• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Masyarakat Sipil dalam Transformas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Masyarakat Sipil dalam Transformas"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

PERAN MASYARAKAT SIPIL DALAM TRANSFORMASI KONFLIK DI KALIMANTAN BARAT1

Dini Suryani

Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Gedung Widya Graha LIPI Lt. XI, Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 10, Jakarta Selatan E-mail: dini.suryani@yahoo.co.id

ABSTRACT

This paper aims to describe the role of civil society in conflict transformation efforts in West Kalimantan. Civil societies in question are non-governmental organizations (NGOs), academics, and media. After 12 yearsof riots ethnic conflict in 1999 in Sambas West Kalimantan, relations among ethnic communities are not fully well. Unfortunately, the government has not had a comprehensive policy in response to this problem. Therefore, the role of civil society is vital in accelerating the conflict transformation and peace building. This research was conducted with qualitative methods which data were analyzed descriptively. The results showed that civil society actors have a huge potential in promoting conflict transformation efforts in the postconflict areas, with various challenges.

Key words: Conflict Transformation, Civil Society, West Kalimantan

Pendahuluan

Pasca runtuhnya rezim otoriter pada tahun 1998, Indonesia dilanda berbagai macam konflik dan kekerasan.Beberapa di antaranya bersifat sangat massif dan eskalatif. Hal ini sejalan dengan tesis yang dikemukakan oleh Jack Snyder bahwa dalam proses transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi dapat menyebabkan konflik.2

Salah satu konflik massif yang terjadi pasca jatuhnya Orde Baru adalah konflik horizontal di Sambas, Kalimantan Barat yang bermula pada tahun 1999.Konflik antara komunitas etnis Melayu Sambas dan Madura ini membawa dampak yang sangat besar. Konflik Sambas melibatkan massa dalam jumlah yang sangat besar dengan jumlah korban tewas sekitar ± 177 jiwa, 71 luka berat, 40 luka ringan, dan menyebabkan sekitar ± 21.626 orang mengungsi.3Durasinya juga cukup lama dan melibatkan aktor yang

1

Dimuat di Jurnal Nasion, Volume 9 No. 2, 2012, hlm. 39-50.

2Jack Snyder,Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Nasionalis,

(Jakarta: KPG, 2003),hlm. 3-36.

3

(5)

beragam. Konflik ini berdampak tidak hanya pada retaknya hubungan sosial di antara komunitas etnis yang berkonflik, tetapi juga meninggalkan duka yang mendalam dan kerugian sosio-kultural yang amat besar pada masyarakat Kalimantan Barat secara umum.4

Pasca lebih kurang 12 tahun meletusnya konflik antar komunitas etnis di Sambas menjadi penting untuk melihat bagaimana pembangunan perdamaian yang telah terjadi di wilayah ini. Pembangunan perdamaian yang dimaksud dalam tulisan ini dilihat dalam perspektif transfomasi konflik.Sebagaimana yang dikatakan oleh Timo Kivimaki, bahwa transformasi konflik sebagai pendekatan penyelesaian konflik adalah mentransformasi (mengubah) struktur-struktur interaksi yang semula merupakan struktur konflik menjadi struktur damai.5

Dalam sebuah riset yang dilaksanakan oleh LIPI di tahun 2011, transformasi konflik yang terjadi di Sambas dilihat dari empat level dimensi transformasi, yaitu perubahan personal, relasional, struktural, dan kultural. Riset tersebut menunjukkan bahwa secara personal, komunitas Melayu Sambas dan Madura memahami bahwa damai itu penting. Selain itu, masing-masing etnis merasakan adanya perubahan perilaku pada komunitas etnis lain menjadi lebih baik. Di level relasional, tak dapat dipungkiri stigma negatif terhadap komunitas etnis lain masih ada. Bahkan komunitas Madura masih dilarang memasuki wilayah Sambas. Di sisi lain hubungan sosial-ekonomis tetap terjalin dengan baik walau pembicaraan tentang konflik cenderung dihindari. 6

Di level struktural yang berkaitan dengan hal-hal prosedural, perubahan yang ada memperlihatkan bahwa pemerintah belum berupaya penuh mengakselerasi transformasi konflik di level kebijakan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya di tahun 2006, mengenai resolusi konflik di Sambas. Kajian tersebut menyatakan bahwa pemerintah (baik propinsi maupun kabupaten) bersikap pasif dalam resolusi konflik yang di dalamnya termasuk tahap peace building

4Mochammad Nurhasim, “Pendahuluan: Konflik dan Resolusi Konflik di Sambas dan Sampit”, dalam

Hermawan Sulistyo (eds.), Konflik dan Resolusi Konflik: Perbandingan di Sambas dan Sampit(Jakarta: LIPI Press, dalam proses penerbitan) hlm. 9.

