• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Relevansi dalam Sosiologi Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Isu Relevansi dalam Sosiologi Pendidikan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KELOMPOK

MATA KULIAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

ISU RELEVANSI DALAM SOSIOLOGI PENDIDIKAN (GLOBALISASI, TEKNOLOGI INFORMASI, DAN MINAT BACA)

DOSEN PENGAMPU

Prof. Dr. MUJIYONO WIRYOTINOYO.M.Pd Prof. Dr. H. RAHMAT MURBOYONO,M.Pd.

OLEH

ANGGIA PRATIWI P3A115008

PROGRAM STUDI DOKTOR KEPENDIDIKAN PROGRAM PASCASARJANA

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb.

Alhamdulillah, puji syukur kita haturkan kepada Allah Swt karena masih diberi kesempatan dan kesehatan untuk menyusun makalah sederhana ini pada mata kuliah Sosiologi Pendidikan. Makalah ini disusun untuk dipresentasikan pada mata kuliah Sosiologi Pendidikan.. Tujuan penulisan makalah ini sebagai salah satu cara untuk memahami isu yang relevan dalam sosiologi pendidikan. Dalam penulisan makalah ini penulis dapat banyak hambatan, tetapi berkat dorongan dari berbagai pihak makalah ini dapat diselesaikan, terutama dorongan dari rekan-rekan Angkatan 2015 Program Studi Doktor Kependidikan, Universitas Jambi. Untuk itu, terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat dan berguna sebagai penambah ilmu dan bahan perkuliahan. Demikian, terima kasih atas perhatianya.

Wassalamualaikum Wr Wb

Bangko, 7 November 2015 Penulis

(3)

DAFTAR ISI

Cover ………. 1

Kata Pengantar ……… 2

Daftar Isi ……….. 3

A. Pendahuluan ……….……. 4

B. Pembahasan ……….….. 5

1. Globalisasi ……….….. 5

2. Teknologi Informasi ……….…... 7

3. Minat Baca ……….…. 9

C. Kesimpulan ………... 11

Referensi

(4)

(Globalisasi, Teknologi Informasi dan Minat Baca) A. Pendahuluan

Penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang selama ini nyaris menjadi agama semu merupakan suatu fenomena yang cukup menonjol di masa sekarang, oleh sebagian ahli disebut juga sebagai masa “postmodernisme”. Masa ini ditandai krisis yang mendalam pada berbagai aspek kehidupan. Pada saat yang sama, masyarakat diberondong dan ditaklukkan oleh media massa; dunia menjadi kampung global. Globalisasi informasi dan gaya hidup yang dibawa oleh media massa seringkali justru mengakibatkan semakin akutnya anomali nilai-nilai, termasuk di dunia pendidikan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada awalnya dianggap sebagai solusi bagi masalah hidup manusia, tapi perlahan-lahan keluar dari relnya. Meminjam ungkapan Komarudin Hidayat, manusia modern cenderung terkena “syndrom midasisme”. Istilah “syndrom midasisme” diambil dari mitologi Yunani, yaitu mitologi tentang seorang raja yang bernama Midas, pergi bertapa memohon kekuatan yang luar biasa, supaya apa yang disentuhnya menjadi emas, dan keinginannya itu dikabulkan oleh dewa. Namun yang terjadi kemudian sungguh tragis, semua yang ia sentuh kemudian menjadi emas, tak terkecuali anak dan istrinya. Tentunya kemudian hal itu menjadi tragedi jiwa paling rumit dan mengharu biru yang diderita oleh Raja Midas, ia kemudian harus menjalani hidupnya dengan kondisi kesepian dan kehampaan, tanpa ” cinta”.

Pangkal persoalan tersebut adalah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan khazanah peradaban Barat tidak tumbuh dari suatu proses yang bersubstansikan iman dan nilai etis. Akan tetapi justru tumbuh dari proses yang menjauhi nilai-nilai keimanan dan sekularistik.

