• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosiologi Agama dalam Perspektif Teologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sosiologi Agama dalam Perspektif Teologi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Sosiologi Agama dalam Perspektif Teologi Dogmatik

Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo Email: ebenhur65@yahoo.co.id

Abstract

In this article the author offers an idea about contribution of the sociology of religion to theology. Traditional approach of doing theology often considers culture and all its elements just as an object of theological enterprise. The biblical text is the only valid and authentical source of theological reflection. As a result, people tends to underestimate the value containing in people religious expressions and experiences. The author does not accept such a view. He is of the opinion that people religious expressions and experiences must be regarded as one of authentic source of doing theology. Equal attention and honor must be given to both: biblical text and cultural text if we want to find a meaningful expression and experience of God’s love and salvation work in our daily activity. From this perspective the author throws a new light to reconsider the task of theological reflection. It is not just to repeat or to receive meaning which has alredy been formulated both in the bible and in the history of theological discussion. Theology must be understood more as an attempt to create or to make a meaning which help people in every given time. Theology is for the author has to be considered more as a meaning making exercise, not just as a meaning receving work.

Keywords: theology, sociologi of religion, actual beliefs.

Pengantar

Satu waktu di penghujung tahun 2014, mahasiswa program Magister Sosiologi Agama Fak. Teologi UKSW – Salatiga meminta saya memandu sebuah diskusi mengawali acara ibadah penutupan semester ganjil 2014 sekaligus untuk merayakan natal mini dan premature1 mereka.

Tema yang mereka harapkan menjadi sorotan pembahasan adalah Sosiologi Agama dalam Perspektif Teologi. Sederhananya, bagaimana teologi memandang sosiologi agama.

Dalam berbagai diskusi lepas ada beberapa kalangan yang mempersoalkan perkawinan antara teologi dan sosiologi agama yang dikerjakan oleh Fakultas Teologi UKSW. Perkawinan itu dianggap sebagai sebuah bastard2 yang tidak wajar, bahkan menyalahi hukum kodrat

keilmuaan dari teologi. Itu ibarat mendoakan dan meneguhkan perkawinkan antara kuda dan kerbau. Alasannya adalah sulit dicarikan garis vertikal yang bisa mempertautkan rumpun ilmu teologi dan sosiologi agama.

1 Saya menyebut natal mini karena dilakukan tanda ornament klasik natal, juga tanpa ibadah dan pembacaan

Alkitab, melainkan diganti dengan presentasi makalah saya. Juga saya sebut natal prematur karena dirayakan masih dalam minggu adventus pertama. Ini satu kebiasaan yang mengusik iman saya karena merusak makna perayaan minggu-minggu adventus.

(2)

Fakultas Teologi UKSW sudah sejak awal memilih untuk tidak menduplikasi arah pengembangan teologi dari dua lembaga pendidikan teologi yang sudah lebih dulu ada di Jawa, yakni Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan Fak. Teologi Universitas Kristen Duta Wacana. Untuk maksud itu pilihan jatuh pada kajian teologis yang berorientasi sosiologi agama. Kajian-kajian ilmu sosial dan budaya cultural state yang ada di Indonesia dijadikan salah satu rujukan penting dalam melakukan refleksi teologi. Tentu maksudnya tidak lain adalah demi mengembangkan teologi yang berkarakter ke-Indonesiaan.3

Sebagai pendatang baru di Fakultas Teologi UKSW sekaligus yang sudah jauh hari sebelumnya menaruh minat pada diskusi dan dialog yang dialektis antara teologi dan keyakinan-keyakinan religius yang dipegang dan dipraktekkan masyarakat budaya di Indonesia saya mengapresiasi pilihan orientasi pengembangan teologi yang diambil Fak. Teologi UKSW tetapi juga terkejut mendengar suara-suara sumbang yang mempersoalkan kelayakan perkawinan antara teologi dan sosiologi agama. Waktu mahasiswa program studi Magister Sosiologi Agama meminta saya memandu diskusi sebagai intellectual warming up mengawali ibadah natal sekaligus penutupan semester mereka, saya menyambut gembira permintaan itu. Maka lahirlah tulisan ini yang bertujuan memperlihatkan signifikansi kajian sosiologi agama bagi pengembangan teologi yang bercorak (berkarakter) kontekstual. Tulisan untuk brainstorming itu mengalami pengembangan seperti dalam tulisan yang saya persembahkan untuk merayakan ulang tahun perak program studi sosiologi agama di Fakultas Teologi UKSW.

Untuk maksud tadi langkah-langkah yang akan diambil dalam mengkaji permasalahan tadi adalah: pertama, gambaran singkat mengenai intisari dari kajian ilmu sosiologi agama. Kedua, melakukan kajian singkat tentang ruang lingkup dan isi dari kajian ilmu teologi. Langkah ketiga berisi pembahasan mengenai perlunya dialog yang dialektis dalam teologi antara pemaknaan keselamatan sebagaimana yang dipahami manusia dalam Alkitab dan pemaknaan akan hidup sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat dalam budaya. Pokok ini dipercakapkan di bawah judul actual beliefs in the light of the Gospel. Selanjutnya pembahasan akan memuncak pada peredaksian kembali definisi teologi sebagai hasil dari dialog pada langkah sebelumnya. Melakukan tugas berteologi dengan memanfaatkan bahan-bahan kajian sosiologi agama akan menghasilkan pluralisme kebenaran. Ini berakibat, menurut akal sehat teologi akan kehilangan standar kebenaran. Satu paragraf akan disediakan untuk membicarakan permasalahan ini. Sebuah kesimpulan singkat sekaligus akan berfungsi sebagai penutup dari tulisan ini.