5

Timo Kivimaki,“The Study of Ethnic Conflicts In Multi-Cultural Societies”, dalam Dewi Fortuna Anwar (eds.),Violent Internal Conflict In Asia Pacific(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; LIPI; LASEMA_CNRS; KITLV-Jakarta, 2005), hlm. 114.

6Dini Suryani,“Perbandingan Resolusi Konflik di Sambas dan Sampit”, dalam Hermawan Sulistyo (eds.).

(6)

(pembangunan perdamaian). Pemerintah menekankan pada ‘perdamaian alamiah’ yang sebetulnya bermakna bahwa negara secara sadar mempertaruhkan proses resolusi konflik pada inisiatif masyarakat.7

Pada level kultural, terdapat perubahan yang terjadi di salah satu komunitas etnis yang berkonflik, terdapat penerapan sanksi di internal komunitas untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh anggota komunitasnya. Meski di sisi lain rendahnya penerapan modal sosial dalam permasalahan sosial menjadi penghambat dalam transformasi konflik.

Secara khusus tulisan ini akan memfokuskan pada pembahasan mengenai peran masyarakat sipil dalam transfomasi konflik dan pembangunan perdamaian di Sambas, Kalimantan Barat. Masyarakat sipil terbukti berperan penting dalam upaya pembangunan perdamaian di banyak daerah paska konflik di Indonesia, seperti di seperti di Maluku, Papua, dan Poso.8 Dalam kasus Kalimantan Barat, pentingnya peran masyarakat tersebut terasa semakin vital karena pemerintah bersikap pasif dalam mendorong perubahan untuk transformasi konflik sebagaimana yang telah disampaikan.Untuk itu, kajian mengenai peran masyarakat sipil dalam pembangunan perdamaian dan transformasi konflik di Kalimantan Barat penting untuk dilakukan.Untuk membatasi pembahasan, maka masyarakat sipil yang dimaksud dalam tulisan ini adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, dan media.

Peran Masyarakat Sipil dalam Transformasi Konflik: Sebuah Kerangka Teoritik Menurut Lederach dan Maiesse, transformasi konflik dapat dipahami sebagai suatu proses jangka panjang untuk menyelesaikan sebab-sebab dan akar konflik sosial dan politik di satu sisi, dan di sisi lain mengubah dampak perang yang bersifat negatif kearah yang lebih positif. Dalam perspektif ini, transformasi konflik kerapkali dikaitkan dengan sejumlah kebutuhan yang dapat dilakukan untuk mengubah konflik.

Transformasi konflik memiliki beberapa komponen penting, yaitu:9

7

Heru Cahyono (ed.) op.cit, hlm. 207.

8

Cate Buchanan (ed.), Conflict Management in Indonesia – An Analysis of the Conflicts in Maluku, Papua, and Poso(Jenewa: Centre for Humanitarian Dialogue dan Indonesian Institute of Sciences, 2011).

9John Paul Lederach dan Michelle Maiese,Conflict Transformation”,

(7)

1. To Envision and Respond: Transformasi konflik dimulai dari dua hal 1) orientasi positif terhadap konflik, 2) pengaturan konflik untuk mencapai perubahan yang konstruktif

2. Ebb and Flow: Konflik dilihat sebagai hal yang alamiah dalam relasi. Dalam pandangan yang transformasional, konflik tidak dilihat sebagai episode particular yang ada dalam pola-pola hubungan manusia.

3. Life-Giving Opportunities: Konflik dilihat bukan sebagai ancaman tetapi sebagai sebuah kesempatan berharga untuk meningkatkan kesepahaman terhadap diri kita sendiri (self) dan orang lain (others).

4. Constructive Change Processes: Transformasi konflik dimulai dari tujuan sentral: membangun perubahan konstruktif terhadap energi yang diciptakan oleh konflik. 5. Reduce Violence and Increase Justice: untuk mengurangi kekerasan kita harus

melihat tidak hanya isu dan konten yang terlihat tetapi juga sebab dan pola yang tidak terlihat. Sedangkan untuk meningkatkan keadilan, kita harus yakin bahwa masyarakat memiliki akses untuk prosedur politik dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

6. Direct Interaction and Social Structures: Dalam pendekatan ini, transformasi konflik adalah sebuah kebutuhan untuk membangun kapasitas dalam rangka mengatur perubahan proses interpersoalan, inter-gorup, dan level-level struktur sosial.

