesia keterlibatan pemerintah dalam industri migas baik eksplorasi dan produksi jelas hanya dapat dilakukan oleh PT. Pertamina. Pertamina di indonesia adalah sebagai NOC yang memiliki kewenangan untuk berkontribusi dalam kegiatan migas nasional. Tetapi permasalahanny pertamina sejauh ini kurang berkontribusi terhadap produksi migas nasional beda dengan NOC negara lain. Itu semua dapat dilihat karena migas di indonesia lebih banyak di kelola oleh perusahaan asing.

Pengelolaan lapangan oleh kontraktor asing akan menguntungkan negara bila dilakukan dengan baik, model kontak kerja sama yaitu PSC. Tetapi semua itu pasti tidak dilakukan dengan baik sehingga keuntungan tidak di nikmati oleh negara sendiri, semua hal tersebut terjadi karena banyak praktik mafia migas di dalamnya yang sangat merugikan bagi negara dalam hal ini Pertamina yang selalu di kambing hitamkan oleh masyarakat indonesia sebagian besar.

(18)

hasil dan pajak dari kontraktor tanpa mau melakukan investasi besar-besaran di sektor migas. Di titik inilan bagaimana perusahaan migas milik negara tidak dapat bergerak karena pemerintah tidak mau berinvestasi besar-besaran ke dalam industri migas. Jika pemerintah mau berinvestasi lebih untuk industri migas makan akan terwujud kemakmuran rakyak indonesia menikmati hasil alamnya sendiri.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

http://www.tempo.co/read/news/2014/11/18/090622650/Basmi-Mafia-Migas-Target-Faisal-Basri-Enam-Bulan

http://www.tempo.co/read/news/2014/11/17/090622530/Cara-Faisal-Basri-Berantas-Mafia-Migas

http://www.tempo.co/read/news/2014/11/20/090623180/Bersih-bersih-Sektor-Migas-Faisal-Ajak-Teten

http://www.tempo.co/read/news/2014/12/02/092625916/p-Isi-Seminar-Faisal-Basri-dan-Petral-Bersahutan-Soal-Mafia-Migas

http://rovicky.wordpress.com/2012/11/16/perkembangan-tata-kelola-migas-di-indonesia-1900-2012/

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Penggunaan metode vertical drain pola segitiga single drain lebih

1. Begitupun nilai Investasi IKM yang mengalami peningkatan dimana pada tahun 2014 Rp. Perkembangan Industri Besar juga mengalami kenaikan, dari tahun 2014 sebanyak 127

untuk dalam menciptakan pem- belajaran yang bermutu. Jika kondisi seperti yang digambarkan di atas dibiarkan terus menerus, maka akan ditemukan hambatan yang lebih

Data primer diperoleh dari hasil pemeriksaan timbal (Pb) mainan edukatif balita dan kuesioner pengetahuan orang tua dan guru tentang timbal (Pb) pada mainan

Pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil triwulanan (c-to-c) selama periode bulan Januari sampai September tahun 2015 yang juga merupakan

Jika aktivitas jenis ini yang diberikan, biasanya mahasiswa “bekerja” purna waktu (masuk setiap hari kerja) di institusi tersebut dan terlibat dalam kegiatan keseharian

Dari sepuluh sampel perusahaan diatas terdapat 4 perusahaan yang masuk dala m kategor i tidak bangkrut a tau kondisi keuangannya dalam keadaan sehat berarti bangkrut secara

(1) Subbidang Standar Advokasi dan Evaluasi mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan, penyusunan standar kriteria, bimbingan teknis, pelaksanakan dan