Bidang Kajian Sosiologi Agama

Manusia adalah homo socius. Ia hidup dalam satu jaringan makna. Jaringan makna itu dalam pandangan sosial disebut agama. Lalu sosiologi agama merupakan bagian dari ilmu agama yang menyibukkan diri dengan mempelajari problema-problema yang berkenaan dengan agama dan masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Penyelidikan yang dilakukan dalam studi

3 John A. Titaley. Pilihan-Pilihan Satya Wacana. Renungan Idealisme UKSW. Salatiga: Universitas Kristen Satya

(3)

sosiologi agama berlangsung di sekitar pengaruh masyarakat atas agama dan gejala-gejalanya, tetapi juga sebaliknya, yakni pengaruh agama atas masyarakat dan gejala-gejala kemasyarakatan.4

Agama mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat juga mempengaruhi penghayatan terhadap agama. Itulah bidang kajian sosiologi agama. Secara singkat dapat kita katakan, sosiologi agama adalah studi ilmiah mengenai cara-cara bagaimana masyarakat, kebudayaan dan kepribadian menjalankan pengaruhnya atas agama, atas asal-mula ajaran-ajarannya, praktek-prakteknya, atas jenis-jenis golongan-golongan, jenis-jenis kepemimpinan. Di pihak lain, sosiologi agama juga menyelidiki cara-cara agama menjalankan pengaruhnya atas masyarakat, kebudayaan dan kepribadian. Pengaruh timbal-balik itu nampak dalam berbagai hal seperti pemeliharaan sosial, perubahan sosial, struktur dan sistim normatif, dll. Semua ini mengkristal dalam pelbagai jaringan dan simbol makna.5

Makna-makna tadi adalah bentukan masyarakat dan selanjutnya kembali membentuk kehidupan masyarakat. Life-style dari satu orang atau satu masyarakat merefleksikan makna-makna tadi. Kepercayaan masyarakat tentang penyakit, misalnya, itu direfleksikan dalam apa yang anggota masyarakat lakukan pada saat mereka mengalami sakit, misalnya dengan pergi ke tempat tertentu, bertemu dengan orang tertentu dan juga obat-obat yang dipakai. Sebaliknya, berbagai aktivitas manusia: pribadi dan masyarakat ikut mempengaruhi bagaimana paham-paham dan ajaran-ajaran dalam agama dibentuk dan diberi isi. Life-style ini beserta dengan perangkat makna yang menjadi energi pendorongnya disebut actual beliefs yang adalah pengertian keilmuan dipahami sebagai keyakinan dari suatu masyarakat yang dijadikan pegangan dalam mengatur tingkah laku dan tindakan-tindakan masyarakat baik secara komunal maupun tiap-tiap individu anggotanya.6

Actual beliefs tadi tempatnya ada dalam seni, puisi, literatur, tarian, musik yang masyarakat ciptaan atau yang masyarakat gunakan. Keyakinan yang masyarakat pegang berhubungan dengan alam semesta dan bagaimana mereka hidup sering ditemukan dalam cerita rakyat dan juga dalam amsal-amsal. Dalam hubungan ini Karyer van Aalst, seorang misionaris Eropa yang bekerja 25 tahun di Seram (Maluku) kemudian Kapan (Timor) dari tahun 1904 – 1929 menulis sebagai berikut:7

Dogmatika masyarakat tradisional tersimpan dalam cerita-cerita tua mereka. Kalau kau sudah menemukan tanah subur tempat dogmatika itu berada, kau akan dapat menanamkan benih agama Kristen di situ. Etika dan moral juga akan kau temukan dalam zaga-zaga mereka, seperti mutiara yang tersembunyi dalam rumah kerang yang bagian luarnya banyak ditutupi parasit dan sel-sel yang sudah mati.

4 J.A.B. Jongeneel. Pembimbing ke dalam Ilmu Agama dan Teologi Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1983.

Setakan kedua., hlm. 68.

5 J.A.B. Jongeneel. Pembimbing ke dalam Ilmu Agama dan Teologi Kristen., hlm. 70.

6 Philip Hughes. “The Use of Actual Beliefs in Contextualizing Theology.” Dalam: East Asia Journal of Theology.

October 1984. Vol. 2 No. 2., hlm. 251.

(4)

Selain cerita-cerita rakyat, berbagai peralatan dan perkakas kehidupan, dalam aturan dan norma-norma yang menjaga dan mengendalikan kehidupan, dalam keluarga, dalam status personal yang direfleksikan dalam cara pribadi-pribadi itu hidup juga apa yang diyakini masyarakat sebagai perangkat-perangkat hidup di mana actual beliefs mengkristal. Semua ini merupakan deposito atau kepustakaan di mana actual beliefs masyarakat tersimpan. Sosiologi agama sebagaimana kita tahu berurusan dengan actual beliefs dari satu masyarakat. Ia menyibukkan diri untuk memeriksa, mempelajari dan merumuskan actual beliefs yang menjadi sumber identitas dalam pola-pola kajian yang bisa digunakan untuk dapat memahami dan mendekati masyarakat tadi.