7. Human Relationships: Hubungan antar manusia sebagai inti dari transformasi konflik.

Seteah menelaah konsep transformasi konflik, kita patut pula melihat konsepsi mengenai civil society atau masyarakat sipil. Masyarakat sipil sebagai sebuah konsep dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Konsepnya berkembang dengan sangat dinamis sesuai dengan konteks, setting, ideologi, dan kepentingan setiap subjek.

(8)

organisasi-organisasi dan asosiasi independen dalam masyarakat dan melakukan inkubasi budaya keadaban (civic culture) untuk membangun jiwa demokrasi.10

Definisi serupa dikemukakan pula oleh AS. Hikam yang mengatakan bahwa

civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-supporting), kemandirian tinggi “berhadapan” dengan negara, dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.11 Di sisi lain, menurut UNDP, masyarakat sipil tidak diposisikan berlawanan dengan negara tetapi berdampingan dengan pemerintah dan bisnis dalam konsep governance.12

Yang dimaksud dengan masyarakat sipil atau civil society adalah semua bentuk aksi politik yang diinisiasi oleh warga dari tingkat individu, sampai komunitas yang teroganisir atau organisasi massa. Beberapa di antaranya adalah partai politik, asosiasi bisnis dan pekerja, berbagai kelompok yang berfokus pada isu-isu tertentu dan organisasi lain yang yang ada untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Masyarakat sipil mencakup media, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi.13

Dalam kaitannya dengan transformasi konflik, Martina Fischer mengatakan bahwa aktor masyarakat memiliki potensi penting untuk pembangunan perdamaian baik di level internasional, nasional, dan lokal. Mendukung masyarakat sipil harus lebih jauh dikembangkan sebagai elemen kunci dari pembangunan dan politik yang damai, khususnya dalam proses regenerasi pasca perang dan pembangunan perdamaian.14

Secara lebih jauh Fischer menjelaskan peranan masyarakat dalam transformasi konflik dan pembangunan perdamaian.

“Civil society organisations are indispensable for peacebuilding and in particular for processes of reconciliation between hostile communities. In the field of dealing with the past they are often the first ones to give important impulses that influence the discourse on issues of truth and justice.”15

10

Endang Sriningsih,“Perdebatan Teoritis tentang Civil Society di Negara-Negara Asia”, proceeding Seminar Nasional Demokrasi Masyarakat Madani (Tangerang: FISIPOL Universitas Terbuka, 2011), hlm. 102

11 Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 3.

12Dyah Mutiarin, “Emerging Civil Society towards Good Local Governance”, Jurnal Spirit Publik 3(2):

2007, hlm. 77-78.

13

Ibid. hlm. 84.

14Martina Fischer, “Civil Society in Conflict Transformation: Strengths and Limitations. Dalam

Handbook of Conflict Transformation”,

http://www.berghof-handbook.net/documents/publications/fischer_cso_handbookII.pdf, 2011 (diakses 21 Maret 2012)

(9)

Pendapat Fischer tersebut didukung oleh Lederach yang mengatakan bahwa perdamaian harus dicapai dari tiga arah, yaitu top-down, middle-out, dan juga bottom-up, yang mana dapat diupayakan oleh masyarakat sipil.16

Di lain pihak, AS Hikam melihat bahwa, civil society atau masyarakat sipil tidak sekedar dapat dilihat sebagai sebuah ‘alat’ menuju demokrasi, dilihat sebagai sebuah tujuan itu sendiri. Masyarakat dapat mengawasi konflik-konflik sosial secara damai secara institusional.Syaratnya, civil society harus bersikap aktif.Warga negara yang aktif merupakan syarat mutlak demokrasi.17

Peran LSM dalam Transformasi Konflik

LSM memegang peranan penting dalam upaya resolusi dan transformasi konflik di Sambas, baik LSM lokal maupun LSM dari luar.Pada tahap awal, upaya LSM secara umum untuk mendorong rekonsiliasi dirasa kurang memadai. Tahap tertinggi yang dilakukan oleh LSM adalah rangkaian dialog yang masih di tataran formal.

