• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan surat kuasa DI PERADILAN TA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Permasalahan surat kuasa DI PERADILAN TA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERMASALAHAN SURAT KUASA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA Oleh : H. UJANG ABDULLAH, SH. M.Si1

A. PENDAHULUAN

Pemeriksaan dalam proses sengketa Tata Usaha Negara bersifat Contradictoir

dengan unsur-unsur yang bersifat Inquisitoir, artinya para pihak diberi kesempatan yang

sama untuk mempertahankan dalilnya dan menyanggah dalil lawannya, disamping itu

hakim juga diberi wewenang untuk malakukan penilaian sendiri tentang fakta-fakta

yang diarahkan untuk pengujian kebenaran keputusan Tata Usaha Negara yang di

sengketakan (Hakim bersifat aktif / dominus litis).

Dengan azaz hakim bersifat aktif, maka dalam memeriksa, memutus dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara harus diarahkan pada prinsip peradilan

yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat (4)

UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasan kehakiman.

Untuk melaksanakan prinsip tersebut maka sebelum melakukan pemeriksaan

sengketa Tata Usaha Negara, hal yang pertama dan utama harus diperhatikan Hakim

atau Majelis hakim adalah keabsahan para pihak yang bersengketa, karena sangatlah

tidak dapat dibenarkan apabila pemeriksaan telah hampir selesai ternyata harus di putus

Niet On Vankelijk (tidak dapat diterima) hanya disebabkan ada para pihak yang

bersengketa ternyata tidak syah.

Undang-Undang No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman tidak

mengatur secara tegas tentang kuasa, akan tetapi menurut Verplichte Procureur Steling

185 R.0 Bab VI advocate, pasal 123 HIR dan 147 RBg, menyatakan pada prinsipnya

para pihak yang berperkara/bersengketa adalah pihak-pihak itu sendiri (langsung) akan

tetapi dapat juga pihak-pihak tersebut menguasakan kepada orang lain dengan surat

kuasa khusus (special authorization), hal tersebut telah diatur pula dalam ketentuan

pasal 57 Undang-undang No.5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah beberapa kali dan

terahir dengan Undang-undang No.51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Sekarang ini setelah 20 tahun beroperasinya peradilan Tata Usaha Negara,

penerima kuasa dalam prakteknya tidak hanya advocate dan proceur, pembela umum

(Public defender) dan penasehat hukum praktek (practical lawyer) tetapi diberikan juga

kepada kepala/staf Biro Hukum, pegawai/karyawan, pimpinan pengurus serikat pekerja,

seorang yang ada hubungan keluarga, Jaksa Pengacara Negara dan lain-lain sehingga

tidak jarang dalam prakteknya menimbulkan persoalan hukum tersendiri, apalagi

dengan lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang advokat yang menyatakan

(2)

yang telah diangkat menurut ketentuan Undang Undang tersebut (Psl. 1 ayat (1)) dan

terakhir timbulnya persoalan beberapa organisasi advokat yang sama-sama merasa

organisasi yang syah sebagaimana dimaksud Undang-undang advokat yaitu PERADI,

KAI dan PERADIN.

Oleh karena itu tepat kiranya dalam kesempatan ini, Penulis membahas masalah

surat kuasa di Peradilan Tata Usaha Negara guna mendapatkan pemecahan masalah

secara seragam terhadap persoalan hukum yang timbul dalam praktek.

B. PERMASALAHAN

Beberapa persoalan mengenai surat kuasa Yang perlu dikaji secara mendalam

khususnya yang sangat berguna dalam praktek di peradilan Tata Usaha Negara antara

lain adalah:

1 . Apakah pemberian kuasa kepada Kepala / staf Biro Hukum, pegawai/karyawan,

pimpinan/pengurus serikat pekerja, seseorang karena ada hubungan darah, Jaksa

Pengacara Negara tersebut langsung dapat diterima hanya dengan surat kuasa

khusus dari pemberi kuasa atau harus disertai izin kuasa insidentil dari ketua

Pengadilan Tata Usaha Negara ?