Bidang Kajian Ilmu Teologi

Selain sebagai makhluk sosial, manusia pada saat yang sama adalah homo teologicus, yakni makhluk yang mengantungkan hidupnya pada apa yang Rudolf Otto namakan mysterius tremendous et fascinan. Manusia berhadapan dengan adanya suatu kuasa yang menggetarkan tetapi memikat hatinya. Kuasa itu terlalu menakutkan untuk didekati, tetapi sangat dibutuhkan dalam membangun hidup dan menciptakan peradaban. Melalui perbagai simbol dan ritus manusia mencoba mendekati kuasa itu untuk menolong dia mengatasi keterbatasan dan kelemahan-kelemahannya. Maka lahirlah apa yang kita sebuah sebagai liturgi di mana manusia menghampiri mysterium tadi. Bersamaan dengan itu teologi juga ikut berkembang; teologi dalam pengertian primal, teologi dalam wujud awal, sebagai percakapan tentang dewa-dewi atau ilah-ilah. Munculnya teologi prima itu adalah menyedikan panduan bagi manusia dalam menghampiri mysterium tadi untuk pengembangan dan penataan hidupnya.

Teologi sebagaimana umum dipahami adalah percakapan manusia tentang Allah yang dikaitkan erat dengan sejarah, pengalaman dan pemahaman manusia dalam satu tempat dan waktu. Paul Knitter menggambarkan keterpautan teologi dengan pengalaman manusia dalam frasa: “Semua teologi berakar dalam biografi.8 Manusia menghubungkan sejarah, pengalaman

dan pemahamannya dengan Allah dalam upaya menemukan makna-Allah dalam pengalaman-pengalaman itu.9 Dalam bingkai pengertian ini maka teologi erat hubungannya dengan actual

beliefs. Dalam upaya merumuskan makna-Allah, teologi mendialogkan keyakinan dari suatu masyarakat yang dijadikan pegangan dalam mengatur tingkah laku dan tindakan-tindakan mereka untuk memurniakan keyakinan-keyakinan itu demi memberikan kemanusian yang penuh kepada manusia dalam masyarakat. Dalam arti ini teologi tidak bisa dikerjakan secara independen atau terisolasi. Teologi membutuhkan sosiologi agama.

Ada banyak cara yang bisa dipakai teologi dalam dialog dengan sosiologi agama untuk merumuskan makna-Allah demi membangun kemanusiaan yang penuh dari satu masyarakat. Pertama, teologi bisa mulai dengan teks Alkitab atau formulasi dogma yang dilanjutkan dengan

(5)

membuat pertimbangan dan catatan tentang bagaimana teks-teks tadi dimaknai dalam konteks dan situasi masyarakat tertentu. Cara kedua, teologi bisa mulai dengan meminta sosiologi agama merumuskan actual beliefs dari satu masyaraat. Jadi teologi mulai dari situasi tertentu. Barulah kemudian teologi merumuskan bagaimana firman Allah berbicara kepada atau di dalam situasi itu.

Kedua cara terdahulu, meskipun memiliki titik berangkat yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam hal berikut: teologi dipahami sebagai upaya meaning receiving. Dalam cara pertama masyarakat masa kini diminta untuk menerima makna yang sudah diformat oleh komunitas percaya pada masa lalu sebagaimana terbukukan dalam Alkitab, atau metode terjemahan. Sementara cara kedua, masyarakat kini juga diminta menerima makna yang sudah ada dalam Alkitab. Bedanya dengan cara yang pertama, pada cara yang kedua ini makna dari Alkitab itu disampaikan sesuai dengan cara-cara yang dapat diterima masyarakat tersebut, atau metode adaptasi.10 Kelemahan utama dari dua cara ini adalah penyangkalan terhadap

makna-makna yang ada di dalam konteks (actual beliefs) dari tugas berteologi.

Cara ketiga, lebih bersifat dinamis. Teologi membiarkan teks-teks kitab suci atau formulasi dogma masuk dalam berdialog yang terbuka dan dialektis dengan actual beliefs masyarakat. Dalam dialog itu terbuka peluang bagi actual beliefs untuk menjernihkan dan mengkritisi dogma dan teks kitab suci, dan sebaliknya teks kitab suci serta dogma menjernihkan dan mengkritisi actual beliefs. Peter C. Phan mengartikulasikan manfaat kembar kembar tadi sebagai berikut. Pada satu sisi budaya ditransformasi dari dalam oleh Injil untuk mempermuliakan Allah dan melayani serta membebaskan manusia, seluruh ciptaan dan kosmos.

Transformasi berarti pemurnian elemen-elemen tertentu dari budaya. Transformasi mengandaikan pemberdayaan masyarakat untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam terhadap budayanya. Transformasi juga berarti pembebasan dari dimensi tertentu dari budaya yang bersifat menindas dan menyesatkan. Akhirnya, transformasi berarti memampukan seorang pemberita yang mau memberitakan injil dalam satu budaya terlebih dahulu harus melakukan percakapan dan pengenalan akan budaya dimaksud, bahkan lebih dari itu si misionaris haruslah mencintai budaya tadi.11

Pada sisi lain dalam dialog itu budaya menawarkan adanya pemahaman baru dan segar bahkan juga cara baru untuk menghidupi Injil. Tentang aspek ini para peserta konferensi ekumenis dari World Council of Churches di Salvador, Brasil menegaskan: “Injil bisa dibuat lebih mudah untuk masuk ke dalam aktivitas budaya sekligus dibuat lebih dalam maknanya.”12

Ada dua perbedaan dari berteologi dengan melakukan dialog yang terbuka dan dialektis antara injil dengan actual beliefs masyarakat. Perbedaan pertama adalah kekayaan pemaknaan

10 Dua metode ini diuraikan oleh Robert Schreiter dalam buku Rencang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung

Mulia 1991., hlm. 13-23.

11 Peter C. Phan. In Our Own Tongues. Prespective from Asia on Mission and Inculturation. Maryknoll, New York:

Orbis Books. 2003., hlm. 6.