Kegiatan LSM juga terkesan parsial dengan ego sektoral yang tinggi.Beberapa LSM bahkan terlihat seperti berebut kavling tanpa memiliki program yang menyeluruh dan kontinyu.Banyak sekali akhirnya LSM yang programnya berhenti atau “mati suri” karena tidak mendapatkan funding.18 Hal ini sejalan dengan tulisan Martina Fischer yang mengatakan bahwa tantangan yang cukup besar bagi organisasi masyarakat sipil dukungan dari pihak luar termasuk di dalamnya adalah pendanaan. Meski ia juga memperingatkan bahwa LSM perlu selektif dalam memilih mitra kerja agar tidak dikooptasi oleh kepentingan tertentu dan indepedensinya tetap terjaga.19

Atas berbagai masalah yang ada, hanya ada beberapa LSM yang hingga kini masih berupaya membangun perdamaian di Kalimantan Barat.Beberapa di antaranya adalah Common Ground Indonesia (CGI) dan Yayasan Swadaya Dian Khatulistiwa (YSDK). Belakangan, YSDK-lah yang benar-benar konsisten untuk tetap melanjutkan program perdamaian hingga saat ini.

Terdapat sebuah program menarik yang digagas oleh LSM YSDK, yaitu program cross visit atau kunjungan silang. Program cross visit ini dijalankan dengan

16

John Paul Lederach, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies (Washington DC: United States Institute for Peace, 1997), hlm. 39

17Muhammad AS Hikam, loc.cit,. 18

Heru Cahyono (ed.) op.cit, hlm. 115.

(10)

memfasilitasi komunitas Melayu Sambas untuk tidur di rumah-rumah komunitas etnis Madura eks-Sambas di wilayah relokasi dan sebaliknya.

Namun ada satu permasalahan yang menjadi kendala dalam pelaksanaan program kunjungan silang ini. Berdasarkan wawancara dengan Direktur YSDK diketahui bahwa, program cross visit saat ini masih didominasi oleh kunjungan (menginap) komunitas Melayu Sambas ke komunitas Madura di relokasi. Sedangkan komunitas Madura masih mengalami sedikit terhalang untuk menginap di Sambas. Menurutnya, terdapat dua penyebab yang berkaitan dengan hal ini.Pertama, masyarakat Madura sendiri memang belum berani untuk menginap di Sambas karena sebab-sebab psikologis seperti trauma, tidak merasa aman, dsb.Kedua, masyarakat di Sambas sendiri tidak berani untuk menjamin keamanan orang Madura yang akan menginap di Sambas. Akhirnya, ketika cross visit dilakukan komunitas Madura ke wilayah Sambas mereka hanya berkeliling, untuk bertemu dan berdiskusi.20

Program cross visit ini bertujuan menumbuhkan pemahaman antar etnis bahwa saat ini tidak ada lagi yang perlu ditakutkan, sehingga kedua etnis bisa berinteraksi dengan baik.Meski begitu, kendala yang dihadapi sebagaimana diceritakan di atas bukanlan persoalan yang mudah diatasi.Pada kenyataannya, progam cross visit ini memang belum terlalu sering dilakukan karena terkait dengan keamanan masing-masing komuitas etnis di tempat tujuan kunjungan, meski memang kunjungan komunitas etnis Madura ke wilayah Sambas cenderung lebih beresiko dibanding kunjungan komunitas etnis Melayu Sambas ke wilayah-wilayah relokasi Madura. Walaupun belum banyak dilakukan, program cross visit ini kemudian bisa menjadi model rekonsiliasi antar-etnis yang cukup efektif.

Di lain pihak, terdapat tantangan yang cukup besar bagi upaya LSM untuk mengakselerasi transformasi konflik di Sambas. Tantangan tersebut adalah masih eksisnya organisasi pemuda Melayu yang memiliki cabang-cabang di seluruh wilayah Kalimantan Barat, termasuk di Sambas. Organisasi tersebut bernama Forum Komunikasi Pemuda Melayu (FKPM).FKPM menurut Gerry van Klinken dalam tulisannya mengenai konflik etnis di Sambas, menjadi representasi dari pelaku-pelaku konflik.FKPM merupakan organisasi atau jaringan preman remaja dan jagoan-jagoan lapangan yang dikenal luas serta menjadi kendaraan politik untuk menggapai

(11)

pemenuhan berbagai kepentingan politik dan ekonomi bagi elite dan pemimpinnya. Elite FKPM banyak yang duduk dalam struktur pemerintahan Kabupaten Sambas, anggota legislatif, atau pemimpin organisasi yang punya basis massa serta kalangan birokrat pemerintah daerah Kabupaten Sambas.21

Para elite FKPM ini kemudian berusaha menyeragamkan pandangan mengenai akar konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik.Salah satu contoh upaya aktor FKPM untuk mempengaruhi wacana mengenai akar konflik, mereka mempengaruhi pendapat umum bahwa konflik itu disebabkan oleh persoalan kultural, dimana karakter dan perilaku orang Madura dianggap negatif. Pandangan yang bersifat umum ini memperlihatkan bahwa sesungguhnya aktor FKPM secara implisit ingin mempertahankan status quo ‘ketidakamanan’ dalam masyarakat Sambas, sehingga basis legitimasi FKPM sebagai pihak yang mengatasi masalah keamanan tidak terganggu.22Permasalahan ini secara khusus menganggu kegiatan cross visit yang dilakukan oleh LSM YSDK dan secara umum menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh upaya transformasi konflik para penggiat perdamaian.