Pada akhir abad 20 yang lalu, para cendikiawan sudah mulai merisaukan dampak dari sains dan teknologi yang mulai menghancurkan nilai-nilai dan budaya tradisional. Akibat budaya saintifikal-teknologikal, menurut Azra, yang dibawa oleh media produk kemajuan teknologi telah munculnya semacam wabah mass culture (budaya massa) atau pop culture (budaya pop), dengan berbagai perkembangan dan dan konsekuensi lanjutannya (1999:197). Teknologi telah berhasil menipu persepsi masyarakat tentang realitas yang sebenarnya. Pemberitaan media massa ada kalanya lebih mengandung muatan instruktif dan minim content informatifnya, sehingga masyarakat cenderung menerimanya secara taken for granted.

(5)

Gerbner sebagaimana dikutip dari Rahmat, bahwa televisi yang merupakan hasil teknologi telah menjadi agama masyarakat industri. Dampak paling besar pengaruh buruk dari sains dan teknologi dirasakan di negara-negara berkembang (2004).

Sehingga banyak cendikiawan yang pesismistis melihat minat baca ketika dunia pendidikan dihadapkan dengan kebudayaan digital. Ada yang melihat budaya digital menjadi ancaman terbesar bagi dunia pendidikan. Satu diantara contoh pengaruh buruk dari sains dan teknologi di bidang pendidikan adalah berkurangnya pemahaman seorang pendidik tentang ruang kelas sebagai sistem sosial. Pendidik cenderung memanfaatkan media digital/internet dalam proses pembelajaran dibandingkan berinteraksi langsung dengan peserta didik di dalam kelas. Padahal dengan mengutamakan ruang kelas sebagai sistem sosial, hubungan pendidik dengan peserta didik dengan status dan peran masing-masing membentuk suatu jaringan hubungan yang berpola. Pola jaringan hubungan pendidik-peserta didik ini memberi dampak pada perilaku, kompetensi, capital sosial-budaya dan keberhasilan peserta didik di masa mendatang. Untuk itulah makalah sederhana ini akan mengupas masalah-masalah yang sedang berkembang yang terkait dalam sosiologi pendidikan.

B. Pembahasan 1. Globalisasi

Bukan sebuah kearifan jika menuding ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu-satunya biang dari penyebab krisis kemanusiaan, karena krisis kemanusiaan disebabkan juga oleh globalisasi. Secara sederhana globalisasi dapat dimaknai sebagai fenomena yang membuat dunia menjadi desa global, dimana seka-sekat geografis semakin kabur dan nilai-nilai semakin melebur. Jika John Naisbitt dan Patricia Aburdene berpendapat bahwa globalisasi punya kecenderungan kesamaan gaya hidup hanya berpengaruh dalam ranah: food, fashion, dan fun, maka Rahmat (2004:71) cenderung punya pendapat yang berbeda, menurutnya globalisasi telah merambah dan “mewabah” life style di seluruh dunia pada abad XXI ini, meliputi: faith, fear, facts, fiction, dan formulation.

(6)

Imperialisme zaman industri bermetamorfosis dari penjajahan manusia atas manusia melalui senjata menjadi penjajahan manusia atas manusia lainnya melalui akses informasi. Dampak paling meresahkan dari globalisasi informasi, menurut Azra, yaitu ekspansi imperialisme budaya Amerika (American cultural imperialisme). Imperialisme budaya Amerika bukan hanya memporakporandakan sistem nilai negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga meresahkan negara-negara maju lainnya. Sebab, media informasi ala Amerika tidak hanya semata-mata informasi dan hiburan, tapi juga memasarkan nilai, sikap dan gaya hidup. Akhir-akhir ini, yang lebih banyak terjadi di Indonesia adalah ekspansi imperialisme budaya Korea.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gaya hidup (life style) merupakan salah satu penyebab segala krisis. Dengan dalih mengikuti gaya hidup, manusia modern cenderung lepas kendali. Media elektronik secara drastis telah membuat perubahan dan pergeseran standar hidup dan gaya hidup baik di negara maju maupun negara berkembang. Dampak itu dirasakan oleh petani, siswa hingga mahasiswa.

Pada saat sekarang ini peradaban manusia, menurut Alvin Toffler, telah memasuki gelombang ketiga peradaban manusia, yaitu era informasi. Pada masa silam, peradaban manusia telah melalui tahap-tahap historis yang berantai yaitu agrikultural dan industri.