(6)

manusia dalam konteks (actual beliefs) tidak disangkali melainkan diberi penghargaan yang layak. Kedua, teologi tidak lagi sekedar dipahami sebagai meaning receiving, melainkan sebagai meaning making. Penciptaan makna ini dilakukan dengan meramu dua bahan baku, yakni pemaknaan pengalaman manusia dalam kitab suci (tradisis am) dan pemaknaan pengalaman manusia dalam budaya (tradisi lokal). Dengan kata lain actual beliefs dari satu masyarakat tidak dilihat sekedar sebagai konteks dalam berteologi ke mana teks-teks suci (sacred texts) diterapkan. Sebaliknya actual beliefs dari masyarakat di mana teologi dikerjakan dilihat juga sebagai sacred texts yang patut dibawa dalam dialog yang dinamis dengan teks-teks yang sudah ada dalam kitab-kitab suci agama-agama universal. Dengan demikian, teologi tidak lagi merupakan sebuah sebuah ziarah dengan route satu arah: dari teks ke konteks dengan Alkitab sebagai solo teks, melainkan menjadi sebuah dialog konstruktif yang menempatkan Alkitab di tengah-tengah teks-teks lain atau dialog multiteks.

Menurut keyakinan penulis, cara ketiga adalah cara yang tepat apabila teologi, seperti sudah disebutkan bertujuan untuk memberikan kemanusian yang penuh kepada manusia dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan kemanusiaan yang penuh adalah manusia yang sepenuhnya hidup dalam bimbingan dan pengenalan akan kehendak Allah tanpa sedikit pun menyangkali atau menolak identitas budaya dan keyakinan-keyakinan religiusnya yang disebut dengan nama actual beliefs. Alasan di balik pilihan pada cara ketiga berhubungan dengan fakta berikut: Injil sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan adalah sebuah realitas dengan dua elemen. Elemen pertama adalah yang objektif, yakni yang terjadi di luar manusia. Elemen kedua adalah yang subjektif, yakni sambutan manusia terhadap eleman objektif tadi. Elemen pertama ditemukan dalam Alkitab berupa kesaksian akan kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus. Sedangkan elemen kedua terdapat dalam pengalaman, cerita, lukisan, lagu, sejarah, arsitektur tradisional dll., dari satu masyarakat yang membentuk tanggapan mereka terhadap Kristus atau yang kudus.13

Sebagaimana kita sebutkan di atas elemen kedua dari injil itu tidak lain adalah actual beliefs. Karena actual beliefs adalah wilayah yang menjadi kajian sosiologi agama maka teologi dengan sendirinya harus berjalan bersama-sama dengan sosiologi agama. Teologi dan sosiologi agama ibarat adalah partner. Hubungan keduanya tak terpisahkan seumpama dua sisi dari satu mata uang.

Actual Beliefs in the Light of the Gospel

Dalam upaya membangun kemanusian yang penuh dari satu komunitas masyarakat, teologi perlu mengupayakan dialog yang dinamis dan dialektis antara Injil dan actual beliefs. Cara yang paling memungkinkan untuk ini, seperti sudah kita singgung di atas adalah cara ketiga, yakni teologi membiarkan teks-teks kitab suci atau formulasi dogma masuk dalam berdialog yang konstruktif dengan actual beliefs masyarakat. Jelasnya teologi tidak dapat melangkahi sosiologi agama. Sebaliknya teologi yang sejati bukan hanya berakar pada Alkitab, tetapi juga berakar pada rahim keyakinan-keyakinan aktual (actual beliefs) dari satu kelompok masyarakat. Atas dasar itu teks

(7)

suci yang disebut-sebut sebagai sumber berteologi tidak hanya ada di sana (out there). Teks suci itu juga ada di sini di dalam pemahaman dan penghayatan manusia dalam budaya akan hidup dan pengharapannya.14 Mengatakan itu dengan cara lain, teologi harus ikut ambil bagian dalam

kerinduan masyarakat, memberi apresiasi terhadap sumber-sumber makna kehidupan yang dimiliki masyarakat dan mengenal dengan jelas identitas sosial masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam kepustakaan hikmat dan budaya mereka.15

Jelasnya, setiap karya bertologi adalah ibarat sebuah kain tenunan yang dirajut dengan menyilangkan benang dari dua arah. Benang arah yang pertama disebut tradisis am, yakni teks-teks kitab suci dan dogma, sedangkan benang dari arah lainnya adalah tradisi lokal. Adalah sebuah ilusi rasionalisme kalau ada yang berpendapat bahwa tradisi am adalah lebih penting dan bernilai dibanding ritus, ritual, simbol, lambang, pemahaman dan pengalaman manusia dalam tempat dan waktu tertentu. Mereka yang berpendapat seperti itu ibarat menegaskan bahwa sebuah pohon lebih penting dari udara dan tanah di mana pohon itu memperoleh energi dan zat-zat pembentuk kehidupannya.

Tentu saja teologi tidak sekedar berhenti pada actual beliefs tadi. Ia harus melangkah lebih jauh, yakni mengevaluasi actual beliefs dalam terang tradisi Kristen yang berpijak pada Injil untuk kepentingan konteks dan situasi setempat. Actual beliefs masyarakat betapa pun mengandung referensi nilai yang penting dan signifikan sebagai pemberi makna dan arah bagi masyarakat, tetapi didalamnya terkadung keterbatasan, bahkan juga kejahatan yang merusak hubungan antar manusia, maupun hubungan manusia dengan alam (lingkungan hidup) dan juga dengan the numinous. Keterbatasan dan kejahatan-kejahatan itu baru tersingkap jika actual beliefs itu diterangi oleh satu perangkat nilai yang berasal dari luar konteks.16

Pada sisi lain actual beliefs yang diyakini satu masyarakat juga berguna untuk memperluas dan memperdalam cakupan pesan keselamatan dalam Injil yang sebelumnya belum nampak kepermukaan.17 Adanya dialog yang dialektis tadi membuat penerimaan masyarakat

terhadap Injil dan penghayatan terhadapnya menjadi sebuah pengalaman yang otentik. Injil bukan lagi dipandang sebagai yang asing, melainkan menyapa masyarakat dalam keseharian mereka dalam bahasa, gambaran, keyakinan dan harapan yang menjadi akar keberadaan mereka.