2. Persyaratan apa yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat diterima sebagai

penerima kuasa lnsendentil ?

3. Apakah jaksa sebagai pengacara dalam mewakili Badan/Pejabat Tata Usaha Negara

hanya dapat mewakili untuk objek sengketa yang terbatas pada kewibawaan dan

penyelamatan aset negara?

4. Bagaimana kedudukan penerima kuasa selain advokat setelah berlakunya Undang

Undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat?

5. Bagaimana kedudukan seseorang yang telah lulus ujian advokat tetapi belum

bersumpah dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi ?

6. Bagaimana sikap Peradilan TataUsaha Negara dengan adanya perselisihan

organisasi advokat antara PERADI dengan KAI dan organisasi advokat lain ?

C. PEMBAHASAN

1. Surat Kuasa yang dapat di terima

Pasal 57 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah beberapa kali

terahir dengan Undang-undang No.51 tahun 2009 tentang peradilan Tata Usaha

Negara menyatakan :

a). Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili

(3)

b). Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat

dilakukan secara lisan di persidangan.

c). Surat kuasa yang dibuat di luar negeri harus memenuhi persyaratan di negara

yang bersangkutan dan diketahui perwakilan RI di negara tersebut, serta

kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.

Selanjutnya dalam SEMA No.2 1991 Tentang Petunjuk pelaksanaan

beberapa ketentuan dalam Undang-undang no.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara angka V 9,a, b, c disebutkan :

a. Dalam hal suatu pihak didampingi oleh kuasa, maka bentuk surat kuasa harus

memenuhi persyaratan formal dari surat kuasa khusus dengan materai secukupnya

dan surat kuasa khusus yang diberi cap jempol haruslah dikuatkan (warmerking) oleh pejabat yang berwenang.

b. Surat kuasa khusus bagi pengacara/advokat tidak perlu dilegalisir.

c. Dalam pemberian kuasa dibolehkan adanya substitusi tetapi di mungkinkan adanya

kuasa insindentil.

Kemudian didalam SEMA RI No.6 1994 tentang kuasa khusus disebutkan,

bahwa surat kuasa khusus harus mencantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa khusus

tersebut hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, seperti :

a. Perkara nomor berapa dengan pihak-pihak yang lengkap dan jelas, tentang

obyeknya yang jelas.

b. Boleh didalam kuasa tersebut mencantumkan untuk sampai pada tingkat banding

dan kasasi.

Dalam buku II tentang Pedoman Tekhnis Administrasi dan Tekhnis Peradilan Tata

Usaha Negara, halaman 45-46, huruf e tentang surat kuasa disebutkan :

1. Surat kuasa khusus harus memuat secara jelas dan rinci mengenai hal-hal yang

dikuasakan dengan menyebutkan pihak-pihak yang berperkara, Keputusan objek

sengketa dan tahapan-tahapan tingkat pemeriksaannya.khusus bagi Tergugat harus

menyebutkan nomor perkaranya. (pasal 57 Undang-undang Peradilan Tata Usaha

Negara, pasal 1792 KUH Perdata, SEMA no.2 tahun 1991 dan SEMA no.6 tahun

1994).

2. Surat kuasa khusus dapat dibuat sekaligus untuk pemeriksaan tingkat pertama,

banding, kasasi, peninjauan kembali asalkan hal-hal yang dikuasakan itu diuraikan

secara jelas dan rinci.

3. Tergugat (Badan atau Pejabat TUN) dapat memberi surat kuasa kepada advokat dan

surat tugas tanpa materai kepada Pejabat pada instansi pemerintahan Badan/Pejabat

TUN yang bersangkutan.

(4)

seseorang yang akan beracara di Pengadilan TUN apabila dimohonkan,dengan

syarat seseorang tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan Penggugat yang

dikuatkan oleh surat keterangan lurah dan diketahui camat, dan mampu beracara di

Pengadilan.