Kiprah Akademisi dalam Transformasi Konflik

Di samping LSM, akademisi juga memegang peranan yang signifikan dalam mewujudkan perdamaian di Kalimantan Barat pasca konflik 1999.Sebut saja Universitas Tanjungpura Pontianak yang memang memiliki banyak akademisi yang mefokuskan diri mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan konflik komunal.Sebut saja Prof. Syarief Ibrahim Al Qadrie, Dr. Kristianus Atok, atau Hardi Suja’ie, M.Si.Selain itu ada pula Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak dengan lembaga Center for

Acceleration of Inter Religious and Ethnic Understanding (CAIREU) yang

dimilikinya.Beberapa akademisi yang aktif di lembaga ini adalah Eka Hendry, M.Si dan Dr. M. Haitami Salim.

Para akademisi Kalimantan Barat secara tidak langsung juga menjadi aktivis perdamaian dari ranah masyarakat. Berbagai kegiatan ilmiah seperti penelitian, kajian,

21Gerry van Klinken, “Pembentukan Identitas di Kalimantan Barat”, dalam Gerry van Klinken., Perang

Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia(Jakarta: KITLV, 2007), hlm. 100.

22

(12)

seminar, dan inisatif dialog antar komunitas etnis banyak diinisiasi oleh komunitas intelektual dalam rangka mendukung transformasi konflik di Kalimantan Barat.

Salah satunya adalah seminar konflik etnis yang diadakan pada tanggal 18 November 2009 lalu. Seminar yang bertajuk “Upaya Mewujudkan Keharmonisan di Kalimantan Barat Akibat Konflik Sosial di Tahun 1999 di Sambas” itu dilaksanakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Tanjungpura (Untan) di Pontianak, dengan disponsori oleh Menkokesra. Seminar tersebut mempertemukan perwakilan komunitas Melayu dari beberapa kecamatan di Sambas dengan masyarakat Kota Pontianak yang notabene adalah eks-pengungsi dari Sambas yang menjadi korban kerusuhan sosial pada tahun 1999 yang lalu. Seminar ini bertujuan untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap konflik dan secara lebih jauh dapat meredam berbagai gejolak konflik yang mungkin muncul di tengah masyarakat.23

Kegiatan serupa ternyata tidak hanya dilaksanakan di Pontianak yang relatif dirasa aman oleh komunitas etnis Madura yang hingga saat ini belum diterima dengan baik di Kabupaten Sambas. Pada tanggal 9 dan 10 Desember 2010 terdapat 16 mahasiswa dari komunitas etnis Madura perwakilan perguruan tinggi negeri dan swasta dari Pontianak mengadakan seminar bertema pendidikan multikultural di Hotel Pantura Sambas dan menginap di tempat tersebut. Sayangnya, Kepolisian Resort Sambas tidak berani memberi jaminan keamanan atas mahasiswa-mahasiswa dari komunitas etnis Madura itu.Bupati dan Wakil Bupati yang diundang juga tidak datang.Jaminan keselamatan justru datang dari kalangan mahasiswa Politeknik Sambas dan Sekolah Agama Islam Tsaifudin Sambas.24 Peristiwa tersebut semakin memperlihatkan bahwa pemerintah bersikap pasif terhadap upaya perdamaian dan transformasi konflik di wilayah ini.

Tidak hanya di level perguruan tinggi, inisiatif dari dunia pendidikan dalam mendorong transformasi konflik juga datang dari SMA Negeri 1 Sambas yang mengenalkan model pembelajaran pemahaman atas konflik untuk peserta didik. Berdasarkan keterangan dari seorang aktivis perdamaian dari LSM yang dimotori oleh komunitas Madura, LSM Misem, tokoh pencetusnya adalah seorang guru bernama Ibu

23

FISIPOL Fasilitasi Etnis Sambas dan Madura. 2008(http://www.untan.ac.id/?p=166, diakses 23 Maret 2012)

24Bambang Hendra Suta Purwana, “Beberapa Catatan Tentan Resolusi Konflik Sambas”, Makalah dalam