Teologi Sebagai Meaning Making

Bertolak dari keseluruhan pemahaman yang sudah dijabarkan di atas sampailah kita pada tugas membuat definisi tentang teologi yang memberi tempat yang proporsional terhadap kajian-kajian

14 Lihat juga. Peter C. Phan. In Our Own Tongues.. hlm. 26.

15 Bandingkan O. Notohamidjojo. “Pemribumian Theologi di Indonesia.” Dalam: O. Notohamidjojo. Kreativitas yang

Bertanggung Jawab. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. 2011., hlm. 357.

16 Philip Hughes. “The Use of Actual Beliefs., hlm. 257.

17 Contoh paling jelas tentang hasil dialog timbal-balik ini dapat dilihat dalam uraian tentang Kawin Belis Kawin

(8)

yang dihasilkan oleh sosiologi agama. Tidak sedikit definisi teologi yang dikembangkan dalam rentang sejarahnya. Definisi-definisi tadi tentu saja sudah menolong banyak orang untuk menjalani hidup secara bermakna. Meskipun begitu, menurut pendapat saya definisi-definisi itu tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam konteks Indonesia yang bersama-sama dengan saudara-saudaranya di Asia memiliki dua ciri menonjol yang oleh Aloysius Pieris ditandai oleh dua realitas: keberagaman agama dan kemiskinan yang mencolok. Dua kenyataan ini diterima sebagai identitas Asia, bukan sekedar identitas sosial melainkan juga jatidiri budaya dan religius. Dengan berani Aloysius Pieris menegaskan bahwa orang Asia menerima dua kenyataan tadi sebagai yang mengandung di dalamnya soteriologi metakosmis.18 Ya, semacam kehadiran karya

keselamatan yang oleh orang Kristen dipahami sebagai yang berasal dari Kristus di dalam realitas sosial Asia.

Definisi-definisi teologi yang sudah ada, menurut pendapat saya kurang memperhatikan nilai-nilai soteriologi metakosmis tadi karena teologi yang dikembangkan dari definisi itu memiliki dua kencederungan yang bernuansa romantisme Alkitab pada satu sisi atau romantisme budaya pada sisi lain. Maksud saya dengan romantisme Alkitab ialah kecenderungan untuk melihat makna dan nilai yang terkandung dalam kitab suci sebagai yang sudah jadi dan final. Tinggal diterapkan dalam konteks-konteks yang baru. Sementara romantisme budaya mengasumsikan bahwa nilai dan makna hidup yang manusia konstruksi dalam budaya sendiri juga adalah refelasi sehingga Injil tidak dibutuhkan lagi.

Dua paham ini bermuara pada pendefinisian tentang teologi sebagai percakapan tentang Allah (God-talk) yang menerima makna (meaning receiving) dari Alkitab atau dari budaya. Pengalaman dan pengamatan saya terhadap teologi dalam pemaknaan ini menimbulkan banyak kegelisahan iman di dalam saya. Kalau teologi dipahami sekedar sebagai meaning receiving mengandaikan bahwa teologi sudah selesai dikerjakan. Generasi baru tinggal mengulang saja apa yang dihasilkan generasi terdahulu yang ada dalam Alkitab maupun dalam budaya. Sebut saja misalnya teks Alkitab yang mengatakan bahwa perempuan dilarang berbicara dalam pertemuan jemaat (I Kor. 14:34), atau tidak diijinkan mengajar atau memerintah laki-laki yang berarti tidak boleh menjadi pemimpin jemaat (I Tim 2:12). Sama halnya juga pandangan populer dalam hampir semua budaya bahwa penyandang cacat adalah orang-orang yang entah sadar atau tidak menanggung akibat dari dosa atau kutukan atas dosa. Begitu juga halnya sikap terhadap kaum LGBT. Kalau teologi dipahami sebagai meaning receiving maka tugas mencari makna-Allah sudah selesai. Sebagai hasilnya, kaum perempuan dan para penyandang cacat hanya akan menjadi warga kelas dua dalam keselamatan. Itu pun kalau mereka berhasil melakukan lobi untuk mendapatkan konsesi dari Allah. Sementara saudara-saudari kita yang homoseksual sudah jelas tempatnya, yakni neraka.

Semester ganjil tahun 2014, dalam rangka tugas akhir mata kuliah pengantar teologi saya menugaskan mahasiwa untuk melakukan wawancara terhadap sejumlah pendeta di lingkungan untuk memperoleh tanggapan mereka terhadap keputusan Presbyterian Church di Amerika

18 Aloysius Pieris. “Menuju Teologi Pembebasan Asia: Beberapa Pedoman Religo-Kultural.” Dalam: Douglas J.

(9)

Serikan (PC-USA) yang pada 20 Juli 2014 memutuskan untuk menerima dan meneguhkan pernikahan pasangan berjenis kelamin sama (same-sex marriage). Kurang lebih ada 20 orang pendeta yang diwawancarai mahasiswa. Dari jumlah itu, hanya 3 orang yang menyatakan setuju kalau same-sex marriage perlu menadapat peneguhan dan pemberkatan nikah dalam peribadatan jemaat. Sementara 17 lainnya menolak.