5. Jaksa Pengacara Negara dapat bertindak sebagai kuasa hukum dari Badan/Pejabat

TUN hanya dalam rangka menyelamatkan kekayaan Negara dan menegakkan

kewibawaan pemerintah.

6. Biro Bantuan Hukum (BBH) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Fakultas

Hukum yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dapat bertindak

sebagai kuasa Penggugat dalam perkara prodeo.

7. Surat kuasa harus ditandatangani oleh pemberi kuasa sebagai bukti formal adanya

persetujuan kedua belah pihak dengan dibubuhi materai dan tanggal.

8. Berakhirnya pemberian kuasa dapat terjadi karena dicabut oleh pemberi kuasa,

meninggalnya salah satu pihak, penerima kuasa melepaskan kuasa atas kemauannya

sendiri, dan pemberi kuasa memberi kuasa kepada pihak lain dalam perkara yang

sama maka dengan sendirinya pemberian kuasa pertama berakhir, kecuali ada

klausul pada surat kuasa yang baru bahwa kuasa yang lama tetap berlaku.

Semua persayaratan yang telah ditentukan dalam beberapa ketentuan tersebut

selayaknya menjadi persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat kuasa

khusus, disamping itu oleh karena sistem HIR dan RBg hanya mengatur formalitas

keharusan dengan surat kuasa tapi tidak mengatur persyaratan penerimaan kuasa, maka

untuk penerima kuasa yang bukan karena profesi atau pekerjaannya maka disamping

disyaratkan adanya surat kuasa khusus tetapi juga harus ada izin dari Ketua Pengadilan

TUN untuk beracara di pengadilan, misalnya pemberian kuasa kepada orang yang ada

hubungan keluarga.

Sedangkan pemberian kuasa kepada orang yang memang profesinya atau

pekerjaannya seperti advokat, pengacara praktek, Jaksa sebagai pengacara negara, Biro

Hukum dll, maka surat kuasanya dapat diterima apabila surat kuasa khususnya telah

memenuhi persyaratan yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam praktek berkembang pula perbedaan pendapat mengenai keharusan

adanya materai bagi setiap pembuatan surat kuasa di satu pihak dan disisi lain ada pula

yang berpendapat bagi surat kuasa dari pejabat publik tidak perlu memakai materai

tetapi cukup dengan cap dan tanda tangan pejabat publik tersebut.

Dari dua pendapat tersebut, penulis berpendapat sebaiknya dikembalikan pada

peraturan sebagaimana ditentukan dalam SEMA RI No.2 1991 angka V9A yang

menentukan surat kuasa khusus harus dibubuhi materai secukupnya, disamping itu oleh

(5)

ketentuan pasal 1792 BW, maka sebaiknya setiap perbuatan pemberian kuasa harus

tunduk pula dengan hukum perdata dan Undang-Undang bea materai disamping

tentunya untuk memenuhi pula azaz kesamaan hukum antara pihak penggugat dengan

tergugat agar dapat di dudukan dalam posisi yang sama dalam beracara di

pengadilan,kecuali bentuknya berupa surat tugas yang diberikan oleh Badan/Pejabat

Tata Usaha Negara kepada bawahannya maka tidak perlu memakai materai sesuai

dengan Buku II tentang PedomanTekhnis Administrasi dan Tekhnis Peradilan Tata

Usaha Negara.

Perlunya dibubuhi materai pada surat kuasa untuk memenuhi ketentuan pasal 2

ayat (1) Undang Undang No.13 1985 tentang bea materai, dimana setiap dokumen dan

surat-surat yang tujuannya untuk pembuktian harus dibebani bea materai sebagai pajak

untuk dokumen.

2. Persyaratan Untuk Penerima Kuasa Insindentil.

Berdasarkan ketentuan pasal 1792 BW sumber pemberian surat kuasa adalah

berdasarkan perjanjian / perikatan (last geving) dan berdasarkan kehendak sepihak

(mach tiging).