Para ahli membagi sejarah peradaban umat manusia kepada beberapa tahap: hunting and gathering societies (masyarakat pemburu), pastoralist societies (masyarakat pengembala), holtikulturalist societies (masyarakat bertani sejak 6000 tahun yang lalu), industrial societies (masyarakat industri, dimulai sekitar 300 tahun yang lalu), dan information societies (masyarakat informasi, dimulai sekitar setengah abad yang lalu). Dari tahapan-tahapan itu masalah yang dihadapi manusia semakin beragam, tak terkecuali masalah pada ranah pendidikan. Pada masyarakat industri, terkenal dengan komersialisasi pendidikan. Sehingga pendidikan menjadi mahal.

(7)

Fakta seperti ini bukan untuk diratapi, melainkan untuk dihadapi. Banyak serta besarnya masalah yang dihadapi bangsa justru merupakan tantangan untuk ditaklukkan. Hal demikian perlu diawali dari pelurusan dan pencerahan pola pikir masyarakat. Dalam konsep akademis, Paulo Freire menggambarkan proses demikian sebagai ‘conscientization’ atau membebaskan yang terindas dari penindasan. Hampir serupa dengan itu, Sigmund Freud menawarkan teori super ego, dimana’Id’ harus dibebaskan dari ketertindasannya oleh ego.

Pencerahan dan pembalikan pola pikir dan sikap tersebut memerlukan suatu paradigama tertentu. Selama ini, pendidikan kita terlalu terkungkung oleh paradigma linear yang dirintis oleh Rene Descartes. Cara linear ini memang berhasil membawa perubahan, namun juga menghasilkan banyak implikasi atau dampak negatif lainnya. Dampak terparahnya, pendidikan kita pada masa globalisasi ini cenderung hampa nilai. Berbeda dengan paradigama holistik yang yang telah dikonseptualisasikan secara sempurna oleh Ibnu Sina, seorang filosof muslim, pendidikan mesti kaya akan nilai. Paradigma paling penting dalam pendidikan yaitu paradigma pendidikan holistik. Selama ini paradigma pendidikan linear telah ikut andil dalam kerusakan dunia pendidikan.

Konsep demikian yang harus dikembangkan, bukan saja untuk dapat menjadi kebijakan dalam dunia pendidikan melainkan juga harus menjadi acuan nilai seluruh masyarakat pada masa globalisasi ini sehingga menjadi acuan jelas kemana harus melangkah maju. Nilai-nilai tersebut harus disebarkan ke setiap peserta didik bahkan seluruh anak bangsa sehingga menjadi pribadi dengan pola pikir dan sikap yang ‘baru’. Untuk itu, perlu dicari cara-cara yang efektif untuk mensosialisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam seluruh masyarakat yang memiliki latar pendidikan serta posisi sosial yang berbeda.

2. Teknologi Informasi

Munculnya peralatan-peralatan baru dalam teknologi komunikasi dan informasi bukan hanya menciptakan globalisasi informasi, tetapi sekaligus pula globalisasi gaya hidup (lifestyle), pandangan dunia (world-view), ideologi, sistem nilai, dan sebagainya. Dalam proses globalisasi nilai-nilai ini, tentu saja yang paling banyak mengambil manfaat adalah mereka yang menguasai media komunikasi dan informasi yang serba canggih itu. Sedangkan yang menjadi “korban” adalah masyarakat-masyarakat yang cuma bisa menjadi sasaran atau konsumen informasi, tidak menguasainya.

(8)

gadget. Dengan demikian, yang terjadi dalam budaya saintifik-teknologikal ini adalah imperalisme budaya. Negara Barat sebagai penguasanya.

Pada kenyataannya, pada budaya digital ini, manusia mengalami pelipatan sosial, yaitu terjadinya penaklukan ruang oleh waktu lewat kemajuan teknologi informasi dan virtualitas, telah memungkinkan dilakukan berbagai aktivitas sosial yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Dapat diartikan juga, pelipatan sosial sebagai dampak budaya digital, bahwa tidak saja waktu atau durasi perpindahan sosial dari satu stasiun ke stasiun lainnya di dalam ruang-waktu yang diperpendek, bahkan kini berbagai aktivitas sosial tidak lagi memerlukan perpindahan fisik itu sendiri. Begitu banyak kegiatan sosial, yang tak lagi memerlukan pergerakan fisik itu mulai dari belanja (teleshopping) secara on-line, rapat dengan teknologi teleconference, menonton tv kabel dan belajar dengan telelearning. Internet telah menyiapkan segala perangkat itu (Piliang, 2011:57).