Ada dua alasan yang dikemukakan oleh tiga yang setuju. Pertama, yang utama dalam pernikahan adalah cinta kasih dan kesetiaan. Hal memperoleh keturunan bukan tujuan pernikahan, melainkan salah satu tanda berkat dalam perkawinan itu. Kamu homoseksualitas memang tidak akan memperoleh anak dari rahim perkaninan mereka, tetapi mereka bisa memperoleh anak dari rahim hati mereka, yakni cinta kasih dengan cara mengadopsi anak dan mencintai anak-anak itu seperti anak sendiri. Kedua, teks-teks Alkitab yang memang dengan tegas menyatakan penolakan terhadap same-sex marriage memiliki konteksnya sendiri, yakni pada jaman pembuangan dan pasca pembuangan. Dalam situasi itu Israel bermasalah dalam dua hal, yakni kemurnian garis keturunan Yahudi dan ancaman kepunahan karena jumlah yang sedikit. Dalam kondisi ini muncul kaum priesters dengan teks-teks yang mengutuk same-sex marriage dan juga perkawinan dengan perempuan non-yahudi. Manusia masa kini hidup dalam konteks yang berbeda.

Mereka yang tidak setuju terhadap same-sex marriage yang diputuskan oleh PC-USA mengajukan alasan berikut. Pertama, Alkitab jelas mengutuk homoseksulitas. Allah menghukum Sodom dan Gemora karena dosa tadi. Mereka yang menikah sesama jenis kelamin lebih buruk dari binatang yang hanya mengumbar nafsu. Itu adalah perbuatan yang menjijikan bagi Allah. Jelas ini perbuatan yang bertentangan dengan hukum kodrat. Kedua, perkawinan bertujuan untuk memperoleh keturunan. Homoseksualitas tidak bakal memperoleh keturunan. Ia juga jelas melanggar perintah Allah yang menetapkan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan. Ketiga, perkawinan sesama jenis kelamin adalah sumber penyakit sosial seperti AIDS19 karena

suka berganti-ganti pacar dan merusak moral masyarakat.

Contoh ini saya angkat untuk memperlihatkan pandangan yang berbeda di kalangan para pendeta dan warga gereja tentang tugas berteologi. Kelompok pertama, tiga pendeta yang setuju dengan same-sex marriage lebih memahami teologi sebagai tugas meaning making dengan membangun dialog timbal-balik dan saling mengkritisi antara teks Alkitab dan dogma gereja dengan actual beliefs dari satu kemunitas. Format pemahaman tentang teologi seperti ini mengandaikan bahwa teologi adalah sebuah unfinished agenda. Sementara kelompok kedua, tujuh belas pendeta yang menolak bahkan mengutuk same-sex marriage lebih memahami teologi sebagai meaning receiving. Tugas orang percaya masa kini adalah menerima saja makna yang sudah selesai diformat oleh orang percaya pada masa lalu sebagaimana yang tertuang dalam teks Alkitab dan korpus dogma gereja. Sayang sekali kelompok ini tidak konsisten. Teks Alkitab tentang same-sex marriage mereka anggap masih berlaku, tetapi teks-teks Alkitab yang sama dengan itu, misalnya yang melarang makan daging babi atau tidak mengijinkan perempuan

19 Di lingkungan masyarakat, khususnya di pulau Timor AIDS diartikan sebagai akronim dari Alat Itu Dipakai

(10)

berbicara di depan umum dan menjadi pemimpin dianggap sudah habis masa lakuknya dengan kedatangan Kristus.

Jelasnya definisi teologi yang pas (dalam arti berlaku adil terhadap pengalaman manusia dalam Alkitab dan konteksnya pada satu sisi dan juga adil terhadap pengalaman manusia di berbagai konteks) adalah God-talk dalam rangka menciptakan makna (meaning making) sehingga manusia dalam tiap-tiap konteks, situasi dan pengalaman dapat mengalami kehidupan yang penuh. Dalam definisi ini Alkitab dijadikan sebagai sebuah kesaksian yang terbuka di tengah-tengah actual beliefs manusia masa kini. Sebagai kesaksian yang terbuka pemaknaan dan aplikasi-aplikasi baru yang melampaui pemaknaan yang sudah ada bukan hal yang diharamkan.

Teologi sebagai God-talk yang berkarakter meaning making mengandaikan bahwa Alkitab memperoleh pemenuhannya pemaknaan-pemaknaan baru dalam budaya dan pengalaman lain, sedangkan pemaknaan-pemaknaan baru yang terkandung dalam actual beliefs masyarakat menemukan dasar atau pijakan kokoh dalam proto-model pemaknaan yang ada dalam pengalaman Israel sebagaimana tersebutkan dalam kitab suci. Muara dari pemahaman teologi seperti ini mengandaikan bahwa dalam berteologi teks-teks kitab suci serta rumusan-rumusan dogma dan actual beliefs masyarakat dalam budaya perlu menjalani proses rangkap, yakni reproduksi-tradisional dan produktif-kontekstual.20 Artinya warisan-warisan tradisional (Alkitab,

dogma dan actual beliefs) perlu diproduksi ulang dengan memperhatikan dinamika baru dari konteks, supaya warisan-warisan itu memberi nilai dan makna bagi pengalaman-pengalaman baru manusia masa kini. Warisan masa lalu itu bukan bahan jadi tetapi bahan baku. Sebagai bahan baku tidak tepat kalau langsung diterapkan. Perlu penerapan secara kreatif.21 Penerapan

kreatif itu bertolak dari pemaknaan baru yang diperoleh dari dialog timbal-balik, konstruktif dan dialektis antara Alkitab dan dogma (tradisi am) dan actual beliefs masyarakat (tradisi lokal).