Dengan ketentuan tersebut maka pemberi kuasa diberi kebebasan untuk

menentukan siapa yang akan mewakilinya di persidangan, akan tetapi kebebasan

tersebut dan kurang jelasnya persyaratan penerima kuasa dapat menimbulkan kerugian

pemberi kuasa itu sendiri, antara lain :

a. Mereka hanya mencari honorarium dan popularitas.

b. Mempersulit Hakim untuk menemukan hukum yang tepat dalam perkara yang

diperiksa.

c. Tidak mendorong ke arah pertumbuhan hukum yang sehat.

Untuk menghindari hal yang demikian, maka bagi penerima kuasa insindentil

sebaiknya memenuhi persyaratan-persyaratan seperti:

a. Ada hubungan keluarga yang dekat dengan dibuktikan melalui surat keterangan

Lurah.

b. Mempunyai pengetahuan hukum

c. Apabila penerima kuasa adalah pegawai harus ada izin dari atasannya.

d. Harus ada surat kuasa khusus.

e. Harus ada izin dari ketua PTUN yang bersangkutan.

Buku II tentang Pedoman tekhnis administrasi dan Tekhnis Peradilan Tata

Usaha Negara hanya mengatur persyaratan kuasa insendentil dapat diberikan kepada

(6)

surat keterangan lurah dan camat, sehingga dalam praktek sering dimanfaatkan pengacara

tidak resmi atau tanpa izin praktek dengan cara mengaku-ngaku mempunyai hubungan

keluarga jauh dengan Penggugat atau intervenient walaupun dilengkapi dengan surat

keterangan Lurah dan Camat. oleh karena itu menurut penulis ketentuan tentang

hubungan keluarga tentang pemberian surat kuasa insendentil harus diberi batasan,

misalnya dengan mengacu pada ketentuan pasal 88 dan 89 Undang-undang no.5 tahun

1986 sebagaimana telah dirubah dan terakhir dengan Undang-undang no.51 tahun 2009

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga pengertian hubungan keluarga dalam

pemberian kuasa insendentil dibatasi menjadi :

1. Keluarga sedarah/semenda menurut garis keturunan lurus keatas atau kebawah sampai

derajat kedua.

2. Isteri atau suami.

3. Saudara kandung atau ipar.

Persoalan lain yang mungkin terjadi dalam praktek adalah surat keterangan

Lurah yang diketahui Camat,karena di Peradilan Tata Usaha Negara Tergugatnya adalah

selalu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sehingga ada kemungkinan yang menjadi

Tergugat adalah Lurah tempat Penggugat berada sehingga Lurah tersebut tidak bersedia

membuat surat keterangan tentang hubungan keluarga antara Penggugat dan penerima

kuasa insindentil yang akan dipakai sebagai dasar diterbitkannya izin kuasa insindentil

dari Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara,kalau terjadi hal yang demikian menurut

penulis Penggugat dapat langsung meminta surat keterangan dari Camat yang

bersangkutan dengan membawa surat keterangan Ketua RT tempat Penggugat berada

atau kalau tidak bersedia juga maka dapat dipedomani Surat Edaran Mahkamah Agung

no.10 tahun 2010 tentang pedoman pemberian bantuan hukum pasal 11 huruf c yaitu

surat pernyataan hubungan keluarga dengan penerima kuasa yang dibuat dan

ditandatangani oleh Penggugat kemudian diketahui oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha

Negara akan tetapi tetap dengan rekomendasi dari Ketua RT tempat Penggugat berada.

3. Jaksa sebagai Pengacara Negara

Pasal 30 ayat (2) Undang Undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dan

pasal 24 Keputusan Presiden no.55 tahun 1991 menentukan bahwa jaksa pengacara

Negara dapat bertindak sebagai kuasa hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara hanya dalam rangka menyelamatkan kekayaan Negara dan menegakkan

kewibawaan pemerintah.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka badan / pejabat TUN meskipun pada

(7)

pengadilan dapat juga memberi kuasa kepada Jaksa selaku pengacara negara untuk

membela kepentingannya di dalam pengadilan.