(13)

Eny. Beliau menekankan pada para siswa/i untuk mengembangkan rasa empati, turut merasakan penderitaan korban kerusuhan, dan menumbuhkan rasa toleransi terhadap keragaman kultur.Ibu Eny mengajak murid-muridnya untuk memaknai konflik dari segi budaya. Ia dan para murid membuat beberapa puisi mengenai konflik dan dimuat dalam Majalah Horison serta diterbitkan dalam Buku Kumpulan Puisi Terbaik dari Majalah Horison.25 Metode pembelajaran semacam ini sesungguhnya cukup efektif untuk mengubah cara pandang masyarakat dalam melihat konflik dengan mengubah cara pandang generasi mudanya. Dengan begini, kalangan akademisi telah menjalankan perannya sebagai kalangan masyarakat sipil yang memiliki kekuatan moral (moral force) untuk menyebarkan nilai-nilai positif di masyarakat.

Meski begitu, di lain pihak, upaya akselerasi transformasi konflik juga mendapat tantangan dari kalangan akademisi sendiri. Berdasarkan wawancara dengan aktivis perdamaian dari Pontianak Institute, seorang akademisi ternama Kalimantan Barat memunculkan teori bahwa konflik merupakan fenomena berulang yang secara periodik muncul. Baginya ini merupakan hal yang justru kontradiktif dengan upaya perdamaian karena dengan tersosialisasikannya teori konflik semacam itu masyarakat akan merasa terbiasa dengan konflik yang ada, sehingga upaya menghindari konflik (antar etnis) menjadi minimal.26 Seharusnya pihak perguruan tinggi mengembangkan teori yang progresif terhadap transformasi konflik, bukan malah sebaliknya.

Peran Media dalam Transformasi Konflik

Media merupakan salah satu pilar masyarakat sipil yang seharusnya juga memiliki kontribusi terhadap akselerasi upaya perdamaian di Kalimantan Barat.Sebagai jendela informasi masyarakat media dapat berperan dalam mempublikasikan hal-hal positif mengenai interaksi antar etnis.Namun apabila melihat pada saat konflik terjadi, menurut hasil riset yang dilakukan oleh Hardi Suja’ie dari FISIPOL Untan, media tidak melakukan fungsi yang baik dalam meredam konflik.

Studi yang dilakukan pada tahun 1998-2002 tersebut menunjukkan bahwa terdapat 30 persen pemberitaan media malah cenderung memprovokasi konflik.Hanya 10 persen yang berusaha meredam konflik.Sedangkan sisanya biasa saja dalam

25Ibid. hlm. 10-11. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Subro, aktifis LSM MISEM dalam

wawancara tanggal 11 Mei 2011, di Pontianak.

(14)

memberitakan suatu konflik. Menurut akademisi dari Untan tersebut perilaku media yang tidak sensitif konflik, bisa terjadi karena berbagai hal. Salah satunya adalah dinamika politik yang berkembang menumbuhkan kebebasan pers yang berakibat pada tidak adanya kontrol bagi pers. Kontrol dari pers sendiri sulit dilakukan karena kurangnya pemahaman atas konflik.27

Pada tanggal 28 September 2009, di tiga media cetak terbesar di Kalimantan Barat yaitu Pontianak Post, Borneo Tribune, dan Tribun Pontianak menerbitkan sebuah seruan damai yang dinamai “Seruan Pontianak”. Seruan tersebut yang diinisiasi oleh lebih dari 70 aktivis, akademisi, jurnalis, serta tokoh masyarakat Kalimantan Barat menyusul insiden pertengkaran yang melibatkan seorang warga dari etnis Melayu dengan seorang etnis Tionghoa. Pertengkaran yang sesungguhnya bersifat pribadi itu berakibat pada perusakan kolektif rumah-rumah di suatu wilayah komunitas Tionghoa oleh beberapa orang dari etnis Melayu di Pontianak.28

Walaupun menyerukan perdamaian, ternyata penerbitan Seruan Pontianak menimbulkan pro kontra.Banyak tokoh Melayu dan Dayak yang tersinggung dengan pemakaian kata-kata yang dianggap vulgar dan membuka luka lama konflik etnis yang pernah dialami oleh masyarakat Kalimantan Barat di masa lalu. Akhirnya karena tekanan sosial yang bertubi-tubi, para penggagas Seruan Pontianak meminta maaf melalui iklan satu halaman penuh di surat kabar harian.29 Peristiwa Seruan Pontianak ini menunjukkan bahwa media memiliki peran besar dalam pertarungan wacana utamanya mengenai politik identitas di Kalimantan Barat yang dalam banyak peristiwa berpotensi memicu konflik sosial.