Kalau Semua Halal, Bukankah Akan Muncul Kekacauan?

Sudah pasti akan muncul reaksi berikut. Kalau teologi mengupayakan dialog yang dinamis dan dialektis antara tradisi am dan tradisi lokal di mana kedua tradisi ini saling mengkritisi memang akan muncul bentuk-bentuk pemaknaan kehidupan yang baru, tetapi juga akan melahirkan pluralisme kebenaran. Itu juga berarti tidak ada lagi kebenaran tunggal. Yang disebut kebenaran adalah tiap-tiap kita berbeda. Teologi sebagai meaning making menolak kebenaran tunggal. Kalau demikian, apalagi yang bisa dijadikan andalan atau pegangan bersama untuk menetapkan atau mengukur keanekaragamaan pemaknaan itu sebagai kebenaran? Bukankah akan timbul kekacauan kalau semua diperolehkan, kalau segala sesuatu itu halal? Apalagi yang dapat dijadikan sebagai standar kebenaran dalam berteologi?

Pertanyaan yang saya prediksi ini muncul juga waktu diskusi pemanasan dalam ibadah natal prematur itu mahasiswa Magister Sosiologi Agama UKSW 2014. Sekaranglah saatnya

20 Uraian menarik tentang dua frasa teologis ini dibuat oleh Dori Wuwur Hendrikus. “Nisbah antara Pengkhotbah

dan Pendengar dalam Komunikasi Homiletis.” Dalam: Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung, Anselmus Meo. Allah Menggugat Allah Menyembuhkan. Maumere: Penerbit Ledalero. 2012., hlm. 223 – 246.

(11)

pokok ini kita bahas untuk memperoleh klarifikasi. Versi Tuhan seperti apa yang dapat kita jadikan sebagai pegangan dalam menyikapi ribuan gagasan tentang Tuhan yang bakal lahir dari dialog dialektis dalam teologi antara teks-teks kitab suci, dogma gereja dan actual beliefs setiap komunitas atau pribadi? Jawaban singkatnya ialah versi Tuhan yang dinyatakan kepada kita di dalam Injil. Dengan kata lain standar kebenaran untuk menguji kebenaran-keberan yang majemuk itu ialah kristologi (pemberitaan gereja tentang Kristus). Standar ini bukan sesuatu yang baru dalam Alkitab. Paulus juga mengatakan hal yang sama saat ia berbicara tentang berbagai macam karunia roh (I Kor. 12:3). Penulis surat Yohanes juga menegaskan hal serupa (I Yoh. 4:2-3). Ukuran benar-tidaknya karunia itu adalah pada Kristus. Paulus menggunakan kriteria Kristologi. Verne Fletcher juga menegaskan hal itu. Ia menamakan standar itu Christlike. “Semua perintah dan ajaran moral dalam Alkitab harus dinilai dan dipertimbangkan dalam terang diri dan karya Yesus Kristus.”22

Para pakar sepakat bahwa dalam kristologi kita bicara dua hal tentang Kristus, yakni siapa dia dan apa pekerjaanNya. Percakapan Kristen tentang Kristus berurusan dengan being dan doing dari Yesus Kristus. Tentang diri Kristus Alkitab menjelaskan kepada kita bahwa Dia adalah Allah-manusia. Kemanusiaan adalah kodrat kekal dari Kistus. Kemanusiaan yang adalah kodrat Kristus sejak kekal adalah kemanusiaan sebagaimana yang dikehendaki Allah Sang Bapa pada penciptaan manusia. Apa yang terjadi di Betlehem ialah Sang Sabda, yakni Kristus itu menerima daging insan (indutus carnem),23 yaitu daging yang telah terkontaminasi oleh dosa. Jadi

berdiamnya Sang Firman dalam daging berarti bahwa Firman itu memiliki dua kodrat: yang ilahi dan insani. Keduanya mempunyai fungsi yang berbeda tetapi menyatu secara tak terpisahkan di dalam Yesus Kristus. Inilah yang dirumuskan dalam credo gereja: Yesus Kristus Allah sejati dan manusia sejati.

Mengenai doing Yesus Kristus tidak perlu diterangkan panjang lebar lagi. Lukas berbicara tentang pembebasan sebagai misi utama yang dikerjakan Kristus (Luk. 4:18-19). Paulus berbicara tentang dua hal. Kristus datang sebagai pendamai. Pertama, Ia membuat kelompok-kelompok yang hidup dalam isolasi geografis, sosiologis dan juga teologis, bahkan hidup dalam permusuhan dan konflik kembali menjadi satu keluarga (Efesus 2:13-17). Kedua, Paulus berbicara tentang perbedaan-perbedaan karunia dari tiap-tiap orang yang hidupnya dipimpin oleh roh, yang tidak lain adalah Kristus yang hadir secara baru dalam dunia. Menurut Paulus karunia-karunia itu sama penting. Satu-satunya pegangan untuk mengetahui kebenaran karunia-karunia itu apakah dari Allah adalah melihat efek dari karunia itu untuk kepetingan bersama (I Kor. 12:1-31). Karunia roh yang berguna bagi kepentingan bersama itu Paulus tunjukan saat berbicara tentang buah-buah Roh (Gal. 5:22-23).