Tugas pokok tersebut tentu tidak hanya terbatas pada penyelamatan aset-aset

negara saja tapi meliputi semua kepentingan badan / pejabat TUN termasuk

mempertahankan produk hukum yang telah ditetapkan melalui kebijaksanaan Badan /

pejabat TUN meskipun objeknya adalah aset orang perorangan.

Surat kuasa khusus yang diberikan kepada Jaksa sebagai pengacara negara

harus pula memenuhi ketentuan surat kuasa yang ditentukan dalam pasal 57 Undang

Undang No.5 Tahun 1986, SEMA RI dan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang Undang

No. 13 1985 tentang Bea Materai.Pemberian kuasanya biasanya diberikan oleh Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara langsung kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala

Kejaksaan Tinggi/Jaksa Agung dengan hak substitusi kemudian Kepala Kejaksaan

Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa Agung memberikan kuasa kepada Jaksa/Jaksa

Tinggi/Jaksa Agung,selanjutnya jaksa-jaksa itulah yang biasanya mewakili Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara di persidangan.

4. Kedudukan Penerima Kuasa Selain Advokat Setelah berlakunva UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat

Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat

menyatakan bahwa advokat, penasehat hukum, pengacara praktek dan konsultan hukum

yang telah diangkat pada saat Undang Undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai

advokat sebagaimana diatur oleh Undang Undang ini.

Selanjutnya pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa advokat adalah orang yang

berprofesi memberi jasa hukum baik didalam maupun di luar pengadilan yang

memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang Undang ini.

Kemudian pasal 31 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja

menjalankan propesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat tetapi bukan

advokat sebagaimana diatur dalam Undang Undang ini, dipidana dengan penjara paling

lama lima tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,-

Dengan beberapa ketentuan tersebut dalam praktek sering advokat

beranggapan bahwa pemberian jasa hukum seperti melakukan perwakilan di

persidangan merupakan tugas dan advokat dan cenderung tidak mengakui lagi adanya

pemberian jasa hukum seperti kepala / staf biro hukum, orang karena hubungan

keluarga dan lain-lain.

Menurut penulis oleh karena sumber pemberian kuasa adalah berdasarkan

perjanjian / perikatan (Ps 1792 BW) maka ada kebebasan bagi pemberi kuasa untuk

(8)

pemberian kuasa kepada kepala / staf biro hukum, jaksa, dan kuasa lnsindentil bagi

orang yang berhubungan keluarga diatur oleh ketentuan tersendiri yang sampai saat ini

belum dihapus oleh ketentuan manapun, maka tidak ada alasan untuk menolak

pemberian kuasa kepada mereka,apalagi ketentuan pasal 31 Undang Undang no.18

tahun 2003 tentang advokat tersebut sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi

no.006/PUU-11/2004,tanggal 8 desember 2004.

Masalah yang cukup penting sebenarnya bagi advokat yang pada saat

undang-undang ini diberlakukan telah diangkat oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI harus

dianggap syah sebelum organisasi advokat yang dimaksud Undang Undang tersebut

belum dapat menjalankan fungsinya sebagaimana diatur oleh ketentuan pasal 2 tentang

pengangkatan advokat.

4. Kedudukan Seseorang Yang Telah Lulus Ujian Advokat Tetapi Belum Bersumpah di Hadapan Ketua Pengadilan Tinggi

Advokat menurut ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum,baik di dalam

maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan

Undang-undang advokat.

Selanjutnya menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang advokat tersebut

ditegaskan bahwa pengangkatan advokat dilakukan oleh organisasi advokat setelah

memenuhi persyaratan a.warganegara Indonesia,b….. dan seterusnya sampai dengan

huruf i kemudian dalam pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa sebelum menjalankan

profesinya,advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan

sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili

hukumnya.oleh karena itu persyaratan seorang advokat untuk dapat berpraktek

memberikan jasa hukum didalam dan diluar Pengadilan adalah diangkat oleh

organisasi advokat dan telah bersumpah atau berjanji di sidang Pengadilan Tinggi di

wilayah domisili hukumnya.