Daftar tentang berbagai kemungkinan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk kepentingan kemajuan bisa diperpanjang. Tetapi lebih penting dari sekedar daftar kemungkinan itu adalah memulai upaya ke arah penumbuhan kesadaran dan budaya informasi di kalangan kita. Inilah langkah awal amat penting yang harus segera kita lakukan.

Selain itu, ekses teknologi informasi ada pula. Ide tentang sosial dan masyarakat cenderung lenyap, disebabkan oleh berkembangnya model-model sosial semu, yang terbentuk melalui interaksi dan komunikasi menggunakan media virtual, seperti televisi, HP dan internet. Realitas sosial kini diambil alih oleh realitas media. Ruang kelas telah kehilangan spirit sebagai ruang sosial dan budaya. Interaksi, pertukaran dan dinamika kelas telah terpinggirkan oleh teknologi.

3. Minat Baca

Upaya memajukan pendidikan tak pernah bisa lepas dari upaya peningkatan minat baca, karena dengan rajin membaca mereka akan menjadi lebih terberdayakan. Sebab, bacaan tidak hanya mampu membuka mata dan telinga manusia, tapi juga hati dan pikiran, terhadap berbagai realitas di sekitarnya, baik realitas yang berupa ancaman maupun peluang untuk meraih kemajuan di masa depan.

(9)

gerakan sosial untuk melahirkan suatu perubahan sosial menuju tatanan masyarakat baru yang lebih baik.

Efek pencerahan dan pemberdayaan dalam dunia pendidikan yang ditimbulkan oleh karya sastra dan bahan bacaan lain memang tidak secara langsung terlihat dan dapat diukur secara matematis. Bahan-bahan bacaan, secara pelan-pelan tapi pasti, akan mengubah perasaan, pikiran, dan cara pandang sesorang terhadap suatu keadaan masyarakat.

Bahan bacaan pada dasarnya adalah sumber ilmu pengetahuan. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, media bahan bacaan atau sumber ilmu pengetahuan terus mengalami evolusi dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai revolusi.

Dapat dibayangkan bahwa manusia yang pertama kali muncul kira-kira 36.000 tahun yang lalu belum meninggalkan budaya tulis, baru dua belas ribu tahun sesudah itu ada lukisan pada dinding gua. Tidak ada penemuan teknologi komunikasi selama 18.000 tahun. Pada 4.000 SM ditemukan tulisan pertama. Pada 1.000 SM manusia mengenal abjad pertama kali. Percetakan baru ditemukan pada abad ke-15 M. Mulai abad ke-20 M terjadilah berbagai penemuan komunikasi yang menakjubkan. Selama abad ke-21 M yang baru berlangsung beberapa tahun saja, manusia telah menciptakan teknologi komunikasi lebih banyak dari apa yang diciptakan sepanjang sejarah peradaban manusia.

Melalui teori gelombang revolusi pemikirannya, Stevan Harnad mengatakan bahwa umat manusia dewasa ini berada pada ambang revolusi keempat. Adapun tiga gelombang revolusi yang telah dilalui menurut Stevan Harnad adalah sebagai berikut (Bafadal:2004).

Pertama, terjadi ribuan tahun yang lalu, ketika bahasa pertama yakni bahasa lisan, muncul dalam peradaban manusia. Bangunan ilmu pengetahuan tersedia dalam otak para cerdik pandai dan siap didistribusikan secara lisan kepada muridnya.

Kedua, terjadi ketika manusia menemukan huruf atau tulisan sebagai alat komunikasi baru, yang membawa manusia ke era budaya tulis. Budaya tulis melengkapi budaya lisan, sebagai alat komunikasi manusia, sekaligus sebagai alat untuk menyempurnakan konstruksi ilmu pengetahuan serta mentransformasikannya kepada sesamanya.