Jadi standar bersama untuk menetapkan kebenaran dalam teologi yang berakar pada dialog yang dinamis antara teks kitab suci, dogma gereja dan actual beliefs satu kemunitas adalah pada buah-buah kehidupan iman untuk membangun kemanusiaan yang penuh dalam masyarakat yang dihasilkan oleh teologi itu. Teologi bertolak dari praksis dan bermuara pada

22 Verne H. Fletcher. Lihatlah Sang Manusia. Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung

Mulia. 2007., hlm. 95.

(12)

praksis. Praksis direfleksikan untuk memurnikannya bagi kebaikan bersama manusia. Begitu dirumuskan oleh para teolog pembebasan di Amerika Latin. Secara lebih sederhana kriteria untuk menguji kebenaran dalam sebuah perumusan teologis dalam atmosfir tadi adalah dengan memperhatikan buah yang dihasilkannya. Jika buahnya tidak buruk, tidak ada salahnya membiarkan pohon itu bertumbuh (Mat. 7:17-19). Hal senada juga ditekankan dalam surat Yakobus. Kita bisa melihat iman dari buah yang dihasilkannya. Versi Tuhan yang menjadi pegangan dalam menyikapi ribuan gagasan tentang Tuhan sebagai hasil dari dialog dialektis antara teks kitab suci, dogma gereja dan actual beliefs satu komunitas adalah versi Tuhan yang mempromosikan damai, memperkuat kasih dan sikap hormat terhadap sesama yang berbeda, mengerjakan pembebasan dan mengarah kepada pembangunan kemanusiaan yang penuh bagi setiap orang dan komunitas. Yesus juga mengatakan hal yang sama. “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga” (Mat. 7:21).

Penutup

Berteologi dalam konteks atau yang lebih dikenal dengan istilah teologi kontekstual tidak bisa sekedar dilakukan dengan membacakan saja pemaknaan dan kepercayaan-kepercayaan yang sudah ada (banked beliefs) seperti yang terbukukan dalam kitab suci atau yang terdokumentasi dalam dogma-dogma gereja ke dalam konteks yang baru. Teologi kontekstual adalah sebuah pekerjaan yang mempertautkan banked beliefs dengan actual beliefs dari satu masyarakat. Mengingat sosiologi agama menyibukan diri untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan merekam actual beliefs dari satu masyarakat, maka sosiologi agama merupakan satu bidang kajian keilmuan yang meskipun memiliki domain tersendiri, tetapi tidak bisa dipisahkan dari domain teologi. Sebuah karya teologi yang mengabaikan hasil-hasil kajian sosiologi agama akan membuat karya itu menjadi kering. Sementara kajian-kajian sosiologi agama hanya akan menjadi barang usang yang patut dimuseumkan jika kajian-kajian itu tidak dijadikan salah satu bahan baku bagi tugas berteologi.

Jelasnya sosiologi agama dan teologi memang adalah dua rumpun ilmu yang berbeda. Menjaga agar kedua rumpun ilmu ini tetap berdiri di pos masing-masing, tanpa adanya dialog memang bisa terjadi dan ini yang sudah biasa. Yang belum biasa ialah upaya untuk membangun jembatan supaya kedua rumpun ilmu ini bisa bertemu dan hasil-hasil kajian dari keduanya didialogkan satu sama lain. Keputusan para pionir fakultas Teologi UKSW untuk menikahkan teologi dan sosiologi agama merupakan inovasi yang patut diberi apresiasi. Keputusan ini bolehlah dinamakan sebagai sebuah terobosan. Untuk konteks Indonesia terobosan ini makin melancarkan jalan bagi pergumulan gereja-gereja di Indonesia untuk menghasilkan karya-karya teologi yang berkarakter kontekstual.

(13)

yang mati kepada orang-orang yang hidup. Artinya mewajibkan manusia masa kini menerima warisan pengajaran mereka yang sudah mati sebagai ukuran iman. Sementara pendekatan wisdomic memungkinkan lahirnya iman yang hidup dari manusia yang hidup. Rujukan biblis dari model wisdomic ini cukup kaya. Kitab Amsal adalah gudangnya teologi dengan model wisdomic.24

24 Salivific adalah pendekatan dalam teologi yang mengandaikan bahwa keselamatan itu tidak punya sangkutpaut

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat sekitar proyek akan terkena dampak negatif dari penurunan kualitas udara berupa emisi gas dan meningkatnya debu yang bersumber dari mobilisasi alat

Data pengamatan Tabel 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 memperlihatkan bahwa secara interaksi maupun tunggal pemberian sludge pulp dan TSP tidak memberikan pengaruh yang nyata

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat men yelesaikan skripsi yang berjudul “ ANALISIS PENGARUH VARIABEL MAKRO DAN INDEKS DOW JONES

Penelitian yang berjudul “Analisis Anomali Suhu Permukaan dan Kerapatan Vegetasi Berdasarkan Citra Satelit Landsat 8 untuk Pemetaan Potensi Panas Bumi di Wilayah Kerja Panas

Mengidentifikasi cara memanfaatkan sumber daya yang langka untuk memenuhi kebutuhan dengan didasari pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat

Dari hasil pengolahan data yang diperoleh dalam penelitian berdasarkan pada rata-rata jawaban benar mahasiswa dalam menjawab pertanyaan dalam angket tes menunjukkan

Untuk mengaplikasikan teori sistem sebagai pendekatan dalam hukum Islam, Ada enam fitur sistem yang dioptimalkan Jasser Auda sebagai pisau analisis, yaitu

Model pembelajaran matematika tipe group investigation untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan self- concept siswa MTs.. Tesis pada SPs Universitas