Dalam praktek di persidangan kadang-kadang ditemukan ada pemberian kuasa

kepada seorang yang telah diangkat sebagai advokat oleh organisasi advokat tetapi

belum mengucapkan sumpah di Pengadilan Tinggi dan ada pula pemberian kuasa

kepada beberapa orang dimana sebagian telah diangkat sebagai advokat dan telah

(9)

tetapi belum melaksanakan sumpah di Pengadilan Tinggi.Hal ini dilakukan dengan

alasan untuk memenuhi persyaratan magang sebelum seseorang advokat diusulkan

untuk melaksanakan pengucapan sumpah di Pengadilan Tinggi.

Dengan berpedoman pada ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-undang advokat

yang menyebutkan bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah

menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh disidang terbuka

Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya dan pasal 30 ayat (1)

Undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa advokat yang dapat menjalankan pekerjaan

profesi advokat adalah yang diangkat sesuai dengan ketentuan Undang-undang

advokat,maka sudah seharusnya pemberian kuasa kepada seorang advokat yang sudah

diangkat oleh organisasi advokat tapi belum melaksanakan sumpah di Pengadilan

Tinggi ditolak karena tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh

Undang-undang advokat, sedangkan terhadap advokat yang tetap tidak mau ditolak

keikutsertaannya sebagai penerima kuasa dengan alasan pemberian kuasa diberikan

baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dan dalam surat kuasa ada penerima

kuasa lain yang telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang

advokat walaupun sudah diberi penjelasan maka kepada penerima kuasa yang belum

melaksanakan sumpah di Pengadilan Tinggi tersebut sebaiknya tidak diberikan hak

seperti seorang advokat yang syah seperti hak berbicara dipersidangan, hak

menandatangani berkas persidangan dan lain-lain kecuali hanya duduk saja

mendampingi penerima kuasa lain yang telah memenuhi syarat Undang-undang

advokat.

5. Sikap Pengadilan Tata Usaha Negara Terhadap Persoalan Perseteruan Beberapa Organisasi Advokat

Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat yang diundangkan pada tanggal 5 april 2003 telah memberikan dasar terbentuknya wadah tuggal organisasi

advokat.Menurut ketentuan pasal 28 ayat (1) Undang-undang tersebut dinyatakan

bahwa organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas

dan mandiri yang dibentuksesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dengan maksud

(10)

Pasal 30 ayat (2) Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa setiap advokat yang

diangkat berdasarkan Undang-undang ini wajib menjadi anggota organisasi

advokat,selanjutnya dalam ketentuan pasal 32 ayat (4) Undang-undang tersebut

dinyatakan pula bahwa dalam waktu paling lambat dua tahun setelah berlakunya

Undang-undang ini,organisasi advokat telah terbentuk.

Sekarang setelah delapan tahun lebih berlakunya Undang-undang advokat belum

juga terwujud adanya wadah tunggal organisasi advokat sebagaimana dimaksud

Undang-undang advokat tersebut,beberapa organisasi advokat yang ada seperti

PERADI,KAI,PERADIN sama-sama menyatakan diri sebagai organisasi advokat yang

syah.

Berkaitan dengan persoalan tersebut pada tanggal 01 Mei 2009 Mahkamah Agung

melalui surat Ketua Mahkamah Agung no.052/KMA/V/2009 memerintahkan Ketua

Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia untuk sementara waktu tidak mengambil sumpah

advokat baru yang dimintakan penyumpahannya kepada Pengadilan Tinggi selama

penyelesaian masalah pembentukan organisasi advokat sebagai wadah tunggal para

advokat Indonesia belum diselesaikan oleh para advokat karena akan melanggar pasal

28 Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat,sehingga sejak tanggal 01 Mei

2009 banyak advokat baru yang tidak dapat beracara di sidang Pengadilan karena selalu

ditolak dengan alasan belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah

domisili hukumnya.