Meski begitu, media dinilai beberapa pihak belum berperan aktif dalam transformasi konflik. Menurut pendapat seorang aktivis perdamaian dari Pontianak Institute terdapat kecenderungan bahwa media masih memunculkan istilah ‘suku mayoritas’ dan ‘suku minoritas’. Jika begini, alih-alih berkontribusi terhadap upaya perdamaian, media di Kalimantan Barat justru memperlebar jarak sosial (social

27

Muhlis Suaeri dan Jessica Wuysang, “Media MilikiPeranPentingMenyikapiKonflik”, Borneo Tribune. 29 Juli 2008, hlm. 1.

28 “UsungPerdamaian, Digalang ‘Seruan Pontianak’”. 2008. (http://www.jpnn.com/berita.detail-46493,

diakses 23 Maret 2012)

(15)

distance). Selain itu, media juga cenderung memberitakan masalah konflik daripada pemulihan konflik.30

Media sejatinya bertugas untuk melihat, memperkaya data dan fakta, kemudian melaporkannya kepada masyarakat. Intepretasi sepenuhnya berada di tangan masyarakat.Melihat keadaannya sekarang, peran media dalam mengakselerasi upaya pembangunan perdamaian dan transformasi konflik masih harus didorong lebih jauh.

Penutup

Aktor masyarakat sipil yang dinilai berupaya mendorong transformasi konflik di Kalimantan Barat yang dilihat dalam tulisan ini adalah LSM, akademisi, dan media. LSM di Kalimantan Barat menjalankan peran cukup signifikan dalam upaya transformasi konflik di Sambas. Program seperti kunjungan silang yang diprakarsai oleh salah satu LSM sedikit banyak berupaya memperbaiki human relationship yang menjadi inti dari transformasi konflik.Meski begitu, LSM masih harus menghadapi tantangan dari beberapa kelompok masyarakat sendiri yang pro status-quo terhadap ‘perdamaian semu’ yang terjadi di Kalimantan Barat.

Aktor masyarakat sipil yang lain, yaitu akademisi, berperan pada menciptakan kesepahaman terhadap diri (self) dan orang lain (others) melalui kajian-kajian yang dipublikasikan, forum-forum ilmiah, dan dialog antar etnis yang diadakan. Di tingkat pendidikan dasar, perubahan cara pandang generasi muda Kalimantan Barat terhadap konflik secara lebih positif dengan metode pembelajaran melalui pendekatan budaya juga patut diapresiasi. Meski di lain pihak, beberapa teori mengenai konflik yang dibuat oleh akademisi Kalimantan Barat dinilai belum cukup transformatif.

Sedangkan media berfungsi sebagai tempat bertarungnya wacana yang dalam hal ini mengenai politik identitas yang dalam banyak peristiwa berpotensi memicu konflik sosial di Kalimantan Barat.Namun perannya baru sebatas itu, karena hingga saat ini pemberitaan media di Kalimantan Barat masih cenderung memberitakan masalah konflik semata dan belum banyak memberitakan soal pemulihan konflik.Hal ini menunjukkan bahwa upaya media untuk berperan dalam pembangunan perdamaian dan transformasi konflik masih harus didorong lebih jauh.

30

(16)

Uraian di atas menunjukkan bahwa masyarakat sipil sejatinya merupakan aktor yang sangat potensial dalam mendorong upaya transfomasi konflik di wilayah-wilayah paska-konflik terlepas dari berbagai keterbatasan yang ada.

Bagaimanapun upaya transformasi konflik dan pembangunan perdamaian di wilayah paska-konflik harus diupayakan oleh semua pihak. Masyarakat sipil tidak bisa mengupayakannya sendiri. Berikut ini adalah saran yang dapat diajukan kepada pihak pemerintah dan sektor bisnis sebagai dua aktor pembangunan lain, yaitu:

1. Pemerintah dalam hal ini patut membuat kebijakan yang mendukung transformasi konflik secara signifikan. Misalnya membangun pemukiman yang plural dan berisi warga dari beberapa etnis, sehingga memungkinkan etnis yang ada untuk berinteraksi dan memupuk relasi yang lebih baik.

2. Dukungan sektor bisnis juga sangat penting terutama melalui program corporate social responsibility (CSR) yang mereka lakukan. Upaya pembangunan perdamaian dan transformasi konflik dapat dilakukan melalui program CSR dan dikerjasamakan dengan organisasi masyarakat sipil.