Ketiga, revolusi media konstruksi ilmu pengetahuan terjadi ketika teknologi cetak ditemukan pada abad ke-15 oleh Johannes Gutenberg, yang memudahkan dan mempercepat duplikasi serta penyebaran bahan-bahan bacaan.

Terakhir, keempat, loncatan media konstruksi ilmu pengetahuan terjadi ketika teknologi internet ditemukan. Kemampuan internet yang dapat menembus batas-batas negara, memungkinkan berbagai informasi terbaru dan ilmu pengetahuan memiliki percepatan penyebaran ke berbagai penjuru dunia, dan mengalami proses transformasi yang lebih mengglobal.

(10)

membangun budaya tulis, dan revolusi teknologi cetak membangun budaya cetak, maka revolusi teknologi internet sedang membangun ‘budaya digital’ – suatu kebudayaan di mana semua aktivitas dan interaksi sesama manusia berbasis pada sistem digital.

Baik di negara maju maupun berkembang, internet telah masuk secara merata ke ruang-ruang kelas siswa sekolah dasar sampai mahasiswa perguruan tinggi dan menjadi salah satu media pendidikan yang penting. Namun tentunya, di era digital ini, adanya bahan-bahan yang tercetak, baik buku, jurnal, maupun surat kabar, tetap penting dan diperlukan. Media cetak tak akan tergantikan begitu saja oleh media digital, karena memiliki karakter yang berbeda. Keduanya akan hidup berdampingan untuk saling melengkapi, sesuai kebutuhan, situasi dan kondisi.

C. Kesimpulan

Dari paparan di atas, ada beberapa hal yang bisa diambil kesimpulan.

Pertama, menerima globalisasi merupakan sebuah keniscayaan. Masyarakat yang sehat, menurut Erich From, adalah masyarakat yang terbuka terhadap perubahan menuju yang lebih baik. Sebuah slogan ini sepertinya relevan: think globally and act locally.

Kedua, siapa yang menguasai teknologi, maka ia akan menguasai dunia. Membanjirnya produk-produk baru dalam teknologi komunikasi dan informasi yang terus akan muncul itu bakal mempercepat terbentuknya budaya digital. Inilah proses yang tak bisa dielakkan oleh masyarakat dunia mana pun. Dunia pendidikan termasuk di dalamnya.

(11)

Referensi

Azra, Azyumardi. 1999. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina.

Alvin, Toffler. 1987. Previews and Premises. Jakarta: Pantja Simpati.

Bafadal, Fadhal Ar. 2004. Pemuda, Agama, dan Kehidupan Kontemporer. Jakarta: Departemen Agama RI.

Pilian, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya melalui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Referensi

Dokumen terkait

Relevansi yang ada pada riset ini dan yang hendak dianalisis oleh peneliti yakni memfokuskan pada isu budaya yang terdapat di dalam Film.. Bedanya dengan penelitian yang

27 Dengan senang hati saya akan meninggalkan pekerjaan saya yang sekarang apabila saya mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih baik.. 28 Untuk tetap bertahan pada pekerjaan

Pemberian minyak Nigella sativa dengan dosis 0,3 ml/hari dapat menurunkan persentase morfologi abnormal spermatozoa mencit diabetes

Hewan makrobenthos yang banyak ditemukan pada kedua lokasi adalah dari kelas Polychaeta, karena Polychaeta dapat memanfaatkan kondisi yang terbatas dengan menggali

Suatu sistem yang bekerja untuk mengumpulkan, memproses, menyimpan, menganalisa dan menyebarluaskan informasi yang berada dalam dua atau lebih organisasi guna meningkatkan

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari 55 responden sebagian besar memiliki indeks massa tubuh normal dengan siswi yang memiliki usia menarche normal sebanyak 34 orang

Dengan demikian, dalam ruang privat orang Jawa tidak lah berbeda dengan Ruwatan Sukerta maupun Ruwatan Sengkala yang dilakukan karena jalan hidup seseorang penuh kesulitan

materi ini membahas pula tentang latar belakang lahirnya sosiologi dan sosiologi pendidikan; sosiologi sebagai ilmu sosial, ruang lingkup sosiologi