Sebagai jalan pemecahan persoalan tersebut kemudian para advokat mengajukan

uji materiil terhadap ketentuan psal 4 ayat (1) Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang

advokat kepada Mahkamah Konstitusi dan pada sidang pleno tanggal 30 Desember

2009 telah diucapkan putusan Mahkamah Konstitusi no.101/PUU-VII/2009 yang

intinya menyatakan bahwa “adalah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat jika

Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-undang wajib mengambil sumpah bagi para

advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan

oeganisasi advokat yang pada saat diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi secara de

facto ada,dalam waktu dua tahun sejak amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

diucapkan”.

Kemudian sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut organisasi

advokat PERADI dengan KAI pada tanggal 24 juni 2010 telah melakukan kesepakatan

(11)

satu-satunya wadah organisasi advokat adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)

dan pada tanggal 25 Juni 2010 Mahkamah Agung melalui surat Ketua Mahkamah

Agung RI no.089/KMA/VI/2010 menyatakan mencabut Surat Ketua Mahkamah Agung

no.052/KMA/V/2009 tanggal 01 Mei 2009 dan menganjurkan Ketua Pengadilan Tinggi

seluruh Indonesia untuk menerima usulan penyumpahan advokat baru hanya dari

PERADI.

Selanjutnya sejak diterbitkannya surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung

tanggal 25 Juni 2010 tersebut Mahkamah Agung selalu mendapat hujatan dari

organisasi advokat baik KAI maupun PERADIN karena merasa bahwa Surat Keputusan

tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 30 Desember 2009

yang menyatakan sampai kurun waktu dua tahun sejak tanggal 30 Desember 2009

(yaitu sampai dengan tanggal 29 Desember 2011) Pengadilan Tinggi wajib mengambil

sumpah atau janji advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan

keanggotaan organisasi yang pada saat ini secara de fakto ada (antara lain PERADI,

KAI dan PERADIN).

Untuk menghindari polemik yang berkepanjangan hakim-hakim Pengadilan Tata

Usaha Negara Palembang tempat penulis bekerja pada tanggal 19 oktober 2010 telah

melakukan diskusi yang dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan TUN Palembang

guna mencari alternatif penyelesaian sementara sebelum perselisihan organisasi advokat

diselesaikan dan kesimpulannya dimuat dalam artikel website PTUN Palembang yang

pada intinya menyatakan bahwa advokat yang dapat beracara di Pengadilan TUN

adalah :

1. Advokat yang sudah disumpah disidang terbuka Pengadilan Tinggi yang

berwenang tanpa melihat dari organisasi advokat mana yang bersangkutan

berasal.

2. Advokat yang belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang

berwenang tetapi dapat membuktikan melalui surat yang menyatakan bahwa

yang bersangkutan sudah diusulkan penyumpahannya oleh organisasi advokat

tetapi ditolak penyumpahannya oleh Pengadilan Tinggi.

3. Advokat yang belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang

berwenang tetapi dapat membuktikan melalui surat yang menyatakan bahwa

(12)

tetapi sampai tenggang waktu empat bulan sejak surat usulan tersebut

disampaikan belum ada jawaban atau kepastian mengenai penyumpahannya

dari Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.

Sekarang dengan adanya surat Ketua Mahkamah Agung

No.052/KMA/HK.01/III/2011,tanggal 25 Maret 2011 sudah secara jelas dinyatakan

bahwa advokat yang dapat beracara di Pengadilan adalah advokat yang telah

mengangkat sumpah dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi baik sebelum adanya

Undang-undang advokat maupun sesudah Undang-Undang-undang advokat berlaku dengan tidak melihat

dari organisasi mana mereka berasal dan Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia juga tidak

perlu ragu lagi menerima usulan pengangkatan sumpah advokat dengan tidak melihat

dari organisasi mana mereka berasal,akan tetapi sesuai dengan amat Undang-undang

advokat dan Putusan Mahkamah Kostitusi tersebut diatas menurut penulis sebaiknya

organisasi-organisasi advokat yang ada harus duduk bersama dan selanjutnya

membentuk wadah tunggal organisasi advokat guna menghindari persoalan yang

mungkin timbul dikemudian hari.