Daftar Pustaka

Atok, Kristianus. 2010. “Studi Etnisitas di Kalimantan Barat”, dalam Kristianus Atok.

Menemukan Jalan Transformasi Konflik Di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Buchanan, Cate (ed.). 2011. Conflict Management in Indonesia – An Analysis of the Conflicts in Maluku, Papua, and Poso. Jenewa: Centre for Humanitarian Dialogue dan Indonesian Institute of Sciences.

Cahyono, Heru. (ed.) 2006. Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI.

Fischer, Martina. 2011. Civil Society in Conflict Transformation: Strengths and Limitations. Dalam Handbook of Conflict Transformation ( http://www.berghof-handbook.net/documents/publications/fischer_cso_handbookII.pdf, diakses 21 Maret 2012)

“FISIPOL Fasilitasi Etnis Sambas dan Madura”. 2008(http://www.untan.ac.id/?p=166, diakses 23 Maret 2012)

Hikam, Muhammad AS. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.

Kivimaki, Timo. 2005.“The Study of Ethnic Conflicts In Multi-Cultural Societies”,

Dewi Fortuna Anwar (eds.). Violent Internal Conflict In Asia Pacific.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; LIPI; LASEMA_CNRS; KITLV-Jakarta.

Klinken, Gerry van. 2007. “Pembentukan Identitas di Kalbar”, Gerry van Klinken.

Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: KITLV.

(17)

Lederach, John Paul. Maiese, Michelle. (tanpa tahun) Conflict Transformation. (

http://www.tetras-consult.gr/resources/Resources/Dialogue,%20Conflicts%20%20%20Creativity/ Conflict%20Transformation.pdf, diakses tanggal 22 Maret 2012)

Mutiarin, Dyah. 2007. Emerging Civil Society towards Good Local Governance.JurnalSpirit Publik 3(2).

Nurhasim, Mochammad. (dalam proses penerbitan). “Pendahuluan: Konflik dan Resolusi Konflik di Sambas dan Sampit”, Hermawan Sulistyo dan Dini Suryani (eds.). Konflik dan Resolusi Konflik: Perbandingan di Sambas dan Sampit.

Jakarta: LIPI Press.

Purwana, Bambang Hendra Suta. 2011. Beberapa Catatatan Tentang Resolusi Konflik Sambas.Makalah dalam Focus Group Discussion“Konflik dan Resolusi Konflik: Perbandingan Sambas dan Sampit” Jakarta: P2P LIPI.

Snyder, Jack. 2003. Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Nasionalis. Jakarta: KPG.

Sriningsih, Endang. 2011. Perdebatan Teoritis tentang Civil Society di Negara-Negara Asia. Makalah dalam Seminar Nasional Demokrasi Masyarakat Madani.Tangerang: FISIPOL Universitas Terbuka.

Suaeri, Muhlis. Wuysang, Jessica.2008. Media Miliki Peran Penting Menyikapi Konflik, Borneo Tribune. 29 Juli: 1

Suryani, Dini. (dalam proses penerbitan). “Perbandingan Resolusi Konflik di Sambas dan Sampit”, Hermawan Sulistyo dan Dini Suryani (eds.). Konflik dan Resolusi Konflik: Perbandingan di Sambas dan Sampit. Jakarta: LIPI Press.

“Usung Perdamaian, Digalang ‘Seruan Pontianak’”. 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Pada pengamatan hari ke-2, terong yang disimpan pada suhu ruang tetap memiliki tekstur keras namun warna terong tersebut berubah menjadi hijau pucat, dan kenampakannya

Sedangkan untuk Tujuan Penelitian ini adalah untuk: (1) Mengetahui karakteristik campuran beton aspal padat ditinjau dari metode pengujian Marshall yang menggunakan

Faktor ini tidak terlepas karena didalam memandang harga banyak yang melihat dari nominal yang harus dikeluarkan untuk melakukan pembelian, sehingga mereka akan

Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui Bagaimanakah regulasi tentang Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi; (2) Untuk mengetahui kesinkronan peraturan

Agama Yahudi adalah salah satu agama yang sudah ada di Arab sebelum datangnya Islam.. Ajaran agama Yahudi

Dari 199 RPP diketahui bahwa guru menggunakan berbagai model penilaian dalam kegiatan pembelajaran seperti: penilaian uraian, penilaian produk, penilaian tertulis,

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (a) Data berupa skor kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan Instrumen Penilaian

Esensi penelitian tindakan terletak pada adanya tindakan praktisi dalam situasi yang alami untuk memecahkan permasalahan- permasalahan praktis atau meningkatkan