D. PENUTUP

Perbedaan pendapat mengenai persoalan surat kuasa dalam praktek memang

masih cukup sering terjadi, akan tetapi melalui temu ilmiah dan perbaikan dalam

pengaturannya adalah salah satu jalan untuk meniadakan perbedaan tersebut dan sedikit

demi sedikit mencari persamaan sehingga menemukan pedoman yang terkodifikasi

untuk dipraktekkan secara seragam.

Penemuan pendapat yang sama akan sangat berarti apabila dapat dituangkan dalam

bentuk peraturan sehingga dapat dijadikan dasar hukum bagi Hakim maupun

pihak-pihak yang terkait dalam menjalankan profesinya.

Berlakunya Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat telah menegaskan

bahwa advokat yang dapat menjalankan profesinya adalah advokat yang memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang advokat dan telah mengucapkan

sumpah dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya sehingga proceur

atau pengacara pokrol bambu tidak dapat lagi diterima untuk beracara di Pengadilan.

Pemberian kuasa kepada Kepala/Staf biro hukum,Jaksa selaku pengacara Negara

dan kuasa insindentil di Peradilan Tata Usaha Negara harus tetap diterima sepanjang

peraturan yang mengaturnya belum dihapus mengingat dasar pemberian kuasa adalah

perjanjian/perikatan sehingga orang bebas untuk memberikan kuasanya kepada yang

(13)

Khusus pemberian kuasa insindentil kepada yang masih ada hubungan keluarga

sebaiknya diatur secara rinci mengenai batasan hubungan keluarga serta tata cara

pemberian izin oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara agar tidak digunakan oleh

pihak-pihak yang mempunyai tujuan lain dari maksud pemberian kuasa.

Persoalan adanya perseteruan organisasi advokat yang sama-sama merasa sebagai

organisasi advokat yang syah menurut Undang-undang advokat sebaiknya segera

diselesaikan oleh organisasi advokat agar terbentuk wadah tunggal organisasi advokat

sebagaimana dimaksud Undang-undang advokat.

BAHAN BACAAN :

1. Ujang Abdullah, SH.Msi, Surat Kuasa dan Kedudukan Penggugat, Makalah

disampaikan pada hari HUT PERATUN KE XIII di PT.TUN MEDAN,tahun 2004.

2. Website PTUN Palembang, Artikel Keabsahan advokat beracara disidang

Pengadilan,tanggal 19 Oktober 2010.

3. UU no. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah

diubah beberapa kali terakhir dengan UU no.51 tahun 2009.

4. UU no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

5. UU no. 18 tahun 2003 tentang Advokat.

6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI no.2 tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Beberapa Ketentuan Dalam UU no.5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara.

7. Surat Edaran Mahkamah Agung RI no.6 tahun 1994 tentang Kuasa khusus.

8. Mahkamah Agung RI, buku II tentang Pedoman Tehnis Administrasi dan Tehnis

Peradilan Tata Usaha Negara, edisi tahun 2007, tahun 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pro- porsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris, reputasi auditor, risiko

Dalam melakukan pemanggilan, penyidik menggunakan surat panggilan sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Hitung trombosit secara tidak langsung yaitu dengan menghitung trombosit pada sediaan apusan darah tepi yang telah diwarnai.. Cara ini cukup sederhana, mudah dikerjakan, murah

Dengan di luncurkannya program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat ( BLSM )oleh pemerintah tidak membuat permasalahan kemiskinan di Indonesia semakin berkurang

- Khusus training wilayah Gresik, panitia bisa membantu menyediakan akomodasi (penginapan)-Informasi lengkap hubungi panitia. - Beberapa program REGULER PROMO&NON PROMO,

Perusahaan pengembang perumahan atau developer yang menjual rumah di perumahan menampilkan gambar, spesifikasi rumah, lingkunan perumahan sebagai media pemasaran untuk

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan bahwakemampuan pemecahan masalah mahasiswa PGSD FKIP Universitas Riau pada pecahan melalui pendekatan model

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81 ayat (5), Pasal 82 ayat